Hubungan antara Persepsi Terhadap Bahaya dengan Kepatuhan

4. Hubungan antara Persepsi Terhadap Bahaya dengan Kepatuhan

Pelaporan Bahaya Persepsi merupakan tahap paling awal dari serangkaian memproses informasi. Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki yang disimpan di dalam ingatan untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterprestasi stimulus rangsangan yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung Shiddiq, 2013. Persepsi bahaya yang baik memiliki peluang yang lebih besar untuk berperilaku dan patuh dalam melakukan pelaporan bahaya sehingga dapat meminimalisir kejadian kecelakaan pada dirinya Marettia, 2011. Persepsi terhadap bahaya dalam penelitian ini menunjukkan penilaian pekerja terhadap bahaya yang berpotensi menyebabkan kecelakaan dan cidera yang bisa terjadi pada dirinya dan sekitarnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa pekerja yang memiliki persepsi negatif terhadap bahaya lebih banyak dibandingkan pekerja yang memiliki persepsi positif terhadap bahaya yaitu 58,8. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Marettia 2011 di PT X Indonesia jumlah pekerja yang memiliki persepsi terhadap bahaya negatif lebih sedikit yaitu sebesar 43. Selain itu, hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Larasati 2011 di proyek apartemen the residences at dharmawangsa 2 menyatakan dari 50 sampel dalam penelitiannya, hanya 14 28 yang memiliki persepsi negatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pekerja yang memiliki persepsi negatif terhadap bahaya lebih banyak yang tidak patuh dalam melakukan pelaporan bahaya 97,5 daripada pekerja yang memiliki persepsi positif terhadap bahaya 51,8. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara persepsi terhadap bahaya dengan kepatuhan pelaporan bahaya. Berdasarkan hasil perhitungan Odds Ratio menunjukkan pekerja dengan persepsi negatif terhadap bahaya memiliki risiko 36,310 kali untuk tidak patuh dalam melakukan pelaporan bahaya daripada pekerja yang memiliki persepsi positif terhadap bahaya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif persepsi tentang bahaya pekerja maka akan semakin patuh dalam melakukan pelaporan bahaya dan semakin negatif persepsi sesorang maka semakin kecil kemungkinan pekerja untuk patuh dalam melakukan pelaporan bahaya. Hal ini juga menunjukkan bahwa positif atau negatifnya persepsi tentang bahaya pekerja mempengaruhi kepatuhan pelaporan bahaya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Marettia 2011 menghasilkan Pvalue 0,05 yang menyatakan ada hubungan bermakna antara persepsi pekerja terhadap bahaya dengan perilaku pekerja dalam melaksanakan program STOP dan diperoleh juga nilai OR sebesar 1,4 yang artinya pekerja yang memiliki persepsi yang baik mempunyai peluang 1,4 untuk berperilaku yang aman dalam melaksanakan program STOP dibandingkan pekerja dengan persepsi terhadap bahaya yang tidak baik. Didukung pula dengan penelitian Larasati 2011 hasil uji chi-square menunjukkan pekerja yang memiliki persepsi negatif cenderung 11 kali untuk mematuhi peraturan dan program keselamatan kerja daripada pekerja yang memiliki persepsi positif. Sedangkan, pada pekerja yang mempunyai persepsi yang tidak baik mengenai bahaya mempunyai kecenderungan melakukan perilaku yang tidak aman lebih tinggi. Hubungan bermakna antara persepsi pekerja terhadap bahaya dengan kepatuhan pelaporan bahaya terjadi karena persepsi bahaya menunjukkan sejauh mana penilaian pekerja terhadap bahaya yang dapat berpengaruh pada keputusan dan berefek pada tingkah laku yang terwujud pada pekerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan safety officer, menyatakan bahwa masih terdapat pekerja yang sebenarnya mengetahui bahaya di lingkungan kerja, tetapi pekerja menganggap tidak penting bahaya tersebut, mereka acuh, tidak waspada sehingga mengabaikan keselamatan diri mereka sendiri. Hal ini didukung oleh teori Petersan 1998 dalam Halimah 2010 yang mengemukakan bahwa seorang pekerja cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya atau risiko di tempat kerja, mengganggap tidak penting kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja, menganggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi kecelakaan kerja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang dipersepsikan seseorang terhadap risiko suatu bahaya dan besaran konsekuensinya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam melakukan pelaporan bahaya. Manajemen sebaiknya mengadakan kegiatan yang dapat terus meningkatkan persepsi pekerja agar pekerja senantiasa waspada dan patuh terhadap program perusahaan terutama dalam melakukan pekerjaan mereka. Misalnya dengan program khusus pada kegiatan safety morning atau tips-tips keselamatan di papan pengumuman yang dilakukan berkala dan terus menerus. Hal tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan temuan observasi ataupun keselamatan yang perlu diperhatikan dalam bekerja yang dapat berisiko fatal serta bahaya-bahaya yang dapat terjadi, ketika pekerja tidak bekerja dengan aman. Sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah secara dini dengan dilakukannya pelaporan bahaya dengan baik. Selain itu, manajemen juga perlu untuk terlibat dalam setiap aktivitas program. Manajemen harus memastikan secara langsung sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan di lapangan. Sesuai dengan teori Spigener 1999 dalam Byrd 2007 bahwa inisiatif Behavior Based Safety BBS mengandalkan empat langkah: mengidentifikasi perilaku kritis, mengumpulkan data, umpan balik yang berkelanjutan, dan menghilangkan hambatan. Selain itu, teori Cooper 2009 bahwa dalam program observasi keselamatan terdapat komunikasi dua arah antara orang yang mengobservasi dan yang diobservasi serta berupa briefing dalam periode tertentu, data hasil observasi akan dianalis untuk mengetahui perilaku yang spesifik. Untuk keterlibatan manajemen dalam aktivitas program didukung oleh teori yang dikemukakan Langford, dkk 2008 bahwa ketika pekerja percaya bahwa manajemen peduli terhadap keselamatan mereka, maka pekerja akan lebih dapat bekerja sama untuk meningkatkan atau memperbaiki performa dan perilaku keselamatan.

D. Hubungan