Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang

18 berbagai implementasi pengelolaan kawasan konservasi laut KKL di seluruh dunia menunjukan bahwa partisipasi atau pelibatan masyarakat lokal menjadi faktor penting untuk mencapai tujuan dari KKL tersebut Kelleher 1999; Himes 2007; Rodríguez-Martínez 2008. Sementara itu Hakim et al. 1995 in Purnomowati 2001 menyatakan bahwa pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat lokal pada dasarnya adalah upaya langsung pada akar permasalahan, yaitu meningkatkan potensi kemampuan masyarakat lokal itu sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat lokal dapat dikembangkan melalui kegiatan ekonomi produktif berbasis lokal yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya perlu di kelola sedemikian rupa sehingga dapat dialokasikan secara optimal kedalam berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Disisi lain penyediaan sarana produksi dan peningkatan keterampilan perlu diimbangi dengan tersedianya pasar, diutamakan untuk masyarakat lokal agar dapat melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai dengan kondisi setempat. Pengelolaan sumberdaya perikanan bukanlah isu baru dalam pengelolaan sumberdaya di Indonesia. Pengelolaan berbasis masyarakat lokal seperti hukum adat atau hak ulayat laut merupakan bentuk pengelolaan yang sudah dikenal di masyarakat. Sebagai contoh adalah aturan sasi di Maluku dimana penangkapan sumberdaya perikanan di atur sedemikian rupa berdasarkan musim; dan Panglima laot di propinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan aturan dan pengawasan sumberdaya laut Bailey and Zerner 1992; Satria and Matsuda 2004; Campbell et al. 2006. Didalam panduan IUCN tentang MPAs atau KKL, ada beberapa kunci pembelajaran, yaitu: i Masyarakat lokal harus dilibatkan sejak awal dalam proses pembentukan KKL; ii Ketidaksesuaian ekologis dalam pencapaian KKL tidak merupakan kegagalan selama tujuan utama dari pembentukan KKL tersebut dapat tercapai; dan iii Proses pembentukan KKL dilakukan melalui dua cara top- down and bottom up Kelleher 1999. Berkes et al. 2001 membagi partisipasi masyarakat dalam ko-manajemen menjadi tujuh level sebagai berikut: 19 a Community control: kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk membuat keputusan dan menginformasikan keputusan tersebut kepada pemerintah. b Partnership: pemerintah dan masyarakat bersama-sama dalam pembuatan keputusan. c Advisory: masyarakat memberikan masukan nasihat kepada pemerintah dalam membuat keputusan, tetapi keputusan sepenuhnya ada pada pemerintah. d Communicative: pertukaran informasi dua arah; perhatian lokal direpresentasikan dalam perencanaan pengelolaan. e Cooperative: masyarakat termasuk dalam pengelolaan tenaga. f Consultative: mekanisme dimana pemerintah berkonsultasi dengan para nelayan, tetapi seluruh keputusan dibuat oleh pemerintah. g Informative: masyarakat mendapatkan informasi bahwa keputusan pemerintah telah siap dibuat. 2.7. Kelembagaan 2.7.1 Pengertian Kelembagaan Efektifitas pengelolaan sumberdaya tergantung dari kelembagaan yang ada di lingkungan sumberdaya tersebut. Pada prinsipnya keberadaan lembaga sangat penting sebagai pembentuk aturan dalam suatu pengelolaan, penentu dalam sebuah proses dimana keputusan dibuat dalam sebuah pengelolaan Ruddle 1998. Ada beberapa pengertian kelembagaan seperti yang diungkapkan Ostrom 1990, kelembagaan adalah seperangkat aturan yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak untuk mengambil keputusan, kegiatan apa yang diperbolehkan dan dibatasi, aturan-aturan apa yang digunakan, prosedur apa yang harus ditempuh, informasi apa yang harus dan tidak harus tersedia, dan hukuman apa yang harus diberikan pada setiap individu yang melakukan kegiatan disebuah area tertentu. Sementara itu Soekanto 1997 mendefinisikan kelembagaan dalam dua makna yaitu lembaga sebagai institute institution dan pelembagaan institutionalization. Lembaga dalam pengertian institut, merupakan organ-organ yang berisikan konsep dan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat.