Selain menggunakan ABC assessment checklist, penilaian lanskap budaya dapat juga menggunakan Landscape Characteristics Assessment LCA. LCA
lebih memperhatikan karakter lanskap daripada kualitas ataupun nilai lanskap. Kelebihan LCA adalah mempermudah para pemangku kepentingan dalam
memahami keadaan lanskap pada saat ini, memahami penyebab terbentuknya lanskap tersebut, dan memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di masa yang
akan datang. Dengan demikian para pemangku kepentingan terbantu dalam pengambilan
keputusan perencanaan,
desain, dan
pengelolaan, yang
mempertimbangkan peningkatan karakter lanskap Swanwick, 2002.
Gambar 2 Diagram alir Landscape Characteristics Assessment Swanwick, 2002 Penilaian lanskap dengan LCA berguna bagi kegiatan perencanaan
planning, perancangan design, maupun pengelolaan management lanskap. Dalam hal pengelolaan, konservasi dan peningkatan kualitas lanskap, LCA
bermanfaat untuk: 1 menyediakan dasar persiapan strategi pengelolaan; 2 memberikan informasi kerja pada area spasial, termasuk identifikasi area untuk
kegiatan desain, pemetaan batas, penetapan aplikasi khusus suatu kebijakan, penetapan perlakukan khusus melalui kegiatan desain dan input bagi rencana
pengelolaan dan inisiatif pengelolaan lainnya; 3 membantu memandu perubahan tata guna lahan dalam jalur positif dan berkelanjutan; 4 memberi informasi
skema agri-environment; dan 5 memberi kontribusi bagi inisiatif lingkungan lebih luas Swanwick, 2002.
Pelaksanaan penilaian dengan LCA terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap karakterisasi lanskap dan tahap pembuatan keputusan Gambar 2. Tahap
karakterisasi lanskap berfokus pada penjelasan mengenai penyebab perbedaan satu area dengan area lainnya. Tahap ini terdiri dari empat langkah penting, yaitu
mendefinisi ruang lingkup, melakukan studi literatur, melakukan survei lapang, dan klasifikasi dan deskripsi lanskap. Hasil dari tahap pertama adalah peta tipe
dan area karakteristik lanskap, deskripsi tipe dan area lanskap, dan identifikasi kunci karakteristik. Tipe karakteristik lanskap adalah tipe-tipe pada lanskap yang
secara relatif memiliki karakteristik yang homogen. Tipe karakteristik lanskap bersifat umum di alam dan mungkin terdapat pada area berbeda pada tempat yang
berbeda, namun secara umum sama-sama terdiri dari kombinasi yang serupa pada geologi, topografi, pola pengairan, vegetasi, pola sejarah permukiman, dan tata
guna lahan. Sedangkan area karakteristik lanskap adalah area tunggal yang unik atau wilayah geografis berbeda dari jenis lanskap tertentu Swanwick, 2002.
Adapun pada tahap pembuatan keputusan dilakukan penentuan pendekatan pengambilan keputusan dan pengambilan keputusan. Tahap ini didasari dari hasil
proses karakterisasi tahap sebelumnya dan melibatkan pembuatan keputusan mengenai karakter lanskap untuk menginformasikan putusan tertentu terkait tipe
penerapan. Hasil dari tahap pembuatan keputusan pada LCA dapat berupa usulan peningkatan lanskap, informasi bagi kebijakan perencanaan, panduan dan strategi
lanskap, ataupun usulan lokasi dan rancangan pengembangan. Tipe pembuatan keputusan yang berbeda akan menghasilkan tipe keputusan yang berbeda
Swanwick, 2002.
2.2 Hutan dan Lanskap Budaya
Indonesia merupakan negera yang kaya baik dari segi keanekaragaman hayati maupun kekayaan budaya. Pada masyarakat tradisional, budaya kehidupan
tidak dapat dipisahkan dengan kawasan yang kaya akan sumber daya seperti hutan. Di sisi lain, budaya masyarakat mempengaruhi pemanfaatan ruang
sehingga terbentuk berbagai ragam lanskap budaya. Beberapa kelompok masyarakat adat seperti masyarakat adat Mentawai di Sumatera Barat, masyarakat
adat Sunda Parahyangan dan Kasepuhan di Sukabumi Jawa Barat, dan berbagai suku di Papua, merupakan contoh komunitas yang memiliki hubungan tak
terpisahkan dengan hutan. Hal ini juga terjadi pada masyarakat adat Dayak di Kalimantan.
Hubungan erat masyarakat adat dengan hutan umumnya dapat terjadi karena adanya pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat tersebut. Hasil hutan dapat
dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Hasil hutan yang dimanfaatkan secara langsung dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan
bukan kayu. Hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan terutama untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut Hardjanto et al
2010 pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berperan lebih
penting dibandingkan dengan produk kayu dari sisi ekonomi, lingkungan, sosial maupun budaya karena meningkatkan peranan ekonomi secara signifikan;
memberi kontribusi bagi keamanan pangan, ekonomi nasional, konservasi dan keragaman hayati; memberi kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan; proses pemanfaatan tidak merusak hutan; serta memberi nilai tambah pada hutan tropis di tingkat lokal maupun internasional. Selain manfaat
langsung tersebut, lanskap hutan juga memiliki manfaat tak langsung yaitu menyediakan jasa lingkungan seperti menyimpan keragaman jenis plasma nutfah,
menurunkan karbon menyimpan sumber daya air, dan memiliki keindahan lanskap yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan ecotourism maupun agrotourism
Arifin et. al., 2009.
Dalam melindungi kepentingan mereka terhadap hutan, masyarakat tradisional umumnya melakukan konservasi pada lanskap budaya yang dilakukan
secara turun temurun. Konservasi oleh masyarakat tradisional dapat berupa perlindungan zona tertentu dan penegakan hukum adat. Konservasi lanskap
budaya secara tradisional hampir selalu dihubungkan dengan kepercayaan lokal yang bersifat mistis dan sakral, berbentuk pantangan atau tabu sehingga efektif
dalam mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat lokal.
2.3 Masyarakat Tradisional Dayak
Suku Dayak merupakan salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya nihil, namun
beberapa ahli seperti dari Kern dan Bellwood Weintre 2004 menyatakan hipotesis bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari
Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. Pada tahun 1938 ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang
berumur sekitar 38.000 tahun di salah satu gua di Niah yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman
sekarang.
Secara tradisional suku Dayak tinggal di tengah hutan di rumah panjang yang tingginya beberapa meter dari tanah sehingga penghuni menggunakan
tangga untuk naik ke lantai rumah. Masyarakat Dayak pada masa lalu tinggal di rumah panjang yang tinggi dari tanah. Hal ini bertujuan agar lebih aman dari
binatang ganas maupun dari musuh. Pada zaman dulu, suku Dayak melakukan ritual mengayau memotong kepala anggota sub-suku Dayak lain sebagai bagian
dari kepercayaan mereka. Menurut kosmologi, kegiatan mengayau dilakukan untuk mendapatkan kekuatan gaib yang menguntungkan bagi suku dan teritori
serta mengusir roh jahat dan sesuatu yang tidak baik atau menyakitkan bagi kehidupan manusia Weintre, 2004.
Masyarakat Dayak mengambil sumber daya dari lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Masyarakat Dayak melakukan
perladangan berpindah. Menurut Setyawan 2010, sistem ladang berpindah yang dilakukan berguna untuk mengelola hutan karena tanah Kalimantan miskin
mineral dengan fosfor sebagai faktor pembatas bagi budidaya tanaman pangan. Di hutan tropis, fosfor tersimpan dalam pohon sehingga perlu pembakaran hutan
untuk melepaskannya. Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk penanaman padi
gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan kembali selama
20-25 tahun. Masyarakat Dayak percaya bahwa tanah hutan yang lama tidak digunakan untuk bercocok tanam akan subur. Selain itu tanah yang lama
ditinggalkan akan menjadi hutan sehingga tidak perlu diperlakukan secara intensif karena rumput yang tumbuh tidak banyak Weintre, 2004.
Sistem ladang berpindah biasanya digabungkan dengan sistem agroforestri hutan multikultur dimana ladang yang ditinggalkan ditanami berbagai pohon
yang dapat terintegrasi pada ekosistem hutan. Pembukaan lahan yang teratur mendorong terbentuknya mozaik-mozaik lahan berdasarkan umur suksesi dan
keanekaragaman hayati yang beragam. Lahan yang heterogen menyimpan kekayaan hayati, mengawetkan tanah dan melindungi kualitas air. Hal ini
bertujuan untuk melindungi tanah, sungai dan hutan yang merupakan tiga elemen terpenting yang mencirikan kehidupan Dayak Bamba, 2000.
Keterikatan masyarakat Dayak terhadap elemen tanah, sungai dan hutan dapat terlihat dari pemilihan lahan permukiman rumah betang atau rumah
panjang. Pada masa lalu masyarakat Dayak Desa yang tersebar di beberapa dusun di Kecamatan Kelam Permai Gambar 3 masih mendiami rumah betang. Seiring
perkembangan zaman dan tekanan lingkungan, mereka mulai meninggalkan rumah betang dan hidup di rumah-rumah tunggal. Rumah betang yang
ditinggalkan dan dibiarkan tidak dirawat lama-kelamaan menjadi rusak sehingga budaya kehidupan betang semakin terancam.
Gambar 3 Peta prakiraan penyebaran Sub Suku Dayak di Kecamatan Kelam
Permai Sumber: PRCF Indonesia, 2008 Menurut Santoso 2008, permukiman rumah betang Dayak Desa dipilih
berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu terletak di tepi sungai namun tidak terletak di antara 2 buah muara sungai, lahan sekitar harus subur, dan bukan
merupakan bekas kuburan. Pada masa lalu Dayak Desa melakukan perladangan berpindah, namun seiring waktu dan berkurangnya lahan, perladangan berpindah