Hubungan antara Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan dengan

D. Hubungan

Faktor Eksternal Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan, Respon Pihak Pengawas, Sikap Rekan Kerja dan Pengaruh Penghargaan dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya pada pekerja Teknisi Unit Maintenance di PT Pelita Air Service Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015

1. Hubungan antara Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan dengan

Kepatuhan Pelaporan Bahaya Pelatihan K3 bertujuan agar pekerja dapat memahami dan berperilaku dengan mementingkan keselamatan dan kesehatan kerja, mengidentifkasi potensi bahaya di tempat kerja, melakukan pencegahan kecelakaan kerja, menggunakan alat pelindung diri, melakukan pencegahan dan pemadaman kebakaran serta menyusun program pengendalian K3 perusahaan termasuk kegiatan pelaporan bahaya Hargiyarto, 2008. Semakin sering dan baik pelatihan yang diberikan maka kecenderungan pekerja melakukan kegiatan pelaporan bahaya lebih besar daripada kecenderungan tidak melakukan kegiatan pelaporan bahaya Marettia, 2011. Pelatihan di PT Pelita Air Service dilakukan untuk seluruh pekerja. Pelatihan yang diberikan tergabung dalam HSE Training yang diadakan setiap dua tahun sekali untuk pekerja di kantor dan satu tahun sekali untuk pekerja maintenance. Pelatihan mencakup materi pengenalan mengenai pentingnya K3, implementasi dalam lingkungan kerja sehari-hari dan memunculkan budaya K3, klasifikasi kecelakaan, teori pencegahan kecelakaan, menjelaskan bagaimana keadaan atau perilaku yang tidak aman, kondisi tidak aman, APD, cara pengisian formulir pelaporan bahaya serta penjelasan mengenai program safety awards. Hasil penelitian menyatakan bahwa pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan jarang lebih banyak sebesar 82,4. Meskipun demikian, masih ada pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan sering yaitu sebesar 17,6. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anugraheni 2003 di PT Toyota Astra Motor Jakarta bahwa jumlah pekerja yang kurang dalam mendapatkan pelatihan keselamatan lebih besar yaitu sebesar 84,7. Selain itu, hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Novraswinda 2015 pada pekerja di unit radiologi diagnostik menyatakan dari 41 sampel dalam penelitiannya, 18 44 diantaranya mendapatkan pelatihan yang kurang. Sedangkan, hasil penelitian Marettia 2011 di PT X Indonesia memiliki jumlah pekerja dengan pelatihan keselamatan kurang yang lebih sedikit yaitu 14. Penelitian Zubaedah 2009 di PT Trakindo Utama PTTU Cabang Jakarta menyatakan hasil yang hampir serupa namun lebih banyak dengan hasil penelitian ini, dimana jumlah pekerja yang belum pernah mengikuti pelatihan sebesar 21,3. Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan jarang lebih sedikit yang tidak patuh dalam melakukan pelaporan bahaya 76,8 daripada pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan sering 87,5. Hasil uji chi-square diketahui juga bahwa pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan jarang memiliki efek proteksi sebesar 0,8374 kali terhadap tidak patuhnya melakukan pelaporan bahaya. Besarnya efek poteksi ini berbeda-beda untuk setiap individu. Pada penelitian ini, rentang efek proteksi yang dimiliki oleh setiap pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan jarang adalah 0,130 kali hingga 1,711 kali terhadap ketidakpatuhan melakukan pelaporan bahaya dibandingkan dengan pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan sering. Hasil penelitian tidak menemukan adanya perbedaan yang bermakna antara frekuensi paparan pelatihan keselamatan dengan kepatuhan pelaporan bahaya. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti dengan tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna antara frekuensi paparan pelatihan dengan kepatuhan pelaporan bahaya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Anugraheni 2003 yang menghasilkan Pvalue 1,00 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP 6. Namun sebaliknya penelitian Marettia 2011 di PT X menghasilkan Pvalue 0,04 yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP. Serupa dengan penelitian Marettia 2011, penelitian Asril 2003 di PT Apexindo Pratama Duta Tbk juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan perilaku pekerja dalam mengisi kartu pengamatan KKL dengan Pvalue 0,03. Hubungan tidak bermakna antara frekuensi paparan pelatihan keselamatan dengan kepatuhan pelaporan bahaya dapat terjadi karena penelitian ini hanya berfokus pada frekuensi paparan pelatihan terkait kegiatan pelaporan bahaya saja tidak sampai mendalam kepada informasi yang diterima pekerja. Seharusnya variabel dapat meneliti secara keseluruhan pelatihan lainnya dikarenakan untuk dapat melakukan pelaporan bahaya, pekerja harus memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya bukan hanya mengenai kegiatan pelaporan bahayanya saja. Sehingga untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat menggali lebih dalam mengenai paparan pelatihan keselamatan secara menyeluruh. Tidak ditemukannya hubungan bermakna antara frekuensi paparan pelatihan dengan kepatuhan pelaporan bahaya juga dapat disebabkan karena penggunaan kuesioner memungkinkan pekerja untuk mengisi tidak sesuai dengan kondisi aktual sehingga kualitas data yang diperoleh tergantung dari motivasi pekerja pada saat pengisian kuesioner dilakukan. Serta adanya perbedaan karakteristik pekerjaan yang dilakukan dan sistem dari pelatihan pada perusahaan. Berdasarkan hasil analisis diketahui pula bahwa pekerja yang memiliki frekuensi paparan pelatihan kesalamatan yang jarang lebih banyak yang memiliki persepsi terhadap bahaya negatif. Didukung oleh teori Sastrohadiwiryo 2002 dalam Silalahi 2012 pelatihan merupakan proses membantu tenaga kerja untuk memperoleh efektifitas dalam pekerjaan mereka yang sekarang atau yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan tentang pikiran, tindakan, kecakapan, pengetahuan, sikap dan persepsi yang layak. Selain dorongan yang ada dalam diri pekerja untuk melakukan pengisian pelaporan bahaya, dukungan dari perusahaan dengan penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya kepatuhan pelaporan bahaya di tempat kerja juga sangat diperlukan. Penggunaan safety instruction sebagai media yang digunakan untuk mensosialisasikan kebijakan melalui penyebaran informasi pada suatu lembaran yang wajib disebarkan dan dibaca oleh seluruh pekerja dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga sosialisasi bahwa kewajiban pengisian kartu pelaporan bahaya dapat diketahui pekerja secara menyeluruh. Faktanya, target minimal pelaporan bahaya tahun 2015 yaitu 1 pekerja1 kartu pelaporan 1 tahun belum dikomunikasikan dan disosialisasikan menyeluruh kepada pekerja secara tertulis dalam kebijakan atau safety instruction.Sehingga sebaiknya dilakukan pembuatan safety instruction baru sehingga dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan segera kepada pekerja mengenai target pelaporan bahaya tahun 2015 bahwa setiap orang wajib mengisi minimal 1 kartutahun. Didukung oleh PP No.50 Tahun 2012 tentang penerapan SMK3, pasal 13 bahwa pengusaha harus menyebarluaskan dan mengkomunikasikan setiap kebijakan yang ditetapkan kepada seluruh pekerjaburuh yang berada di perusahaan dan pihak lain yang terkait. Berdasarkan pemaparan sebelumnya sehingga dapat disimpulkan bahwa kepatuhan pelaporan bahaya tidak dipengaruhi oleh frekuensi paparan pelatihan keselamatan. Oleh sebab itu, sebaiknya manajemen perlu mensosialisasikan mengenai kewajiban pengisian pelaporan bahaya melalui pembuatan safety instruction baru sehingga dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan segera kepada pekerja mengenai. Serta perlu dilakukan pelatihan-pelatihan keselamatan lainnya yang merupakan dasar mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara berkala agar pekerja bisa menyadari betapa pentingnya pekerja untuk berperilaku aman bagi diri pekerja maupun lingkungan sekitarnya sebelum mengajak pekerja untuk dapat melakukan kegiatan pelaporan bahaya.

2. Hubungan antara Respon Pihak Pengawas dengan Kepatuhan