Pengelolaan Lanskap Berbasis Hutan bagi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa di Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
DELYANET
(2)
(3)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Lanskap Berbasis Hutan bagi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa di Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015 Delyanet A451110121
_____________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
(4)
Budaya Dayak Desa di Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh NURHAYATI H S ARIFIN dan HADI SUSILO ARIFIN.
Lanskap budaya tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan hutan adat. Kontribusi penting hutan adat bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan tidak hanya dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari melainkan juga sebagai bentuk eksistensi kearifan budaya lokal. Hutan dianggap sebagai hal penting yang harus dijaga untuk kehidupan anak-cucu di kemudian hari.
Salah satu suku yang memiliki hubungan erat dengan hutan adalah sub suku Dayak Desa dari suku Dayak. Etnis Dayak Desa banyak mendiami Kabupaten Sintang dalam permukiman tradisional rumah panjang atau betang, namun warisan budaya nenek moyang tersebut terancam hilang. Dari sekian banyak rumah adat betang yang pernah ada, saat ini hanya tinggal satu betang yang masih bertahan dan didiami yaitu di Dusun Rentap Selatan, Desa Ensaid Panjang. Ancaman kehilangan rumah adat dan bentuk budaya lain tak terlepas dari kerusakan lanskap di sekitar rumah adat, terutama hutan. Pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi mendesak eksistensi budaya Dayak Desa, yang minim dokumentasi, menuju ke ambang kepunahan. Pertimbangan menyeluruh diperlukan untuk melindungi keunikan lanskap dan budaya Dayak Desa yang tersisa. Peran hutan adat perlu menjadi pertimbangan dasar dalam menentukan rencana pengelolaan.
Penelitian pengelolaan lanskap budaya Dayak Desa ini bertujuan untuk (1) mengkarakterisasi lanskap budaya tradisional Dayak Desa, (2) mengkaji peran hutan bagi masyarakat secara ekologi, ekonomi, dan budaya, (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa, dan (4) menyusun rencana pengelolaan lanskap budaya berbasis hutan bagi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa. Penelitian dilakukan di Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Desember 2013.
Karakterisasi lanskap budaya dilakukan dengan metode Landscape Characteristics Assessment(LCA) sampai tahap karakterisasi. Kajian peran hutan dilakukan dengan pembobotan kriteria ekologi, ekonomi, dan budaya berdasarkan toolkit High Conservation Value Network (HCVN) yang dimodifikasi. Analisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan dilakukan dengan analisis Strenght-Weakness-Opportunity-Threat(SWOT) terhadap faktor internal dan ekternal yang terkait dengan keberlanjutan lanskap. Adapun perumusan rencana pengelolaan lanskap disusun berdasarkan hasil karakterisasi lanskap, analisis peran hutan, dan analisis SWOT yang dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan karakterisasi lanskap, Desa Ensaid Panjang termasuk dalam lanskap perdesaan pertanian dataran rendah. Elemen kunci pembentuk lanskap budaya Dayak Desa di desa tersebut adalah permukiman tradisional, hutan, dan sungai sedangkan lahan pertanian (sawah dan ladang) merupakan elemen pendukung. Berdasarkan kajian peran hutan pada enam hutan di desa tersebut,
(5)
hutan lain yang bernilai rendah (yaitu Tawang Sepayan, Tawang Sebesai, dan Tawang Semilas) merupakan cadangan sumber daya yang berperan penting secara ekologi namun jarang dimanfaatkan oleh masyarakat. Analisis SWOT mengidentifikasi 17 faktor internal dan 10 faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari 7 faktor kekuatan dan 10 faktor kelemahan sedangkan faktor eksternal terdiri dari 6 faktor peluang dan 4 faktor ancaman. Faktor pendorong keberlanjutan terbesar berasal dari aspek budaya sedangkan faktor penghambat terbesar berasal dari aspek ekonomi dan legal.
Total skor pembobotan faktor internal maupun eksternal berada pada kuadran V matriks IE yang menunjukkan bahwa strategi yang berfokus pada perlindungan dan pengembangan potensi kawasan merupakan strategi pengelolaan terbaik untuk lanskap budaya Dayak Desa. Berdasarkan penyusunan rangking strategi, diperoleh strategi penting sebagai berikut (1) meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar pihak terkait, (2) mendorong diversifikasi pendapatan yang berkelanjutan, (3) mengusahakan penetapan status legal kawasan hutan, dan (4) membuat zonasi pengelolaan lanskap.
Kata kunci: Dayak Desa, hutan adat, pengelolaan lanskap budaya, penilaian karakteristik lanskap
(6)
Sustainability of Dayak Desa in Ensaid Panjang, Sintang, West Kalimantan. Supervised by NURHAYATI H S ARIFIN and HADI SUSILO ARIFIN.
Cultural landscape in Indonesia likely related with the exixtence of indigenous forest, that community settlement generally located close to the forest. Therefore, indigenous forest seems to have an important role to the community in daily life. Indigenous forest also considered as form of cultural existence that inheritabled to a younger generation.
One tribe who has a harmoniuos relationship with forest is a Dayak Desa community. Dayak Desa is a sub-tribe of Dayak tribe in Sintang district. Currently, this community is in threated losing their cultural heritage. Among many traditional houses, i.e long house or betang that ever existed, only one remains and still inhabited. This betang is located in Rentap Selatan hamlet, Ensaid Panjang village. We can not separate this phenomenon from the damage landscape around betang. Forests as a source of betang materials and livelihood materials has transformed. Profit-oriented development drive Dayak Desa culture to extiction. Hence, preservation of cultural landscape, that reflect the local culture as a whole, need to be done.
In determining management plan, the role of forest need to be considered as basic judgement. This research was aims to (1) characterize the cultural landscape of Dayak Desa, (2) examine the role of forests for the society, (3) analyze the factors that affect the sustainability of the cultural landscape of Dayak Desa, and (4) arrange the management plan based on forest for the sustainable cultural landscape of Dayak Desa.
The study was conducted in Ensaid Panjang village, Kelam Permai sub-district, Sintang sub-district, West Kalimantan province. The village consist of 3 hamlet, namely Ensaid Pendek hamlet, Rentap Selatan hamlet, and Ensaid Baru hamlet. The research was conducted from March to December 2013. Characterization of the cultural landscape was done by Landscape Characteristics Assessment (LCA) until characterization stage. Study of the role of forests was done by scoring the ecological economical and cultural criteria modified based on Indonesian High Conservation Value Network (HCVN) toolkit. Analysis of affecting factors of the sustainability was done by Strenght Weakness Opportunity Threat (SWOT) for internal and external factors that related to the landscape sustainability. Finally, landscape management plan was synthesized based on the results of the landscape characterization, analysis of the role of the forests, and SWOT analysis.
Based on the landscape characterization, Ensaid Panjang village is a lowland agricultural rural landscape. A key elements of this landscape are a traditional settlement, forests, and rivers; meanwhile agricultural lands (paddy fields, dry lands) are supporting element. Based on the study of the role of 6 (six) existing forests, there are Bukit Rentap forest, Tawang Mersibung and Tawang Serimbak are scored as high and medium. This suggests that the presense of these three are very important for local environment, economy, and culture. The other three with a low value i.e Tawang Sepayan, Tawang Sebesai, and Tawang
(7)
factors. Internal factors consists of 7 factors of strenghts and 10 factors of weaknesses while the external factors consists of 6 factors of opportunities and 4 factors of threads. Total weighting score for both factors was at quadrant V of the IE matrix. It indicated that development strategy was the best management strategy for the cultural landscape of Dayak Desa. Based on strategy formulation rank, some important strategies that suggested are (1) improving coordination and cooperation among stakeholders, (2) encourage sustainable diversification income, (3) propose legal status of existing forests, and (4) zoning for landscape management.
Keywords: Dayak Desa, indigenous forests, landscape characteristics assessment, management of cultural landscapes
(8)
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
DELYANET
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
(10)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr. Sc.
(11)
Judul Tesis : Pengelolaan Lanskap Berbasis Hutan bagi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa di Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat Nama : Delyanet
NIM : A451110121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
(12)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lanskap budaya, dengan judul “Pengelolaan Lanskap Berbasis Hutan bagi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa di Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan; serta Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr, Sc. selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr selaku perwakilan program studi yang telah banyak memberi masukan yang membangun untuk perbaikan tesis ini. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sintang, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Sintang, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sintang, People, Resources, and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia, serta Kepala Desa dan seluruh masyarakat Desa Ensaid Panjang, atas bantuan dalam menyediakan informasi dan kesediaan wawancara untuk data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada suami Janiarto Paradise Pawa yang telah banyak membantu selama penelitian ini, kepada ibunda Patriani, ayahnda M.Karmoni, ananda (alm.) Hanif Edelweissar, kakanda Ameldalia dan Syafari serta seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungan penuh kasih. Terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang telah berbagi ilmu dan rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap angkatan 2011 yang telah berbagi pengalaman berharga.
Akhir kata, semoga karya tulis ini bermanfaat bagi bidang keilmuan Arsitektur Lanskap secara khusus dan bagi masyarakat secara umum.Aamiin.
Bogor, Mei 2014 Delyanet
(13)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN ix
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Kerangka Pikir Penelitian 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Karakteristik Lanskap 4
2.2 Hutan dan Lanskap Budaya 7
2.3 Masyarakat Tradisional Dayak Desa 8
2.4 Pengelolaan Lanskap Budaya Keberlanjutan 10
III. METODE PENELITIAN 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 11
3.2 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 12
3.3 Alat dan Bahan Penelitian 13
3.4 Tahapan dan Metode Penelitian 13
3.5 Analisis Karakteristik Lanskap Budaya Dayak Desa 14
3.6 Analisis Peran Penting Kawasan Hutan 15
3.6.1 Peran Hutan terhadap Ekologi 15
3.6.2 Peran Hutan terhadap Ekonomi Masyarakat 17
3.6.3 Peran Hutan terhadap Budaya Lokal 18
3.7 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa
19 3.8 Penyusunan Rencana Pengelolaan Lanskap Budaya Dayak Desa 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22
4.1 Analisis Kondisi Biofisik Lokasi Studi 22
4.1.1 Lokasi, Sirkulasi, Aksesibilitas, dan Transportasi 22
4.1.2 Tanah, Topografi dan Hidrologi 25
4.1.3 Iklim 27
4.1.4 Hutan Desa 28
4.1.5 Vegetasi dan Satwa 29
4.1.6 Pola TataGuna Lahan 30
4.2 Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Ensaid Panjang 31
4.2.1 Demografi 31
4.2.2 Mata Pencaharian 31
4.2.3 Infrastruktur 33
4.2.4 Tata Guna Lahan 36
4.3 Analisis Kondisi Budaya dan Spiritual Masyarakat Dayak Desa 37 4.3.1 Sejarah Masyarakat Dayak Desa Ensaid Panjang 37
(14)
4.3.2 Spiritual Masyarakat Dayak Desa 38
4.3.3 Budaya Masyarakat Dayak Desa 38
4.3.4 Tatanan Lanskap Budaya 54
4.4 Intervensi Kebijakan Pemerintah Terhadap Lanskap Budaya Dayak Desa
57 4.5 Karakterisasi Lanskap Budaya Masyarakat Dayak Desa 59
4.6 Kajian Peran Hutan Adat 62
4.6.1 Peran Hutan terhadap Ekologi 63
4.6.2 Peran Hutan terhadap Ekonomi Masyarakat 65
4.6.3 Peran Hutan terhadap Budaya Lokal 67
4.7 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa
70
4.7.1 Identifikasi Faktor Internal 70
4.7.2 Identifikasi Faktor Eksternal 72
4.7.3 Penilaian Faktor Internal dan Eksternal 73 4.8 Rencana Pengelolaan Lanskap Budaya Dayak Desa Berkelanjutan 75 4.8.1 Peningkatan Koordinasi dan Kerja Sama Antar Pihak Terkait 76 4.8.2 Diversifikasi Pendapatan dengan Pemanfaatan Sumber Daya
Hutan dan Potensi Kawasan Secara Berkelanjutan
78
4.8.3 Penetapan Status Hukum Hutan Adat 80
4.8.4 Penetapan Zonasi Pengelolaan 81
V. SIMPULAN DAN SARAN 82
5.1 Simpulan 82
5.2 Saran 83
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 87
(15)
DAFTAR TABEL
1 Daftar penilaian denganABC Assessment Checklist 5
2 Jenis data dan metode pengumpulan 14
3 Kriteria penilaian kepentingan hutan terhadap lingkungan 16 4 Kriteria penilaian kepentingan hasil hutan bagi perekonomian
masyarakat 18
5 Kriteria penilaian kepentingan hutan terhadap pemenuhan
kebutuhan budaya 18
6 Matriks SWOT 21
7 Etnis penduduk Desa Ensaid Panjang tahun 2013 31
8 Luasan lahan pertanian milik masyarakat 32
9 Mata pencaharian masyarakat di lokasi studi 33
10 Bagian dan fungsi ruang pada rumah betang Dayak Desa 42 11 Ruang aktivitas budaya Masyarakat Dayak Desa 46 12 Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan 47
13 Motif tradisional Dayak Desa 49
14 Bagian-bagian alat tenun 50
15 Jenis tumbuhan penghasil zat warna 51
16 Indeks Shannon-Wiener hutan adat 63
17 Total skor IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External
Factor Evaluation) 74
18 Perangkingan alternatif strategi bagi lanskap budaya Dayak Desa
Ensaid Panjang 75
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 3
2 Diagram alir Landscape Characteristics Assessment (Swanwick,
2002) 6
3 Peta prakiraan penyebaran sub suku Dayak Desa di Kecamatan Kelam Permai (Sumber: PRCF Indonesia, 2008) 9
4 Peta orientasi lokasi studi 12
5 Tahapan penelitian 13
6 Tahapan LCA yang dilakukan 15
7 Skema transek keragaman vegetasi 16
8 Matriks IE (Sumber: David, 2008) 20
9 Bentuk umum lanskap budaya Dayak Desa di Desa Ensaid Panjang
(Sumber: pengamatan lapang, 2013) 22
(16)
11 Akses menuju tapak 24
12 Kontur dan jenis tanah Desa Ensaid Panjang 25
13 Ketersediaan dan pengelolaan sumber daya air di lokasi studi 26 14 Grafik rata-rata curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) di
Kabupatern Sintang tahun 2002-2011 (Sumber: BMKG Kabupaten
Sintang, 2011) 27
15 Lokasi hutan di Desa Ensaid Panjang 28
16 Peta biofisik lokasi studi 30
17 Infrastruktur desa 34
18 Rumah tunggal di lokasi studi yang terbuat dari (1) kayu, (2) beton,
(3) perpaduan antara beton dan kayu 35
19 Rumah tradisional di lokasi studi 36
20 Peta perubahan tata guna lahan di Desa Ensaid Panjang 37 21 Skema melintang rumah betang (Sumber: Santoso, 2008) 43
22 Akses masuk rumah betang di lokasi studi 44
23 Pemanfaatan kolong rumah betang saat ini 45
24 Ragam aktivitas masyarakat di lingkungan rumah betang 47 25 Kain tenun ikat Dayak Desa (Sumber: www.tenunikat.blogspot
.com) 49
26 Proses pembuatan kain tenun ikat Dayak Desa 51 27 Kegiatan menganyam yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi
studi 52
28 Pengelolaan lahan pertanian di Ensaid Panjang 53
29 Aktivitas pengelolaan padi 53
30 Aktivitas pandai besi 54
31 Tatanan lanskap tradisional Dayak Desa Ensaid Panjang tahun 1991 55 32 Tatanan lanskap tradisional Dayak Desa Ensaid Panjang tahun 2013 56
33 Zonasi budaya Desa Ensaid Panjang 57
34 Persentase perubahan lahan Desa Ensaid Panjang (1991-2013) 58
35 Tatanan lanskap budaya di lokasi studi 60
36 Peta karakteristik lanskap budaya Dayak Desa di lokasi studi 61 37 Hubungan antar elemen kunci lanskap budaya Dayak Desa 62
38 Peta peran hutan adat bagi ekologi 64
39 Grafik kategori tingkat kepentingan hutan secara ekonomi bagi
masyarakat (Sumber: kuesioner 2012) 65
40 Peta peran hutan adat bagi ekonomi 67
41 Peta peran hutan adat bagi budaya lokal 68
42 Kawasan bernilai budaya di Bukit Rentap 68
43 Peta peran hutan adat Desa Ensaid Panjang 69
44 Matriks IE (Sumber: analisis, 2014) 75
45 Diagram hubungan antar pihak terkait 76
46 Beberapa komoditas potensial hutan Ensaid Panjang 79 47 Peta rencana pengelolaan lanskap budaya di lokasi studi 81
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat Dayak Desa 87
2 Penilaian peran hutan 94
3 Tingkat kepentingan faktor internal dan eksternal 95 4 Pembobotan faktor strategi internal dan eksternal 96
(18)
(19)
1 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati maupun keragaman budaya. Keragaman hayati dan budaya yang tinggi dipengaruhi oleh variasi bentang alam dan letak geografis. Pulau-pulau dengan bentang alam yang bervariasi dan tersebar di daerah tropis menjadi habitat yang cocok bagi berbagai kehidupan sumberdaya biologis berupa flora, fauna, maupun mikroorganisme. Hubungan serupa juga membentuk keragaman budaya masyarakat yang berada di negara Indonesia.
Saat berinteraksi dengan faktor biofisik yang berada di lingkungan sekitarnya, manusia akan beradaptasi dengan keadaan alam dan sumber daya alam agar tetap bertahan hidup. Sebaliknya, alam yang didiami oleh manusia akan mengalami perubahan karena aktivitas manusia di dalamnya. Hasil interaksi yang saling mempengaruhi antara manusia dan lanskap alami tersebut akan menghasilkan lanskap budaya sehingga keberadaan manusia dalam suatu lanskap diasumsikan akan selalu menghasilkan suatu bentuk lanskap budaya.
Salah satu bentuk lanskap budaya yang menyimpan kekayaan hayati maupun budaya adalah hutan. Hutan yang ada di sekitar permukiman penduduk secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, misalnya sebagai pengendali daur air, sebagai penyerap karbon, sebagai penyedia sumberdaya air, sebagai sumber keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Di perdesaan, masyarakat tradisional pada umumnya memiliki filosofi mengenai lingkungan, bahwa dengan melindungi sumber daya alam maka kehidupan mereka akan terjamin secara berkelanjutan (Arifin et.al, 2003). Pada beberapa suku tradisional di Indonesia, peran hutan sangat penting sehingga keberadaan hutan menjadi salah satu syarat mutlak kesatuan lanskap budaya suku tradisional tersebut.
Masyarakat Dayak merupakan contoh dari sekian banyak suku tradisional di Indonesia yang menjadikan hutan sebagai bagian penting dalam kehidupan. Selain sungai dan tanah, masyarakat Dayak melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan menerapkan hukum adat (Bamba, 2000). Kesadaran akan pentingnya hutan secara turun temurun merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Dayak yang memiliki andil dalam usaha mempertahankan hutan di Pulau Kalimantan.
Area hutan di Pulau Kalimantan cukup luas dalam menyokong kehidupan masyarakat tradisional Dayak, yakni sekitar 32% dari luas daratan pulau tersebut (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Namun saat ini, Pulau Kalimantan mengalami ancaman serius berupa deforestasi yang tinggi. Menurut World Wild Foundation (WWF Indonesia, tanpa tahun), deforestasi yang terjadi di Pulau Kalimantan adalah seluas 3.308.002 ha pada periode 2004-2008, sedangkan menurut BPKH (2011), laju deforestasi di Kalimantan Barat mencapai 40.482,11 ha per tahun pada periode 2003-2006 dan 26.478,98 ha per tahun pada periode 2006-2009. Hal ini secara tidak langsung merupakan ancaman bagi keberadaan lanskap budaya dan keberlanjutan kehidupan masyarakat Dayak.
(20)
Salah satu sub-suku Dayak yang mengalami ancaman deforestasi adalah dari sub-suku Dayak Desa. Masyarakat tradisional Dayak Desa dapat ditemui di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Seperti umumnya Dayak tradisional, Dayak Desa di Desa Ensaid Panjang tinggal secara berkelompok di rumah tradisional yang disebut betang panjang. Keberadaan rumah betang panjang di permukiman Dayak memberikan asumsi bahwa masyarakat Dayak di kawasan tersebut masih memegang tradisi leluhurnya yang menjaga hutan. Selain itu masyarakat Dayak Desa diasumsikan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan dan hasil hutan karena pembangunan rumah betang memerlukan bahan bangunan yang berasal dari hutan yang di sekitar rumah betang.
Saat ini kawasan di sekitar Desa Ensaid Panjang dikembangkan sebagai perkebunan, yaitu perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi, tren penanaman perkebunan sawit menjanjikan hasil yang banyak dengan usaha yang minimum, namun di sisi lain perkebunan sawit yang monokultur dan menggunakan pupuk sintetik yang tidak ramah lingkungan dapat merusak ekosistem dan menurunkan kesuburan tanah. Menurut Manurung (2000), dampak langsung dari kegiatan konversi hutan alam secara ekologis adalah penurunan fungsi hidrologis, hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati dan habitat satwa liar, serta kenaikan laju erosi dan aliran permukaan; sedangkan secara sosial budaya, kegiatan konversi hutan sering menyebabkan konflik karena tumpang tindih kepemilikan dan peruntukan lahan serta budaya lokal terancam hilang akibat kehilangan sumber daya alam yang menunjang kegiatan budaya. Konflik yang berlarut-larut dapat memicu konflik sosial sehingga dapat merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta ketidakpastian usaha bagi pengusaha.
Selain perubahan tata guna lahan, masalah pencurian kayu gelondongan hasil hutan oleh masyarakat dari luar desa juga mengancam hutan adat di Desa Ensaid. Hukum adat setempat dapat mengatasi masalah dari dalam komunitas namun sulit menjangkau pelanggar hukum dari luar komunitas sehingga peraturan pemerintah dan penegakan hukum oleh aparat memiliki andil yang berarti. Oleh karena itu pengelolaan lanskap budaya yang mempertimbangkan hutan diharapkan dapat menjadi solusi penting bagi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik lanskap budaya tradisional Dayak Desa;
2. Bagaimana peran hutan sebagai bagian dari lanskap budaya Dayak Desa; 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya
Dayak Desa; dan
4. Pengelolaan lanskap berbasis hutan seperti apa yang dapat menjaga keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa.
(21)
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkarakterisasi lanskap budaya tradisional Dayak Desa;
2. Mengkaji peran hutan Dayak Desa secara ekologi, ekonomi, dan budaya; 3. Menganalisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya
Dayak Desa; dan
4. Menyusun strategi pengelolaan lanskap budaya berbasis hutan bagi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan penentuan kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Sintang dalam mengelola lanskap budaya Dayak Desa yang hampir hilang.
1.5 Kerangka Pikir
Manusia dan lanskap memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Alam membentuk kebiasaan dan kebudayaan manusia sedangkan manusia yang memanfaatkan alam untuk memenuhi keperluan (needs) dan keinginan (wants) membawa pengaruh budaya ke dalam lanskap. Interaksi antara masyarakat dan habitat hidupnya ini akan mengubah lanskap alami menjadi lanskap budaya yang memiliki keunikan karakter.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Lanskap budaya Dayak Desa memiliki potensi yang perlu dikembangkan, masalah yang perlu dihadapi, dan faktor luar yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi keberlanjutan kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu identifikasi secara deskriptif mengenai hal-hal tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui seperti apa karakter lanskap budayanya, memahami bagaimana hutan
(22)
berperan dalam kehidupan masyarakatnya, serta menentukan faktor-faktor internal dan eksternal apa saja yang mempengaruhi lanskap budaya Dayak Desa. Hal ini sebagai pertimbangan dalam membuat rancangan pengelolaan bagi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa (Gambar 1).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Lanskap
Lanskap adalah sistem ekologi yang menjadi subjek hukum alam dan juga sebagai tempat dimana kelompok sosial dibangun dan dimanipulasi (Wardell-Johnson, 2007). Menurut Robertson dan Richard (2003), lanskap tidak hanya bernilai karena estetika namun juga karena ideologi. Alam merupakan bagian dalam kehidupan sosial manusia, dimana keduanya adalah kekuatan dinamik, yang membentuk lanskap. Menurut Plachter dan Rossler (1995), lanskap budaya adalah hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan alam dalam batas ruang dan waktu; merupakan sebuah model interaksi antara manusia, sistem sosial, dan cara mereka mengorganisasikan ruang.
Menurut Sauer yang disitasi oleh Mathewson (2009), lanskap budaya merupakan fenomena yang terbentuk dari lanskap alami oleh kelompok budaya, dimana budaya berperan sebagai agen, area alami berperan sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasil dari interaksi tersebut. Lanskap budaya merupakan hasil dari evolusi budaya pada atau dalam suatu lahan. Pada dasarnya lahan merupakan alam sedangkan budaya merupakan keistimewaan dasar dan unik dari manusia. Manusia selalu ingin membebaskan dirinya sendiri dari ketidakleluasaan dan batasan alam, sebebas mungkin dari kekasaran dan kekejaman alam (Haber, 1995). Sistem dinamis dan interaktif bekerja pada lanskap dan sangat penting untuk menyadari bahwa proses budaya membentuk lanskap dan budaya sendiri merupakan produk dari lanskap (Robertson dan Richards, 2003).
Dalam mendeskripsikan lanskap budaya, seorang peneliti harus mengetahui tiga (3) tipe lanskap budaya, yaitu designed landscapes, organically evolved landscapes, dan associative landscapes. Designed landscapes adalah lanskap yang sengaja didesain dan dikonstruksi dengan tujuan estetika dan keindahan, organically evolved landscapes adalah lanskap yang berkembang secara organik seiring waktu berdasarkan perubahan bertahap melalui pola tata guna; sedangkan associative landscapes atau lanskap asosiatif adalah lanskap yang sangat dipengaruhi kekuatan agama/kepercayaan, berasosiasi secara budaya atau artistik terhadap tempat sehingga memberikan hubungan alami dengan elemen alam dan bukti budaya (Heritage Victoria, 2009).
Lanskap budaya merupakan fenomena kompleks yang memiliki identitas nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) sehingga lanskap budaya merupakan cerminan budaya yang membentuknya. Menurut Koentjaraningrat (2002), budaya tercermin dalam 3 wujud, yaitu (1) ide, nilai, norma, dan peraturan; (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola dari masyarakat; dan (3) hasil karya manusia atau artefak. Sedangkan sistem budaya meliputi religi atau keagamaan, orang atau kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup, serta
(23)
teknologi dan peralatan. Oleh karena itu makna dan nilai penting suatu lanskap akan hilang jika komponen penting dalam lanskap budaya hilang, atau bukti yang menghubungkan fitur dengan latar lanskap tersebut lenyap. Oleh karena itu untuk menentukan komponen penting yang menjadi identitas suatu lanskap perlu dilakukan penilaian karakteristik lanskap.
Menurut Swanwick (2002), yang dimaksud karakter adalah pola yang berbeda, dapat dikenali, dan konsisten dari elemen-elemen dalam lanskap yang membuat satu lanskap berbeda dengan lanskap lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen-elemen yang membuat kontribusi tertentu bagi karakter pembeda. Adapun karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area dengan karakter serupa, mengklasifikasi dan memetakan. Serta mendeskripskan karakternya.
Penilaian karakteristik lanskap dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satunya adalah dengan metode ABC assessment checklist (Tabel 1) yang meliputi (1) Area and Environmental Context/ Area dan Konteks lingkungan, (2) Boundaries/ Batas; (3)Cultural patterns and historical development/ Pola budaya dan perkembangan sejarah; (4) Distribution of Elements/ Distribusi elemen; (5) Elements/ Elemen; dan (6) Further Factors associated with/ Faktor lain yang berasosiasi (Heritage Victoria, 2009).
Tabel 1 Daftar penilaian denganABC assessment checklist
Aspek Penilaian Faktor yang diamati
Area dan Konteks Lingkungan
1. Geografi 2. Topografi
3. Fitur alam penting lain 4. Vegetasi alami
Batas 1. Pemandangan dan vista internal 2. Pemandangan dan vista eksternal 3. Batas sejarah (masa lalu dan masa kini) 4. Lahan tambahan penting lain
Pola budaya dan pengembangan sejarah
1. Sejarah tata guna lahan (dulu dan kini)
2. Tradisi dan budaya yang mempengaruhi penggunaan lahan
3. Bentuk bangunan dan material yang digunakan 4. Bentuk dan susunan elemen secara umum Distribusi Elemen 1. Organisasi elemen tertentu secara spasial
2. Hubungan spasial antara bangunan dan struktur dalam lanskap (termasuk jarak antar elemen)
3. Sistem sirkulasi dan rute
Elemen Lanskap 1. Vegetasi alami dan vegetasi introduksi 2. Bangunan dan struktur tiga dimensi penting 3. Elemen keras lainnya
4. Struktur dan susunan arkeologis yang berhubungan dengan tata guna lahan masa lalu dan sekarang
5. Fitur dan detil budaya berukuran kecil lainnya Faktor lain yang
berasosiasi
1. Penilaian dengan kriteria lain
2. Analisis komparatif/perbandingan dengan kriteria lain 3. Penentuan skala nilai penting lokasi
4. Rangkuman informasi relevan dalam pernyataan
(24)
Selain menggunakan ABC assessment checklist, penilaian lanskap budaya dapat juga menggunakan Landscape Characteristics Assessment (LCA). LCA lebih memperhatikan karakter lanskap daripada kualitas ataupun nilai lanskap. Kelebihan LCA adalah mempermudah para pemangku kepentingan dalam memahami keadaan lanskap pada saat ini, memahami penyebab terbentuknya lanskap tersebut, dan memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Dengan demikian para pemangku kepentingan terbantu dalam pengambilan keputusan perencanaan, desain, dan pengelolaan, yang mempertimbangkan peningkatan karakter lanskap (Swanwick, 2002).
Gambar 2 Diagram alirLandscape Characteristics Assessment(Swanwick, 2002) Penilaian lanskap dengan LCA berguna bagi kegiatan perencanaan (planning), perancangan (design), maupun pengelolaan (management) lanskap. Dalam hal pengelolaan, konservasi dan peningkatan kualitas lanskap, LCA bermanfaat untuk: (1) menyediakan dasar persiapan strategi pengelolaan; (2) memberikan informasi kerja pada area spasial, termasuk identifikasi area untuk kegiatan desain, pemetaan batas, penetapan aplikasi khusus suatu kebijakan, penetapan perlakukan khusus melalui kegiatan desain dan input bagi rencana
(25)
pengelolaan dan inisiatif pengelolaan lainnya; (3) membantu memandu perubahan tata guna lahan dalam jalur positif dan berkelanjutan; (4) memberi informasi skema agri-environment; dan (5) memberi kontribusi bagi inisiatif lingkungan lebih luas (Swanwick, 2002).
Pelaksanaan penilaian dengan LCA terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap karakterisasi lanskap dan tahap pembuatan keputusan (Gambar 2). Tahap karakterisasi lanskap berfokus pada penjelasan mengenai penyebab perbedaan satu area dengan area lainnya. Tahap ini terdiri dari empat langkah penting, yaitu mendefinisi ruang lingkup, melakukan studi literatur, melakukan survei lapang, dan klasifikasi dan deskripsi lanskap. Hasil dari tahap pertama adalah peta tipe dan area karakteristik lanskap, deskripsi tipe dan area lanskap, dan identifikasi kunci karakteristik. Tipe karakteristik lanskap adalah tipe-tipe pada lanskap yang secara relatif memiliki karakteristik yang homogen. Tipe karakteristik lanskap bersifat umum di alam dan mungkin terdapat pada area berbeda pada tempat yang berbeda, namun secara umum sama-sama terdiri dari kombinasi yang serupa pada geologi, topografi, pola pengairan, vegetasi, pola sejarah permukiman, dan tata guna lahan. Sedangkan area karakteristik lanskap adalah area tunggal yang unik atau wilayah geografis berbeda dari jenis lanskap tertentu (Swanwick, 2002).
Adapun pada tahap pembuatan keputusan dilakukan penentuan pendekatan pengambilan keputusan dan pengambilan keputusan. Tahap ini didasari dari hasil proses karakterisasi (tahap sebelumnya) dan melibatkan pembuatan keputusan mengenai karakter lanskap untuk menginformasikan putusan tertentu terkait tipe penerapan. Hasil dari tahap pembuatan keputusan pada LCA dapat berupa usulan peningkatan lanskap, informasi bagi kebijakan perencanaan, panduan dan strategi lanskap, ataupun usulan lokasi dan rancangan pengembangan. Tipe pembuatan keputusan yang berbeda akan menghasilkan tipe keputusan yang berbeda (Swanwick, 2002).
2.2 Hutan dan Lanskap Budaya
Indonesia merupakan negera yang kaya baik dari segi keanekaragaman hayati maupun kekayaan budaya. Pada masyarakat tradisional, budaya kehidupan tidak dapat dipisahkan dengan kawasan yang kaya akan sumber daya seperti hutan. Di sisi lain, budaya masyarakat mempengaruhi pemanfaatan ruang sehingga terbentuk berbagai ragam lanskap budaya. Beberapa kelompok masyarakat adat seperti masyarakat adat Mentawai di Sumatera Barat, masyarakat adat Sunda Parahyangan dan Kasepuhan di Sukabumi Jawa Barat, dan berbagai suku di Papua, merupakan contoh komunitas yang memiliki hubungan tak terpisahkan dengan hutan. Hal ini juga terjadi pada masyarakat adat Dayak di Kalimantan.
Hubungan erat masyarakat adat dengan hutan umumnya dapat terjadi karena adanya pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat tersebut. Hasil hutan dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Hasil hutan yang dimanfaatkan secara langsung dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan terutama untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut Hardjanto et al (2010) pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berperan lebih
(26)
penting dibandingkan dengan produk kayu dari sisi ekonomi, lingkungan, sosial maupun budaya karena meningkatkan peranan ekonomi secara signifikan; memberi kontribusi bagi keamanan pangan, ekonomi nasional, konservasi dan keragaman hayati; memberi kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan; proses pemanfaatan tidak merusak hutan; serta memberi nilai tambah pada hutan tropis di tingkat lokal maupun internasional. Selain manfaat langsung tersebut, lanskap hutan juga memiliki manfaat tak langsung yaitu menyediakan jasa lingkungan seperti menyimpan keragaman jenis plasma nutfah, menurunkan karbon menyimpan sumber daya air, dan memiliki keindahan lanskap yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan ecotourism maupun agrotourism (Arifinet. al., 2009).
Dalam melindungi kepentingan mereka terhadap hutan, masyarakat tradisional umumnya melakukan konservasi pada lanskap budaya yang dilakukan secara turun temurun. Konservasi oleh masyarakat tradisional dapat berupa perlindungan zona tertentu dan penegakan hukum adat. Konservasi lanskap budaya secara tradisional hampir selalu dihubungkan dengan kepercayaan lokal yang bersifat mistis dan sakral, berbentuk pantangan atau tabu sehingga efektif dalam mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat lokal.
2.3 Masyarakat Tradisional Dayak
Suku Dayak merupakan salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya nihil, namun beberapa ahli seperti dari Kern dan Bellwood (Weintre 2004) menyatakan hipotesis bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. Pada tahun 1938 ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang berumur sekitar 38.000 tahun di salah satu gua di Niah yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman sekarang.
Secara tradisional suku Dayak tinggal di tengah hutan di rumah panjang yang tingginya beberapa meter dari tanah sehingga penghuni menggunakan tangga untuk naik ke lantai rumah. Masyarakat Dayak pada masa lalu tinggal di rumah panjang yang tinggi dari tanah. Hal ini bertujuan agar lebih aman dari binatang ganas maupun dari musuh. Pada zaman dulu, suku Dayak melakukan ritual mengayau (memotong kepala) anggota sub-suku Dayak lain sebagai bagian dari kepercayaan mereka. Menurut kosmologi, kegiatan mengayau dilakukan untuk mendapatkan kekuatan gaib yang menguntungkan bagi suku dan teritori serta mengusir roh jahat dan sesuatu yang tidak baik atau menyakitkan bagi kehidupan manusia (Weintre, 2004).
Masyarakat Dayak mengambil sumber daya dari lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Masyarakat Dayak melakukan perladangan berpindah. Menurut Setyawan (2010), sistem ladang berpindah yang dilakukan berguna untuk mengelola hutan karena tanah Kalimantan miskin mineral dengan fosfor sebagai faktor pembatas bagi budidaya tanaman pangan. Di hutan tropis, fosfor tersimpan dalam pohon sehingga perlu pembakaran hutan untuk melepaskannya. Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk penanaman padi
(27)
gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan kembali (selama 20-25 tahun). Masyarakat Dayak percaya bahwa tanah hutan yang lama tidak digunakan untuk bercocok tanam akan subur. Selain itu tanah yang lama ditinggalkan akan menjadi hutan sehingga tidak perlu diperlakukan secara intensif karena rumput yang tumbuh tidak banyak (Weintre, 2004).
Sistem ladang berpindah biasanya digabungkan dengan sistem agroforestri (hutan multikultur) dimana ladang yang ditinggalkan ditanami berbagai pohon yang dapat terintegrasi pada ekosistem hutan. Pembukaan lahan yang teratur mendorong terbentuknya mozaik-mozaik lahan berdasarkan umur suksesi dan keanekaragaman hayati yang beragam. Lahan yang heterogen menyimpan kekayaan hayati, mengawetkan tanah dan melindungi kualitas air. Hal ini bertujuan untuk melindungi tanah, sungai dan hutan yang merupakan tiga elemen terpenting yang mencirikan kehidupan Dayak (Bamba, 2000).
Keterikatan masyarakat Dayak terhadap elemen tanah, sungai dan hutan dapat terlihat dari pemilihan lahan permukiman (rumah betang atau rumah panjang). Pada masa lalu masyarakat Dayak Desa yang tersebar di beberapa dusun di Kecamatan Kelam Permai (Gambar 3) masih mendiami rumah betang. Seiring perkembangan zaman dan tekanan lingkungan, mereka mulai meninggalkan rumah betang dan hidup di rumah-rumah tunggal. Rumah betang yang ditinggalkan dan dibiarkan tidak dirawat lama-kelamaan menjadi rusak sehingga budaya kehidupan betang semakin terancam.
Gambar 3 Peta prakiraan penyebaran Sub Suku Dayak di Kecamatan Kelam Permai (Sumber: PRCF Indonesia, 2008)
Menurut Santoso (2008), permukiman rumah betang Dayak Desa dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu terletak di tepi sungai namun tidak terletak di antara 2 buah muara sungai, lahan sekitar harus subur, dan bukan merupakan bekas kuburan. Pada masa lalu Dayak Desa melakukan perladangan berpindah, namun seiring waktu dan berkurangnya lahan, perladangan berpindah
(28)
tidak dipraktekkan. Saat ini Dayak Desa mengoptimalkan lahan mereka menjadi kebun karet yang berperan dalam peningkatan ekonomi keluarga. Kegiatan pertanian tetap dilakukan untuk subsisten atau bertahan hidup.
2.4 Pengelolaan Lanskap Budaya Berkelanjutan
Lanskap maupun budaya merupakan hal yang dinamis, selalu berubah, dan perubahan tersebut dapat terjadi dengan sangat cepat maupun lambat sehingga dinamika keduanya perlu dipelajari agar arah perubahan dapat diprediksi. Prinsip-prinsip dalam menuju masyarakat yang berkelanjutan adalah (1) menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas hidup manusia, (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, meliputi melestarikan sistem-sistem penunjang kehidupan, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menjamin agar penggunaan sumber-sumber daya yang dapat diperbaharui berkelanjutan, (4) menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak terbarukan, (5) tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya hidup orang per orang, (7) mendukung kreatifitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan dan pelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global (Bumi Wahana, 1993).
Pendekatan ekologi lanskap dapat membantu dalam menghubungkan perbedaan yang samar antar situs, lokasi, dan lanskap. Hal ini diharapkan dapat memudahkan para ahli dalam membuat pedoman, ukuran, dan model pelestarian lanskap budaya (Haber, 1995). Melalui ekologi lanskap, pengelola hutan dan perencana lanskap dapat memperkuat sinergi dan merancang strategi jangka panjang dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya lanskap hutan. Ekologi lanskap harus dipertimbangkan sebagai cara untuk mengintegrasikan ekologi manusia dan perilaku manusia ke dalam konteks yang lebih luas, seperti pola dan proses dalam skala lanskap, namun juga kondisi skala global dan dampaknya. Aplikasi dari prinsip ekologi lanskap dapat menjadi aset dalam menciptakan mosaik lanskap yang seimbang dan self-sustaining untuk memberikan jasa dan barang bagi komunitas lokal pada khususnya dan populasi global pada umumnya (Lafortezza dan Sanesi, 2008).
Kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keadaannya dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan juga suatu kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan hanya untuk melestarikannya, tetapi terutama untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut.
Tujuan pelestarian lanskap terkait dengan aspek budaya dan sejarah secara lebih spesifik adalah untuk mempertahankan warisan budaya/sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan, menjamin terwujudnya ragam dan
(29)
kontras yang menarik dari suatu areal, memenuhi kebutuhan psikis manusia, memotivasi ekonomi (terutama bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata/ cultural and historical type of tourism, dan menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).
Tujuan dari peningkatan penggunaan berkelanjutan atas sumberdaya hutan tidak dapat dicapai tanpa memperhatikan latar belakang sosial ekonomi wilayah sasaran praktik pengelolaan (Lafortezza dan Sanesi, 2008). Kegiatan konservasi membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Untuk itu, pengelolaan lanskap hutan perlu mempertimbangkan kekuatan budaya dan alam yang mengontrol pola dan proses lintas dimensi waktu dan ruang, misalnya perubahan pola dan proses pada skala berbeda.
Lintas disiplin ilmu dan latar belakang budaya menjadi syarat yang mengawal pengelolaan lanskap hutan dengan tujuan penggunaan berganda dan keberlanjutan. Dengan arah pengelolaan ini, ekologi lanskap dapat menjadi bahasa penghubung antara ekologi, pengelolaan sumber daya, dan perencanaan tata guna lahan. Ekologi lanskap merupakan ilmu yang berhubungan dengan manusia, mempelajari struktur lanskap, fungsi lanskap dan dinamika lanskap. Ekologi lanskap terkait dengan konsep dan bingkai kerja operasional yang memperhatikan triple bottom line benefit (tiga sisi berkelanjutan), yakni konservasi lingkungan (ekologi), kenyamanan dan keamanan hidup masyarakat (sosial budaya) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (ekonomi). Menurut Arifin et.al. (2009), konsep yang berorientasi pada ekologi dilakukan dengan misi konservasi yang berprinsip penuh pada pemanfaatan namun tetap peduli terhadap lingkungan. Konsep yang berpihak kepada masyarakat diacu pada aspek sosial budaya, yaitu kesejahteraan secara rohani dan jasmani masyarakat tersebut. Sedangkan konsep dalam bidang ekonomi dapat direalisasikan melalui praktik jasa lingkungan dengan memberikan rasa kenyamanan yang rela ditukar dengan imbal jasa materi.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan desa Dayak yang masih menjalankan aktivitas kehidupan berdasarkan adat istiadat budaya Dayak. Lokasi dipilih berdasarkan pendekatan sejarah, etimologi, dan eksistensi rumah betang sebagai artefak budaya Dayak. Berdasarkan hal tersebut, dipilih Desa Ensaid Panjang yang terdiri dari tiga dusun Dayak yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Dayak Desa, yaitu Dusun Ensaid Pendek, Rentap Selatan, dan Ensaid Baru (Gambar 4). Penelitian dilaksanakan selama sepuluh bulan mulai bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Desember 2013.
(30)
Gambar 4 Peta orientasi lokasi studi
3.2 Ruang Lingkap dan Batasan Penelitian
Penelitian difokuskan pada kajian karakteristik lanskap budaya, nilai penting hutan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya pada lokasi penelitian. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan etimologi, sejarah, dan eksistensi artefak budaya Dayak yang masih dipertahankan hingga saat ini. Desa Ensaid Panjang merupakan satu-satunya desa Dayak Desa di Kabupaten Sintang yang masih mempertahankan hutan dan rumah betang panjang sebagai ciri khas masyarakatnya. Keberadaan rumah betang dianggap penting dalam kajian karena pada masa lalu bahan bangunan untuk membangun rumah betang hanya berasal dari hutan sehingga rumah betang diasumsikan memiliki kaitan erat dengan lanskap di sekitarnya. Penelitian dibatasi pada Desa Ensaid Panjang sedangkan data lokasi di sekitarnya digunakan sebagai data pendukung dalam membentuk lanskap budaya tersebut
Analisis karakteristik lanskap budaya yang dikaji dalam penelitian ini didasari pada aspek karakter biofisik lanskap (ekologi) dan karakter masyarakat (sosial-ekonomi dan spiritual-budaya). Kajian aspek ekologi dibatasi pada kondisi unsur pembentuk lahan yaitu tanah, topografi, hidrologi, iklim, serta vegetasi dan satwa. Kajian aspek sosial-ekonomi dibatasi pada kondisi sistem sosial-ekonomi masyarakat dengan meninjau tingkat kesejahteraan secara kualitatif. Kajian aspek sistem spiritual-budaya dibatasi pada sejarah, kepercayaan, dan aktivitas budaya.
Analisis peran hutan bagi kehidupan masyarakat Dayak Desa dikaji berdasarkan nilai ekologi, ekonomi, dan budaya. Kajian nilai ekologi dibatasi pada hasil hutan yang memberi manfaat lingkungan berupa keanekaragaman hayati maupun fungsi ekologi hutan lainnya. Kajian nilai ekonomi dibatasi pada hasil hutan kayu dan non-kayu yang memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat
(31)
secara langsung maupun tidak langsung. Kajian nilai budaya dibatasi pada wujud budaya yang berkaitan erat dengan hutan dan jenis hasil hutan yang digunakan pada aktivitas budaya.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa dikaji berdasarkan faktor internal dan eksternal. Kajian faktor internal dan eksternal dibatasi pada aspek yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya.
3.3 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalahGlobal Positioning System (GPS) Garmin 60csx untuk pengambilan titik koordinat di lapang; kamera digital untuk dokumentasi objek dan kawasan; alat tulis dan perekam suara untuk dokumentasi survei masyarakat; meteran dan tali untuk analisa vegetasi, dan komputer dengan perangkat lunak untuk mengolah data spasial dan statistik. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi skala 1:50.000 dan lembar kuesioner.
3.4 Tahapan dan Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang digunakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi terkait objek penelitian yang dapat memberikan jawaban yang relevan bagi pertanyaan dalam rumusan penelitian.
Gambar 5 Tahapan penelitian
Data dikumpulkan dari studi pustaka dan studi lapangan (Gambar 5). Studi pustaka dilakukan dengan mengkaji sumber tertulis dari berbagai sumber referensi
(32)
baik primer maupun sekunder, sedangkan studi lapang dikumpulkan dengan cara berinteraksi langsung dengan situasi lapang alamiah, yaitu dengan mengamati, mengidentifikasi, wawancara terstruktur, kuesioner tertutup, dan diskusi kelompok (Focus Group Discussion/FGD).
Tabel 2 Jenis data dan metode pengumpulan Tujuan Jenis Data (input) Sumber
Data
Metode Hasil (output) Analisis
karakteristik lanskap
Peta lokasi, aspek biofisik, sejarah dan budaya. Bappeda, BMKG, tapak LCA (termasuk studi literatur dan survey lapang)
- Peta dan deskripsi karakteristik lanskap
- identifikasi kunci karakteristik lanskap Kajian peran
hutan adat
Spesies tanaman yang tersedia di hutan dan tanaman yang dimanfaatkan, nilai penting Tapak Analisa vegetasi, kuesioner, wawancara (toolkit HCVF Indonesia)
Peta dan deskripsi peran hutan bagi masyarakat (secara ekologi, ekonomi dan budaya) Analisis faktor keberlanjutan Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberlanjutan FGD Analisis SWOT Prioritas strategi pengelolaan Menyusun rencana pengelolaan Peta karakteristik lanskap budaya, peran hutan, hasil analisis SWOT
hasil analisis sebelum-nya
desk analysis Peta zonasi dan strategi
pengelolaan
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data dari aspek ekologis, aspek sosial-ekonomi, aspek sejarah-budaya dan aspek legal (Tabel 2). Pengambilan informan dilakukan dengan menggunakan pendekatan purposive sample, yaitu teknik penentuan sampel yang dilakukan secara sengaja dengan menentukan orang-orang yang dianggap mampu memberikan kebutuhan data yang diperlukan. Adapun informan pada penelitian ini terdiri dari pihak pemerintah (Bappeda, BMKG, Dinas Kehutanan, Pemerintah Desa), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat lokal (tokoh masyarakat adat dan 32 responden).
3.5 Karakterisasi Lanskap Budaya Dayak Desa
Karakterisasi lanskap budaya Dayak Desa dilakukan dengan metode Penilaian Karakteristik Lanskap atau Landscape Characteristic Assessment (LCA) oleh Swanwick (2002). Metode ini dilakukan hingga tahap karakterisasi (Gambar 6). Tahap karakterisasi terdiri dari 4 langkah, meliputi penetapan ruang lingkup, studi literatur, survey lapang, serta klasifikasi dan deskripsi lanskap. Pada penelitian ini, ruang lingkup karakterisasi berada pada skala intermediet antara
(33)
skala lokal dan skala otoritas lokal. Studi literatur melibatkan tinjauan mengenai latar belakang lanskap budaya dan informasi peta. Data hasil studi literatur digunakan untuk survey lapang mengenai penilaian masyarakat terhadap elemen lanskap budaya dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya dilakukan klasifikasi berdasarkan data biofisik dan hasil kuesioner. Hasil karakterisasi berupa deskripsi dan gambaran spasial dari karakteristik lanskap Dayak Desa Ensaid Panjang Sintang.
Gambar 6 Tahapan kerja LCA yang dilakukan
3.6 Analisis Peran Penting Kawasan Hutan
Analisis peran dilakukan dengan memberikan skor terkait ketiga aspek keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, dan budaya pada keenam hutan yang ada di lokasi studi. Pada masing-masing aspek keberlanjutan tersebut, ditentukan selang nilai skor yang akan menghasilkan 3 kelas skor, yaitu hutan berperan tinggi, sedang, dan rendah. Selang nilai skor ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:
=
3 3.6.1 Peran Hutan terhadap Ekologi
Keragaman hayati jenis tumbuhan di dalam hutan menjadi salah satu indikator nilai penting hutan secara ekologis. Penelitian menggunakan metode survei dengan penentuan area sampling dengan metode Purposive Sampling. Sampling dilakukan dengan membuat 6 transek yang tegak lurus garis jalan masuk hutan dan tiap transek berjarak 50 meter dengan transek lainnya. Pada setiap transek terdiri atas 5 plot kuadrat berselang seling dan saling bersambung (Gambar 7). Setiap plot kuadrat dibagi menjadi beberapa plot kuadrat berdasarkan struktur pohon (20x20 m2), tiang (10x10 m2), pancang (5x5 m2), dan semai (2x2 m2).
(34)
Gambar 7 Skema transek keragaman vegetasi
Keragamanan spesies tumbuhan diukur dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener. Berikut analisa data:
= ln = ln
dimana: H’: Indeks diversitas Shannon-Wiener ni: Jumlah individu spesies i
N: Total spesies yang ditemukan
Pi: Proporsi sampel total yang diwakilkan oleh spesies i
Kriteria nilai indeks diversitas Shannon-Wiener adalah H’ kurang dari 1 dikategorikan rendah, H’ antara 1 sampai 3 dikategorikan sedang, dan H’ lebih dari 3 dikategorikan tinggi. Identifikasi tumbuhan dilakukan dengan bantuan pakar, buku flora (buku taksonomi tumbuhan yang memuat jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan dalam wilayah tertentu) dan prosea.
Tabel 3 Kriteria penilaian kepentingan hutan terhadap lingkungan
Indikator Skor
1 (rendah) 2 (sedang) 3 (tinggi) Keanekaragaman
vegetasi
H’ kurang dari 1 H’ antara 1 sampai 3
H’ lebih dari3 Perlindungan
kekayaan spesies
Tidak memiliki spesies
langka/dilindungi
Memiliki satu atau beberapa spesies langka/dilindungi
Memiliki spesies endemik
Penyedia air bersih dan daerah serapan air
Tidak memiliki mata air atau air sungai kering pada musim kemarau
Tidak memiliki mata air namun air sungai tidak
mengering di musim kemarau
Memiliki mata air bersih
H’adalah indeks shannon-wiener
Penilaian peran hutan terhadap lingkungan dilakukan dengan pemberian skor pada tiap hutan adat berdasarkan kriteria (Tabel 3). Skor total kurang dari 5 dikategorikan bernilai ekologi rendah, skor antara 5 sampai 7 dikategorikan bernilai ekologi sedang, dan skor lebih dari 7 dikategorikan bernilai ekologi tinggi. Hasil penilaian dipetakan ke dalam peta peran ekologi hutan.
(35)
3.6.2 Peran Hutan terhadap Ekonomi Masyarakat
Menurut Hardjanto et.al. (2010), nilai ekonomi hutan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non use value). Nilai guna terdiri dari nilai guna langsung (seperti kayu), nilai guna tak langsung (seperti pengendalian banjir), dan nilai guna pilihan (seperti keanekaragaman hayati); sedangkan nilai bukan guna terdiri dari nilai keberadaan dan nilai bukan guna lainnya. Sebagian besar nilai ekonomi hutan berasal dari nilai guna tak langsung dan nilai bukan guna yang bersifat tidak komersiil, abstrak, dan baru dirasakan dalam rentang waktu jangka panjang sehingga dalam menilai peran hutan secara ekonomi perlu dilakukan penelitian yang komprehensif. Pada penelitian ini, keuntungan ekonomi hutan adat dibahas secara umum.
Dua syarat suatu kawasan bernilai penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal adalah: (1) kawasan hutan atau ekosistem alam lain memberikan sumberdaya penting bagi masyarakat lokal yang tidak dapat tergantikan dan (2) sumberdaya dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara berkelanjutan atau mereka secara aktif berusaha melindungi sumberdaya tersebut, dengan tidak mengancam kawasan lainnya (HCVN, 2008).
Berdasarkan toolkit hasil konsorsiun HCVN (2008), identifikasi dan penilaian peran dan fungsi kawasan hutan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penilaian awal (pendahuluan) dan penilaian menyeluruh. Penilaian awal banyak menggantungkan ketersediaan data sekunder karena dapat membantu menentukan rencana pengambilan data di lapang pada tahap penilaian menyeluruh. Analisis yang tepat dari data sekunder bermanfaat dalam mengidentifikasi kawasan hutan yang berpotensi dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Setelah menentukan keberadaan nilai penting hutan untuk kebutuhan masyarakat lokal, dilakukan penilaian menyeluruh yang akan menentukan apakah suatu kawasan mempunyai nilai konservasi tinggi untuk pemenuhan kebutuhan komunitas lokal (keluarga, masyarakat) atau tidak. Penilaian menyeluruh akan selalu membutuhkan konsultasi (wawancara), baik pada komunitas yang terkait dengan hutan tersebut maupun tokoh informal masyarakat setempat, instansi pemerintahan dan ilmuwan yang pernah melakukan penelitian di lokasi tersebut.
Langkah yang dilakukan pada analisa peran dan fungsi penting hutan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal berdasarkan HCVN (2008) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sub-kelompok masyarakat berdasar faktor yang dianggap penting, seperti suku, agama, atau jenis pemanfaatan hutan yang dapat digunakan untuk menggambarkan profil desa,
2. Mengidentifikasi tingkat ketergantungan subkelompok terhadap hasil hutan, 3. Mengidentifikasi ketersediaan sumber alternatif dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga,
4. Menilai apakah pemanfaatan hutan dilakukan secara lestari dan tidak bertentangan dengan kawasan lain.
Penilaian peran hutan terhadap perekonomian masyarakat setempat dilakukan dengan pemberian skor pada tiap hutan berdasarkan kriteria (Tabel 4) Skor total kurang dari 5 dikategorikan bernilai ekonomi rendah, skor antara 5
(36)
sampai 7 dikategorikan bernilai ekonomi sedang, dan skor lebih dari 7 dikategorikan bernilai ekonomi tinggi. Hasil penilaian dipetakan ke dalam peta peran ekonomi hutan.
Tabel 4 Kriteria penilaian kepentingan hasil hutan bagi perekonomian masyarakat
Indikator Skor
1 (rendah) 2 (sedang) 3 (tinggi) Frekuensi masyarakat dalam memanfaatkan hutan Sementara dan sewaktu-waktu (hanya pada masa sulit) Periodik (hanya pada musim tertentu) Sepanjang tahun (aktifitas sehari-hari)
Peranan hutan bagi kehidupan Menurun (karena kurang menguntungkan ) Dibatasi resiko (subsisten pada masa sulit) Fundamental (untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari)
Dampak jika akses terhadap hutan dikurangi
Minimal (sudah tersedia alternatif sumber yang lebih baik)
Transisional (sulit namun kebutuhan dapat digantikan sumber daya lain)
Kritis dan sulit (berpengaruh secara permanen maupun temporal)
Sumber: Byron dan Arnold (1999) dengan modifikasi
3.6.3 Peran Hutan terhadap Budaya Lokal
Indikator suatu kawasan mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal adalah: (1) komunitas lokal masih mengakui adanya pembagian wilayah hutan di sekitar kampungnya berdasarkan fungsinya pada komunitas, (2) secara nyata masih ada sebaran dalam lanskap ataupun ekosistem dari kawasan yang diakui sebagai kawasan tersebut, baik sebarannya rendah, sedang atau tinggi, dan/atau (3) tingkat kepentingan dari kawasan yang diakui oleh masyarakat masih memberikan makna kepentingan terhadap komunitas lokal tersebut, baik makna yang rendah, sedang atau tinggi (HCVN, 2008).
Tabel 5 Kriteria penilaian kepentingan hutan terhadap pemenuhan kebutuhan budaya
Indikator Skor
1 (rendah) 2 (sedang) 3 (tinggi) Zonasi kawasan
sakral atau situs arkeologi terkait budaya lokal
Tidak ada Memiliki satu kawasan/situs
Memiliki beberapa kawasan/situs (lebih dari 1)
Spesies tumbuhan/ hewan yang bernilai bagi budaya lokal
Tidak memiliki spesies yang bernilai budaya
Memiliki spesies yang bernilai budaya namun tidak menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan budaya
Memiliki spesies bernilai budaya dan menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan budaya Lokasi upacara adat
atau aktivitas ritual
Tidak pernah menjadi lokasi ritual
Pernah menjadi lokasi upacara adat namun tidak sering
Pernah dan sering menjadi lokasi upacara adat
(37)
Penilaian kepentingan hutan terhadap budaya lokal dilakukan dengan pemberian skor pada tiap hutan berdasarkan kriteria (Tabel 5). Skor total yang kurang dari 5 dikategorikan sebagai hutan bernilai budaya rendah, skor 5 sampai 7 dikategorikan hutan bernilai budaya sedang, dan skor lebih dari 7 dikategorikan sebagai hutan bernilai budaya tinggi. Hasil penilaian dipetakan ke dalam peta peran budaya hutan.
3.7 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Lanskap Budaya Dayak Desa
Metode SWOT digunakan untuk mengetahui kondisi sebuah lanskap budaya secara sistematik dengan membandingkan faktor internal yang terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dengan faktor eksternal yang terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1997). Faktor pendorong merupakan perpaduan kekuatan dan peluang sedangkan faktor penghambat merupakan perpaduan antara kelemahan dan ancaman. Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah (1) identifikasi faktor internal dan faktor eksternal berdasarkan isu strategis terkait keberlanjutan, (2) penentuan bobot setiap variabel, (3) penentuan peringkat (rating), (4) penyusunan alternatif strategi , dan (5) pembuatan tabel rangking alternatif strategi.
Identifikasi faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya dilakukan dengan focus group disscussion (FGD). Setelah faktor internal dan eksternal diketahui, dilakukan penentuan rating tingkat kepentingan berdasarkan respon keefektifan strategi yang telah dijalankan terhadap faktor-faktor tersebut. Nilai kepentingan setiap faktor berkisar pada angka 1 hingga 4. Untuk faktor internal, nilai 1 mewakili kelemahan mayor, 2 mewakili kelemahan minor, 3 mewakili kekuatan minor dan 4 mewakili kekuatan mayor. Sedangkan untuk faktor eksternal, nilai 1 hingga 4 dapat berada pada peluang maupun ancaman. Nilai 1 mewakili respon rendah, 2 mewakili respon rata-rata, 3 mewakili respon di atas rata-rata, dan 4 mewakili respon tinggi (David, 2008).
Selanjutnya dilakukan pembobotan dengan membandingkan setiap faktor dengan faktor lainnya (teknik komparasi). Menurut David (2008), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4, yaitu:
1: jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal
2: jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal
3: jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal
4: jika indikator faktor horizontal jauh lebih penting daripada indikator faktor internal
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear & Taylor 1991):
(38)
=
dengan:
ai = bobot variabel ke-i xi = nilai variabel ke-i i = 1, 2, 3,...,n n = jumlah variabel
Bobot dan rating tiap faktor dikalikan untuk memperoleh skor pembobotan. Dua faktor dengan nilai skor pembobotan tertinggi dari faktor internal dan eksternal ditetapkan sebagai faktor penting yang mempengaruhi dalam keberlanjutan lanskap budaya Dayak Desa.
Jumlah seluruh skor pembobotan setiap faktor internal dan eksternal disebut total skor pembobotan. Total skor pembobotan internal maupun eksternal berkisar antara 1 sampai 4. Penilaian faktor internal (Internal Factor Evaluation/ IFE) berguna untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan; sedangkan penilaian faktor eksternal (External Factor Evaluation/ EFE) berguna untuk mengetahui tingkat ancaman dan peluang yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008). Total skor pembobotan IFE dan EFE digunakan untuk memperoleh matriks internal-eksternal (IE).
Matriks IE memiliki dua dimensi kunci yaitu skor pembobotan IFE pada sumbu x dan skor pembobotan EFE pada sumbu y. Pada sumbu x pada matriks IE, skor pembobotan IFE total yang berada pada angka 1,0 sampai 1,99 mempresentasikan posisi internal yang lemah; skor pembobotan total antara 2,0 sampai 2,99 dianggap berada pada posisi rata-rata; dan skor diantara 3,0 sampai 4,0 mempresentasikan posisi internal yang kuat. Kurang lebih sama pada sumbu y, skor pembobotan total EFE pada 1,0 sampai 1,99 dianggap rendah; skor antara 2,0 sampai 2,99 dianggap rata-rata; dan skor antara 3,0 hingga 4,0 tinggi (David, 2008).
(39)
Matriks IE dibagi menjadi tiga daerah mayor yang memiliki implikasi strategi yang berbeda (Gambar 8). Nilai yang jatuh pada kolom I, II, atau IV dapat dideskripsikan dalam kelompok menumbuhkan dan membangun (grow and build). Strategi intensif atau integratif merupakan strategi yang paling sesuai untuk kelompok ini. Untuk nilai yang jatuh pada kolom III, V, atau VII dikelompokkan sebagai mempertahankan dan memelihara (hold and maintain) sedangkan untuk nilai yang jatuh pada kolom VI, VII, atau IX termasuk ke dalam kelompok memanen atau melepas (harvest or divest).
Analisis SWOT akan menghasilkan matriks SWOT yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternatif, yaitu: (1) Strategi SO yang memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; (2) Strategi ST yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman; (3) Strategi WO yang memanfaatkan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan; dan (4) Strategi WT yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Tabel 6).
Tabel 6 Matriks SWOT
Eksternal
Internal Opportunities Threats
Strenghts
Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil kesempatan yang ada
Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi
Weakness
Mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahan
Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada
Sumber: Rangkuti (1997)
Menurut Hisyam (1998) yang disitasi BPS (tanpa tahun), strategi SO merupakan strategi yang bersifat comparative advantages karena memungkinkan organisasi berkembang lebih cepat. Strategi ST bersifat mobilization karena memobilisasi sumber daya untuk memperlunak ancaman bahkan mengubah ancaman menjadi peluang. Strategi WO bersifat divestment/investment karena pilihan berada pada situasi tidak jelas dimana peluang sangat menjanjikan namun tidak dapat dimanfaatkan oleh kekuatan yang tak cukup untuk menggarapnya sehingga keputusannya ada 2 yaitu melepas peluang yang ada (divestment) atau memaksakan penggarapan peluang (investment). Adapun strategi WT bersifat damage control karena mengendalikan kerugian agar tidak lebih parah daripada perkiraan.
3.8 Penyusunan Rencana Pengelolaan Lanskap Budaya Dayak Desa
Penyusunan rencana pengelolaan lanskap budaya Dayak Desa dilakukan dengan didasarkan pada hasil analisis SWOT yang telah dilakukan sebelumnya, dengan mempertimbangkan hasil karakterisasi lanskap dan analisis peran hutan. Rangking strategi ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Produk akhir penelitian berupa rekomendasi dan saran dalam bentuk rencana pengelolaan lanskap budaya berkelanjutan
(40)
berbasis hutan. Hasil analisis disajikan secara deskriktif (narasi, tabel atau diagram) dan spasial (foto, gambar peta, atau ilustrasi).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kondisi Biofisik Lokasi Studi
Lanskap budaya disusun oleh faktor biotik dan abiotik lanskap khas yang saling pengaruh-mempengaruhi kehidupan budaya masyarakat yang berinteraksi di dalamnya. Aspek fisik seperti tanah, topografi, iklim, hidrologi, vegetasi dan satwa pada lanskap mempengaruhi keberlangsungan kehidupan masyarakat di dalamnya. Kondisi tersebut membentuk tatanan lanskap yang spesifik pada kawasan lanskap budaya. Bentuk umum lanskap budaya Dayak Desa disusun oleh lahan pertanian, hutan, perkebunan, dan permukiman (Gambar 9).
Gambar 9 Bentuk umum lanskap budaya Dayak Desa di Desa Ensaid Panjang (Sumber: pengamatan lapang, 2013)
4.1.1 Lokasi, Aksesibilitas, dan Transportasi
Desa Ensaid Panjang memiliki luas 2.200 ha dan secara geografis terletak pada koordinat 00° 04’01” - 00°09’39” Lintang Utara dan 111° 39’49” - 111° 42’27’’ Bujur Timur. Desa Ensaid Panjang merupakan satu dari enam belas (16) desa di wilayah administrasi Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Secara administratif, sebelah utara Desa Ensaid Panjang berbatasan dengan Desa Sungai Maram, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Empaci, sebelah barat berbatasan dengan Desa Merpak, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Baning Panjang. Desa Ensaid Panjang terdiri dari wilayah 3 dusun yaitu Dusun Ensaid Pendek, Dusun Rentap Selatan, dan Dusun Ensaid Baru (Gambar 10). Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Ensaid Baru.
(41)
Gambar 10 Batas desa dan pembagian wilayah dusun
Pada lokasi penelitian, terdapat perbedaan perbatasan antar desa yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan batas yang diakui oleh masyarakat. Batas yang disepakati secara adat oleh masyarakat berpatokan pada kepemilikan lahan pada masa lalu. Menurut RTRW Pemkab Sintang, Desa Ensaid Panjang memiliki luas wilayah sebesar 4.905,75 ha; sedangkan menurut kesepakatan adat masyarakat, luas wilayah desa adalah sebesar 2.960,69 ha. Selisih luas wilayah ini mempengaruhi pengelolaan kawasan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Desa Ensaid Panjang berada kurang lebih 478 km dari ibukota provinsi Kalimantan Barat (Kota Pontianak), 58 km dari ibukota kabupaten (Kota Sintang), dan 27 km dari ibukota kecamatan (Desa Kebong). Perjalanan dari Kota Pontianak ke Sintang dapat ditempuh melalui darat dan udara. Perjalanan darat Pontianak-Sintang memiliki 2 alternatif jalur yaitu jalur Sungai Pinyoh (±428 km) atau jalur Ambawang (±317 km). Perjalanan darat dapat dilakukan dengan kendaraan bermotor selama kurang lebih 8 jam sedangkan perjalanan udara dengan pesawat kecil dapat ditempuh selama 45 menit.
Jalur transportasi dari Sintang menuju kawasan Desa Ensaid Panjang dapat dicapai dengan kendaraan bermotor. Dengan kendaraan pribadi, Sintang-Kebong (±20 km) dapat dicapai dalam waktu 30 menit. Terdapat 2 jalur dari Desa Kebong ke Desa Ensaid Panjang, yaitu dari arah Desa Baning Panjang (±30 km) dan dari arah Desa Merpak (±17 km). Jalur melalui Desa Baning Panjang lebih panjang karena melewati jalan raya antar kota Sintang-Putussibau. Kondisi jalan raya kurang baik karena sebagian jalan beraspal rusak parah. Adapun jalur melalui Desa Merpak lebih pendek namun kurang aman karena jalan berupa tanah berlumpur yang licin, tidak ada penerangan di malam hari, dan tergenang air pada musim penghujan. Untuk transportasi umum, tersedia 1 (satu) unit kendaraan
(42)
dengan trayek Sintang-Baning Panjang. Belum tersedia angkutan umum trayek Sintang-Ensaid Panjang.
Sebelum jalan sebagai jalur transportasi darat dibangun, masyarakat Desa Ensaid Panjang memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi. Perjalanan air dari desa ke Kota Sintang adalah melalui Sungai Kebiau selama kurang lebih satu hari satu malam. Saat ini aksesibilitas menuju desa dapat ditempuh lewat tiga jalur akses, yaitu jalur timur melalui Desa Baning Panjang, jalur barat melalui Desa Merpak, dan jalur utara melalui Desa Sungai Maram (Gambar 11).
Gambar 11 Akses menuju tapak
Jalur dari timur merupakan akses utama yang melewati gerbang masuk desa dari arah Desa Baning Panjang. Kondisi jalan pada jalur ini sebagian berbatu-batu besar dan beberapa bagian yang beraspal. Jalur barat merupakan jalur alternatif dari arah Desa Merpak dengan kondisi fisik jalan berbatu dan berlumpur. Pada musim hujan, jalur ini jarang digunakan karena sering tergenang air sehingga tidak dapat dilewati oleh kendaraan. Adapun jalur utara merupakan jalur alternatif dari arah Desa Sungai Maram. Jalur ini jarang digunakan oleh masyarakat yang menuju atau dari Sintang karena memiliki jarak paling jauh dibandingkan dua jalur lain. Ketiga akses masuk Desa Ensaid Panjang tersebut belum memiliki penerangan jalan sehingga perjalanan pada malam hari harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Secara umum, aksesibilitas, sirkulasi dan transportasi menuju lokasi studi belum memadai. Moda transportasi umum berupa angkutan desa dari dan menuju Desa Ensaid Panjang hanya beroperasi satu kali dalam satu hari, yaitu pagi hari sekitar pukul 08.00-09.00 WIB dengan trayek Desa Baning Panjang menuju Sintang dan sekitar pukul 14.00-15.00 WIB dengan trayek Sintang menuju Desa
(1)
94
Lampiran 2 Penilaian peran hutan
Kriteria A B C D E F
Peran Ekologi
Keanekaragaman vegetasi 2 2 2 2 2 2
Perlindungan kekayaan spesies 2 2 2 2 2 2
Penyedia air bersih dan daerah serapan air 3 1 2 1 1 1 Total 7b 5b 6b 5b 5b 5b Peran Ekonomi
Frekuensi masyarakat dalam memanfaatkan hutan
3 3 1 2 1 1
Peranan hutan bagi kehidupan 3 3 1 3 1 1
Dampak jika akses terhadap hutan dikurangi 3 3 2 3 2 2 Total 9c 9c 4a 8c 4a 4a Peran Budaya
Zonasi kawasan sakral atau situs arkeologi terkait budaya lokal
3 1 1 2 1 1
Spesies tumbuhan/ hewan yang bernilai bagi budaya lokal
3 3 2 3 2 2
Lokasi upacara adat atau aktivitas ritual 2 1 1 2 1 1 Total 8c 5b 4a 7b 4a 4a
Penilaian Seluruh Kriteria 8 7 4 7 4 4
Keterangan: a: rendah (skor 1); b: sedang (skor 2); c: tinggi (skor 3).
A: Hutan Bukit Rentap; B: Tawang Serimbak; C: Tawang Sepayan; D: Tawang Mersibung; E: Tawang Sebesai; F; Tawang Semilas.
(2)
Simbol
Faktor Kekuatan (
Strenghts
)
Tingkat
Kepentingan
Rating
S1
Hutan memiliki jasa lingkungan
Mayor
4
S2
Kesesuaian lahan untuk pertanian
Minor
3
S3
Potensi ekonomi hutan
Mayor
4
S4
Hutan memenuhi kebutuhan budaya
Mayor
4
S5
Budaya masyarakat yang terbuka
Minor
3
S6
Adanya lembaga adat
Mayor
4
S7
Lahan pertanian luas
Minor
3
Simbol
Faktor Kelemahan (
Weaknesses
)
Tingkat
Kepentingan
Rating
W1
Perubahan tata guna lahan yang tinggi
Mayor
2
W2
Integritas lanskap rendah
Minor
2
W3
Pertanian subsisten
Minor
2
W4
Variasi mata pencaharian rendah
Minor
1
W5
Hasil pertanian dan perkebunan dipengaruhi
cuaca
Mayor
1
W6
Rumah betang hampir hilang
Mayor
2
W7
Perhatian generasi muda yang rendah
Minor
2
W8
Rekam budaya rendah
Minor
1
W9
Perlindungan terhadap lanskap rendah
Mayor
1
W10
Keterbatasan hukum adat
Mayor
2
Simbol
Faktor Peluang (
Opportunities
)
Tingkat
Kepentingan
Rating
O1
Pembangunan daerah
Di atas rata-rata
3
O2
Adanya dukungan kelompok peduli
lingkungan
Rata-rata
2
O3
LSM yang memberdayakan masyarakat lokal
Di atas rata-rata
3
O4
Adanya perhatian dari pemerhati budaya
Rata-rata
2
O5
Perkembangan teknologi
Rendah
1
O6
Otonomi daerah
Di atas rata-rata
3
Simbol
Faktor Ancaman (
Threats
)
Tingkat
Kepentingan
Rating
T1
Perkebunan monokultur
Tinggi
4
T2
Pelanggaran dari pihak luar
Rata-rata
2
T3
Perbedaan batas desa berpotensi konflik
Rendah
1
T4
Harga hasil perkebunan karet tidak stabil
Di atas rata-rata
3
(3)
96
Lampiran 4 Pembobotan faktor strategis internal dan eksternal
Pembobotan faktor strategis internal
Simbol
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
W1
W2
W3
W4
W5
W6
W7
W8
W9
W10
total
bobot
rating
skor
S1
2
2
2
2
3
3
2
2
3
3
2
1
2
2
3
1
35
0,06
4
0,26
S2
2
2
2
1
2
2
1
2
1
2
1
1
1
1
1
2
24
0,04
3
0,13
S3
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
1
1
1
1
1
2
28
0,05
4
0,21
S4
2
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
2
2
1
2
2
29
0,05
4
0,21
S5
2
3
2
2
2
3
3
2
3
2
2
2
2
2
2
1
35
0,06
3
0,19
S6
1
2
2
2
2
3
2
3
2
2
2
3
2
2
1
1
32
0,06
4
0,24
S7
1
2
2
2
1
1
2
2
2
1
1
1
2
1
1
2
24
0,04
3
0,13
W1
2
3
1
3
1
2
2
3
2
2
1
1
1
1
1
2
28
0,05
2
0,10
W2
2
2
2
3
2
1
2
1
2
2
1
1
2
1
1
1
26
0,05
2
0,10
W3
1
3
2
2
1
2
2
2
2
2
1
2
2
1
1
2
28
0,05
2
0,10
W4
1
2
2
2
2
2
3
2
2
2
1
1
1
2
3
2
30
0,06
1
0,06
W5
2
3
2
2
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2
2
1
37
0,07
1
0,07
W6
3
3
3
2
2
1
3
3
3
2
3
2
2
2
3
2
39
0,07
2
0,14
W7
2
3
3
2
2
2
2
3
2
2
3
2
2
2
1
2
35
0,06
2
0,13
W8
2
4
4
3
2
2
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
41
0,08
1
0,08
W9
1
1
3
2
2
3
3
3
3
3
1
2
1
3
2
2
35
0,06
1
0,06
W10
3
2
2
2
3
3
2
2
3
2
2
3
2
2
2
2
37
0,07
2
0,14
(4)
97
O3
2
2
2
2
2
3
2
2
3
20
0,11
3
0,33
O4
2
2
2
2
2
2
3
3
3
21
0,12
2
0,23
O5
1
2
2
2
1
1
2
2
1
14
0,08
1
0,08
O6
3
1
2
2
3
2
2
2
2
19
0,11
3
0,32
T1
2
1
1
2
3
2
2
3
1
17
0,09
4
0,38
T2
3
2
2
1
2
2
2
2
2
18
0,10
2
0,20
T3
3
3
2
1
2
2
1
2
2
18
0,10
1
0,10
T4
1
3
1
1
3
2
3
2
2
18
0,10
3
0,30
(5)
98
Lampiran 5 Matriks SWOT
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (Strengths–S) 1. Hutan memiliki jasa lingkungan
2. Lahan sesuai untuk pertanian dataran rendah 3. Potensi ekonomi hutan tinggi
4. Hutan memenuhi kebutuhan budaya 5. Budaya masyarakat terbuka
6. Adanya lembaga adat 7. Lahan pertanian luas
Kelemahan (Weaknesses–W) 1. Perubahan tata guna lahan tinggi
2. Integritas lanskap rendah 3. Pertanian subsisten
4. Variasi mata pencaharian rendah
5. Hasil pertanian dan perkebunan tergantung kondisi alam
6. Rumah betang hampir hilang 7. Perhatian generasi muda rendah 8. Rekam budaya rendah
9. Belum ada perlindungan sekitar cagar budaya 10. Keterbatasan hukum adat
Peluang (Opportunities–O) 1. Pembangunan memudahkan akses dan
sirkulasi
2. Adanya dukungan kelompok peduli lingkungan
3. Adanya LSM yang memberdayakan masyarakat
4. Adanya perhatian pemerhati budaya 5. Perkembangan teknologi
6. Otonomi daerah
Strategi SO
1. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar pihak terkait
Strategi WO
2. Menetapkan status hukum kawasan hutan adat sebagai bentuk perlindungan hutan secara legal
Ancaman (Threats–T) 1. Perkebunan monokultur di sekitar desa 2. Pelanggaran dari pihak luar
3. Perbedaan batas desa berpotensi konflik 4. Harga hasil perkebunan tidak stabil
Strategi ST 3. Diversifikasi pendapatan dengan
memanfaatkan sumber daya hutan dan potensi kawasan secara berkelanjutan
Strategi WT 4. Menetapkan zonasi pengelolaan untuk
(6)