4.8.2 Diversifikasi Pendapatan dengan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
dan Potensi Kawasan Secara Berkelanjutan Strategi ini menggunakan kekuatan untuk mengantisipasi ancaman berupa
harga jual hasil kebun yang tidak stabil. Perekonomian tidak stabil mendorong perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan mengancam lanskap budaya
Dayak Desa. Kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi adalah sumber daya hutan serta potensi lain yang dapat dikembangkan secara
berkelanjutan. Desa Ensaid Panjang merupakan kawasan perdesaan yang memiliki potensi pengembangan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan
pariwisata.
Lahan pertanian Desa Ensaid Panjang yang luas harus tetap dipertahankan. Hal ini karena masyarakat subsisten dari hasil pertanian. Pembudidayaan beberapa
jenis tanaman diversifikasi komoditas secara berotasi atau tumpang sari dapat dilakukan untuk meningkatkan penghidupan dan menstabilkan perekonomian
masyarakat. Berdasarkan potensi lahan oleh Bappeda Kabupaten Sintang, lahan Desa Ensaid Panjang sesuai untuk pertanian padi dan perkebunan karet dan
palawija. Tanaman yang cocok untuk lahan yang terletak di ketinggian 0-600 mdpl seperti lokasi studi antara lain padi, jagung, kopi, tembakau, tebu, karet,
kelapa, dan coklat. Pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan harus sesuai dengan potensi lahan dan budaya masyarakat setempat agar perubahan lahan
besar-besaran untuk perkebunan monokultur yang tidak sesuai dengan potensi lahan dan mengancam lanskap budaya Dayak Desa, dapat dihentikan.
Pengembangan potensi hutan adat yang kaya dan sesuai dengan budaya asli masyarakat merupakan alternatif dalam peningkatan pendapatan masyarakat
Gambar 46. Terdapat berbagai sumber daya bernilai ekonomi tinggi berasal dari jenis hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan.
Jenis kayu bernilai ekonomi tinggi antara lain ramin, rengas, emperpat, belian, dan tengkawang; sedangkan hasil hutan bukan kayu bernilai ekonomi tinggi antara
lain madu, tanaman hias anggrek alam, kantong semar, dan sebagainya, buah- buahan tropis durian, rambutan, cempeda’, nangka, dan sebagainya, bahan
anyaman dan kerajinan bambu, rotan, resam, danan, dan sebagainya, sayur jamur, simpur, kecombrang, dan sebagainya, obat mengkudu, entemu, empait,
dan sebagainya, kayu bakar entungan, empili’, resa’, dan sebagainya , pewarna alami engkerbang, tarum jawa, tarum padi, dan sebagainya, bumbu masak
sengkubak, kunyit, dan sebagainya, serta tanaman penghasil minyak atsiri, resin atau getah
karet, tengkawang, jelutung. Pengembangan pertanian dan
perkebunan yang terpadu dan terintegrasi dengan kehutanan wanatani atau agroforestri merupakan solusi alternatif yang paling dianjurkan. Dengan sistem
ini, penebangan hutan dalam skala luas untuk optimalisasi lahan dapat dihindari Van Noordwijk et al, 2004.
Sektor lain yang dapat dikembangkan adalah di bidang pariwisata. Tatanan lanskap budaya dan rumah betang yang unik serta masyarakat yang ramah
merupakan daya tarik wisata. Konsep wisata yang ideal untuk Ensaid Panjang adalah wisata desa hutan yang mengedepankan citra hutan sekaligus melindungi
hutan desa yang ada Hardjanto et al, 2010. Wisata desa hutan dapat membuka lapangan perkerjaan baru di bidang jasa seperti memandu wisata tour guide,
membuka penginapan home stay, menyiapkan makanan lokal catering serta
dapat mengembangkan usaha kecil kreatif mandiri seperti penjualan kain tenun, anyaman, dan kerajinan tangan khas Dayak Desa lainnya sebagai cendramata.
Buah tengkawang Shorea sp Buah kepayang Pangium sp
Anggrek Bulbophyllum sp. Kantong semar Nepenthes spp
Madu hutan
Gambar 46 Beberapa komoditas potensial hutan Ensaid Panjang Pemasaran
cenderamata kepada
wisatawan domestik
maupun mancanegara dapat ditingkatkan dengan melakukan modifikasi dan variasi
produk. Diversifikasi produk dapat meningkatkan peluang pemasaran
dibandingkan jika hanya menjual satu jenis produk saja syal atau kain. Peningkatan peluang pemasaran produk juga dapat dilakukan dengan pemberian
label yang menyimbolkan identitas lokal Dayak Desa pada semua produk yang dihasilkan Swanwick, 2002. Hal ini dapat membantu memperkuat identitas
lokal, menguatkan hubungan antara lanskap dan ekonomi, dan jika kegiatan pemasaran dan promosi dengan hati-hati, pelabelan produk dapat mendorong
konsumen untuk memihak dan memberikan dukungan atas eksistensi budaya setempat Swanwick, 2002.
4.8.3 Penetapan Status Hukum Hutan Adat
Strategi ini termasuk dalam strategi WO yang bertujuan mengatasi kelemahan yang ada terutama keterbatasan hukum adat dan perubahan tata guna
lahan yang tinggi dengan memanfaatkan dari peluang yang ada terutama otonomi daerah. Hutan dengan status hukum yang jelas dari pemerintah dapat
mengurangi ancaman degradasi luasan hutan akibat perubahan tata guna lahan. Perlindungan hutan dengan mengajukan perubahan status legal hutan dari APL
menjadi hutan adat atau hutan desa yang diakui negara secara tidak langsung dapat mengurangi konflik dengan pengusaha, menguatkan fungsi hukum adat,
meningkatkan integritas lanskap yang hampir hilang, serta mengembalikan fungsi hutan atau perbaikan lingkungan.
Status hutan adat dapat diajukan sebagai kawasan kelola hutan adat. Berdasarkan revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah
hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengelolaan hutan adat berada di tangan masyarakat adat sedangkan kewenangan negara dibatasi oleh isi
wewenang yang tercakup dalam hukum adat. Dalam mengajukan status hutan sebagai hutan adat, masyarakat perlu membuktikan keberadaan masyarakat adat
terlebih dahulu. Bukti keberadaan masyarakat adat diteliti oleh tim ahli yang ditetapkan oleh pemerintah, berupa keanggotaan, kelembagaan, wilayah adat,
aturan adat, sejarah setempat, dan pemungutan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Jika keberadaan masyarakat adat terbukti maka masyarakat adat yang
telah diakui Pemda harus menyusun rencana pengelolaan hutan adat dengan terlebih dahulu meneliti potensi dan fungsi hutan, luas kawasan, potensi dan jenis
tanah hutan, serta karakteristik hutan adat. Jika hutan adat telah dikukuhkan oleh Pemda dan disetujui oleh Menteri Kehutanan, masyarakat memperoleh hak
melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Status alternatif lain yang dapat diusahakan adalah status hutan desa. Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan desa adalah hutan
negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dalam mengajukan status legal hutan, masyarakat perlu mendapatkan
pendampingan hukum dari LSM diperlukan yang meliputi studi dokumentasi kesiapan masyarakat, identifikasi kawasan, pembentukan lembaga pengelola
hutan desa, advokasi kebijakan, workshop pengelolaan hutan desa, penyusunan rencana kerja hutan desa dan penyusunan Peraturan Desa perdes lembaga
pengelola hutan desa. Menurut Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2005 tentang Desa, perdes adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala
Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa BPD. Perdes berlaku di wilayah desa tertentu sebagai pedoman bagi semua pihak terkait dalam penyelenggaraan
kegiatan desa, sebagai acuan dalam pengendalian dan pengawasan, serta menjadi dasar hukuman atau sanksi. Perdes memiliki jenis beragam yang ditetapkan dan
disusun berdasarkan kebutuhan desa. Perdes yang perlu dirancang dalam konsep pengelolaan lanskap berbasis hutan di Desa Ensaid Panjang adalah mengenai tata
ruang dan peruntukan lahan, serta rencana pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lanskap budaya Dayak Desa.