61 sebuah pengelolaan ko-manajemen menyimpulkan bahwa dalam melibatkan
masyarakat secara tepat dibutuhkan proses perubahan pandangan yang lama, kepentingan, dan pendapat dari masyarakat.
Berdasarkan pengalaman
peneliti dilapangan
sangat sulit
untuk mengumpulkan masyarakatnelayan dalam sebuah diskusi formal, hal ini
memerlukan pendekatan yang baik. Demikian juga agar pertemuan dengan masyarakatnelayan dalam penentuan lokasi DPL berjalan efektif diharapkan
peran organisasi pelaksana di desa yaitu Fasilitator dan Motivator. FM dan MD diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai representasi program yang
dengan baik menjelaskan kepada masyarakat tentang tujuan pembentukan DPL. Waktu yang efektif dalam menyampaikan setiap program di desa antara lain
adalah pada saat selesai shalat jumat di mesjid. Pengelola kegiatan sedapat mungkin memanfaatkan waktu tersebut sebagai bagian dari sosialisai atau
pertemuan informal dimana mayoritas nelayan hadir pada saat itu. Agar pelaksanaan program berjalan efektif diperlukan kesungguhan dari
masyarakat untuk terlibat didalamnya. Proses “meyakinkan” masyarakat ini memerlukan waktu yang cukup lama agar mereka benar-benar merasa dilibatkan
dalam program. Dengan proses yang lama ini diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat dalam pelibatan mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
pedoman pembentukan Marine Protected Area MPA yang dikeluarkan oleh IUCN, menyebutkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dapat menentukan
keberhasilan sebuah pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai contoh, proses penentuan zonasi di kawasan Taman Nasional Wakatobi membutuhkan waktu
selama 3 tiga tahun dengan pendekatan intensif selama 2 dua tahun. Demikian juga di Filipina, dalam proses tahapan persiapan saja memerlukan 3 tiga bulan
agar masyarakat memahami konteks dan tujuan dari kawasan konservasi Kelleher 1999; Clifton 2003.
5.2.2 Peraturan Desa Perdes
Perdes tentang DPL-BM mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL
sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan
62 perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di tingkat
desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga masyarakat, pemerintah desa, dan kelompok pengelola DPL mempunyai kekuatan
atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku pelanggaran. Pembentukan perdes DPL terdiri dari beberapa tahapan yaitu penyusunan
draft menjadi rancangan yang dilaksanakan oleh Badan Perwakilan Desa BPD, Musyawarah pembahasan rancangan perdes bersama pemerintah desa dan
masyarakat. Tahapan ini merupakan tahap yang paling penting, karena sebisa mungkin aturan-aturan yang termuat dalam perdes merupakan hasil dari usulan
masyarakat khususnya masyarakat
yang paling banyak berkepentingan
didalamnya. Peraturan Desa Bontolebang tentang daerah perlindungan laut masih dalam
tahap pengesahan. Sosialisasi perdes telah dilakukan pada tanggal 17 dan 18 April 2009, sementara konsultasi publik pada tanggal 11 Desember 2009.
Perdes yang ada adalah berupa rancangan perdes yang sudah melalui tahapan penyusunan dan disosialisasikan kepada masyarakat, namun dalam proses
pengesahannya masih terkendala oleh administrasi karena pembuatan perdes dikontraktualkan ke pihak ketiga konsultan.
Didalam rancangan perdes tersebut terdapat 9 bab yang secara garis besar mengikuti draf atau contoh perdes yang diberikan oleh Coremap. Berikut adalah
garis besar isi perdes: 1. Bab 1, ketentuan umum. Dimana memuat definisi-definisi atau batasan
yang ada di dalam perdes. 2. Bab 2 menjelaskan tujuan dan manfaat adanya DPL.
3. Bab 3 memuat lokasi geografis dimana DPL berada; letak dan posisi zona inti dan zona penyangga yaitu di perairan bagian barat Pulau Pasi bernama
taka’ ujung lola. Dalam bab ini juga disebutkan luasan DPL yaitu 21.7 Ha, terdiri atas zona inti seluas 4.9 Ha dan zona penyangga seluas 16.8 Ha.
4. Bab 4 memuat tentang kewajiban dan larangan pemanfaatan dalam lokasi DPL. Setiap penduduk desa berkewajiban menjaga, mengawasi dan
memelihara keberadaan DPL. Kegiatan yang diperbolehkan di area DPL ini adalah penelitian, pendidikan dan wisata atas ijin dari pengelola.
63 5. Bab 5 memuat kelompok pengelola dengan uraian tugas dan
kepengurusannya. 6. Bab 6 memuat pengawasan.
7. Bab 7 memuat pendanaan. 8. Bab 8 memuat sanksi.
9. Bab 9 memuat ketentuan penutup. Pada akhir halaman perdes dimuat penetapan oleh kepala desa Bontolebang serta
pengesahan oleh sekretaris desa. Hal yang perlu mendapatkan perhatian sebelum penetapan sebaiknya draft
rancangan perdes dikonsultasikan dengan berbagai pemangku kepentingan terkait stakeholder termasuk pihak pemerintah desa yang dapat dilakukan dalam
pertemuan-pertemuan konsultasi publik untuk memperoleh komentar dan masukan dari masyarakat. Masukan-masukan dari masyarakat kemudian
dimanfaatkan untuk menyempurnakan draft rancangan perdes sehingga perdes yang disahkan nantinya benar-benar merupakan perdes yang telah disepakati oleh
seluruh pemangku kepentingan terkait. Menurut Tulungen et al. 2002, proses konsultasi publik menghendaki arus
informasi dua arah. Pembuat perdes menyampaikan kepada publik mengenai raperdes yang sedang disusun, termasuk alasan-alasan, justifikasi, dan dampak
potensialnya terhadap para pihak. Di lain pihak, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dan memberi umpan balik kepada pembuat perdes.
Oleh karena itu, kedua belah pihak mempunyai kewajiban untuk memberikan komitmen waktu dan sumberdayadana dalam konsultasi publik. Konsultasi publik
hendaknya dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda, dan diselenggarakan beberapa kali. Tentu diperlukan waktu untuk menyajian materi mengenai raperdes
berikut permasalahan-permasalahan terkait. Selain itu, diperlukan diskusi kelompok untuk membahas bagian-bagian khusus secara lebih rinci untuk
memperoleh masukan-masukan nyata dari para peserta konsultasi publik. Konsultasi publik hendaknya dilakukan dengan berbagai cara seperti musyawarah
bersama kelompok pengguna, musyawarah dusun, musyawarah desa, dan dialog informal dengan para pemangku kepentingan.
64 Ada salah satu tahapan yang dilewati dalam pembentukan perdes. Ketika
proses pembentukan dibuat secara formal, BPD berdiskusi mengenai aturan yang akan diberlakukan sebagai respon permintaan masyarakat. Aturan-aturan tersebut
dituangkan dalam sebuah peraturan desa setelah melewati konsultasi panjang dengan masyarakat dan diharapkan dikonsultasikan juga dengan biro hokum.
Dalam kasus ini raperdes telah dipersiapkan oleh konsultan dan siap untuk ditandatangani oleh kepala desa. Masyarakat hanya dilibatkan dalam mengisi isian
dimana area DPL berada. Proses inilah yang menggambarkan jalan pintas dalam pembuatan aturan hukum. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang SETO
Bontolebang yang mengungkapkan bahwa terdapat tahapan yang dilewati dalam prosedur pembuatan perdes dimana masyarakat tidak sepenuhnya dilibatkan
dalam detail penentuan aturan-aturan yang akan dijadikan perdes. Hal ini lah yang mengakibatkan masyarakat lokal kurang mengetahui adanya aturan tersebut
secara tertulis dan peduli terhadap keberadaan DPL karena inisiatif pertama yang datang bukan dari mereka.
5.2.3 Pemasangan Tanda Batas DPL
DPL di Desa Bontolebang diberi tanda batas berupa pelampung-pelampung dimana pelampung tersebut dipasang sendiri oleh masyarakat dan pengelola
LPSTK. Namun saat penelitian ini dilakukan tanda batas pelampung tersebut sudah hilang karena dihempas gelombang angin barat. Bahkan pondok pengawas
yang seharusnya berada tidak jauh dari lokasi DPL, saat ini dalam keadaan terlantar dan tidak berfungsi. Contoh pelampung yang dijadikan tanda batas DPL
dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16 Pelampung tanda batas DPL.
65 Masyarakat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam penempatan tanda batas
berupa pelampung sebagai batas keberadaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan Abdul Rauf, ketua LPSTK, setelah penetapan DPL dilakukan, proses
penempatan tanda batas dilakukan oleh tim dari Coremap sementara ada beberapa masyarakat yang hanya dilibatkan sebatas membantu mengantar ke lokasi serta
menggunakan kapalperahu nelayan. Pada saat penelitian dilakukan keberadaan tanda batas sudah tidak ada hal
ini diakibatkan oleh hempasan angin barat dan bahkan menurut salah satu responden mengatakan dirusak bahkan dicuri oleh nelayan. Sebagai solusi atas
penempatan tanda batas ini, akan dilakukan inisiasi penggunaan tanda batas dengan menggunakan bamboo yang diberi tanda bendera, dengan harapan tidak
dicuri oleh nelayan. Namun sampai saat penelitian dilakukan pemasangan tanda batas tersebut belum dilaksanakan dengan alasan situasi politik yang belum
kondusif menjelang pemilihan kepala daerah di Kabupaten Kepulauan Selayar.
5.3 Persepsi Masyarakat tentang DPL
Istilah DPL reatif kurang diketahui oleh masyarakat. Secara umum masyarakat tidak mengetahui adanya daerah perlindungan laut disekitar desa.
Namun hal yang mereka fahami adalah penggunaan istilah ”Coremap” untuk DPL tersebut. Mereka hanya mengetahui DPL jika dijelaskan lebih rinci tentang
keberadaan area yang tidak boleh menangkap ikan. Masyarakat hanya menganggap bahwa keberadaan DPL itu hanya merupakan pembatasan atas area
penangkapan mereka saja. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang merasa tidak setuju atas keberadaan DPL tersebut. Namun demikian sebagian masyarakat yang
terlibat dalam pengelolaan DPL seperti pengurus LPSTK, BPD, LKM dan MD mengetahui keberadaan DPL ini dan bahkan merasa harus menjaganya.
Jika ditanya lebih jauh mengenai kebutuhan akan adanya DPL, sebagian besar masyarakat setuju dengan adanya area tertentu yang harus dilindungi.
Alasan mereka adalah karena di area tersebut sangat banyak sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan. Nelayan menyadari pentingnya keberadaan
DPL sebagai tempat memijahnya ikan untuk kemudian membesar dan ditangkap di luar area DPL. Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom dan bius
sangat dirasakan merugikan nelayan. Secara umum nelayan di Desa Bontolebang