76 masyarakat desa, telah gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai
bagian dari partisipasi mereka sehingga melemahkan proses dan pengakuan dari mereka. Berbeda dengan kasus di Pulau Yoron, Jepang aturan yang dibuat adalah
berasal dari kepentingan setiap individu masyarakat yang dijadikan dasar dalam penetapan kebijakan Adrianto et al. 2005.
Agar sebuah aturan
hukum memperoleh legitimasi
dan ditaati penegakannya baik oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak-pihak yang
mengatur, maka aturan hukum tersebut harus merupakan formulasi dan refleksi dari kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang diatur
maupun pihak yang mengatur. Dengan demikian, mau tidak mau sebuah aturan hukum yang baru dibuat secara bersama-sama antara seluruh pemangku
kepentingan terkait, dalam suatu proses yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka merasa bebas, tidak
diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka secara alami dalam keseluruhan proses pembuatan aturan hukum tersebut, mulai dari
tahap inisiasi hingga tahap pengesahan.
5.7.3 Aturan Disusun oleh Pengguna Sumberdaya
Proses pelibatan masyarakat dalam pembentukan aturan diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat dan SETO yang merupakan
representasi dari Coremap. Proses tersebut sebagaimana dijelaskan dalam su-bab 5.2 telah melalui proses panjang sejak awal tahapan inisiasi program. Mulai dari
diskusi dengan pihak pemerintah desa, BPD, dan pada akhirnya masyarakat nelayan yang berkepentingan terhadap pengelolaan terumbu karang. Masyarakat
diberi kesempatan untuk memberikan masukan terhadap apa saja yang harus dikelola, dimana area yang akan dikelola, dan aturan-aturan apa yang akan
diberlakukan dalam pengelolaan. Pada kesempatan yang sama masyarakat diminta untuk membentuk sebuah lembaga pengelola terumbu karang yang merupakan
bagian dari mereka. Oleh karena itu maka terbentuklah sebuah lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang yang merupakan representasi dari berbagai
kepentingan di desa. Proses penetapan aturan ini lebih menggambarkan sebuah kesepakatan informal individu masyarakat yang mewakili kepentingan masing-
masing dusun. Sementara itu, penetapan DPL lebih pada pertimbangan wilayah
77 dimana lokasi yang ditetapkan relatif tidak terlalu jauh dan mudah diawasi oleh
masyarakat. Proses penetapan aturan lebih mempertimbangkan keterwakilan wilayah
daripada fungsi. Masyarakat yang notabene adalah seorang nelayan kurang diberikan ruang dalam penetapan kesepakatan aturan. Sebagaimana yang
dikemukakan Jentof 2003, bahwa keterwakilan wilayah lebih mengacu pada situasi yang cocok yang menggambarkan area secara geografis, sementara
keterwakilan fungsi mengacu pada keterwakilan kepentingan dalam sebuah kegiatan. Masyarakat sebagai nelayan seharusnya lebih banyak memberikan
masukan dalam proses pembentukan aturan karena kepentingan mereka terhadap aturan tersebut. Oleh karena kurangnya keterlibatan langsung masyarakat dalam
menerapkan serta menegakkan aturan, akibatnya pengakuan terhadap aturan- aturan tersebut menjadi lemah atau kurang.
5.7.4 Monitoring dan Pengawasan
Secara teknis pelaksanaan pengelolaan DPL dibantu oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok konservasi khususnya kegiatan
pemantauan dan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang telah ditentukan peruntukkannya. Kelompok masyarakat bidang konservasi ini ditunjuk dan
ditetapkan oleh kepala desa melalui surat keputusan nomor 13. Tahun 2008 tentang pengesahan pengurus pokmas konservasi Desa Bontolebang Kecamatan
Bontoharu. Dalam rencana pengelolaan terumbu karang RPTK disebutkan beberapa tugas pokok dari kelompok masyarakat bidang konservasi. Tugas pokok
kelompok konservasi tersebut antara lain: a Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap lingkungan ekologis secara
periodik. b Mengamati dan mencatat kasus-kasus ilegal yang terjadi dan melaporkan
kepada penanggung jawab penegakan hukum. c Menilai usulan untuk mendapatkan izin pengelolaan perikanan dalam wilayah
perairan desa oleh pengguna. Untuk mempermudah tugas dan fungsinya, pokmas konservasi dilengkapi
fasilitas berupa perahu, teropong, kamera dan alat komunikasi. Selain itu juga dibantu oleh penegak hukum antara lain, Kamtibmas, dan Babinsa yang juga