Tatanan Lanskap Budaya Analisis Kondisi Budaya dan Spiritual Masyarakat Dayak Desa

sawit dianggap mengancam budaya karena menggunakan pupuk dan pestisida sintetik serta mengkonversi lahan hutan secara luas Gambar 32 Tatanan lanskap di lokasi studi tahun 2013 Berdasarkan informasi budaya, diperoleh peta zonasi budaya Dayak Desa di Desa Ensaid Panjang Gambar 33. Kawasan permukiman tradisional rumah betang dan kawasan hutan termasuk dalam zona budaya tinggi. Rumah betang merupakan pusat aktivitas budaya Dayak Desa. Banyak kegiatan sehari-hari maupun ritual yang dilakukan di dalam dan lingkungan sekitarnya. Adapun semua kawasan hutan dinilai penting karena rumah betang tergantung pada hasil hutan. Lahan pertanian, semak, dan perkebunan karet dikategorikan dalam zona budaya sedang karena kehidupan masyarakat di betang tergantung dari kegiatan pada kawasan tersebut. Adapun perkebunan kelapa sawit dalam kategori rendah karena perkebunan sawit dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal. Gambar 33 Zonasi budaya Desa Ensaid Panjang

4.4 Intervensi Kebijakan Pemerintah terhadap Lanskap Budaya Dayak

Desa Pemerintah memiliki andil besar dalam perubahan dan pengalihfungsian lahan. Sistem sentralisasi pada masa orde baru mengatur pengelolaan sumber daya hutan berdasarkan Undang-Undang UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing PMA. Kedua UU ini membuka kesempatan bagi investor luar negeri untuk masuk ke sektor kehutanan namun masyarakat sekitar hutan hanya diperbolehkan memungut hasil hutan non kayu untuk kepentingan sendiri. Hal ini menyebabkan peran dan partisipasi masyarakat dalam Hak Pengusahaan Hutan HPH sangat kecil Yasmi et al, 2005. Setelah era orde baru berakhir, UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh UU No.5 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.. UU ini menekankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat dan keadilan sosial dalam mengelola potensi dan keberagaman daerah sesuai pasal 18 UUD 1945. Perubahan ini diikuti oleh Peraturan Pemerintah PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Otonom. PP tersebut memungkinkan penyerahan wewenang kepada daerah dalam melakukan pengelolaan sumber daya daerah secara otonomi. Pemerintah daerah lebih leluasa memberikan perizinan bagi perusahaan besar sehingga banyak terjadi perubahan lahan. Pada dari tahun 2001 sampai 2013 perubahan lahan cukup pesat. Perubahan lahan menjadi kebun sawit meningkat pesat sebesar 26, sedangkan luasan semak dan kebun menurun sementara luasan hutan menurun secara signifikan Gambar 34. Gambar 34 Persentase perubahan lahan Desa Ensaid Panjang 1991-2013 Saat ini Desa Ensaid Panjang telah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata oleh pemerintah berdasarkan Instruksi Presiden Inpres No. 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2005 dan melalui Keputusan Direktur Jendral Pengembangan Destinasi Pariwisata No.08KEPDPDPI2013 tanggal 3 Januari 2013 tentang Penetapan Desa Wisata Penerima PNPM Mandiri Pariwisata Tahun Anggaran 2013. Kegiatan wisata mempengaruhi aktivitas warga di rumah betang. Di satu sisi kegiatan wisata sangat baik karena bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat secara ekonomi lewat peluang lapangan pekerjaan baru; namun di sisi lain, pekerjaan bidang jasa wisata kurang dilirik oleh masyarakat setempat karena dianggap kurang cocok dengan budaya leluhur yang mengajarkan untuk beramah tamah dan menjamu tamu yang mengunjungi betang dengan sepenuh hati dan ikhlas tanpa imbalan materi. Selama ini masyarakat tidak menentukan tarif menginap, biaya makan, atau biaya pemandu perjalanan meski pada kenyataannya imbalan atas jasa sangat diperlukan untuk mengganti waktu berladang yang digunakan untuk menjamu tamu. Hal ini menyebabkan pendapatan yang diperoleh dari bidang pariwisata tidak menentu sehingga mayoritas masyarakat lebih memilih melakukan pekerjaan sehari-hari dengan pertimbangan penghasilan yang jelas. Pemerintah Daerah berupaya melindungi cagar budaya lewat Keputusan Bupati Sintang No.114 Tahun 2010 tentang penetapan rumah betang Ensaid Panjang sebagai salah satu cagar budaya yang dilindungi. Hal ini merupakan hal positif namun perlindungan cagar budaya tanpa perlindungan lanskap budaya tidak cukup karena keberlanjutan cagar budaya perlu dukungan dari lanskap di sekitarnya, terlebih mengingat rumah betang merupakan cagar budaya yang sangat tergantung dengan lanskap hutan yang menyediakan sumber daya bagi rumah betang dan kehidupan penghuninya Pada tahun 2000, pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.259KPTS-II tahun 2000 menetapkan hutan Bukit Rentap sebagai Hutan Lindung. Pada tahun 2008, pemerintah memberikan kesempatan perubahan status hutan adat menjadi hutan desa yang memiliki status hukum lewat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa. Atas dasar ini, pada tahun 2014, hutan Bukit Rentap ditetapkan sebagai hutan desa milik Desa Ensaid Panjang atas pendampingan oleh PRCF. Status hukum hutan adat lain belum diakui oleh pemerintah dan masih berstatus Area Penggunaan 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 1991 2001 2013 P e r se n ta se Semak dan Kebun karet Hutan Rawa Pemukiman Sawah Hutan perbukitan Lain APL sehingga perubahan lahan hutan adat untuk peruntukan lain sulit dicegah, berdampak pada lingkungan, perekonomian, dan sosial budaya masyarakat di sekitar perusahaan. Kegiatan pengelolaan wisata dan perlindungan cagar budaya memerlukan wilayah kelola yang jelas. Batas desa di lokasi studi tumpang tindih antara administrasi negara dan kesepakatan masyarakat setempat. Berdasarkan RTRW kawasan Desa Ensaid Panjang memiliki luas 4905,75 ha sedangkan berdasarkan kesepakatan masyarakat adat, Desa Ensaid Panjang meliputi wilayah seluas 2960,69 ha selisih seluas 1945,06 ha. Wilayah administratif yang luas dan berkekuatan hukum memiliki potensi pengembangan dan pengelolaan yang besar bagi kepentingan masyarakat, namun kesepakatan adat mengenai batas wilayah perlu perhatian karena berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat Desa Ensaid Panjang dan desa-desa di sekitarnya.

4.5 Karakterisasi Lanskap Budaya Dayak Desa Ensaid Panjang

Tatanan lanskap budaya Dayak Desa Gambar 35 terbentuk sebagai hasil interaksi masyarakat Dayak Desa dengan alam dan lingkungan. Tatanan tersebut menyerupai mozaik lanskap dayak yang ditemukan di DAS Mendalam tipe D Arifin et al, 2009 dimana permukiman rumah betang menghadap sungai, dekat dengan ladang, dikelilingi kebun karet rakyat dan hutan. Karakter lanskap ini dipengaruhi oleh aspek ekologi atau sumber daya alam, kondisi sosial-ekonomi, dan aspek spiritual-budaya yang khas. Aspek ekologi terdiri dari jenis tanah, topografi, hidrologi, iklim, vegetasi dan satwa serta pola penggunaan lahan. Aspek sosial ekonomi mencakup kependudukan, sistem mata pencaharian, dan infrastruktur. Aspek spiritual budaya terdiri dari unsur sejarah, kepercayaan, dan budaya masyarakat adat. Selain itu, faktor luar berupa intervensi kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting. Jenis tanah aluvial merupakan jenis tanah dataran rendah yang subur dan cocok untuk pertanian sawah dan palawija sedangkan jenis tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah dengan tingkat kesuburan sedang yang umum ditemukan pada wilayah pada ketinggian antara 50 – 350 mdpl yang datar sampai agak landai. Baik jenis tanah aluvial maupun podsolik merah kuning sangat peka terhadap erosi sehingga pengelolaan yang memperhatian keterkaitan antara tanah dan air perlu dilakukan. Bentuk lahan landform yang menyusun topografi di lokasi studi relatif datar, kecuali pada daerah Bukit Rentap. Pencegahan erosi pada lahan yang curam perlu diperhatikan karena air hujan akan mudah hilang pada topografi landai hingga curam namun menggenang pada permukaan yang cekung atau datar. Kecepatan tanah menyerap air dan mengalami erosi berkaitan erat dengan keberadaan vegetasi yang memperkuat struktur tanah dan menyerap air. Pada lokasi studi, hutan di kawasan bukit dan tawang dilindungi sebagai bentuk kesadaran masyarakat akan peran hutan yang menyediakan hasil hutan, air bersih dan mencegah banjir. Di masa lalu bagian bukit yang cekung digunakan untuk perladangan, namun seiring kesadaran akan lahan hutan yang berkurang mempengaruhi ketersediaan air tanah, bukit tidak lagi digunakan sebagai lahan pertanian.