OHSAS tahun 2007 PP No. 50 Tahun 2012 Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor

d. Rasio perbandingan 600 adalah untuk kecelakaan yang tidak berakibat luka atau kerusakan nyaris celaka, artinya bahwa setiap enam ratus kali kejadian-kejadian yang tidak berakibat orang luka maupun kerusakan harta benda yang terjadi, kejadian seperti inilah yang perlu kita kendalikan agar tidak terjadi yang rasio perbandingan kecelakaan 30, 10 maupun 1. Piramida tersebut menunjukkan bahwa kontribusi tindakan yang tidak aman akan menyebabkan cidera yang parah, satu kecelakaan terjadi akibat akumulasi nearmiss yang merupakan at risk behaviour dan keadaan berbahaya yang terdiri dari perilaku kerja yang tidak aman maupun kondisi tidak aman Bird, 1986 dalam Roughton, 2002. Sejalan dengan itu, menurut WSH Council 2014 incident yang terjadi mencakup kejadian near-miss incident dan hazardous situation situasi berbahaya terbagi menjadi unsafe conditions dan at risk behaviour WSH Council, 2014. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mencegah situasi berbahaya perilaku dan kondisi tidak aman sebelum terakumulasi dan menyebabkan kecelakaan dan cidera lebih serius. Salah satunya dengan melaksanakan kegiatan pelaporan bahaya yang ada di PT Pelita Air Service.

4. Dasar Hukum Kegiatan Pelaporan Bahaya

a. OHSAS tahun 2007

OHSAS 18001 tahun 2007 mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai kondisi dan faktor yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja termasuk pekerja kontrak dan kontraktor dan juga tamu atau orang lain berada di tempat kerja. Dalam OHSAS:18001 klausul 4.5.3.2 mengatakan bahwa organisasi harus menerapkan prosedur untuk mencatat ketidaksesuaian, tindakan perbaikan serta mendokumentasikan tindakan pencegahan. OHSAS menyatakan bahwa pelaporan bahaya harus diterapkan disetiap perusahan melalui pencatatan ketidaksesuaian yang ada di area kerja oleh pekerja sehingga dapat tercipta lingkungan kerja yang aman.

b. PP No. 50 Tahun 2012

Agar memudahkan pelaksanaan K3 di tempat kerja, Departemen Tenaga Kerja juga mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan K3, salah satunya Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah di Indonesia dalam PP No. 50 Tahun 2012 tentang SMK3 menyatakan bahwa setiap perusahaan yang mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Tertera pada Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan kegiatan K3 harus melibatkan seluruh pekerja. Serta dalam lampiran II poin 8.1 menyatakan bahwa prosedur pelaporan bahaya harus dimiliki perusahaan dan prosedur tersebut diketahui oleh tenaga kerja. PP No. 50 Tahun 2012 menyatakan bahwa prosedur pelaporan bahaya harus dimiliki perusahan dan diketahui oleh tenaga kerja sehingga pelaksanaan K3 diperusahaan melibatkan seluruh pekerja agar tercipta lingkungan kerja yang aman.

c. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor

SKEP223X2009 Direktur Jenderal Perhubungan Udara telah mengeluarkan Surat Keputusan SK Nomor SKEP223X2009 tentang petunjuk dan tata cara pelaksanaan sistem manajemen keselamatan safety managemenet system operasi bandar udara, bagian 139-01 pada poin 4.1 menyatakan bahwa setiap pegawai bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi bahaya dan melaporkan kepada safety managerofficer . Identifikasi bahaya yang ada di bandar udara dilakukan salah satunya berdasarkan kegiatan pelaporan bahaya namun tidak ditetapkan metode yang harus digunakan. Metode identifikasi hazard disesuaikan dengan ketetapan setiap bandar udara. SK Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP223X2009 juga menyatakan bahwa setiap bandar udara harus memiliki sistem manajemen keselamatan salah satunya adalah identifikasi bahaya yang dilakukan oleh seluruh pekerja di bandar udara. Metode identifikasi bahaya tidak ditentukan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara, perusahaan memiliki kewenangan sendiri untuk prosedur dalam identifikasi bahaya, salah satunya adalah dengan kegiatan pelaporan bahaya. Selain itu, setiap perusahaan memiliki kewenangan untuk mengadopsi, memodifikasi atau merancang sendiri kegiatan pelaporan bahaya pada perusahaannya sendiri.

C. Teori Perubahan Perilaku