79 masih lemah, misalnya kejadian penangkapan pelaku penangkapan dengan cara
bius pada tanggal 6 Mei 2009. Meskipun kejadian tersebut disaksikan oleh seluruh aparat baik desa, babinsa, binmas dan masyarakat, namun ketika diproses di
kepolisian tidak lama pelaku dibebaskan. Akhirnya masyarakat bersikap acuh dan lebih memilih aman untuk kompromi dengan pelaku pelanggaran jika mereka
menemuinya di lapangan. Berdasarkan kondisi ini peran kelompok konservasi menjadi kurang diakui
oleh masyarakat. “Penegakan hukum adalah tugas polisi, bukan kami”. Ungkap salah seorang nelayan. Lemahnya pengakuan oleh masyarakat terhadap penegakan
hukum ini melemahkan keberadaan peran pokmas konservasi sebagai bagian dari masyarakat sendiri.
5.7.5 Sanksi
Apabila terjadi pelanggaran aturan, maka aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang
dikenakan sesuai dengan yang ada dalam perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Adapun aturan yang terdapat dalam rancangan perdes bersifat bertingkat
dimana sanksi diberlakukan berdasarkan jumlah pelanggaran yang dilakukan, yaitu: 1
2
3 Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
dalam perdes dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh pelanggar, mengembalikan semua hasil yang diperolehnya dari DPL kepada
desa, dan menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut dihadapan aparat desa, kelompok pengelola dan
masyarakat. Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran kedua kalinya yang
terbukti melanggar ketentuan dalam perdes, dikenakan sanksi tingkat kedua berupa denda dengan sejumlah uang yang ditentukan kemudian oleh
kelompok pengelola; dan menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL.
Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketiga kalinya yang terbukti melanggar ketentuan dalam perdes, dikenakan sanksi tingkat ketiga
berupa denda dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh kelompok pengelola, menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan
80 DPL; dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan
masyarakat seperti kerja bakti, membetulkan MCK umum; atau sanksi lain yang ditentukan kemudian oleh Kepala Desa masyarakat.
4 Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketentuan lebih dari tiga
kali, dikenakan sanksi sesuai ketentuan pada poin ke-3; dan diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai dengan ketentuan dan dapat
dikenai sanksi adat yang masih diakui masyarakat. “Sanksi bukan hukuman badan, melainkan seperti hasil tangkapan diambil,
kemudian pelaku dibina diberi penyadaran. Intinya bukan efek jera, melainkan juga melihat aspek kemanusiaan”. Demikian ungkap salah seorang pejabat dinas
kelautan dan perikanan.
Sanksi-sanksi yang terdapat didalam raperdes masih bersifat sanksi sosial berupa permohonan maaf, penyitaan hasil tangkapan dan kerja bakti, hal ini
dikarenakan dalam merumuskan ketentuan sanksi, pengelola mengacu pada Pasal 14 UU no. 102004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
berbunyi: Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”. Berdasarkan UU 102004 tersebut Perdes
tidak dibenarkan memuat ketentuan sanksi pidana. Hal ini melemahkan keberadaan perdes sebagai bagian dari pengelolaan berbasis masyarakat. Sanksi
yang ada terkesan merupakan bagian dari kompromi antara masukan dari masyarakat dengan masukan dari pemerintah daerah.
Beberapa pelanggaran atau kegiatan penangkapan ikan secara illegal yang tercatat selama kurun waktu tahun 2000-2009 merupakan pelanggaran berupa
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap illegal, bom dan bius potassium sianida. Pada tahun 2000 telah terjadi penangkapan pelaku pengebom dan
nelayan yang menggunakan alat tangkap jenis rawai, dimana penggunaan alat tersebut belum mendapatkan ijin dari pihak berwenang. Pelanggaran dilakukan
oleh nelayan luar desa yang menangkap di perairan Desa Bontolebang antara lain oleh nelayan yang berasal dari Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Ujung Tanah,
dan nelayan yang berasal dari Pulau Kayuadi kepulauan dibagian selatan Selayar. Daftar pelanggaran yang terjadi di perairan desa Bontolebang dapat
dilihat pada tabel 15.
81 Tabel 15 Daftar pelanggaran yang tercatat sepanjang 2000-2009
No 1
Tahun 2000
Kejadian Kepala Desa beserta staf, Binmas dan RK
menangkap pelaku illegal fishing Keterangan
Pelaku berasal dari Lumuk-lumuk KecamatanUjungTanah
pengebom Pemburuan pelaku penggunaan alat
tangkap rawe. Pelaku berasal dari luar PulauSelayar
Mayarakat tidak mengijinkan alat tersebut untuk dioperasikan di perairan
mereka karena tidak ada ijin dari pihak berwenang
2 3
4 2002
4Mei 2009 6Mei 2009
Kepala Desa, Mahasiswa UNISMUH dan Pelaku berasal dari Kabupaten Polisi menangkap pelaku illegal fishing Bulukumba
pengebom. Terjadipengeboman PelakuNelayandariPulauKayuadi
Terjadipengeboman dan pembiusan. Pelaku pengeboman berhasil kabur,
pembius ditangkap Setelah diproses di kepolisiann, pelaku kemudian
dibebaskan.
Sumber: Data primer diolah 2010
5.7.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik
Masyarakat semestinya memiliki hak untuk menyampaikan gagasan, persepsi, keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, sebelum rumusan kebijakan dan rencana pengelolaan ditetapkan. Dengan adanya rencana
pengelolaan ini diharapkan potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi dapat diminimalisasi bahkan dihindarkan.
Pada dasarnya konflik antar nelayan di Desa Bontolebang relatif tidak terjadi selama pengelolaan DPL karena sejak awal masyarakat sudah diberikan penjelasan
tentang pentingnya pengelolaan. Sementara itu, konflik nelayan lokal dengan nelayan luar disebabkan adanya aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan luar yang
umumnya menggunakan alat tangkap illegal penggunaan rawai danatau merusak lingkungan, seperti bom, potassium sianida dan bahan racun lainnya. Penyelesaian
konflik internal nelayan ini didekati melalui penyelesaian dengan memberikan pemahaman kepada nelayan. “Mereka nelayan diberi pilihan; menutup sebagian
area tangkap menjadi sempit tapi ikan banyak melimpah, atau area tangkapan luas tapi ikan sedikit?” Ungkap seorang pengelola. Sementara untuk konflik
dengan nelayan luar, pengelola beserta pemerintah desa melakukan sosialisasi dan mendatangi desa-desa sekitar untuk memberikan pemahaman dan pemberian
informasi tentang keberadaan DPL di Bontolebang.