122
a b
Gambar 41 Sumber air tawar di Pulau Kaledupa : a. Sumur gali di Desa Balasuna yang letaknya berbatasan dengan zona mangrove terluar arah darat,
dan tetap berair baik pada musim kemarau maupun musim hujan, b. Contoh sungai kecil di Pulau Kaledupa yang hanya berair pada
musim hujan. Foto diambil saat penelitian lapangan.
Kondisi topografi Pulau Kaledupa yang umumnya datar hingga curam, dan banyaknya lahan pertanian di pulau ini, maka sumber pelumpuran di pantai Pulau
Kaledupa relatif besar, baik yang berasal dari erosi lahan pertanian oleh air hujan, maupun pelumpuran yang dibawa oleh sungai-sungai kecil yang ada. Kondisi ini
akan berpengaruh pada subtrat pantai yang umumnya berlumpur agak dalam.
b. Pulau Derawa
Luas Pulau Derawa adalah 397,7 Ha atau 3,98 Km
2
. Kondisi daratan Pulau Derawa berbatu dan berpasir dengan ketinggian daratan mencapai ± 100 m diatas
permukaan laut. Gelombang laut di Pulau Derawa tergantung pada musim, yang secara umum relatif sama pada pulau-pulau lain di kawasan Taman Nasional
Wakatobi. Letak pulau yang relatif terbuka, sehingga baik pada musim timur maupun barat, angin bertiup sangat kencang dan gelombang laut sangat kuat.
Jumlah penduduk di Pulau Derawa pada tahun 2006 sekitar 605 jiwa, yang tersebar di dua dusun yaitu Dusun Horuso dan Dusun Watukiola dengan
pencaharian utama sebagai petani rumput laut dan nelayan. Sumber air tawar di Pulau Derawa hanya bersumber dari air hujan. Indikasi
ini dapat diketahui bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan
123 sungai, baik kecil maupun besar. Hampir semua rumah penduduk di pulau ini,
mempunyai bak penampungan air hujan Gambar 42 untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu musim kemarau penduduk yang
tinggal di Pulau Derawa mengambil air tawar dari daerah tetangga, bahkan sampai kedaratan Pulau Kaledupa.
Kondisi topografi wilayah daratan Pulau Derawa yang umumnya berbatu dan tidak adanya sungai, maka sumber pelumpuran di pantai Pulau Derawa relatif
kecil. Sumber pelumpuran hanya dari aliran permukaan runoff lahan pertanian oleh air hujan dan sumber pelumpuran dari arus laut. Tipe substrat pantai Pulau
Derawa umumnya substrat berpasir, pasir berlumpur tipis, dan pasir berbatu.
Gbr. 42 Bak penampungan air hujan masyarakat di Pulau Derawa. Semakin tinggi status ekonomi masyarakat, ukuran bak semakin besar,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan air besih sampai musim kemarau.
c. Pulau Hoga
Luas Pulau Hoga adalah 440,144 ha atau 4,40 Km
2
. Kondisi daratan Pulau Hoga berbatu dan berpasir putih. Gelombang laut di pulau ini secara umum relatif
sama pada pulau-pulau lain di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Letak pulau
124 yang relatif terbuka, sehingga baik pada musim timur maupun barat, angin
bertiup sangat kencang dan gelombang laut sangat kuat. Pulau Hoga secara umum merupakan pulau yang tidak berpenghuni.
Keberadaan masyarakat di pulau ini terkait dengan aktivitas pariwisata, baik dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sumber air tawar di Pulau Hoga hanya bersumber dari air hujan, ini terbukti bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik
kecil maupun besar. Kebutuhan air tawar untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi para wisatawan baik pada musim
hujan maupun musim kemarau didatangkan dari daerah tetangga, umumnya dari daratan Pulau Kaledupa.
Kondisi wilayah daratan Pulau Hoga berbatu dan berpasir putih, dan dengan tidak adanya sungai serta lahan pertanian, maka sumber pelumpuran di pulau ini
sangat kecil. Pelumpuran yang ada terutama karena terbawa arus laut dari luar pulau. Tipe substrat pantai Pulau Hoga umumnya berpasir putih, dan pasir
berbatu. Karakteristik lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove
setiap pulau cukup bervariasi. Ukuran pulau yang paling luas ditemukan di Pulau Kaledupa, dan yang paling kecil ditemukan di Pulau Derawa. Ukuran luas pulau
tidak secara langsung berhubungan dengan jumlah area yang dapat ditumbuhi mangrove, misalnya ukuran Pulau Hoga lebih besar dari Pulau Derawa, namun
demikian komunitas mangrove di Pulau Hoga hanya ditemukan pada satu tempat, sedangkan pada Pulau Derawa komunitas mangrove dapat ditemukan pada
beberapa tempat Gambar 38. Faktor-faktor yang diduga menjadi faktor pembeda penyebaran komunitas mangrove diantara pulau tersebut adalah faktor
gelombang, pelumpuran dan sumber air tawar Chapman 1976; Soekardjo 1993. Mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah yang memiliki perlindungan
terhadap hempasan ombak yang keras. Ombak di sekitar Pulau Kaledupa relatif lebih kecil, baik pada musim timur maupun musim barat dibanding dengan ombak
yang terjadi di Pulau Derawa dan Pulau Hoga. Letak topografis Pulau Kaledupa terlindung oleh beberapa pulau yang ada disekitarnya dan oleh Atol Kaledupa.
125 Mangrove dapat tumbuh pada substrat pasir, pecahan karang dan substrat
berbatu Ding Hou 1958; Kint 1934, tetapi sebagian besar vegetasi mangrove tumbuh baik pada tanah berlumpur Chapman 1976. Di lokasi penelitian
pelumpuran yang tinggi hanya ditemukan di Pulau Kaledupa, akibat erosi lahan pertanian yang dibawa oleh air hujan dan sungai-sungai kecil yang banyak
ditemukan di pulau ini. Faktor lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove adalah input air tawar. Beberapa jenis mangrove dapat tumbuh pada
tanah dengan salinitas tinggi, tetapi secara umum mangrove akan tumbuh subur pada area yang mendapat masukkan air tawar fresh water seepage secara teratur
Soekardjo 1993. Sumber air tawar yang masuk ke dalam komunitas mangrove dalam jumlah yang cukup pada lokasi kajian, hanya ditemukan di Pulau Kaledupa.
Hal ini terbukti bahwa di pulau ini ditemukan spesies
Nypa fructicans Wurmb, yang merupakan vegetasi mangrove yang hanya dapat tumbuh apabila ada suplei air
tawar yang cukup, dan tidak ditemukan pada ke dua pulau lainnya.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan mangrove, seperti perlindungan
ombak, pelumpuran dan sumber air tawar lebih banyak ditemukan di Pulau Kaledupa. Hal inilah yang diduga menjadi faktor utama sehingga komunitas
mangrove di Pulau Kaledupa tersebar secara luas dan jumlah spesies yang terbanyak.
Distribusi spesies vegetasi mangrove telah banyak dikaji oleh para ahli misalnya; Tomlinson 1986; Ellison et al. 1999. Setiap spesies vegetasi
mangrove mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing jenis mempunyai relung niche yang khusus. Dari ketiga pulau yang dijadikan sampel
penelitian diduga memiliki karakter lingkungan khas yang berbeda, sehingga Xylocarpus spp., Lumnitzera spp., Aeguceras cornikulatum L. Blanco,
Excoecaria agallocha L., Acrostichum
spp., dan spesies Nypa fructicans Wurmb hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan spesies Osbornia octodonta F.v.M. hanya
ditemukan di Pulau Hoga. Dengan demikian keberadaan komunitas mangrove pada masing-masing pulau di Taman Nasional Wakatobi memiliki arti penting dalam kajian
ekologi. Misalnya untuk mengkaji ekologi komunitas synekology dan ekologi populasi outoekology spesies Nypa fructicans Wurmb hanya dapat dilakukan di Pulau Kaledupa,
Osbornia octodonta F.v.M., hanya dapat dilakukan di Pulau Hoga, dan spesies umum
126
seperti
Rhizophora mucronata Lamk. dan Bruguiera gymnorrhiza L. dapat dilakukan baik pada Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga. Atas dasar ini
maka k
eberadaan komunitas mangrove di Kepulauan Wakatobi perlu dijaga dari kerusakan lebih lanjut.
8. Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
Pada Tabel 44 disajikan sifat kimia dan tekstur tanah vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga. Hasil uji korelasi menunjukkan ada
hubungan yang signifikan untuk beberapa faktor lingkungan tanah. Faktor –faktor
lingkungan tanah yang mempunyai hubungan signifikan dengan pola komunitas adalah : pH, Kalium tersedia, dan Salinitas, sedangkan kandungan Bahan
Organik Tanah, Nitrogen total, fosfat tersedia dan tekstur tanah liat, debu dan pasir tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas
vegetasi mangrove di lokasi kajian. Tabel 44 Sifat kimia tanah dan tektur tanah vegetasi mangrove di Taman
Nasional Wakatobi. Pengambilan sampel dengan teknik plot ukuran 10 x 10 m, dengan jumlah plot di Pulau Kaledupa 101 plot, Derawa 35
plot dan Pulau Hoga 23 plot
Faktor abiotik tanah Pulau
Kaledupa Derawa
Hoga pH
6,15 a 7,24 b
6,11 a N-Total
0,36 a 0,41 a
0,33 a P ppm
12,51 a 14,20 a
11,52 a K me100 g
0,28 a 0,31 a
0,51 b Bahan Organik Tanah
14,73 a 16,43 a
13,75 a Salinitas ‰
15,34 a 14,36 a
6,5 b Substrat Pasir
50,46 a 48,79 a
47,32 a Substrat Debu
24,41 a 20,76 a
20,98 a Substrat Liat
25,22 a 30,46 a
31,83 a Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata p=0,05 Bahan Organik Tanah, Nitrogen total, Phospat tersedia dan tekstur tanah
tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini diduga karena tiap pola
127 komunitas mempunyai pengaruh faktor habitat dan tingkat suksesi yang berbeda.
Seperti habitat mangrove keadaan pasang-surut genangan air laut secara periodik mempengaruhi ketersediaan unsur hara.
Pada penelitian ini pH tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai pH yang tertinggi ditemukan di
Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai pH di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Nilai pH cukup
penting, karena berpengaruh pada kandungan hara tanah, yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan tumbuhan.
Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukkan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk. Kerapatan vegetasi ikut mempengaruhi
temperatur tanah. Untuk daerah yang temperatur tanahnya berfluktuasi sangat tinggi, fiksasi K juga berubah-rubah. Makin tinggi temperatur tanah, makin
sedikit ion K yang terfiksasi. Nilai Kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai Nilai Kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong
rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah
dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi
mangrove. Mangrove umumnya toleran terhadap salinitas yang tinggi, dibandingkan
dengan tumbuhan non-mangrove. Namun demikian toleransi terhadap salinitas juga bervariasi diantara spesies mangrove. Sebagai contoh seedling semai
Rhizophora mucronata Lamk., tumbuh baik pada kadar salinitas air γ0‰, tetapi
Rhizophora apiculata Bl., tumbuh b aik pada kadar salinitas 15‰ Kathiresan
Thangam 1990; Kathiresan et al. 1996b. Sonneratia alba Smith tumbuh pada dearah dengan kadar salinitas antara
β‰ dan 18 ‰ , tetapi jenis Sonneratia lanceolata hanya mampu beradaptasi pada kadar salinitas sampai
β ‰ Ball and Pidsley 1995.
Secara umum mangrove lebih subur tumbuh pada kadar salinitas rendah Kathiresan et al.1996. Hasil ekperimen menujukkan bahwa pada salinitas tinggi
tumbuhan mangrove lebih banyak menggunakan energi untuk menjaga
128 keseimbangan air dan konsentrasi ion, dibandingkan untuk produktivitas primer
dan pertumbuhannya Clough l984. Di pantai Pasisifik dan Amerika tengah sumber air tawar sebagian besar dari curah hujan dan aliran permukaan atau
runoff, mempengaruhi produktivitas fenologi, pertumbuhan dan kematian jenis Avicennia bicolor Jimenez 1990. Namun demikian kadar salinitas yang rendah
akibat lamanya periode penggenangan, memberikan kontribusi kepada degradasi mangrove akibat berkurangnya sifat turgor sel dan berkurangnya respirasi sel.
Tumbuhan mangrove memiliki sifat kompetisi yang rendah dibanding tumbuhan non-mangrove pada daerah dengan salinitas rendah. Sebgai contoh di Amerika
mangrove rivarian menghilang di muara sungai Amazon dan muara sungai Orinoco dan digantikan oleh golongan tumbuhan makrofita air tawar. Kadar
salinitas yang tinggi juga berpengaruh terhadap spesies mangrove. Sebagai contoh, kadar salinitas yang tinggi mengurangi biomassa Bruguiera gymnorrhiza
Naidoo 1990, dan menyebabkan perubahan kuncup seedling jenis Rhizophora mangle Koch Snedaker 1997. Kadar salinitas tinggi menguragi ukuran luas
daun, meningkatkan tekanan osmotik daun, meningkatkan rasio luas daunberat daun dan penurunan kadar N total, K dan P Medina et al. 1995.
Hutching Saenger 1987, mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam, yaitu : 1 Sekresi garam salt extrusionsalt secretion, yaitu
flora mangrove menyerap air dengan salititas tinggi kemudian mengekresikan garam dengan dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini
dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis, Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora melalui unsur-unsur gabus pada daun, 2
Mencegah masuknya garam salt exclusion, yaitu flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan ultra filter yang terdapat
pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis, dan
Acrostichum, 3 Akumulasi garam salt accumulation. Flora mangrove sering kali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua.
Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat
menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi
129 akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia,
Rhizophora, Sonneratia, dan Xylocarpus. Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan, dapat diambil beberapa
parameter sebagai karakteristik khas ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil, dalam kasus ini pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional
Wakatobi, yaitu :
a. Kerapatan Spesies Mangrove