Pembahasan HARMONISASI DATA PROFIL TANAH WARISAN UNTUK PEMETAAN TANAH DIJITAL
Pada penelitian ini, data yang dimasukan telah disesuaikan dengan keperluan penelitian saja. Beberapa laporan yang didaftar di Tabel 2-1 dikerjakan pada
proyek LREP II sehingga data telah tersedia dalam basisdata. Namun, basisdata itu tidak tersimpan dengan baik.
Harmonisasi posisi pengamatan tanah ternyata juga tidak mudah karena beberapa lokasi profil tanah hanya menyebutkan lokasi secara deskriptif, seperti
“300 m arah utara dari kampung x”. Reposisi ini memang merupakan prasyarat
awal untuk penggunaan lanjutan profil tanah. Profil tanah merupakan dasar untuk berbagai keperluan dari mulai pembuatan peta tanah, penilaian site hingga
pemantauan sifat tanah. Penelitian ke depan nampaknya perlu diarahkan untuk mengembangkan teknik memposisikan kembali lokasi profil tanah yang lokasinya
dinyatakan secara deskriptif pada peta dasar yang baru. Pendekatan administrasi nampaknya memberikan peluang untuk dikembangkan terlebih lagi ada dukungan
yang baik dari peta-peta publik, seperti: Google map dan Google Earth. Masalah ketidaksesuaian geodetik dari peta asal merupakan masalah lain
yang dihadapi dalam harmonisasi data. Ini dijumpai ketika menurunkan lokasi pengamatan dari peta pengamatan. Peta-peta ini menggunakan sistem referensi
yang berbeda; yang satu menggunakan sistem grid LATLON dengan proyeksi geografis, sedangkan lainnya menggunakan sistem UTM. Selain itu, datum yang
digunakan juga beragam. Perbedaan ini menyebabkan data sulit untuk disatukan. Reproyeksi ke sistem referensi yang sama dan datum yang sama harus dilakukan
untuk memastikan data yang berasal dari sumber yang beragam bisa disatukan. 2.4.3. Fungsi spline sebagai alternatif teknik untuk standarisasi kedalaman
Penelitian ini juga menggunakan aplikasi fungsi spline untuk mengetahui sifat tanah pada kisaran kedalaman tertentu. Biasanya nilai rataan terbobot
digunakan untuk menghitung sifat kedalaman, namun belum ada perbandingan antara hasil rataan terbobot dengan hasil spline. Sebaliknya fungsi spline dapat
digunakan untuk banyak profil tanah 200 profil dan kisaran kedalaman dapat diatur sesuai keperluan tanpa merubah formula. Bishop et al. 1999 menunjukan
bahwa hasil spline mendekati nilai sebenarnya. Fungsi spline untuk standarisasi nilai sifat tanah per kelas kedalaman
pertama kali diterapkan pada tahun 1972-an Erh, 1972. Kemudian teknik ini
dimodifikasi menjadi teknik equal area spline oleh Ponce-Hernandez et al. 1982 dan dilanjutkan oleh Bishop et al. 1999 sebagai teknik equal area quadratic
spline. Teknik ini merupakan teknik baku untuk standarisasi kedalaman dalam pemetaan tanah dijital.
Aplikasi teknik ini mencakup beberapa tahapan, dimana setiap tahapan diproses oleh suatu algoritma dan program komputer. Pertama, data sifat tanah
tertentu dengan informasi kedalaman menurut horizon genetik digunakan sebagai dataset masukan. Kedua, nilai sifat tanah pada kedalaman titik tengah digunakan
sebagai data untuk membuat fungsi spline. Ketiga, persamaan dari fungsi spline ini digunakan untuk menaksir sifat tanah pada kelas kedalaman tertentu. Bishop et
al. 1999 menunjukan bahwa fungsi spline dengan lamda 0.1 cukup baik untuk mengukur sifat tanah pada kedalaman tersebut.
2.4.4 Pemanfaatan lanjutan dari dataset tanah-lanskap Penelitian ini menghasilkan informasi daerah-daerah yang tanahnya telah
diamati dan suatu dataset tanah-lanskap. Hasil ini merupakan bahan bagi kegiatan penelitian berikutnya. Beberapa bidang yang dapat memanfaatkan informasi ini
adalah i pemantauan perubahan sifat tanah dengan basisdata ini sebagai titik awal, ii pembuatan model hubungan tanah-lanskap di Jawa, iii pembuatan peta
sifat tanah taksiran di beberapa wilayah target. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan keseimbangan proses
di dalam tanah. Perubahan yang jelas adalah berubahnya jumlah pasokan bahan organik segar yang lebih banyak di lantai hutan di bandingkan di areal pertanian.
Perubahan dinamika proses ini menyebabkan perubahan status sifat tanah. Selain itu, perlakuan manusia seperti pemupukan dan penambahan bahan amelioran juga
mempengaruhi keseimbangan proses dalam tanah yang akhirnya merubah status beberapa sifat tanah.
Di Indonesia, lokasi khusus sebagai benchmark untuk melihat perubahan sifat tanah karena perlakuan manusia dan perubahan penggunaan lahan tidak ada.
Kegiatan ini selain memerlukan pengamatan sifat tanah secara rutin dan terus menerus juga memerlukan pasokan biaya yang kontinyu. Sebagai alternatif,
dataset tanah warisan bisa digunakan untuk melihat perubahan sifat tanah. Lokasi-
lokasi profil tanah yang diplot ulang pada penelitian ini bisa dikunjungi ulang dan contoh tanahnya bisa diambil kemudian dianalisis.
Ke-301 dataset yang ringkasan statistiknya disajikan pada Tabel 2-3 dan 2-4 dapat dipergunakan untuk membuat model hubungan antara sifat tanah dan
kondisi lingkungannya yang direpresentasikan oleh kovariat. Contohnya, model hubungan antara ke-12 sifat tanah Tabel 2-3 dan ke-21 kovariat yang mewakili
terain bisa dilakukan. Model-model ini selanjutnya bisa digunakan untuk membuat peta sifat tanah taksiran di lokasi target.