4
2. Kerapatan vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
3. Keanekaragaman spesies mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
4. Zonasi vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
5. Hubungan zonasi vegetasi mangrove dengan tinggi penggenagan pasang surut di pulau Kaledupa
6. Permudaan alami vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
7. Sebaran diameter batang vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
8. Kondisi umum lingkungan pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
9. Sifat kimia dan tekstur substrat vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
10. Gambaran karakteristik mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
D. Manfaat Penelitian
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai data dasar yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan program konservasi
in-situ komunitas mangrove,
penelitian, pendidikan dan pariwisata
di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi
E. Kerangka Pemikiran
Suatu ekosistem dipengaruhi oleh interaksi antara faktor biotik dan abiotik, baik pada skala ruang maupun waktu. Sebagai gugusan pulau-pulau, ekosistem
mangrove dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi akan dipengaruhi faktor- faktor biotik dan abiotik yang berlangsung pada pulau-pulau yang ada, dan akan
dipengaruhi pula oleh aktivitas masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada.
5
Pendekatan yang dipilih dalam memahami kompleksitas ekologi mangrove di Taman Nasional Wakatobi adalah dengan pendekatan analisis vegetasi dalam
rangka mengklasifikasikan berbagai karakter ekologi mangrove. Menurut Gauch 1982, dalam Ludwig dan Reynolds 1988 ada beberapa tujuan utama dalam
melakukan klasifikasi dalam ekologi, diantaranya: pertama meringkaskan data yang besar dan komplek, kedua membantu dalam membuat intepretasi berbagai
pola komunitas pada suatu lingkungan, dan ketiga memperhalus model struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah.
Muller-Dombois Ellenberg 1974 menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi adalah sebagai berikut : 1 Pada kondisi
habitat yang serupa akan ditemukan kombinasi spesies yang serupa yang berulang kehadirannya dari suatu tegakan ke tegakan lain. 2 Tidak ada tegakan atau
sampel vegetasi yang betul-betul serupa, bahkan pada tegakan yang sangat berdekatan akan memperlihatkan penyimpangan terhadap yang lainnya. Hal
tersebut akibat adanya peluang dari kejadian penyebaran spesies tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan kepunahan spesies. 3 Kumpulan spesies akan
berubah seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan, dan 4 Komposisi tegakan vegetasi bervariasi dalam sekala ruang dan waktu.
Kompleksitas ekologi vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi dapat dipahami lebih jauh dengan analisis vegetasi di kawasan tersebut. Dalam
analisis vegetasi akan diperoleh unit-unit parameter vegetasi, khususnya kelimpahan spesies, keanekaragaman spesies, sebaran diameter, dan karakter
lainnya. Selanjutnya dikaji juga hubungan pola komunitas dengan berbagai faktor abiotik. Kerangka pemecahan masalah dalam penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.
6
Use Publikasi ilmiah dan Disertasi serta
bahan perumusan kebijakan konservasi in-situ komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi
Data Dasar Ekosistem Mangrove Taman Nasional Wakatobi
Product Karakter Ekosistem Vegetasi Mangrove Taman
Nasional Wakatobi : Struktur dan Kelimpahan, Zonasi, Keanekaragaman, Regenerasi Alami dan
Faktor Abiotik Komunitas Mangrove
Koleksi Herbarium Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi
Methodology Survei Teknik Sampling Vegetasi
dan Faktor Abiotik
Research and Development
Analisis Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi Gambar 1 Road map penelitian karakter ekosistem vegetasi mangrove pada
pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
II. TINJAUAN PUSTAKA