Memposisikan Pemetaan Tanah Dijital

Teknik alternatif penyediaan data tanah yang lebih kuantitatif dan dinamis memang menjadi perhatian banyak kalangan baik di institusi pendidikan maupun lembaga-lembaga penelitian. Hal ini didorong oleh beberapa hal, yaitu: i teknologi penyediaan data tanah menggunakan teknik pemetaan saat ini relatif lama dan mahal, dan ii data dan informasi yang disajikan dalam teknik konvensional tidak bisa terverifikasi kebenarannya. Beberapa lembaga di Australia, Brazil, Belanda, China, Colombia, Canada, Czech Republic, Italy, Jerman, UK, USA, Perancis , dan Swiss mulai mengadopsi dan mengembangkan teknik untuk menjawab permasalahan sumberdaya lahan di daerahnya mnasing-masing. Di ITC Enschede, para surveyor dan pemeta tanah termasuk para pakar pemetaan tanah saat ini tidak ketinggalan menyesuaikan tekniknya dengan perkembangan zaman. Di International Union of Soil Science IUSS ada kelompok DSM yang memantau dan mengembangkan teknik ini untuk berbagai aplikasi. Semua itu terekam dalam banyak artikel dan publikasi. Berbagai teknik telah diujikan dalam kondisi agroekologi dan ekosistem yang berbeda. Namun demikian, debat masih terjadi yang mempertentangkan antara teknik ini dengan pemetaan tanah konvensional khususnya di Indonesia. Penyebab utama dari debat ini adalah ketinggalan informasi tentang filosofis dan konsep pemetaan ini, yang menyebabkan para ahli memahami pendekatan ini secara parsial. Sebaliknya, jika konsep ini dipahami, para peneliti tanah akan melihat bahwa pendekatan baru ini adalah sebagai pelengkap dari teknologi pemetaan yang ada. Beberapa hal yang diperdebatkan selama ini adalah i batas satuan peta dan tampilan peta, ii nilai tunggal versus nilai komposit, dan iii skala versus resolusi. 7.4.1 Batas satuan peta dan tampilan peta Pada pemetaan dijital saat ini, tampilan peta akhir belum menjadi prioritas utama penelitian. Sebaliknya, pengkajian banyak diarahkan pada seleksi kovariat penaksir, pengembangan teknik ekstraksi data, pengembangan teknik sampling dan validasi serta pengembangan aneka model. Teknik-teknik dan alat-alat untuk memperoleh data baru yang lebih murah dan lebih cepat juga menjadi fokus kajian selain memodelkan perkembangan tanah secara tiga dimensi. Satuan peta dari output pemetaan tanah dijital menganut sistem raster, dimana sifat tanah dibingkai oleh suatu ukuran grid. Pada pendekatan ini permukaan lahan dilihat sebagai grid persegi empat dengan ukuran tertentu, misalnya 90 m x 90 m yang berkesinambungan, dimana setiap grid mempunyai nilai tertentu. Dengan demikian, batas satuan peta secara alami baur. Sebaliknya, batas satuan peta hasil pemetaan tanah konvensional menganut sistem vektor dimana batas sangat tegas tidak baur berbentuk kurva. Namun, batas tegas seperti ini tidak dijumpai di lapangan. Kelompok kontra memandang batas dengan sistem raster ini tidak artistik dan kurang menarik dibandingkan batas dengan sistem vektor. Batas satuan peta yang disajikan dengan tampilan vektor ini sudah lama dipandang sebagai cara terbaik bagi penampilan peta terutama berkesesuaian dengan kaidah yang dipergunakan dalam kartografi dimana garis-garis batas digambar oleh tangan. Nilai seni lebih menonjol dalam tampilan peta ini sementara gambaran sebenarnya di lapangan tidak atau belum menjadi prioritas. Ini didukung pula oleh kondisi dimana perangkat pengolah raster pada saat itu belum banyak tersedia. Sebenarnya kedua cara penyajian ini lebih bersifat saling melengkapi daripada sebagai pesaing. Pada kasus-kasus tertentu penyelesaian dengan pemodelan lingkungan dimana masukan data raster diperlukan sangat membantu memecahkan masalah. Ke depan perangkat yang bisa mengkonversi format raster ke vektor atau dari vektor ke raster nampaknya akan menjadi fokus perhatian. Hal ini karena keduanya mempunyai kelebihan tersendiri. 7.4.2 Single value versus komposit Aspek lain yang diperdebatkan adalah isi dari satuan peta. Satuan peta dari pemetaan tanah dijital menampilkan data nilai tunggal, seperti kadar bahan organik tanah. Sebaliknya, satuan peta dari pemetaan tanah konvensional menyajikan nilai komposit yaitu kombinasi dari beberapa sifat tanah. Dalam pemetaan tanah konvensional, satuan peta seringkali diuraikan pada laporan teknis. Bahkan, pemetaan LREP I membuat booklet yang berisi penjelasan tentang satuan peta. Laporan ini banyak menggunakan istilah teknis sehingga orang awam yang tidak paham istilah ilmu tanah sulit memahaminya. Tetapi, para pengguna seringkali hanya memesan peta tanpa laporannya karena laporan itu tidak untuk publikasi. Akibatnya, pengguna peta tersebut hanya memperoleh informasi tanah sebatas yang ada pada legenda peta. Informasi yang dapat diperoleh dalam suatu peta nyatanya beragam, seperti ditunjukan oleh Tabel 7-5. Di dalam peta, pengguna hanya mengetahui jenis tanah, batasannya dan proporsi setiap jenis tanah bila lebih dari satu. Sifat tanah itu tidak disajikan secara lengkap karena tersedia dalam laporan teknis. Jadi, kegiatan pemetaan tanah yang menghasilkan banyak informasi lapangan, namun pengguna hanya mengetahui jenis tanah dan proporsinya saja. Nama tanah itu sendiri asing di orang awam sehingga pengguna sudah sulit menarik informasi tentang peta tersebut. Tabel 7-5 Perbandingan isi informasi dari legenda peta konvensional dan dijital Skala peta Level klasifikasi Proporsi a Level b Landform Relief slope c Parent material Luas 1:25.000 Famili X Subgrup √ √ √ 1:50.000 Subgrup X Subgrup √ √ √ 1:250.000 Great grup √ Subgrup b √ √ √ 1:1.000.000 Order √ Grup b √ √ grup √ Dijital Nilai sifat atau tipe tanah X X X X X √ Keterangan a dalam satu satuan peta terdiri dari satu hingga 2 tipe tanah dalam bentuk konsosiasi dan kompleks. Setelah 1983, klasifikasi menggunakan Taksonomi tanah. X= tidak ada, √=tersedia c b proporsi dibagi ke dalam predominant 75, D = dominant 50-75, F = fair 25-49, M = minor 10-24 dan T = trace 10. untuk peta setelah tahun 1997 mengikuti Marsoedi et al. 1997 7.4.3 Skala versus resolusi Istilah skala mengacu pada beberapa aspek, yakni: i skala pemetaan, ii skala peta skala kartografi, dan atau iii skala cakupan. Karenanya, penjelasan lebih definitif perlu diberikan apabila menggunakan istilah skala agar tidak salah tafsir. Skala peta atau skala kartografi ini membatasi wilayah terkecil yang dapat ditampilkan dalam peta kertas hard copy menurut skala tertentu. Pada kasus ini, skala menghubungkan antara dimensi di peta dengan dimensi di lapangan. Contohnya, skala 1:50.000 menunjukan bahwa 1 cm di peta adalah 50.000 cm di lapangan. Skala pemetaan berimplikasi pada rancangan pengamatan tanah dan kedetilan informasi landform, kelas lereng, dan bahan induk. Skala cakupan berhubungan dengan luasan wilayah yang di survei. Kemajuan teknologi geoinformasi saat ini, memungkinkan pemetaan tanah menggunakan skala tinjau pada wilayah skala DAS dan disajikan pada peta berskala detil. Karena dana yang terbatas, pemetaan seperti ini memungkinkan untuk dilakukan. Meskipun secara teknik bisa dilaksanakan, kegiatan tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat administratif daripada syarat akurasi isi data dan informasi. Dampak akhirnya adalah bermuara di akurasi peta. Peta kertas skala 1:50.000 akan lebih kaya informasi bila digunakan dengan skala pemetaan semidetil daripada skala pemetaan tinjau. Bagaimanapun tidak ada ketentuan untuk kombinasi terbaik, namun tergantung kepada tujuan dan keluaran pemetaan. Sementara itu, pemetaan tanah dijital tidak mengenal istilah skala peta. Area terkecil ini adalah resolusi dari peta, seperti resolusi 30 m x 30 m. Sumber resolusi ini umumnya menggunakan resolusi DEM ataupun citra manasaja yang paling kecil. Pada prakteknya, resolusi sumber yang paling kecil seringkali dijadikan acuan. Tabel 7-6 menunjukan resolusi dan kovariat yang pernah digunakan dalam penelitan pemetaan tanah dijital. Tabel 7-6 Hubungan skala dan resolusi serta tingkat pemetaan Nama Tingkat pemetaan USDA Ukuran Pixel Skala kartografi Resolusi nominal D1 5 m x 5 m 1:5000 10 m x 10 m D2 1, 2 5 m x 5 m – 20 m x 20 m 1:5.000 – 1:20.000 10 m x10 m – 40 m x 40 m D3 3, 4 20 m x 20 m – 200 m x 200 m 1:20.000 – 1:200.000 40 m x 40 m – 400 m x 400 m D4 5 200 m x 200 m – 2 km x 2 km 1:200.000 – 1:2.000.000 400 m x 400 m – 4 km x 4 km D5 5 2 km x 2 km 1:2.000.000 4 km x 4 km Sumber: Lagacherie dan McBratney 2007 Terlepas dari perdebatan ini, pemetaan tanah dijital dapat diposisikan sebagai pelengkap teknik untuk memperkaya informasi spasial tanah yang ada. Diharapkan, keperluan yang beragam akan data tanah bisa dilayani sehingga ilmu tanah bisa berperan banyak dalam memecahkan masalah umat manusia saat ini.

7.5 Kelemahan studi

Penelitian ini menggunakan data warisan profil tanah, dimana lokasi pengamatan profil dipilih secara tidak acak. Gambar 2-4 menunjukan bahwa profil tanah menyebar secara sporadis. Salah satu kelemahan dari sebaran profil seperti ini adalah ada kemungkinan suatu kovariat tidak terwakili padahal informasinya penting untuk pemodelan. Penelitian ke depan dapat dilakukan untuk menambahkan data tanah. Pada kesempatan tersebut, lokasi yang kosong menjadi prioritas utama untuk dikunjungi dan diamati. Akurasi informasi profil dalam penelitian ini sangat tergantung pada kemampuan dan pengalaman dari para surveyor. Nyatanya, data yang diplot merupakan gabungan dari banyak surveyor dengan kemampuan yang beragam. Karena tidak efisien untuk memverifikasi secara lebih detil data ini, nama surveyor dari initial yang diketahui digunakan sebagai garansi. Sumber data untuk menurunkan kovariat mempunyai skala yang beragam dan berbeda jauh. Peta Agroklimat Jawa dipublikasikan pada skala 1:2.500.000, peta geologi skala 1:100.0000 dan SRTM DEM resolusi 90 meter equivalen dengan skala 1:32.000. Penggunaan skala ini menyesuaikan dengan sumberdata yang ada dan mudah diakses. Hal ini akan berdampak kepada akurasi model. Kelemahan lain dari studi ini bahwa sifat tanah tertentu kemungkinan ditetapkan oleh metode yang berbeda. Metode analisis tanah beberapa telah dimodifikasi, sehingga hasil analisis kemungkinan berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada penelitian ini, perbedaan analisis ini tidak dianggap sebagai sumber keragaman. Bagaimanapun, perbedaan analisis ini akan memberikan sumbangan pada kesalahan model. Ke depan, penelitian untuk membandingkan perubahan hasil analisis karena perbedaan metode analisis perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan berapa besar penyimpangan terjadi dan apakah penyimpangan tersebut tergolong nyata atau tidak.

7.6 Implikasi Praktis dan Kebijakan

Penelitian ini telah menunjukan pendekatan dan teknik pemetaan tanah dijital. Aplikasi dari pendekatan ini akan memberikan dampak positif pada: i praktik survei dan pemetaan sifat tanah dengan menyediakan alat dan informasi pendukung yang baru bagi kegiatan survei dan pemetaan, ii pengelolaan kegiatan pemetaan melalui revitalisasi data tanah hasil survei terdahulu dan reproduksi dan reinterpretasi hasil survei dan pemetaan bagi berbagai keperluan, dan iii kebijakan pengelolaan sumber daya lahan dan lingkungan khususnya pengelolan DAS melalui penyediaan data yang lebih kuantitatif dan terukur akurasinya. Keberadaan pendekatan ini secara lebih mendalam berhubungan dengan aspek metode pemetaan tanah, pemanfaatan data yang tersedia, pemodelan, dan informasi kuantitatif dari isi suatu peta. Pertama, metode pemetaan tanah. Metode dalam penelitian ini mencakup tahap-tahap pelaksanaan pemetaan tanah dijital di wilayah tropika berbasis data warisan. Metode ini dapat membantu mempercepat proses pemetaan tanah dan melengkapi tahapan-tahapan yang rutin dilaksanakan saat ini. Penekanan diberikan terutama dalam penyiapan peta kerja sebelum kegiatan survei dilakukan. Aplikasi teknik ini memastikan bahwa survei lapangan menjadi lebih terarah, lebih efisien, lebih efektif, lebih terencana, dan lebih terukur. Kedua, dataset kovariat dan sifat tanah di Pulau Jawa baik data tabular maupun data posisi pengamatan tanah. Penelitian ini menyediakan contoh bagaimana data-data terdahulu dapat dimanfaatkan untuk menangkap keragaman spasial tanah sebelum studi lapangan dilakukan. Dataset ini digunakan dalam berbagai aspek, yaitu: i pemodelan hubungan sifat tanah dan faktor lanskap guna memahami faktor-faktor pengendali keragaman sifat tanah, ii penajaman dalam delineasi dan pemisahan unsur lanskap yang penting bagi pengelolaan lahan dengan membantu ahli tanah dalam delineasi unsur-unsur lahan tersebut, iii pemantauan perubahan sifat tanah melalui pengamatan runut waktu dengan cara mengunjungi kembali profil yang telah diamati dan menganalis tanah dan membandingkannya dengan data terdahulu. Ketiga, model tanah-lanskap untuk menduga sifat tanah di Pulau Jawa. Model-model yang dibuat ini dapat digunakan untuk menaksir sifat tanah di suatu tapak dan atau di suatu areal. Peta-peta yang dihasilkan dapat dilengkapi dengan informasi akurasinya. Cara ini akan bermanfaat terutama dalam aplikasi pengelolaan lahan berbasis skenario, yakni pengelolaan lahan yang mengoptimalkan pemanfaatan fungsi-fungsi tanah sementara mengurangi ancaman-ancaman negatif terhadap keberlanjutan fungsi tanah tersebut. Model-model ini khususnya model-model yang numerik berformat raster menjadi masukan dalam pemodelan dinamis. Batas-batas peta menjadi fleksibel serta mudah dan cepat disesuaikan dengan keperluan. Reklasifikasi data bisa dilaksanakan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan peta-peta yang disajikan dalam format vektor. Ini menguntungkan terutama ketika keperluan data berubah- berubah pada sifat tanah yang sama. Keempat, peta-peta sifat tanah yaitu: kedalaman tanah, ketebalan horizon A, kedalaman ke horizon B, dll dan peta akurasinya batas atas, batas bawah dan jangkauan di DAS Sampean Hulu beriklim kering dan DAS Cisadane Hulu beriklim basah dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam formulasi kebijakan pengelolaan hara dan bahan organik di kedua wilayah tersebut. Data ini juga akan membantu dalam formulasi kebijakan konservasi tanah dan air serta rehabilitasi lahan di kedua wilayah tersebut.

7.7 Arah Penelitian ke Depan

Dampak-dampak positif seperti diuraikan pada bagian sebelumnya sebenarnya bisa lebih dikembangkan dengan mengembangkan terus dan mencoba model-model hasil penelitian ini untuk berbagai tujuan. Memperhatikan pengalaman, permasalahan, dan hasil yang diperoleh selama kegiatan penelitian ini, penelitian ke depan dapat diarahkan ke topik-topik berikut: i Pengembangan model berdasarkan grup landform. Penelitian ini belum menjadikan grup landform Marsoedi et al. 1997 sebagai faktor pembeda. Padahal, landform berkaitan erat dengan lanskap dan sejarah landform mengontrol dinamika perubahan sifat tanah. Ke depan, pemodelan tanah-lanskap sebaiknya dibuat berdasarkan tipe landform