7.54 4.95 2.46 PENGEMBANGAN MODEL REGRESI POHON TANAH-LANSKAP

mengindikasikan bahwa teknik multiresolusi lebih baik digunakan daripada teknik lokal. Selain itu, nilai asli kovariat nampak menjelaskan lebih baik keragaman sifat tanah daripada reklasifikasinya, seperti pada kasus elevasi dan ecoregion belt. Pengelompokan merupakan upaya menghomogenkan nilai tertentu ke dalam satu kelas sehingga keragaman lokal tidak bisa dijelaskan dengan baik. Ini menandakan bahwa elevasi lebih baik sebagai kovariat untuk menjelaskan iklm mikro daripada ecoregion belt yang diusulkan oleh Mohr 1944. Galant dan Downing 2003 menggunakan indeks tingkat kerataan puncak igir MRRTF dan tingkat kerataan dasar lembah MRVBF untuk identifikasi posisi site pada suatu lereng. MRVBF menjelaskan keragaman nilai KTK, kadar fraksi klei, ketebalan horizon A, dan fraksi pasir pada 30-100 cm lebih baik daripada nilai MRRTF Tabel 4-8. Hasil ini menyiratkan bahwa teknik multiresolusi mempunyai kekhususan penggunaannya untuk sifat-sifat tanah tertentu. Tabel 4-5 hingga 4-8 juga menyajikan jumlah split dan koefisien determinan untuk menunjukan tingkat kebaikan model. Dalam pengembangan regresi pohon, jumlah split menentukan nilai koefisien determinan. Jumlah split yang banyak menyebabkan kelebihan parameter meskipun dapat memberikan nilai koefisien determinan yang tinggi. Validasi silang dapat digunakan untuk menentukan jumlah split, dimana validasi silang 10 kali lipat telah digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya adalah jumlah split dan nilai koefisien determinan R 2 yang paling optimum. Model 1 menunjukan jumlah split antara 7 sampai 24 dengan koefisien determinan 0.28 hingga 0.57. Model 2 menujukan jumlah split antara 11 sampai 22 dengan koefisien determinan 0.32 hingga 0.65. Model 3 menunjukan jumlah split antara 7 hingga 22 dengan koefisien determinan 0.29 hingga 0.68. Model 4 menunjukan jumlah split antara 7 hingga 20 dengan koefisien deteminan 0.27 hinga 0.64. Ini menunjukan bahwa model-model yang dihasilkan mempunyai jumlah split yang paling optimal untuk koefisien yang paling optimal pula. 4.3.2 Representasi model pohon tanah-lanskap Gambar 4-1 hingga 4-5 memberikan contoh diagram pohon dan bagian- bagiannya. Model pohon untuk setiap kombinasi lainnya disajikan di lampiran. Pada penelitian ini, diagram pohon telah dipilih untuk menyajikan model karena mudah diinterpretasi dan juga dapat dibaca sebagai aturan if...then...else. Diagram ini menyerupai pohon terbalik, yang tersusun atas simpul node yang dihubungkan oleh ranting. Simpul paling atas dapat dipandang sebagai akar yang menyajikan nilai rata-rata dan simpangan baku dari dataset, sedangkan simpul terakhir adalah nilai taksiran dan simpangan bakunya. Gambar 4-1 menyajikan model pohon untuk menaksir kadalaman tanah di Pulau Jawa. Untuk dataset tanah pada penelitian ini, kedalaman tanah rata-rata adalah 103.48 cm dengan simpangan baku 46.0 cm seperti ditunjukan oleh simpul paling atas. Diagram ini juga dapat diekspresikan sebagai aturan jika… maka. Sebagai contoh, perhatikan pada jalur simpul dan ranting paling kiri. Jalur ini dapat dibaca seperti aturan berikut: 1 JIKA umur lahan LA = 2, 16, 6, atau 15 DAN zone agroklimat AZ = B2 DAN bahan induk PM=SCF atau AF, MAKA kedalaman tanah=57 cm. 2 JIKA umur lahan LA = 2,16, 6, atau 15 DAN zone agroklimat AZ = B2 DAN bahan induk PM=VI atau SSC, MAKA kedalaman tanah=87.4 cm. 3 JIKA umur lahan LA = 2,16, 6, atau 15 DAN zone agroklimat AZ = C2 atau C3, MAKA kedalaman tanah=57.31 cm. Aturan yang pertama dan kedua hanya berbeda di bahan induk karena kondisi umur lahan dan agroklimat yang sama. Ini berarti bahwa perbedaan kedalaman tanah antara keduanya karena adanya perbedaan karakteristik bahan induk. Bahan induk volkan intermedier VI atau bahan kalkareous halus SSC menurunkan tanah yang lebih dalam 87.4 cm daripada batuan sedimen kasar masam SCF atau aluvial halus AF yang hanya 57 cm. Ini dapat dipahami karena bahan volkan banyak mengandung mineral-mineral yang mudah lapuk daripada batuan sedimen kasar sehingga pembentukan tanah lebih intensif. Semua 103.48 46.0 LA2,18,6,15 63.04 26.7 LA10,7,14,1,8,5,11,12,4,3,9 108.81 45.4 AZC2,C3 57.31 27.3 AZB2 72.2 24.1 AZC2,B2,B1,D3,D2 113.07 44.5 AZE,A,C3 86.84 44.5 MrRTF7.7 118.24 41.9 MrRTF7.7 96.93 48.9 PMMC,SCF,VI,AF 73.15 45.8 PMAC,MF,SFF 109.67 32.4 PMSCF,AF 57 18.0 PMVI,SSC 87.4 20.2 PMSCF,AC,SSC 54.6 39.7 PMSHC,VI,SFF,AF 112.42 39.5 MrRTF0.9 106.39 42.9 MrRTF=0.9 125.62 39.7 PMMC,SHC,SCF,MF,SSC,AF,SFF 120.43 39.3 PMVI,AC 149 33.6 MrRTF3.9 130.89 24.5 MrRTF=3.9 181.6 20.1 Elev=31 107.53 47.8 Elev31 132.15 24.9 Elev72 77.2 36.5 Elev=72 122.7 46.2 AZC2 112.2 47.5 AZB2,D3 154.2 24.3 PMSHC,SCF,MC 69 31.8 PMSSC,SFF,AF 133.8 38.9 AZB2 108.38 43.3 AZC2,D3 79.75 52.9 Gambar 4-2 menunjukan model pohon untuk menaksir kadar bahan organik tanah pada kedalaman 0-30 cm. Dari training dataset diketahui bahwa rata-rata kadar bahan organik tanah adalah 2.23 dengan simpangan baku 1.9. Elevasi merupakan peubah pemisah dataset, dimana elevasi 945 m di atas permukaan laut dpl merupakan pemisah utama kadar bahan organik tanah ini. Semua 1.29 1.1 Elev945 1.22 0.9 Elev=945 3.94 2.9 MrRTF=8.6 0.82 0.3 MrRTF8.6 1.23 0.7 LA9,4,14,5,7,15,11,18,1,8,12,10 1.18 0.6 LA2,3 2.90 1.8 AZD2,C2,C3 1.06 0.5 AZD3,E,B2 1.33 0.6 PMSCF,AF,SFF,VI,SSC,MF,SHC 1.40 0.6 PMMC,AC 0.76 0.4 AZD3 1.22 0.5 AZB2,E 1.55 0.7 PMAC,SCF,SFF,VI,MF,AF,SSC 0.98 0.4 PMSHC,VM,MC 2.06 1.0 MrRTF=7.7 0.66 0.2 MrRTF7.7 1.03 0.4 LA15,9,4,14,11,1,5,8,18 0.99 0.4 LA12 1.43 0.2 AZB2,A 0.90 0.3 AZC2 0.58 0.2 Elev467 0.83 0.3 Elev=467 1.04 0.1 AZA,D2,C2,C3,B2,D3,E 1.15 0.7 AZB1 2.57 2.5 PMSCF,SFF 1.04 0.4 PMSHC,VI 3.84 2.9 PMSFF,AC 0.73 0.2 PMSCF,SSC,VI,MF,AF 1.05 0.3 Gambar 4-2 Model regresi pohon untuk menaksir kadar bahan organik tanah pada kedalaman 0-30 cm Pada lokasi dengan elevasi lebih tinggi dari 945 m dpl, kadar bahan organik tanah diperkirakan 6.79, sedangkan pada ketinggian kurang dari 945 m dpl, kadar bahan organik tanah diperkirakan 2.1. Pada lokasi dengan elevasi yang tinggi, peubah pemisah selanjutnya adalah curah hujan. Lokasi dengan zone agroklimat B1 mempunyai bahan organik yang lebih tinggi daripada zone lainnya. Pada zone B1 ini pembeda selanjutnya adalah bahan induk dimana batuan induk kapur keras dan volkanik intermedier ditaksir akan mempunyai kadar bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan batuan sedimen masam. Gambar 4-3 menunjukan model pohon untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 0-30 cm. Elevasi merupakan pembeda utama fraksi klei, dimana daerah dengan elevasi 141 m dpl menunjukan fraksi klei lebih tinggi daripada daerah yang lebih tinggi. Untuk elevasi yang rendah, jenis batuan menjadi pembeda utama dimana bahan aluvial kasar, bahan marie kasar, dan batuan masam kasar menunjukan kadar klei yang lebih rendah. Semua 54.82 20.6 Elev=141 48.27 20.5 Elev141 59.96 19.3 PMSFF,AF,VI,VM,MF,SSC,SHC 63.42 16.7 PMMC,AC,SCF 38 20.7 MrVBF0.8 83 5.6 MrVBF=0.8 61.85 16.3 LA14,4,5,15,9,6 48.31 16.9 LA8,1,2,12,10,7 64.43 14.9 PMVI,AF,VM 61.16 15.2 PMSHC,SFF,MF,SSC 73.09 10.2 AZB1,D2,C3,B2 65 12.5 AZE,D3,C2 76.63 6.8 PMSHC,MF 72.5 5.4 PMSFF,SSC 79.1 6.5 Elev4 69.73 13.2 Elev=4 59.28 15.1 Elev93 57.61 15.3 Elev=93 71.5 5.4 LA10,12 74.8 6.7 LA7,2,1 83.4 1.8 MrVBF5.4 52.25 16.9 MrVBF=5.4 25.3 14.9 MrVBF8.7 50.34 19.9 MrVBF=8.7 31.82 17.8 Elev782 52.26 19.3 Elev=782 37.09 20.4 MrVBF0.02 38.44 23.1 MrVBF=0.02 54.12 18.1 Gambar 4-3 Model regresi pohon untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 0-30 cm Sementara itu, posisi lereng MRVBF menjadi pembeda utama dengan 8.7 sebagai titik kritis. Pada daerah lereng bawah MRVBF8.7, ketinggian tempat menjadi pembeda utama dimana daerah yang rendah elevasi 782 m dpl menunjukan fraksi klei yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang lebih tinggi. Gambar 4-4 menyajikan model pohon untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 30-50 cm. Ketinggian tempat merupakan pembeda utama, dimana daerah dengan ketinggian 152 cm menunjukan kadar fraksi klei sebesar 50 atau lebih rendah dibandingkan daerah dengan ketinggian 152 cm atau lebih. Semua 56.53 20.5 Elev=152 49.61 20.9 Elev152 61.81 18.7 MrVBF=2.9 58.38 18.0 MrVBF2.9 76.82 13.3 LA14,15,5,10 64 15.4 LA1,12,8 82.8 6.6 PMAC,MC,SCF,SFF,VI 48.24 19.4 PMAF,VM,MF,SHC,SSC 65.02 13.5 PMMF,SHC,SSC 74.08 7.9 PMAF,VM 62.65 13.8 MrVBF=5.3 64.47 13.2 MrVBF5.3 54 14.1 AZE,C2,B2 70.27 8.8 AZD2,D3 60.69 14.3 MrVBF6.9 64.06 13.3 MrVBF=6.9 48.6 11.6 AZD2 59.57 10.3 AZD3 66.91 14.7 MrVBF=6.9 26 13.2 MrVBF6.9 52.41 17.6 Elev5.9 47.76 16.9 Elev=5.9 61.27 15.9 Gambar 4-4 Model regresi pohon untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 30-50 cm Pada daerah rendah, posisi lereng merupakan pembeda selanjutnya dimana daerah yang lebih bawah yaitu MRVBF 2.9 mempunya fraksi klei lebih besar. Pada daerah ini, keragaman selanjutnya dipengaruhi oleh umur lahan. Holosen, dan Miosen berada dalam satu kelompok yang menunjukan kadar fraksi klei 83. Gambar 4-5 menunjukan model pohon untuk menjelaskan keragaman fraksi klei pada kedalaman 50-100 cm, dimana jenis batuan merupakan faktor pembeda utama. Kadar fraksi klei yang relatif rendah 36 ditunjukkan oleh bahan aluvial kasar kerikil, pasir, bahan marin kasar pasir pantai, batuan sedimen masam kasar batu pasir, serta batuan volkan mafik. Batuan ini menyebabkan kadar fraksi klei yang rendah karena memang batuan itu didominasi oleh bahan- bahan berukuran pasir yang relatif inert, kecuali untuk batuan volkan mafik. Proses pelapukan batuan mafik pada bagian bawah kurang intensif dibandingkan bagian atas sehingga fraksi kasarnya lebih dominan dibandingkan fraksi halusnya. Untuk areal-areal yang didominasi oleh batuan tersebut, intensitas curah hujan merupakan faktor yang membedakan kadar fraksi klei. Areal dengan zone agroklimat E atau C3 menunjukan kadar fraksi klei lebih rendah daripada zone D3, C2, B2, atau B1. Zone E atau C3 mempunyai curah hujan yang lebih rendah sehingga pembentukan tanah relatif tidak intensif. Semua 55.75 20.6 PMAC,MC,SCF,VM 35.64 20.3 PMSFF,AF,VI,SHC,MF,SSC 59.23 18.6 AZE,C3 10.4 8.0 AZD3,C2,B2,B1 41.13 17.8 Elev=141 35.07 15.6 Elev141 52.5 16.9 PMSCF,AC 28 11.3 PMVM 43.14 16.6 PMSFF,AF,VI 57.39 18.4 LA2,18,4,5 40.38 16.7 LA9,10,14,12,11,1,8,15,7,3 59.52 17.5 PMSHC,MF,SSC 73.88 13.9 AZB2,C3 63.6 12.9 AZD3,C2,E 77.85 12.4 MrVBF0.03 49.61 19.77 MrVBF=0.03 60.64 16.9 MrVBF=0.6 58.70 16.4 MrVBF0.6 74.64 14.3 PMVI,SFF 35.4 14.0 PMAF 48.67 18.77 Elev=230 65.14 13.5 Elev230 84.14 7.3 Gambar 4-5 Model regresi pohon untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 50-100 cm 4.3.3 Daya taksir model Tabel 4-9 menunjukan nilai galat mutlak rataan antara hasil taksiran dengan nilai sebenarnya MAE dan rataan dari rasio antara nilai taksiran dengan nilai sebenarnya MPOR. Karena satuan yang berbeda antara sifat tanah, maka nilai MAE digunakan untuk perbandingan antar kedalaman pada sifat tanah yang sama. Sementara itu MPOR merupakan suatu indeks tanpa satuan, dimana nilai 1 menunjukan bahwa nilai taksiran sama dengan nilai pengamatan. Nilai lebih dari satu menandakan bahwa model tersebut kelebihan taksiran over estimate sedangkan nilai kurang dari satu menandakan bahwa model under estimate. Tabel 4-9 menandakan bahwa keragaan model pohon untuk menaksir sifat tanah beragam. Model M2 merupakan model paling baik untuk menaksir kadar fraksi klei pada kedalaman 0-50 cm karena selisih antara nilai taksiran dan nilai sebenarnya paling kecil dibandingkan model lainnya. Sementara itu keragaan Model M2, ternyata lebih rendah dibandingkan Model M3 yang menunjukkan selisih paling rendah pada kedalaman 50-100 cm. Ini mengindikasikan bahwa algoritma untuk identifikasi posisi lereng yang dikembangkan SAGA lebih baik dalam menjelaskan keragaman kadar fraksi klei pada lapisan 0-50 cm dibandingkan algoritma untuk menurunkan kovariat kemiringan lereng. Berdasarkan nilai MPOR, semua model mampu menaksir nilai pH cukup baik dengan rasio antara 0.99 hingga 1.01. Ini menandakan bahwa nilai taksiran 1 diatas atau dibawah nilai sebenarnya. Sementara itu, Model M2 menunjukkan model yang lebih baik dalam menaksir ketebalan horizon A seperti ditunjukkan oleh nilai taksiran lebih tinggi 1 dari nilai sebenarnya. Nilai MPOR dapat digunakan untuk mengindikasikan persentase perbedaan antara nilai taksiran sekaligus menunjukkan apakah taksiran terlampau rendah atau terlalu tinggi.

4.4 Pembahasan

Penelitian ini telah mengidentifikasi kovariat dan kombinasi kovariat yang berperan besar dalam mengontrol keragaman 21 sifat tanah di Pulau Jawa. Berdasarkan kovariat tersebut, empat tipe model pohon diturunkan untuk menjelaskan dan menaksir keragaman sifat tanah tersebut. Kemampuan menaksir suatu sifat tanah dari kelima kombinasi kovariat nampak beragam. Ini menunjukkan bahwa ada suatu set kombinasi kovariat khusus untuk menaksir suatu sifat tanah tertentu. Tabel 4-9 Perbandingan daya taksir model Respon Satuan MAE MPOR M2 M1 M4 M3 M2 M1 M4 M3 Soildepth cm 41.6 39.9 38.6 40.8 1.39 1.39 1.34 1.37 Athick cm 3.7 4.0 4.6 4.2 1.01 1.04 1.04 1.04 DepthtoB cm 8.0 8.5 8.3 8.7 1.03 1.01 1.06 1.04 Sand 0-30 12.1 11.7 12.3 12.6

2.93 2.88

2.83 2.64

Sand 30-50 11.8 11.8 10.3 10.4

3.21 3.17

2.55 2.79

Sand 50-100 12.8 12.1 12.7 12.6

3.00 2.60

2.75 2.56

Clay 0-30

14. 6

15.3 17.0

16.7 1.18 1.16 1.22 1.13 Clay 30-50

15.3 15.5

15.6 17.0 1.01 1.03 1.04 0.99 Clay 50-100 16.9 16.0 16.2 15.5 1.19 1.22 1.15 1.08 SOM 0-30 1.23 1.22

0.95 1.06

1.46 1.43

1.20 1.38 SOM 30-50 0.70 0.72

0.58 0.81

1.49 1.45

1.33 1.54 SOM 50-100 0.56 0.56 0.51 0.73 1.35 1.34 1.24 1.49 SOC 0-30 0.71 0.65 0.55 0.60

1.43 1.41

1.20 1.33 SOC 30-50 0.40 0.80

0.34 0.47

1.46 1.45

1.34 1.54 SOC 50-100 0.32 0.33

0.29 0.42

1.34 1.34 1.27 1.51 Ntot 0-30 0.048 0.047 0.044 0.043 1.23 1.24 1.21 1.21 Ntot 30-50 0.034 0.027 0.034 0.036 1.29 1.16 1.33 1.32 Ntot 50-100 0.024 0.026 0.025 0.033 1.37 1.31 1.32 1.49 pH 0-30 0.71 0.72

0.57 0.74

0.99 1.01 1.00 0.99 pH 30-50 0.90 0.79 0.85 0.83 0.99 0.99 0.99 0.99 pH 50-100 0.84 0.82 0.85 0.89 1.01 1.01 1.00 1.01 BS 0-30 21.4 21.4 18.9 18.9

1.42 1.38

1.30 1.33 BS 30-50 23.6 21.3 22.0 21.8

1.71 1.48

1.49 1.42

BS 50-100 22.7 21.6 23.0 23.2

1.85 1.96

2.06 1.82

CEC cmolkg 0-30 12.5 12.3 13.2 12.0 1.14 1.16 1.22 1.14 CEC cmolkg 30-50 11.9 11.6 13.2 11.7 1.07 1.07 1.13 1.03 CEC cmolkg 50-100

11.6 11.9

11.4 11.7

1.14 1.11 1.16 1.15 nilai MAE yang dipertebal menunjukan model dengan galat yang paling kecil, sedangkan nilai MPOR yang dipertebal menunjukan model dengan daya taksir yang buruk. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk suatu sifat tanah tertentu ada faktor dominan yang mengontrol dinamika proses pedogenik pada tanah tersebut. Saat ini, ketika melihat data sifat tanah beberapa pihak cukup menjelaskan faktor pembentuk tanah saja. Cara ini ternyata tidak cukup, bagaimanapun, arti penting