Harapan Masyarakat terhadap DPL ke depan

75 siapa yang boleh menangkap Satria 2009. Dalam pengelolaan terumbu karang di Desa Bontolebang, beberapa aturan secara tertulis telah ada dalam rancangan peraturan desa. Aturan-aturan tersebut antara lain: 1 Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian DPL. 2 Setiap penduduk desa danatau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam DPL. 3 Dapat melewatimelintasi zona inti selama tidak melakukan aktifitas penangkapan. 4 Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam DPL adalah kegiatan orang perorang danatau kelompok, berupa penelitian, pendidikan dan wisata, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari pengelola. 5 Setiap orang peroranganbadan hukum yang akan melakukan kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata bahari wajib membayar retribusi yang akan ditentukan kemudian oleh pengelola. Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dilarang dilakukan di DPL, kecuali kegiatan tertentu yang disepakati masyarakat desa. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam zona DPL antara lain: 1 Memancingmenangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap, 2 mengambil biota laut, tumbuhan dan karang yang hidup atau yang mati, 3 menggunakan lampu didalam DPL pada malam hari dengan maksud menarik ikan, 4 melakukan budidaya rumput laut, ikan karang dan ikan lainnya di dalam DPL, 5 menempatkan bagan, membuang jangkar, sampah, melakukan penambangan di dalam DPL, 5 menangkap atau mengambil ikan dengan menggunakan bahan peledakbom, segala jenis racun kimia, jenis racun tradisional dan peralatan listrikaccu, serta 6 berenang atau melakukan penyelaman tanpa ijin. Hak dan kewajiban serta larangan yang ada di dalam rancangan perdes bersifat lokal dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Setiap aturan yang dibuat dikondisikan dengan keberadaan dan karakteristik masyarakat Desa Bontolebang. Hanya saja aturan tidak mencerminkan kepentingan dan prioritas individu masyarakat Desa Bontolebang. Aturan yang seharusnya mengakomodasi aspirasi 76 masyarakat desa, telah gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari partisipasi mereka sehingga melemahkan proses dan pengakuan dari mereka. Berbeda dengan kasus di Pulau Yoron, Jepang aturan yang dibuat adalah berasal dari kepentingan setiap individu masyarakat yang dijadikan dasar dalam penetapan kebijakan Adrianto et al. 2005. Agar sebuah aturan hukum memperoleh legitimasi dan ditaati penegakannya baik oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak-pihak yang mengatur, maka aturan hukum tersebut harus merupakan formulasi dan refleksi dari kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak yang mengatur. Dengan demikian, mau tidak mau sebuah aturan hukum yang baru dibuat secara bersama-sama antara seluruh pemangku kepentingan terkait, dalam suatu proses yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka merasa bebas, tidak diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka secara alami dalam keseluruhan proses pembuatan aturan hukum tersebut, mulai dari tahap inisiasi hingga tahap pengesahan.

5.7.3 Aturan Disusun oleh Pengguna Sumberdaya

Proses pelibatan masyarakat dalam pembentukan aturan diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat dan SETO yang merupakan representasi dari Coremap. Proses tersebut sebagaimana dijelaskan dalam su-bab 5.2 telah melalui proses panjang sejak awal tahapan inisiasi program. Mulai dari diskusi dengan pihak pemerintah desa, BPD, dan pada akhirnya masyarakat nelayan yang berkepentingan terhadap pengelolaan terumbu karang. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberikan masukan terhadap apa saja yang harus dikelola, dimana area yang akan dikelola, dan aturan-aturan apa yang akan diberlakukan dalam pengelolaan. Pada kesempatan yang sama masyarakat diminta untuk membentuk sebuah lembaga pengelola terumbu karang yang merupakan bagian dari mereka. Oleh karena itu maka terbentuklah sebuah lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang yang merupakan representasi dari berbagai kepentingan di desa. Proses penetapan aturan ini lebih menggambarkan sebuah kesepakatan informal individu masyarakat yang mewakili kepentingan masing- masing dusun. Sementara itu, penetapan DPL lebih pada pertimbangan wilayah