Pendahuluan PENGEMBANGAN MODEL REGRESI POHON TANAH-LANSKAP

yang sama dilakukan untuk classification tree. Kelemahan dari TBM adalah bahwa ia bersifat overfitting, kurang robust jika ditransfer ke wilayah geografis lain, serta keragaan yang rendah pada dataset yang sedikit misalnya 22 dataset. Keragaman sifat tanah dikontrol oleh faktor-faktor pembentuk tanah yakni iklim, bahan induk, relief, organism, dan umur Jenny 1941. Diduga daya kontrol setiap faktor tersebut terhadap suatu sifat tanah berbeda-beda di setiap wilayah, dimana keragaman nilai sifat tanah ditentukan oleh faktor yang paling dominan. Tantangan yang ada adalah: i bagaimana memilih kovariat yang tepat untuk mewakili kelima faktor pembentuk tanah tersebut, ii bagaimana mengukur tingkat kepentingan kovariat yang tersedia terhadap setiap sifat tanah, dan iii bagaimana model hubungan antara kovariat dengan sifat tanah tersebut. Di Indonesia data lingkungan yang tersedia dan dapat diperoleh dengan mudah adalah i peta zone agroklimat untuk data iklim, ii SRTM DEM untuk data iklim mikro dan relief, dan iii peta geologi untuk litologi dan bahan induk. Sementara itu, beberapa perangkat lunak pengolah data raster tersedia secara gratis dan bisa dipergunakan secara bebas misalnya SAGA GIS. Data lingkungan dan data tanah yang tersedia dengan didukung penuh oleh perangkat lunak pengolahan data dapat digunakan untuk menggali hubungan-hubungan antara sifat tanah dengan kovariat yang diturunkan dari ketiga data tadi, terutama bila mencakup areal luas dan memerlukan banyak data. Bab II telah membahas dataset tanah-lanskap yang dapat digunakan untuk membuat model. Bab III telah menggunakan dataset ini untuk membuat model regresi tanah-lanskap. Penelitian ini bertujuan untuk: i mengembangkan model rule tanah-lanskap dari data tanah warisan dari Pulau Jawa, dan ii menguji daya taksir model yang dikembangkan dengan teknik validasi silang. Pemodelan pada Bab III menggunakan kovariat diturunkan dari terain. Pada penelitian ini, penaksir adalah kovariat yang mewakili zone agroklimat curah hujan, ketinggian tempat di atas permukaan laut untuk mewakili temperatur, bahan induk, posisi lereng, dan umur lahan. Kovariat ini digunakan untuk menaksir 12 sifat tanah yang sama seperti pemodelan pada Bab III.

4.2 Bahan dan Metode

4.2.1 Dataset Penelitian menggunakan 301 dataset sifat tanah dan kovariat hasil kegiatan penelitian sebelumnya yang dibahas pada Bab II. Gambar 3-1 menunjukan sebaran dari dataset yang digunakan. Sifat tanah yang dijadikan sebagai respon dalam pemodelan meliputi: kedalaman tanah Soildepth, ketebalan horizon A Athick, kedalaman horizon B DepthtoB, persentase fraksi pasir Sand, persentase fraksi klei Clay, kadar bahan organik tanah SOM, kadar karbon organik tanah SOC, Nitrogen total Ntot, pH, kejenuhan basa BS, dan kapasitas tukar kation CEC. Kovariat yang mewakili topografi diturunkan dari SRTM DEM Jarvis et al. 2008, yaitu: posisi lereng SP versi Jennes 2006, bentuk terain LP, kemiringan lereng SG, dan multiresolution index of ridge top flatness Gallant Dowling 2003. Kovariat ini berguna untuk identifikasi jalur dan sebaran air dan solut serta akumulasi sedimen. SP dan LP bersifat kategorik seperti disajikan pada Tabel 4-3. Kovariat yang mewakili temperatur adalah elevation Elev dan ecoregion belt EB yang diturunkan dari SRTM DEM. Ecoregion belt Mohr, 1944 adalah sistem klasifikasi elevasi di Jawa dalam hubungannya dengan temperatur Tabel 4-1. Titik elevasi pembatas adalah 200 m di atas permukaan laut dpl untuk daerah panas dan daerah hangat, 1000 m dpl untuk membedakan daerah hangat dan daerah temperat, dan 1800 m dpl untuk membedakan daerah temperat dan daerah dingin. Tabel 4-1 Parameterisasi temperatur dan asosiasinya dengan elevasi di Indonesia Kode Sabuk Temperatur rataan o Elevasi C m dpl Kondisi Fisik 1 Dataran rendah tropika 25-27 0-200 Panas 2 Kaki bukit tropika atau gunung bagian bawah 19-24 200-1000 Hangat 3 Pegunungan tropika 18-13 1000-1800 Temperat 4 Pegunungan tinggi tropika 12 1800-4800 Dingin Sumber: Mohr 1944 Sementara itu, intensitas curah hujan diwakili oleh zone agroklimat yang diturunkan dari Peta Agroklimat Pulau Jawa skala 1:2 500 000 Oldeman 1975. Pulau Jawa dikelompokan menjadi 8 zone berdasarkan jumlah bulan basah bulan dengan curah hujan 200 mm atau lebih dan bulan kering bulan mempunyai curah hujan 100 mm atau kurang. Zone A mempunyai 10 bulan basah BB atau lebih; B1 and B2 mempunyai 7, 8, atau 9; C2 dan C3 mempunyai 5 atau 6 BB; D2 dan D3 mempunyai 3 atau 4 BB, dan E mempunyai 1 atau 2 BB. Kovariat ini digunakan untuk mengkarakterisasi air yang diperlukan untuk pencucian. Umur lahan LA dan bahan induk PM diturunkan dari peta geologi skala 1:100 000. Tabel 4-2 menyajikan pembagian waktu geologi sebagai dasar penentuan umur lahan. Berdasarkan umur lahan, Pulau Jawa dibedakan atas 18 epoh mulai dari Eosen atas 54 juta tahun lalu hingga Holosen 5 ribu tahun lalu. Tabel 4-3 menyajikan kode untuk menjelaskan umur lahan di Pulau Jawa. Kovariat ini penting untuk memahami berapa lama lahan telah mengalami pelapukan. Tabel 4-2 Pembagian waktu geologi untuk menentukan umur lahan Era Periode Epoh Awal Interval juta tahun lalu A B Cenozoik Quarter Holosen 0.005 0.010 Pleistosen 2 2 Tersier Pliosen 7 Miosen 26 Oligosen 38 Eosen 54 Paleosen 65 65 Mesozoik Cretaceus 136 145 Jurassik 190 208 Triassik 225 250 Paleozoik Permian 280 290 Carbonifereus 345 360 Devonian 395 408 Silurian 430 440 Ordovisian 500 510 Cambrian 570 570 Precambrian 5.000 A=menurut Brewer 1979; B=menurut Dott dan Pathero 1994, dalam Buol et al. 1997