64 propagul yang jauh lebih panjang, lebih besar, dan lebih berat dibandingkan
dengan propagul marga Ceriops, yang tumbuh pada daerah yang hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi, dengan tinggi penggenangan yang relatif
rendah. Hasil pengamatan pada komunitas mngrove di Teluk Kendari diketahui
bahwa panjang propagul Rhizophora spp 50 cm hingga 69 cm, diameter 1,3 mm hingga 2,2 mm dan berat 30 g hingga 160 g. Propagul Ceriops spp memiliki
panjang 17 cm hingga 31,5 cm, diameter 0,63 mm hingga 1,1 mm dan berat 13 g hingga 75 g Jamili 2006. Hasil penelitian pada komunitas mangrove di Pantai
Napabalano Kabupaten Muna provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa pola zonasi mangrove berhubungan dengan panjang dan berat propagul. Individu
yang mempunyai propagul lebih berat dan panjang akan menempati zona luar dan sebaliknya akan menempati zona yang lebih dalam Jamili 1998. Hasil ini
memperkuat temuan Rabinowiz 1978, bahwa propagul mangrove ditemukan terdistribusi dari zona surut terendah dan zona pasang tertinggi, dengan
berbanding terbalik dengan ukuran propagul. Propagul-propagul kecil akan mudah terbawa jauh sampai ke dalam pada saat pasang surut tertinggi.
Pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, ditemukan pola adaptasi perkembangbiakan alami yang unik pada marga Rhizophora. Marga ini selain
berkembang biak dengan propagul, juga mengembangkan pola adaptasi lain, yaitu dengan berkembangbiak secara vegetatif melalui percabangan. Untuk hal ini
akan diuraikan lebih lanjut pada bagian yang membahas tentang permudaan alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa.
5. Permudaan Alamiah Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa.
Analisis permudaan alami atau regenerasi alami vegetasi mangrove menggunakan parameter kerapatan semai seedling setiap plot, selanjutnya
dikonversi ke luasan hektar. Hasil perhitungan regenerasi alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa dari 3 buah transek pengamatan disajikan pada
Tabel 18, dan Lampiran 10
65 Tabel 18 Kerapatan spesies mangrove strata semai individuha di Pulau
Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot.
No Spesies
Kerapatan Semai individuha 1.
Rhizophora mucronata Lamk. 450,495
2. Rhizophora apiculata Bl.
136,634 3.
Bruguiera gymnorrhiza L. Lamk. 305,941
4. Xylocarpus granatum Koenig
22,772 5.
Sonneratia alba Smith 18,812
6. Ceriops tagal Perr. C.B. Rob.
3.644,554 7.
Ceriops decandra Griff. Ding Hou 1.736,634
8. Avicennia marina Forsk. Vierh.
205,941 Jumlah
6.521,783 Keterangan ; : spesies dengan kerapatan semai tertinggi
Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa hanya spesies Ceriops tagal Perr. C.B. Rob dan Ceriops decandra Griff. Ding Hou yang memiliki kerapatan
semai tertinggi.
Berdasarkan SK
Direktur Jenderal
Kehutanan No.
60KptsDJI1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove sylvikultur hutan payau bahwa komunitas mangrove memiliki regenerasi alami
normal apabila memiliki jumlah semai 1.000 batangha. Berdasarkan hal tersebut maka hanya spesies Ceriops tagal Perr. C.B. Rob., dan Ceriops decandra
Griff. Ding Hou memiliki regenerasi secara alami yang termasuk kategori baik. Hasil pengamatan terhadap sebaran diameter batang vegetasi mangrove di Pulau
Kaledupa, spesies Ceriops tagal Perr. C.B. Rob., dan Ceriops decandra Griff. Ding Hou, tidak ada yang masuk dalam kategori pohon Tabel 8. Ukuran
diameter terbesar spesies tersebut hanya masuk dalam kategori strata tiang dbh 10
– 19 cm. Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa Ceriops tagal Perr. C.B. Rob., dan Ceriops decandra Griff. Ding Hou., pada komunitas mangrove di
Pulau Kaledupa merupakan vegetasi mangrove yang memiliki ukuran batang relatif kecil kerdil. Pengamatan lapangan menemukan banyak spesies Ceriops
sp., dengan tinggi batang kurang dari 1 meter dan keliling pangkal batang kurang
66 dari 10 cm sudah menghasilkan buahpropagul sebagai alat perkembangbiakannya
Gambar 16. Vegetasi mangrove spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan Rhizophora
apiculata Bl., sebagai salah satu golongan mangrove utama di Pulau Kaledupa, memiliki regenerasi secara alami yang termasuk kategori tidak normal atau
rendah. Hasil pengamatan pada pada transek I dan transek II pohon induk yang telah dapat menghasilkan propagul untuk spesies Rhizophora mucronata Lamk
dan Rhizophora apiculata Bl., masing-masing memiliki kerapatan 286 individuha dan 105 individuha. Jumlah ini tergolong baik sebagaimana diatur dalam SK
Direktur Jenderal Kehutanan No. 60KptsDJI1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrovesylvikultur hutan payau, yang hanya mensyaratkan
pohon induk sebesar 40 individu per hektarnya.
Gambar 16 Spesies Ceriops
t
agal Perr. C.B. Rob., dengan ukuran keliling pangkal batang 10 cm dan tinggi 90 cm telah menghasilkan
buahpropagul sebagai alat perkembangbiakan. Foto diambil dari komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi
Provinsi Sulawesi Tenggara, pada saat penelitian dilakukan. propagul
67 Faktor utama yang menyebabkan terbatasnya jumlah semai Rhizophora
mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl.. pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa apabila dikaji secara lebih lanjut, ternyata bukan semata-mata
karena jumlah pohon induk sebagai penghasil biji propagul. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Bl. memiliki jumlah semai yang rendah. Faktor pertama terbatasnya ruang tempat tumbuh di bawah tegakan. Spesies Rhizophora memiliki sistem
perakaran yang sangat rapat Gambar 17. Dengan akar yang cukup rapat sehingga tidak ada ruang terbuka, yang memberi kesempatan propagul yang
jatuh untuk tumbuh. Kebanyakan propagul jatuh tidak sampai ke substrat atau tanah, tetapi tertahan disistem perakaran. Hal ini terbukti biji atau propagul
Rhizophora spp tumbuh menjadi semai dalam jumlah yang cukup banyak di bawah tegakan pohon induk yang mengalami gangguan, sehingga tersedia substrat
atau ruang untuk mendukung pertumbuhan semai, terutama pada bagian yang terlindung dari hempasan ombak yang kencang Gambar 18.
Gambar 17 Sistem perakaran pada spesies Rhizophora mucronata Lamk dan spesies Rhizophora apiculata Bl, yang sangat rapat menyebabkan
tidak tersedianya ruang untuk pertumbuhan propagul. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional
Wakatobi saat penelitian dilakukan.
68
Gambar 18 Semai Rhizophora spp tumbuh subur di bawah tegakan pohon induk yang mengalami gangguan akibat penebangan. Foto diambil pada
komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi saat penelitian dilakukan.
Hasil penelitian di hutan mangrove Provinsi Riau, diketahui bahwa pada hutan bekas tebangan berumur 5 tahun ditemukan permudaan alami sebanyak
3.800 semaiha Mulia, 1998, dan hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, pada komunitas yang mengalami kerusakan tinggi, permudaan alaminya mencapai
21.667 individuha Analuddin, 2002. Penelitian yang dilakukan oleh Kusmana 1994 di konsesi hutan mangrove PT Karyasa Kencana Kalimantan Timur
memberikan hasil kerapatan semai di hutan primer 27.139ha, meningkat menjadi 45.178ha pada bekas tebangan umur 5 tahun.
Faktor ombak yang kuat akibat tiupan angin yang cukup kencang, juga berpengaruh terhadap keberhasilan propagule menjadi semai. Di Pulau Kaledupa
angin dengan kecepatan 20 knotjam terjadi antara bulan Desember-Februari dan pada musim timur kecepatan angin 7-15 knotjam Dhewani et al. 2006. Adanya
ombak yang kuat akan berakibat propagul yang jatuh sering terbawa arus keluar komunitas mangrove, sebagaimana dilaporkan oleh Rabinowiz 1978, bahwa
aktivitas pasang surut mampu membawa propagul-propagul dari semua ukuran
69 dan spesies ke semua bidang zona pasang surut hingga keluar komunitas
mangrove. Faktor lain yang turut berpengaruh terhadap pertumbuhan semai mangrove
adalah tinggi penggenangan air laut pada saat pasang. Indikasi ini terlihat bahwa tidak pernah ditemukan semai Rhizophora spp yang ditemukan tumbuh pada
substrat di depan formasi terdepan Gambar 19.
Gambar 19 Substrat yang terbentuk di didepan formasi mangrove pada saat air surut tinggi dapat mencapai 600 m. Tidak ditemukan semai vegetasi
mangrove yang tumbuh pada area di depan formasi terluar arah laut. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa
Taman Nasional Wakatobi saat penelitian dilakukan.
Melalui Gambar 19 terlihat bahwa pada substrat di depan formasi mangrove ke arah laut tidak ada invasi dari semai mangrove, walaupun tipe substrat pasir
berlumpur tersebut secara umum relatif sama dengan substrat di bawah tegakan mangrove. Pada surut terendah substrat di depan formasi mangrove dapat
mencapai ± 600 m ke arah laut. Ketidakberhasilan semai mangrove menginvasi substrat di depan
depan formasi mangrove selain faktor ombak yang relatif kuat, juga akibat masih tingginya penggenangan pada saat air pasang. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa tinggi penggenangan pada formasi mangrove terdepan ke arah laut pada saat pasang tertinggi sebesar 146 cm, sementara
±600 m
70 substrat di depan formasi mangrove tinggi penggenangan, terutama pada saat
pasang tinggi rata-rata lebih besar dari 146 cm. Rendahnya tingkat regenerasi secara alami spesies Rhizophora mucronata
Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., secara teori menujukkan komunitas tersebut berada dalam fase degradasi dan dapat mengancam kelestarian spesies tersebut.
Jumlah semai yang sangat terbatas tidak akan mencukupi dalam menggantikan pohon yang mengalami kematian, baik karena usia tua, penyakit atau faktor lain.
Apabila keadaan demikian terus berlanjut, maka spesies tersebut akan digantikan oleh kehadiran spesies lain yang memiliki regenerasi alami secara baik. Untuk
menjaga eksistensinya, spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, mengembangkan
pola adaptasi yang cukup unik. Kedua spesies tersebut tidak hanya berkembang biak melalui biji propagul, tetapi juga berkembang biak secara vegetatif.
Beberapa macam perkembangbiakan tumbuhan secara vegetatif alami telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti melalui tunas, geragihstolon, akar
rimpang dan melalui daun seperti pada tumbuhan cocor bebek. Perkembangbiakan vegetatif alami pada spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Bl., menurut pendapat penulis tidak termasuk dalam salah satu kategori tersebut, dengan demikian memunculkan peluang baru untuk memberi nama
tersendiri pada model perkembangbiakan vegetatif alami kedua spesies tersebut. Hal ini cukup penting dalam pembelajaran bagi peserta didik. Untuk maksud
tersebut penulis menyebutnya perkembangbiakan vegetatif alami melalui percabangan.
Spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., pada lokasi penelitian memiliki sistem percabangan yang berkembang secara ekstensif.
Dari masing-masing cabang akan tumbuh akar pneumatophores yang awalnya berfungsi membantu mencukupi kebutuhan oksigen bagi tumbuhan aerial root.
Pada tahap selanjutnya akar ini akan berkembang menjadi akar tunjang, yang merupakan salah satu ciri khas pada Rhizophora sp., yang berfungsi untuk
memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Setelah masing-masing cabang memiliki akar tunjang dalam jumlah yang cukup
dan kuat, serta mampu memenuhi kebutuhan hara, bagian cabang yang pada
71 awalnya berhubungan dengan pohon induk, tidak lagi berfungsi mensuplai unsur
hara dari pohon induk ke bagian cabang. Akibatnya pertumbuhan terhenti dan mati. Pada tahap akhir sistem perkembangbiakan ini, cabang-cabang yang
awalnya berhubungan dengan pohon induknya, akan terpisah dan tumbuh sebagai individu baru Gambar 20.
Gambar 20 Perkembangbiakan vegetatif alami pada Rhizophora sp. Batang pada botol bekas kemasan air bagian kiri a dan kanan b berasal dari
pohon induk yang sama dan masih berhubugan melalui cabang penghubung c. Pada tahap akhir cabang penghubung c akan mati,
batang a dan b akan terpisah menjadi dua individu baru. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa pada saat
penelitian dilakukan.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sistem perkembangbiakan vegetatif pada Rhizophora sp Gambar 20 cukup efektif. Dari satu pohon induk
dapat menghasilkan lebih dari 10 individu baru dengan luasan area mencapai lebih dari 10 m persegi. Pada komunitas ini, dengan ukuran sampel plot vegetasi
ukuran 10 x 10 m, banyak plot yang hanya berisi spesies Rhizophora sp. Pola perkembangbiakan vegetatif alami pada vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa
sebagai upaya menyesuaikan terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, terutama faktor ombak yang cukup kuat dan tipe substrat di daerah ini. Cara ini juga
a
c b
72 merupakan cara yang efektif bagi perkembangan vegetasi mangrove ke arah laut.
Substrat baru yang terbentuk di depan formasi mangrove Gambar 19 akan diinvansi dengan model perkembangbiakan model ini.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu simpulan bahwa walaupun spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl pada
komunitas mangrove di Pulau Kaledupa memiliki jumlah semai yang tergolong rendah, namun dapat diprediksi bahwa keberadaan kedua spesies tersebut pada
masa yang akan datang akan tetap lestari, dengan adaptasi perkembangbiakan vegetatif alami melalui percabangan.
6. Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa