Pemasangan Tanda Batas DPL

73 ini telah digeluti masyarakat selama bertahun-tahun, tetapi usaha ini masih dalam skala kecil. Meskipun masih dalam skala kecil, usaha ini sangat membantu dalam mengangkat perekonomian keluarga, apalagi jenis ikan yang dikeringkan merupakan ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti berbagai jenis ikan kerapu dan jenis tenggiri. Diantara kegiatan mata pencaharian alternatif yang dilakukan masyarakat Desa Bontolebang saat ini dapat dilihat pada gambar 19. Gambar 19 Keramba jaring tancap dan pengeringan ikan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat Desa Bontolebang.

5.7 Karakteristik Lembaga Pengelola DPL

Dalam menganalisis karakteristik lembaga pengelola DPL ini peneliti menggunakan kriteria yang diungkapkan Ostrom 1990 sebagai berikut:

5.7.1 Kejelasan Batas Wilayah Perairan

DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan serta dipatuhi oleh masyarakat. Berdasarkan pedoman umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat Coremap, ada 4 empat zona kategori wilayah dalam pembentukan suatu kawasan konservasi yaitu: 1 Wilayah pemanfaatan tradisional wisata, lokasi pemancingan umpan dan lain-lain 2 Wilayah pengembangan budidaya laut rumput laut, kerang, pembesar ikan dan lain-lain 3 Wilayah perlindungan masyarakat atau konservasi community sanctuary 4 Wilayah yang menjadi alur transportasi perairan pedalaman desa atau pulau Kementerian KP 2006. 74 Penataan wilayah perairan Desa Bontolebang telah dibagi kedalam beberapa kawasan dimana sebelah timur dan utara desa diperuntukan sebagai jalur lalu lintas dan area budidaya keramba jaring apung. Sebelah barat Boko jarang, Taka’ ambaho dan taka’ hello diperuntukan sebagai area penangkapan tradisional dan budidaya keramba tancap, sementara taka’ ujung lola adalah area dimana DPL berada yang dibagi kedalam zona inti dan zona penyangga Gambar 4. Rancangan perdes memuat koordinat batasan wilayah DPL. Pada prinsipnya batasan ini merupakan area dimana terumbu karang ditemukan, kemudian lokasi DPL ini ditetapkan dan dibagi kedalam dua zona yaitu zona inti dan zona penyangga. Meskipun secara geografis batasan-batasan DPL telah ditetapkan, namun saat penelitian dilakukan tidak terdapat tanda batas area dan papan pengumuman. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan batasan area DPL yang menjadi kawasan terlindung dari aktifitas penangkapan. Nelayan atau masyarakat Desa Bontolebang hanya mengetahui batasan tersebut berdasarkan pengetahuan lokal local knowledge dimana area berada yaitu area terumbu karang yang dikenal dengan taka’ ujung lola. Untuk nelayan yang berasal dari luar desa sangat sulit mengetahui keberadaan DPL di area tersebut sehingga besar kemungkinan terjadi konflik.

5.7.2 Kesesuaian Aturan dengan Kondisi Lokal

Agar pengelolaan DPL berbasis masyarakat dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif maka keberadaan DPL perlu ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan hukum kuat di tingkat desa. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di tingkat desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga masyarakat, pemerintah desa, dan pokmas konservasi yang mengelola DPL mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku pelanggaran. Aturan tersebut merujuk kepada ketetapan berupa larangan, perijinan, atau kegiatan yang diperbolehkan yang berhubungan dengan hak Ostrom 1990. Dalam pengelolaan sumberdaya aturan mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan