27 pengumpulan data sekunder dilakukan melalui wawancara dengan pemerintah
setempat, tokoh masyarakat, lembaga non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat LSM.
Wawancara lebih banyak dilakukan secara informal dengan pendekatan wawancara individuperorangan ataupun FGD focus group discussion Gibbs
1997. Wawancara dimulai dengan instansi atau lembaga pemerintah daerah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan Dinas lain yang terkait
khususnya yang terlibat dalam pengelolaan program Coremap II Kabupaten Kepulauan Selayar. Kemudian dengan responden yang terlibat dalam proses
pembentukan DPL; responden ini merupakan informan kunci. Wawancara dengan kepala desa, tokoh masyarakat atau imam desa dan kepala dusun, dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang komprehensif terkait perkembangan sosial ekonomi desa, sejarah desa, aturan-aturan lokal, isu-isu pengelolaan serta persepsi mereka
tentang pembentukan DPL. Setelah mendapatkan gambaran umum tentang DPL, wawancara dilakukan dengan nelayan atau masyarakat lokal mengenai pesepsi
mereka tentang DPL termasuk proses pembentukan, implementasi serta dukungan terhadap pengelolaan. Pemilihan responden dilakukan dengan cara mengelilingi
desa dengan mendatangi setiap dusun, berkunjung ke kumpulan orang; dari satu orang ke yang lainnya; baik yang ada di rumah, bale-bale, ataupun di jalanan.
Untuk responden yang terlibat dalam proses pembentukan DPL, wawancara dilakukan dengan menanyakan gambaran proses pembentukan DPL berdasarkan
pengalaman mereka. Sementara untuk yang tidak terlibat dalam proses tersebut pertanyaan dimulai dengan persepsi mereka tentang keberadaan DPL di desa.
Beberapa pelaksanaan wawancara ditemani oleh seorang motivator desa MD. Wawancara juga dilakukan pada pengelola wisata resort yang secara tidak
langsung memanfaatkan perairan Desa Bontolebang sebagai site wisata diving serta organisasi masyarakat untuk mengetahui persepsi mereka tentang
pengelolaan sumberdaya serta keberadaan DPL. Pada bagian akhir wawancara dilakukan dengan komponen CBM Coremap II Selayar dalam pengelolaan
sumberdaya di Desa Bontolebang. Setiap wawancara dilakukan secara informal agar responden merasa
nyaman untuk mengungkapkan pendapat, bahkan mereka seolah tidak merasa
28 sedang diwawancarai. Mengorganisir wawancaradiskusi formal kedalam sebuah
ruangan dengan mengundang masyarakat untuk berdiskusi justru akan mengakibatkan FGD yang tidak efektif; dimana masyarakat yang datang hanya
sedikit, sementara mereka lebih memilih beraktifitas seperti biasa, atau hanya beberapa orang yang dapat mengungkapkan pendapatnya dalam forum karena
merasa malu Bunce et al. 2000; Fontana and Frey 2005.
3.5 Instrumen Penelitian
Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi serangkaian pertanyaan yang akan dijawab oleh responden. Kuesioner
disusun sebagai berikut: a.
Bagian pertama mengungkapkan keadaan sosial masyarakat yang meliputi nama, umur jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, dan
pendapatan. b.
Bagian kedua memuat tentang kegiatan program pembangunan yang meliputi jenis kegiatan, manfaat kegiatan, frekuensi pelaksanaan kegiatan,
kelembagaan aturan, sarana dan prasarana. c.
Bagian ketiga mengungkapkan keadaan alam sekitar yang meliputi kondisi ekosistem kawasan konservasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat,
manfaat, tindakan masyarakat, serta pemahaman masyarakat tentang kawasan konservasi.
d. Bagian terakhir memuat pertanyaan-pertanyaan tambahan antara lain
mengenai saran dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan rehabilitasi terumbu karang serta beberapa pertanyaan yang tidak tercakup pada
bagian-bagian sebelumnya.
3.6 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis sosial yang dalam metode studi kasus sangat
diperlukan dalam menggambarkan
proses terbentuknya aturan bersama pengelolaan perikanan secara tertulis, hingga pada
tataran pengawasan dan evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam penelitian ini tidak bersifat
baku, karena dalam penelitian kualitatif tidak ada pembakuan metode atau
29 langkah metodologis sebagaimana lazimnya dalam penelitian kuantitatif Salim
2000. Kartono 1996 menjelaskan beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilakukan dalam menganalisis sosial, yaitu: 1 menimbang data; 2 klasifikasi data; dan 3 formulasi konsep-konsep. Selanjutnya, Kartono 1996 menjelaskan
tentang prosedur-prosedur ilmiah yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian, diantaranya adalah: 1 menimbang data secara cermat dan hati-
hati; 2 pengaturan data dengan mengadakan klasifikasi; 3 menciptakan konsep-konsep atau sistem formal tertentu, yaitu memformulasikan ide-ide dan
definisi mengenai tingkah laku sosial dan fenomena-fenomena sosial; dan 4 memikirkan sistem-sistem deduktif atau logis untuk membuktikan dan
memverifikasi proporsi-proporsi stelling, pendirian tertentu dan pembuktian faktual.
3.7 Analisis Kelembagaan
Data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi di lapangan kemudian diverifikasi dan ditinjau ulang serta mendiskusikan dengan
pihak lain yang memiliki kemampuan dalam bidang kelembagaan. Selanjutnya untuk memastikan efektifitas unsur-unsur kelembagaan perlu diperiksa kembali
tingkat kebutuhannya, keberadaannya dan keberfungsian dari masing-masing unsur kelembagaan. Dalam menganalisis struktur pengelolaan perikanan
tradisional berbasis masyarakat, sebuah lembaga setidaknya memiliki aspek- aspek: wewenang, hak, aturan, monitoringpengawasan, akuntabilitas, resolusi
konflik, dan sanksi Ruddle 1998. Sementara itu dalam menganalisis kelembagaan pengelola terumbu karang di Desa Bontolebang, peneliti
menggunakan indikator-indikator yang dikemukakan oleh Ostrom 1990 in Satria 2009, sebagai berikut: 1 kejelasan batas wilayah, 2 kesesuaian aturan dengan
kondisi lokal, 3 aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya, 4 pelaksana pengawasan dihormati masyarakat, 5 berlakunya sanksi, 6
mekanisme penyelesaian konflik, 7 kuatnya pengakuan dari pemerintah, 8 adanya ikatan atau jaringan dengan lembaga luar.