gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan kembali selama
20-25 tahun. Masyarakat Dayak percaya bahwa tanah hutan yang lama tidak digunakan untuk bercocok tanam akan subur. Selain itu tanah yang lama
ditinggalkan akan menjadi hutan sehingga tidak perlu diperlakukan secara intensif karena rumput yang tumbuh tidak banyak Weintre, 2004.
Sistem ladang berpindah biasanya digabungkan dengan sistem agroforestri hutan multikultur dimana ladang yang ditinggalkan ditanami berbagai pohon
yang dapat terintegrasi pada ekosistem hutan. Pembukaan lahan yang teratur mendorong terbentuknya mozaik-mozaik lahan berdasarkan umur suksesi dan
keanekaragaman hayati yang beragam. Lahan yang heterogen menyimpan kekayaan hayati, mengawetkan tanah dan melindungi kualitas air. Hal ini
bertujuan untuk melindungi tanah, sungai dan hutan yang merupakan tiga elemen terpenting yang mencirikan kehidupan Dayak Bamba, 2000.
Keterikatan masyarakat Dayak terhadap elemen tanah, sungai dan hutan dapat terlihat dari pemilihan lahan permukiman rumah betang atau rumah
panjang. Pada masa lalu masyarakat Dayak Desa yang tersebar di beberapa dusun di Kecamatan Kelam Permai Gambar 3 masih mendiami rumah betang. Seiring
perkembangan zaman dan tekanan lingkungan, mereka mulai meninggalkan rumah betang dan hidup di rumah-rumah tunggal. Rumah betang yang
ditinggalkan dan dibiarkan tidak dirawat lama-kelamaan menjadi rusak sehingga budaya kehidupan betang semakin terancam.
Gambar 3 Peta prakiraan penyebaran Sub Suku Dayak di Kecamatan Kelam
Permai Sumber: PRCF Indonesia, 2008 Menurut Santoso 2008, permukiman rumah betang Dayak Desa dipilih
berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu terletak di tepi sungai namun tidak terletak di antara 2 buah muara sungai, lahan sekitar harus subur, dan bukan
merupakan bekas kuburan. Pada masa lalu Dayak Desa melakukan perladangan berpindah, namun seiring waktu dan berkurangnya lahan, perladangan berpindah
tidak dipraktekkan. Saat ini Dayak Desa mengoptimalkan lahan mereka menjadi kebun karet yang berperan dalam peningkatan ekonomi keluarga. Kegiatan
pertanian tetap dilakukan untuk subsisten atau bertahan hidup.
2.4 Pengelolaan Lanskap Budaya Berkelanjutan
Lanskap maupun budaya merupakan hal yang dinamis, selalu berubah, dan perubahan tersebut dapat terjadi dengan sangat cepat maupun lambat sehingga
dinamika keduanya perlu dipelajari agar arah perubahan dapat diprediksi. Prinsip- prinsip dalam menuju masyarakat yang berkelanjutan adalah 1 menghormati dan
memelihara komunitas kehidupan, 2 memperbaiki kualitas hidup manusia, 3 melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, meliputi melestarikan sistem-
sistem penunjang kehidupan, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menjamin agar penggunaan sumber-sumber daya yang dapat diperbaharui berkelanjutan, 4
menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak terbarukan, 5 tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, 6 mengubah sikap dan gaya hidup
orang per orang, 7 mendukung kreatifitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sendiri, 8 menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan
upaya pembangunan dan pelestarian, dan 9 menciptakan kerja sama global Bumi Wahana, 1993.
Pendekatan ekologi lanskap dapat membantu dalam menghubungkan perbedaan yang samar antar situs, lokasi, dan lanskap. Hal ini diharapkan dapat
memudahkan para ahli dalam membuat pedoman, ukuran, dan model pelestarian lanskap budaya Haber, 1995. Melalui ekologi lanskap, pengelola hutan dan
perencana lanskap dapat memperkuat sinergi dan merancang strategi jangka panjang dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya lanskap hutan. Ekologi
lanskap harus dipertimbangkan sebagai cara untuk mengintegrasikan ekologi manusia dan perilaku manusia ke dalam konteks yang lebih luas, seperti pola dan
proses dalam skala lanskap, namun juga kondisi skala global dan dampaknya. Aplikasi dari prinsip ekologi lanskap dapat menjadi aset dalam menciptakan
mosaik lanskap yang seimbang dan self-sustaining untuk memberikan jasa dan barang bagi komunitas lokal pada khususnya dan populasi global pada umumnya
Lafortezza dan Sanesi, 2008.
Kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang
dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pelestarian
lanskap sejarah dan budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah
terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keadaannya dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan juga suatu
kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan hanya untuk melestarikannya, tetapi terutama untuk menjadi alat dalam mengolah
transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut.
Tujuan pelestarian lanskap terkait dengan aspek budaya dan sejarah secara lebih spesifik adalah untuk mempertahankan warisan budayasejarah yang
memiliki karakter spesifik suatu kawasan, menjamin terwujudnya ragam dan