konsumen untuk memihak dan memberikan dukungan atas eksistensi budaya setempat Swanwick, 2002.
4.8.3 Penetapan Status Hukum Hutan Adat
Strategi ini termasuk dalam strategi WO yang bertujuan mengatasi kelemahan yang ada terutama keterbatasan hukum adat dan perubahan tata guna
lahan yang tinggi dengan memanfaatkan dari peluang yang ada terutama otonomi daerah. Hutan dengan status hukum yang jelas dari pemerintah dapat
mengurangi ancaman degradasi luasan hutan akibat perubahan tata guna lahan. Perlindungan hutan dengan mengajukan perubahan status legal hutan dari APL
menjadi hutan adat atau hutan desa yang diakui negara secara tidak langsung dapat mengurangi konflik dengan pengusaha, menguatkan fungsi hukum adat,
meningkatkan integritas lanskap yang hampir hilang, serta mengembalikan fungsi hutan atau perbaikan lingkungan.
Status hutan adat dapat diajukan sebagai kawasan kelola hutan adat. Berdasarkan revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah
hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengelolaan hutan adat berada di tangan masyarakat adat sedangkan kewenangan negara dibatasi oleh isi
wewenang yang tercakup dalam hukum adat. Dalam mengajukan status hutan sebagai hutan adat, masyarakat perlu membuktikan keberadaan masyarakat adat
terlebih dahulu. Bukti keberadaan masyarakat adat diteliti oleh tim ahli yang ditetapkan oleh pemerintah, berupa keanggotaan, kelembagaan, wilayah adat,
aturan adat, sejarah setempat, dan pemungutan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Jika keberadaan masyarakat adat terbukti maka masyarakat adat yang
telah diakui Pemda harus menyusun rencana pengelolaan hutan adat dengan terlebih dahulu meneliti potensi dan fungsi hutan, luas kawasan, potensi dan jenis
tanah hutan, serta karakteristik hutan adat. Jika hutan adat telah dikukuhkan oleh Pemda dan disetujui oleh Menteri Kehutanan, masyarakat memperoleh hak
melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Status alternatif lain yang dapat diusahakan adalah status hutan desa. Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan desa adalah hutan
negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dalam mengajukan status legal hutan, masyarakat perlu mendapatkan
pendampingan hukum dari LSM diperlukan yang meliputi studi dokumentasi kesiapan masyarakat, identifikasi kawasan, pembentukan lembaga pengelola
hutan desa, advokasi kebijakan, workshop pengelolaan hutan desa, penyusunan rencana kerja hutan desa dan penyusunan Peraturan Desa perdes lembaga
pengelola hutan desa. Menurut Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2005 tentang Desa, perdes adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala
Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa BPD. Perdes berlaku di wilayah desa tertentu sebagai pedoman bagi semua pihak terkait dalam penyelenggaraan
kegiatan desa, sebagai acuan dalam pengendalian dan pengawasan, serta menjadi dasar hukuman atau sanksi. Perdes memiliki jenis beragam yang ditetapkan dan
disusun berdasarkan kebutuhan desa. Perdes yang perlu dirancang dalam konsep pengelolaan lanskap berbasis hutan di Desa Ensaid Panjang adalah mengenai tata
ruang dan peruntukan lahan, serta rencana pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lanskap budaya Dayak Desa.
Perdes yang tegas dan disosialisasikan dengan luas kepada berbagai pihak terkait menjadi strategi penting dalam mengurangi penyimpangan dan membuat tujuan
pembangunan desa menjadi terukur dan terarah
4.8.4 Penetapan zonasi pengelolaan
Pada lokasi studi, kelemahan dan ancaman umumnya terkait masalah tata guna lahan, sehingga perlu dilakukan strategi WT yang bertujuan meminimalisir
kelemahan dan mencegah ancaman. Pembuatan zonasi tata ruang merupakan bentuk salah satu upaya perlindungan yang efektif dalam mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan dan penetapan zonasi harus dilakukan secara terpadu dengan mempertimbangkan lingkungan, sosial dan
budaya masyarakat.
Peta zonasi pengelolaan Gambar 47 diperoleh dari overlay antara peta biofisik, peta tata guna lahan, dan peta karakteristik lanskap budaya Dayak Desa.
Rencana pengelolaan yang diusulkan di lokasi studi terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan. Dalam hal ini, batas kawasan
yang digunakan adalah gabungan dari batas adat dan batas administrasi.
Gambar 47 Peta rencana pengelolaan lanskap budaya di lokasi studi Zona inti berfungsi untuk melindungi karakter lanskap. Zona ini meliputi
kawasan yang memiliki karakteristik kunci bagi lanskap budaya Dayak Desa, yaitu kawasan rumah betang, hutan, dan sungai. Semua zona inti termasuk dalam
wilayah adat, kecuali beberapa tempat seperti sungai dan sedikit bagian hutan di Bukit Rentap. Wilayah adat yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Baning
Panjang dan Desa Sungai Maram dimasukkan ke dalam zona inti dan zona penyangga dengan pertimbangan batas adat telah disepakati oleh desa di
sekitarnya. Oleh karena itu kerja sama dan koordinasi yang baik antara Desa
Ensaid Panjang dengan desa-desa lain yang bertetangga langsung dengan Desa Ensaid Panjang perlu dilakukan, terutama untuk mempertahankan wilayah hutan
di Bukit Rentap yang terletak di perbatasan desa.
Zona inti dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian serta sebagai objek wisata budaya. Konsep wisata berbasis hutan yang diusulkan
adalah desa hutan dengan harapan dapat menonjolkan peran hutan terhadap budaya sehingga dapat melindungi keberadaan hutan yang masih ada yang
merupakan bagian penting desa. Perubahan dan perbaikan pada zona ini harus dicatat secara jelas dan segera dilaporkan kepada pemerintah.
Zona penyangga berfungsi untuk menyangga atau melindungi zona inti dari tekanan yang berasal dari luar kawasan inti. Zona penyangga ditentukan dari
penilaian berkategori sedang pada wilayah di dalam batas adat. Selain itu zona penyangga mengelilingi zona inti. Jarak zona penyangga adalah 100 meter dari
tepi zona inti yang berbentuk patch Bell dan Apostol, 2008 dan 50 meter dari kiri dan kanan zona inti berbentuk corridor PP No.38 Tahun 2011 tentang
Sungai. Di luar batas adat terdapat zona penyangga yang mengelilingi zona inti. Pada zona penyangga diharapkan tidak ada penambahan permukiman atau
perkebunan monokultur sehingga kondisi zona penyangga tetap terjaga sebagai kawasan pendukung zona inti.
Adapun zona pengembangan merupakan zona yang dialokasikan untuk mendukung keberadaan, fungsi, dan aktivitas pada zona inti. Zona ini meliputi
wilayah administrasi Desa Ensaid Panjang namun di luar batas adat. Terdapat beberapa tempat lain di dalam kawasan adat yang termasuk ke dalam zona
pengembangan yaitu permukiman dan perkebunan kelapa sawit. Permukiman dan perkebunan sawit di dalam batas kawasan adat harus dijaga dan dikendalikan agar
perubahan tidak meluas. Adapun zona pengembangan di luar wilayah adat dapat dikembangkan untuk permukiman, pembangunan fasilitas dan infrastruktur
umum, kegiatan reboisasi, perluasan lahan pertanian, lokasi pengembangan wisata welcome area, outbond camping ground, kegiatan komersil pusat suvenir,
galeri seni, dan sebagainya. Perencanaan dan desain pembangunan di zona ini harus disesuaikan dengan karakter budaya Dayak Desa agar memperkuat karakter
lanskap budaya.
Pendekatan pengelolaan dapat dilakukan dengan menjalankan sistem insentif dan disinsentif. Masyarakat dan pemilik lahan yang telah melakukan
kewajiban dalam melindungi cagar budaya diberikan dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain yang bersifat non-dana dari pemerintah untuk
mendorong perlestarian cagar budaya. Insentif dapat juga berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan danatau pajak penghasilan oleh pemerintah kepada
pihak yang telah melakukan perlindungan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Adapun sistem
disinsentif bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada kawasan lanskap budaya. Disinsentif diberikan kepada masyarakat dalam bentuk
pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan infrastruktur, danatau pengenaan kompensasi dan penalti Kinanti dan Maarif, 2013.