109
Universitas Indonesia
LAPOR. Berikut ini kutipan pernyataan dan wawancara dengan informan terkait dengan dimensi akuntabilitas:
“Kalau masalah tidak bisa diselesaikan, tolong dikabari
”, ungkap responden J. “Si pelapor tidak tau persis kapan laporannya diterima oleh terlapor.
Harusnya ada pemberitahuan dari pihak LAPOR tentang status pengaduannya sudah sampai mana, sehingga kami tidak resah menunggu.
Lalu bagaimana dngn status kasus yang tidak dijawab oleh instansi terkait. Semoga LAPOR bisa memberikan solusi nya. Apa cuma pihak mediator.
” Wawancara dengan informan R, 17 Mei 2015.
4.5 Variabel Hasil Penanganan Pengaduan
Hasil penanganan pengaduan menjadi salah satu variabel independen dalam penelitian ini, variabel yang memengaruhi variabel dependen yakni
kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR. Hasil penanganan pengaduan dilihat dari penyelesaian pengaduan yang
berkualitas, dalam artian ditindaklanjuti dan diselesaikan sampai tuntas dan sesuai harapan dari pelapor. Terdapat dua kategori dalam variabel ini, yakni rendah dan
tinggi.
Diagram 4.8 Hasil Penanganan Pengaduan
Berdasarkan jawaban responden dalam penelitian ini, hasil penanganan pengaduan, ditemukan bahwa hasil penanganan pengaduan dengan kategori tinggi
persentasenya sebesar 51.2, sedangkan kategori rendah 48.8. Artinya mayoritas responden hasil penanganan pengaduan melalui LAPOR sudah baik,
namun sebagian besar menjawab belum baik dilihat dari kategori rendah yang persentasenya tidak terlalu jauh dengan kategori tinggi.
48,8 51,2
Rendah Tinggi
110
Universitas Indonesia
Penyelesaian pengaduan merupakan kewajiban dari instansi terlapor untuk menyelesaikan semua pengaduan yang sudah didisposisikan. Laporan yang
dianggap selesai adalah laporan yang sudah dijawab oleh instansi terlapor dan tidak mendapat tanggapan dari pelapor, laporan ini secara otomatis akan tertutup
dalam waktu 10 hari setelah jawaban diberikan instansi terlapor. Seandainya instansi terlapor memberikan jawaban yang belum menyelesaikan masalah,
namun tidak mendapat tanggapan dari pelapor, maka laporan tersebut jika seandainya tertutup otomatis akan kembali dibuka atau di-hold oleh administrator
LAPOR. Namun dibuka atau tetap ditutupnya sebuah laporan yang sudah otomatis tertutup merupakan subjektivitas administrator LAPOR.
Hal ini mendapat tanggapan dari pelapor yang menyatakan bahwa seharusnya laporan tidak dapat dianggap selesai kecuali pelapor yang
menganggapnya selesai. “Diberi fitur bahwa suatu laporan tidak dapat dianggap
selesai kecuali pelapor telah menganggapnya selesai ”, ungkap responden T.
Tim LAPOR mempunyai alasan tersendiri mengapa laporan tersebut dapat ditutup secara otomatis atau dianggap selesai. Alasan pertama dikarenakan
kebiasaan pelapor, dalam artian ketika instansi terlapor telah memberi jawaban atau tindak lanjut, pelapor tidak memberikan sanggahan baik itu berupa tanggapan
atau informasi tambahan. Alasan kedua, tim LAPOR ingin bersifat adil kepada instansi terlapor, ketika laporan tersebut sudah dijawab dengan baik, maka tidak
masalah ditutup. Untuk alasan yang pertama dapat diinterpretasi menjadi dua makna yang
berbeda: 1 tidak adanya tanggapan atau informasi tambahan dari pelapor dikarenakan pelapor tidak mengetahui cara memberikan tindak lanjut, 2 pelapor
tidak puas atau terlanjur kecewa dengan jawaban yang diberikan sehingga membuatnya tidak memberikan tanggapan kepada instansi terlapor.
Pelapor seperti yang diterangkan pada interpretasi kedua, dianggap oleh pengelola LAPOR tidak kooperatif. Pandangan ini barangkali tidak tepat,
mengingat bisa saja pelapor sudah terlanjur pesimis disebabkan jawaban instansi terlapor yang tidak menyelesaikan permasalahan, hal tersebut membuatnya malas
memberikan tanggapan. Artinya sikap tidak kooperatif itu tidak lahir dengan sendirinya, ada alasan tertentu mengapa mereka tidak memberikan tanggapan.
111
Universitas Indonesia
Maka dari itu perlu ada peningkatan sistem LAPOR berupa rating atau penilaian jawaban yang diberikan instansi terlapor.
Sedangkan untuk alasan yang kedua, maka hal ini dapat dimaknai semua kembali ke subjektivitas administrator LAPOR dalam menilai jawaban instansi
terlapor. Penilaian ini dapat mengandung unsur bias jika tidak mempunyai landasan tertentu dalam menilai jawaban instansi terlapor sudah baik atau belum.
Kedua alasan ini dikemukakan oleh Manajer Program LAPOR ketika peneliti mewawancarainya, berikut ini kutipan wawancaranya:
“1 kebiasaan pelapor….1 kebiasaan pelapor tapi 2, ini sih kita ingin bersifat fair, sampe ketika laporan sudah diteruskan, instansinya sudah baik
ya menjawab….ini..ini yah yang hold ga kita itung ya, yang hold itu hitungannya ya memang belom selesai ya……ehmmmm apa namanya. Jadi
kita berikan ruang ke masyarakat untuk menanggapi……. Karena lapor ini kan aktif, nah kita harus memberikan ruang. Tapi disisi lain ketika kita
telah memberikan ruang, jangan sampe kita juga, gak fair ke instansinya. Masa ada instansi misalkan sudah jawab bagus, ternyata sudah berhari-
hari kerja, laporannya gak tertutup juga. Nah jadi kita fair untuk menjembatani di satu sisi pelapor klarifikasi atau mengkonfirmasi, disisi
lain KL juga ketika memang dia sudah jawab dan tidak ada respon yang lebih lanjut, ya berarti pelapor kita anggap sudah puas, toh kalo dia belom
puas, dia nggak memberikan respon lagi, berarti dia ga kooperatif
.” Wawancara dengan Informan G, Manajer Program LAPOR, 17 April
2015. Dilihat dari persentase kategori tinggi dan rendah yang tidak terlalu jauh,
menandakan hasil penanganan pengaduan melalui LAPOR dapat menyelesaikan permasalahan dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang diadukan
pelapor. Dengan kata lain, hasil penanganan pengaduan bergantung kepada instansi terlapor. Terdapat instansi terlapor yang dapat memberikan solusi dengan
baik, di sisi yang lain masih ada instansi terlapor yang tidak mampu memberikan solusi atas pengaduan pelapor. Berikut ini kutipan wawancara dengan informan
mengenai hasil penanganan pengaduan melalui LAPOR: 1 “Alhamdulillah
terselesaikan, dan hasilnya memuaskan ”, ungkap informan R. 2 “Jawabannya
tidak menyelesaikan masalah ”, ungkap informan DA.
Berdasarkan data akumulasi laporan yang sudah didisposisikan oleh tim LAPOR sampai bulan Oktober, November, dan Desember 2014, terlihat bahwa
persentase laporan selesai lebih besar dibandingkan status laporan belum selesai ditindaklanjuti dan dalam proses tindak lanjut. Data ini berbeda dengan data hasil
112
Universitas Indonesia
penanganan pengaduan seperti yang responden sampaikan, artinya makna status laporan selesai antara responden dengan LAPOR memang berbeda. Status selesai
bagi tim LAPOR adalah laporan yang sudah ditutup seperti yang sudah dibahas di atas, sedangkan selesai bagi pelapor adalah ada atau tidak penyelesaian atas
permasalahan yang diadukannya. Persentase laporan tersebut dapat dilihat pada diagram 4.9 di bawah ini.
Diagram 4.9 Status Laporan Disposisi
Sumber: telah diolah kembali oleh peneliti dari tim LAPOR 2014
Data di atas belum tentu menandakan kinerja seluruh instansi terlapor dalam menyelesaikan laporan sudah baik, karena statistik ini mencerminkan laporan
secara keseluruhan, tidak dilihat per instansi. Bisa saja terjadi perbedaan jika dilihat per instansi, karena tim LAPOR sendiri mengakui ada instansi yang tidak
responsif dan responsif. Instansi yang responsif dalam konteks ini diartikan dalam menjawab laporan, jika laporan masyarakat dijawab, maka memungkinkan
laporan tersebut selesai. Berbeda jika instansi tersebut tidak menjawab laporan sama sekali, sehingga laporan tidak dapat terselesaikan. Berikut ini kutipan
wawancara dengan Participation Analyst LAPOR: “BPJS sama Kumham responsif sih, ini karena Menterinya juga khususnya
KUMHAM. KUMHAM sekarang udah terhubung ke kanwil-kanwilnya juga, bahkan Lapas juga, Lapas Cipinang. Kalo enggak responsif sih itu kaya PT
PN enggak jawab laporan. Terus juga DIKTI, nah kalo DIKTI ini lagi ada permasalahan struktural. Kan dia di lepasin dari Kemendikbud jadi
Kementerian sendiri, nah proses transisinya itu belum lancar di sana.
” Wawancara dengan Informan M, Participation Analyst LAPOR, 20 April
2015.
4.6 Variabel Keterampilan Digital
Dalam penelitian ini, keterampilan digital menjadi variabel independen. Keterampilan digital akan dilihat dari empat dimensi, yakni: keterampilan
19 18
19 19
19 16
62 63
64
Oktober November
Desember Belum Ditindaklanjuti
Dalam Proses Tindaklanjut Selesai