58 Rhyzopora stylosa merupakan jenis mangrove yang sangat umum dijumpai,
karena mempunyai penyebaran yang sangat luas. Mangrove ini dapat tumbuh hingga 20 meter tingginya. Salah satu ciri khas jenis ini adalah mempunyai
sistem perakaran tongkat yang berlentisel untuk pernapasan. Selain itu, panjang daun dapat mencapai 10 cm, dengan bagian bawah permukaan daun berwarna
hijau muda terang dan berbintik coklat.
5.2 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPL-BM
5.2.1 Proses Pembentukan
Proses pembentukan DPL dimulai dengan SETO dan Fasilitator Masyarakat mendatangi desa dan mendiskusikan tentang pembentukan DPL ditingkat desa.
Diskusi melibatkan pemerintahan desa, tokoh masyarakatimam desa, kepala dusun, dan nelayan. Pada tahap ini dibentuklah sebuah rencana pengelolaan
terumbu karang RPTK dengan membentuk sebuah lembaga pengelola yang dinamakan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang LPSTK dan
memilih satu orang laki-laki dan satu orang perempuan untuk menjadi Motivator Desa MD.
Setelah LPSTK dibentuk, tahap berikutnya adalah penentuan areakawasan yang akan dijadikan DPL. Proses ini dilakukan oleh tim Coremap yang
mengunjungi desa untuk melakukan FGD. Masyarakat secara sukarela diundang untuk berdiskusi dengan tim tersebut.
Dalam diskusi tersebut masyarakat diminta untuk menggambarkan area tempat mencari ikan, area budidaya, dan alur transportasi sekitar desa. Setelah itu
masyarakat diminta untuk memilih beberapa area dimana terdapat terumbu karang yang akan dijadikan DPL. Lokasi yang direkomendasikan oleh masyarakat
kemudian diperiksa oleh tim dengan cara menyelam ke area yang dimaksud untuk melihat kondisi tutupan karang. Kemudian hasil dari penyelaman tersebut
disampaikan kepada masyarakat, untuk selanjutnya dipilih area mana yang memiliki tutupan karang yang paling tinggi; dan tidak jauh dari pulau agar mudah
dilakukan pengawasan. Sketsa hasil diskusi penentuan nominasi DPL dapat dilihat di Gambar 15.
Salah satu perwujudan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang dalam konteks kegiatan pembentukan DPL adalah penyusunan
.
ar 59
suatu rencan pengelolaaan terpadu bagi terumbu karang yanng berbasis masyarakat yang dilenggkapi dengan pelaksanaaan sistem pemantauan dan pengawwasan oleh
masyarakat Siswasmas
Lokasi DPL yang direkomendasiikan
Gamba 15 Sketsa penentuan DPL Desa Bontolebang oleh masyarrakat. RPTK yang dibuuat merupakkan salah satu tahap kegiatan pengelolaan
ekosistem terumbu karrang terpadu yang disuusun bersamma-sama LPPSTK, dan masyarakat dan dipanndu oleh Motivator Desa dan Fasilitator Masyarakat.
Berdasarkan visi dan sassaran yang dikembangkaan masyarakkat berdasarkkan isu dan masalah speesifik yang ada di suaatu lokasi, dirumuskan suatu proggram kerja
pengelolaan terumbu kaarang terpadu yang terarrah. Program kerja yang dihasilkan ttersebut merrupakan suaatu kesepakaatan antar beerbagai pihaak yang terllibat dalam
ppelaksanaann program DPPL. Selanjutnya, sebaagai bagian dari tempaat yang tutuupan karanggnya baik,
pemilihan DPL memilik nilai yang signifikan sebagai habbitat bagi pesies yang tterancam ataau memiliki gambaran bbio-geograpiis Kelleher 1999. Pemiilihan DPL
ttelah memilliki biodiverrsitas tinggii pada area--area yang dinomonasiikan. Akan tetapi tidak ada studi mengenai peerbandingan nominasi-nnominasi ini dalam hal
60 area tangkapan, yang barangkali memiliki nilai biodiversitas lebih tinggi. Data
sebelum penetapan DPL mengenai kawasan mana saja yang memiliki biodiversitas tinggi tersebut menjadi pertimbangan ilmiah penetapan DPL.
Laporan inilah yang menjadi basis data sebeum penetapan DPL, sehingga pemilihannya bukan semata-mata kompromi antara masyarakat dan pemerintah
untuk memiliki area yang dilindungi. Inilah yang menjadikan ketidak nyambungan antara data ilmiah dengan kesadaran masyarakat dalam memiliki
tujuan DPL. Proses penyebaran informasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pentingnya memiliki kawasan konservasi hendaknya didisain secara
betul-betul untuk menghindari target yang hanya jangka pendek Kelleher 1999; Noble 2000.
Berdasarkan hasil wawancara dengan SETO, proses sosialisasi awal program dan penentuan nominasi DPL dilaksanakan dalam 3 tiga bulan.
Meskipun proses penentuannya mencoba untuk melibatkan sebanyak mungkin masyarakat, akan tetapi masih belum menggambarkan komposisi aktual
masyarakatmerepresentasikan keadaan masyarakat saat itu. Dalam penentuan nominasi yang hanya ditentukan dalam waktu yang relative pendek tidaklah
cukup dalam memperoleh hasil partisipasi masyarakat yang baik. Noble 2000, mengungkapkan bahwa untuk menjaga partisipasi masyarakat, proses jangka lama
dalam penukaran pandangan, kepentingan, dan opini sangatlah diperlukan. Proses hendaknya dilakukan dengan cara intensif. Hal ini mengakibatkan DPL di
Bontolebang tidak bertahan lama selama proses seleksi dilakukan cepat dan tidak intensif.
Proses penentuan lokasi pun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka, dimana mereka memilih area yang terdapat terumbu karang untuk
dijadikan DPL. Hasilnya memang dapat dirasakan oleh masyarakat sendiri dimana area diluar taka’ ujung lola terdapat banyak ikan. Pada proses penentuan lokasi
DPL sedapat mungkin melibatkan sejumlah besar nelayan hal ini dikarenakan merekalah yang menjadi aktor di lapangan yang berkepantingan terhadap DPL.
Bahkan proses penentuan nominasi area yang akan dijadikan DPL pun sedapat mungkin diperlukan diskusi yang bukan hanya dalam waktu singkat melainkan
membutuhkan waktu yang lama. Studi Noble 2000 terhadap institusi dalam
61 sebuah pengelolaan ko-manajemen menyimpulkan bahwa dalam melibatkan
masyarakat secara tepat dibutuhkan proses perubahan pandangan yang lama, kepentingan, dan pendapat dari masyarakat.
Berdasarkan pengalaman
peneliti dilapangan
sangat sulit
untuk mengumpulkan masyarakatnelayan dalam sebuah diskusi formal, hal ini
memerlukan pendekatan yang baik. Demikian juga agar pertemuan dengan masyarakatnelayan dalam penentuan lokasi DPL berjalan efektif diharapkan
peran organisasi pelaksana di desa yaitu Fasilitator dan Motivator. FM dan MD diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai representasi program yang
dengan baik menjelaskan kepada masyarakat tentang tujuan pembentukan DPL. Waktu yang efektif dalam menyampaikan setiap program di desa antara lain
adalah pada saat selesai shalat jumat di mesjid. Pengelola kegiatan sedapat mungkin memanfaatkan waktu tersebut sebagai bagian dari sosialisai atau
pertemuan informal dimana mayoritas nelayan hadir pada saat itu. Agar pelaksanaan program berjalan efektif diperlukan kesungguhan dari
masyarakat untuk terlibat didalamnya. Proses “meyakinkan” masyarakat ini memerlukan waktu yang cukup lama agar mereka benar-benar merasa dilibatkan
dalam program. Dengan proses yang lama ini diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat dalam pelibatan mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
pedoman pembentukan Marine Protected Area MPA yang dikeluarkan oleh IUCN, menyebutkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dapat menentukan
keberhasilan sebuah pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai contoh, proses penentuan zonasi di kawasan Taman Nasional Wakatobi membutuhkan waktu
selama 3 tiga tahun dengan pendekatan intensif selama 2 dua tahun. Demikian juga di Filipina, dalam proses tahapan persiapan saja memerlukan 3 tiga bulan
agar masyarakat memahami konteks dan tujuan dari kawasan konservasi Kelleher 1999; Clifton 2003.
5.2.2 Peraturan Desa Perdes
Perdes tentang DPL-BM mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL
sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan