Keterkaitan Hasil Data dengan Teori

145 Universitas Indonesia dilakukan sebelumnya misalnya kebijakan kenaikan harga BBM, kurikulum 2013, dan pengurusan sertipikat tanah. Namun, hasil survei yang masuk belum mampu memengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut. Maka dari itu, tekanan publik harus lebih kuat seperti kasus tunjangan profesi guru. Jadi, terwujudnya inklusi melalui LAPOR tidak dapat digeneralisir, karena hanya berhasil pada kasus-kasus atau isu-isu tertentu saja. Paling tidak LAPOR dapat menjadi harapan masyarakat dalam mendorong terjadinya inklusi. Meskipun berhasil menjadi ruang partisipasi masyarakat dalam memengaruhi kebijakan publik. Pada kenyataannya hal ini tidak berlangsung lancar, temuan tim PIRAC 2015 memperlihatkan bahwa rendahnya penyelesaian pengaduan masyarakat disebabkan lamanya proses penanganan pengaduan, karena penanganan pengaduan tersebut terkait dengan kebijakan. Seperti subsidi BBM, raskin, sertifikasi guru, dan lain-lain, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk penyelesaiannya. Artinya tidak semua pengaduan mengenai kebijakan publik dapat terselesaikan dengan baik dan dapat sesuai dengan harapan masyarakat yang mengalami dampak dari kebijakan itu, misalnya pengaduan terkait kebijakan raskin dan bantuan lainnya yang ditujukan untuk Kementerian Sosial masih belum dapat terselesaikan. Sampai bulan Desember 2014, Kementerian Sosial hanya dapat menyelesaikan 394 pengaduan, 370 sedang dalam proses tindak lanjut, dan 17.821 pengaduan belum ditindaklanjuti sama sekali Tim LAPOR, 2014. Rendahnya penyelesaian pengaduan oleh instansi tertentu, dapat membuat masyarakat menjadi malas untuk mengadu. Anggapan bahwa mengadu tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak ditindaklanjuti membuat masyarakat tidak mau menggunakan LAPOR. Dari data penelitian ini, dapat diketahui bahwa sudah terdapat gejala masyarakat yang kecewa terhadap keberadaan LAPOR, umumnya kekecewaan masyarakat disebabkan oleh instansi terlapor yang tidak menjawab laporannya. Meskipun jumlah mereka sedikit, kekecewaan tersebut dapat terus meningkat jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan oleh pengelola LAPOR. Oleh karena itu ke depan penting bagi pengelola LAPOR untuk mempunyai kewenangan berupa pemberian sanksi kepada instansi yang tidak 146 Universitas Indonesia responsif. Sanksi yang diberikan tidak sebatas teguran, melainkan sesuatu yang lebih kuat misalnya sanksi administratif dicopot dari jabatannya. Sejauh ini pengelola LAPOR memang hanya dapat memberikan sanksi teguran, tapi dalam implementasinya LAPOR dapat menjembatani antar unit kerja dalam suatu instansi untuk menindak pejabat negara instansi tersebut yang berlaku sewenang-wenang. Hal itu dapat dilihat pada sebuah pengaduan yang melaporkan penyelewengan oleh seorang pejabat di suatu unit kerja pada instansi pemerintah, tim LAPOR meneruskan mendisposisikan laporan tersebut ke pejabat penghubung di instansi tersebut. Setelah dilakukan investigasi oleh tim dari internal instasi tersebut, pejabat yang dilaporkan terbukti bersalah dan diberi sanksi dicopot dari jabatannya Presentasi LAPOR pada Data Innovation Forum, 2014. Dari kasus ini, maka dapat disimpulkan LAPOR berperan dalam menciptakan akuntabilitas horizontal, walaupun hanya sebatas mediator. Sebenarnya, peran LAPOR dalam menciptakan akuntabilitas horizontal dapat ditingkatkan dengan bekerjasama dengan DPR RI. DPR RI mempunyai tiga fungsi, salah satunya fungsi pengawasan dengan tugas dan wewenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah. Selain itu, DPR RI juga mempunyai tugas dan wewenang berupa menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat dpr.go.id. Maka dari itu DPR dalam sistem LAPOR dapat berperan lebih dari pemerhati, seperti misalnya menegur instansi terlapor ketika rapat kerja antara pemerintah dengan DPR dan mengawal ketuntasan setiap laporan masyarakat. Mengingat setiap anggota DPR merupakan representasi dari daerah tertentu. Selain itu, anggota DPR juga dapat mensosialisasikan LAPOR ke konstituennya ketika masa reses. Kerja sama ini dapat menguntungkan ketiga pihak, yakni masyarakat, anggota DPR dan DPD, dan pengelola LAPOR. Jadi, akuntabilitas vertikal yang menekankan peran masyarakat dalam mengkontrol pemerintah dapat lebih efektif ketika DPR juga punya peran pada LAPOR Kemudian mengenai partisipasi masyarakat dalam LAPOR. Berdasarkan hasil data penelitian ini, dapat diketahui bahwa masih terdapat kelompok masyarakat tertentu yang tidak dapat berpartisipasi penuh dalam mengakses LAPOR, misalnya perempuan, masyarakat dari Pulau non Jawa, masyarakat 147 Universitas Indonesia berpenghasilan dan berpendidikan rendah, dan masyarakat dengan pekerjaan kategori kelas menengah ke bawah. Hal itu dapat dilihat pada rendahnya partisipasi mereka dalam penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya. Dilihat berdasarkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Responden laki-laki berjumlah 100, sedangkan responden perempuan hanya 21 orang. Merujuk pada penelitian sebelumnya yang menjadikan LAPOR sebagai tempat penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sitoresmi 2013 dan Sadat 2014 terlihat bahwa jumlah responden mereka sebagian besar laki-laki. Dalam penelitian Sitoresmi 2013 responden laki-laki berjumlah 80 orang, respondenperempuan hanya 20 orang. Pada penelitian Sadat 2014 responden laki-laki berjumlah 101 dan perempuan hanya 17 orang. Hal ini dapat dimaknai bahwa ada kecenderungan laki-laki lebih sering membuat pengaduan atau penyampaian aspirasi kepada pemerintah melalui LAPOR, sedangkan perempuan cenderung lebih jarang. Padahal dilihat dari data pengguna internet di Indonesia, persentase perempuan dan laki-laki perbedaannya tidak jauh, perempuan 51 dan laki-laki 49 APJII dan Puskakom UI, 2015. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan dalam pelayanan publik, khususnya pengaduan berbasiskan digital menunjukkan hasil yang rendah. Dari segi akses, sebenarnya LAPOR tergolong mudah diakses, cukup dengan membuka webnya, mengirim SMS ke 1708, atau mengunduh aplikasi android, masyarakat sudah bisa membuat pengaduan atau menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Namun, hal tersebut ternyata tidak cukup untuk mendorong partisipasi perempuan dalam menggunakan LAPOR. Mungkin ada alasan-alasan tertentu yang membuat perempuan tidak mau membuat pengaduan, bisa disebabkan oleh rasa takut akan keselamatannya, pesimis aduannya akan diselesaikan, peran perempuan yang dipandang sebatas mengurus rumah tangga, dan lainnya. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa perjalanan LAPOR beberapa tahun belakangan ini belum mampu merangkul perempuan untuk berpartisipasi dalam membuat pengaduan. Mungkin hal ini tidak lepas dari tidak adanya pendekatan khusus yang dilakukan pengelola LAPOR untuk mendorong 148 Universitas Indonesia partisipasi perempuan untuk mengadu. Padahal sedari tahun 2013 melalui penelitian Sitoresmi 2013 sudah terlihat kecenderungan pengguna LAPOR yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki, namun pendekatan khusus terhadap kaum perempuan nampaknya memang belum secara serius dilakukan. Kolom pendaftaran pengguna baru melalui web LAPOR tidak mengalami perubahan sejak tahun 2013 sampai penelitian ini dilakukan, tidak ada opsi pilihan jenis kelamin. Padahal data tersebut dapat bermanfaat bagi pengelola LAPOR untuk melihat kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam pemanfaatan LAPOR oleh para perempuan. Berikutnya persebaran sampel dilihat per wilayah, maka akan terlihat bahwa mayoritas tinggal di Pulau Jawa. Hal ini dapat menandakan selama empat tahun belakangan LAPOR belum tersosialisasi dengan baik ke seluruh Indonesia. Sehingga tidak semua masyarakat mengetahui keberadaan LAPOR sebagai sarana pengaduan, meskipun LAPOR dikelola secara resmi oleh lembaga yang berada langsung di bawah presiden. Selain itu, rendahnya partisipasi dari pelapor non Pulau Jawa disebabkan pemerintah daerah yang terhubung dengan LAPOR masih terbatas, tiga di Pulau Jawa, satu di Pulau Sumatera, dan satu di Pulau Sulawesi. Sosialisasi di lima daerah itu juga berbeda-beda, ada yang dilakukan besar-besaran, ada pula yang sekadarnya saja, dikarenakan sosialisasi diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing Untuk terhubung dengan LAPOR, pengelola LAPOR tidak melakukan paksaan kepada pemerintah daerah untuk terhubung, sifatnya sukarela dan bergantung pada komitmen kepala daerah tersebut. Sehingga pertumbuhan jumlah pemerintah daerah yang terhubung dengan LAPOR sangat lambat, berbeda dengan kementerian dan lembaga negara non kementerian, disebabkan posisi UKP4 yang setingkat menteri, maka memudahkan UKP4 menjalin koordinasi untuk terhubung dengan LAPOR. Pengelola LAPOR juga tidak mempunyai anggaran khusus untuk melakukan sosialisasi dan tidak mempunyai pegawai yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Sejauh ini upaya yang telah dilakukan pengelola LAPOR adalah mengundang beberapa organisasi ke kantor UKP4 untuk memperkenalkan LAPOR, dari bulan Oktober – Desember 2014 pengelola LAPOR melakukan 149 Universitas Indonesia pertemuan dengan perwakilan organisasi kemahasiswaaan dari Universitas Bakrie, BEM UI, BEM FE UI, dan BEM FT UI. Upaya ini merupakan salah satu inisiatif yang baik, namun cakupannya masih sangat terbatas. Sehingga dampaknya belum terlalu signifikan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menggunakan LAPOR. Upaya lainnya yang sudah dilakukan adalah menjalin relasi dengan LSM sebagai pemerhati pada sistem LAPOR, pemerhati berperan mengawal pengaduan dengant topik tertentu. Saat ini terdapat lima pemerhati pada sistem LAPOR, salah satunya adalah LSM Publish What You Pay PWYP, LSM yang berfokus pada transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif. PWYP menjadi pemerhati sejak bulan Desember 2014. Dengan dukungan anggotanya yang tersebar di daerah, PWYP turut serta mensosialisasikan LAPOR di daerah seperti Kalimantan Barat. Kegiatan semacam ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di daerah, karena para pemerhati yang merupakan komunitas atau LSM dapat mensosialisasikan LAPOR pada kelompoknya masing-masing. Seperti PWYP yang mensosialisasikan LAPOR pada suku dayak di Tayan Ilir Kalimantan Barat. Berikut ini kutipan wawancara dengan informan dari PWYP terkait sosialisasi LAPOR: β€œHe eh, jadi kita kemarin itu untuk program yang saat ini yang open data ini, kita kan daerah pilot-nya tuh di Kalimantan Barat, namanya Sanggau Tayan. Nah kita kemarin tuh training open data sekaligus sosialisasi sistem LAPOR di situ. Nah selain sosialisasi, kita juga kemarin itu apa ya...meminta masyarakat mencoba langsung kalo mau lapor itu gimana gitu. Kemarin pas training itu beberapa masyarakat udah itu udah belajar gimana cara nyusun laporan yang baik, laporan itu sifatnya lengkap dan langsung bisa ditindaklanjuti gitu. Kan ada laporan yang mutung gitu ya, infonya kurang gitu kan. ” Wawancara dengan Informan D, Project Asisten Publish What You Pay Indonesia, 22 April 2015. Kemudian, partisipasi pengguna dari kalangan kelas menengah ke bawah, berpendidikan, dan berpenghasilan rendah juga dapat menjadi cerminan bahwa LAPOR belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Keberadaan mereka penting untuk diperhatikan, mengingat mereka merupakan kelompok yang punya kecenderungan takut untuk menyampaikan pengaduan karena menganggap keselamatannya dapat terancam. Artinya mereka harus diyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa sistem LAPOR ini dapat menjamin kerahasiaan dan anonimitas pelapor 150 Universitas Indonesia

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kepuasan masyarakat pada salah satu sistem penanganan pengaduan masyarakat di Indonesia, yakni LAPOR. Penjelasan dilakukan dengan melakukan uji hipotesis untuk melihat hubungan antara tiga variabel independen dan satu variabel dependen, uji hipotesis didasarkan pada tiga pertanyaan penelitian yang terdapat pada bab 1. Sebagai kesimpulan, maka berikut ini jawaban satu per satu pertanyaan penelitian yang sudah diajukan sebelumnya. Pertama, bagaimana hubungan antara proses penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR? Terdapat hubungan antara proses penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat, arah hubungannya positif dengan kekuatan hubungan lemah dan bisa digeneralisasi ke tingkat populasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi proses penanganan pengaduan, maka semakin puas responden pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR. Temuan menarik pada variabel proses penanganan adalah pergantian pemerintahan yang membawa implikasi ketidakjelasan status lembaga UKP4 sebagai induk LAPOR dan perubahan struktur kementerian. Hal ini membuat sejumlah instansi yang sudah terhubung dengan LAPOR menjadi tidak responsif, dikarenakan instansi tersebut mempunyai permasalahan internal sendiri dan mengira UKP4 sudah bubar, sehingga laporan yang masuk diabaikan. Dimensi dalam variabel proses penanganan pengaduan yang mempunyai kekuatan hubungan cukup kuat adalah responsivitas. Semua dimensi mempunyai hubungan dengan kepuasan masyarakat, arah hubungannya positif dan bisa digeneralisasi ke tingkat populasi. Semua dimensi dianggap oleh responden sudah baik, namun terdapat beberapa dimensi yang masih harus ditingkatkan lagi. Seperti dimensi visibilitas, aksesbilitas, dan kerahasiaan. Dari dimensi visibilitas, informasi mengenai LAPOR memang mudah didapatkan jika pelapor mengakses LAPOR melalui web atau android, namun sulit didapatkan jika melalui SMS ke 151 Universitas Indonesia 1708. Berikutnya dimensi aksesbilitas, sejauh ini LAPOR mudah diakses baik itu melalu web, aplikasi android, dan SMS, namun kendala masih terdapat kendala teknis pada aplikasi android. LAPOR juga tidak tersedia pada perangkat iphone dan blackberry. Selain itu, ke depan penting bagi LAPOR untuk membuka pengaduan berbasiskan offline. Dimensi kerahasiaan menjadi sorotan karena sebelumnya pernah terjadi laporan yang sempat di bawa ke ranah hukum, disebabkan kelalaian administrator dalam mengubah kategori laporan. Kedua, bagaimana hubungan antara hasil penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR? Ada hubungan antara hasil penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat dengan arah hubungan positif dan kekuatan hubungan lemah, serta bisa digeneralisasi ke tingkat populasi. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi hasil penanganan pengaduan, maka semakin puas responden pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR. Hal menarik dalam variabel hasil penanganan pengadan adalah penentuan laporan yang dianggap selesai. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa hasil penanganan pengaduan juga sangat bergantung pada kemauan instansi terlapor untuk menyelesaikan pengaduan yang mereka terima. Ketiga, bagaimana hubungan antara keterampilan digital dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR? Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara keterampilan digital dengan kepuasan masyarakat. Namun arah hubungannya positif dengan kekuatan hubungan sangat lemah dan tidak dapat digeneralisasi ke tingkat populasi. Dapat disimpulkan bahawa semakin tinggi keterampilan digital, maka semakin puas responden pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR. Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden keterampilan digitalnya tinggi, begitu juga dengan keterampilan operasional, formal, informasi, dan komunikasi hasilnya tinggi. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa LAPOR sebagai sistem penanganan pengaduan masyarakat di Indonesia dapat diandalkan. Tingkat kepuasan masyarakat pada LAPOR mayoritas menunjukkan hasil puas. Hanya 152 Universitas Indonesia perlu sejumlah peningkatan seperti yang disampaikan pada bagian saran dan implikasi kebijakan. Secara teoritis, kehadiran LAPOR tidak dapat dilepaskan dari perwujudan demokratisasi di Indonesia. Sejauh ini LAPOR dapat berperan sebagai ruang yang mendorong terjadinya inklusi. Kasus tunjangan profesi guru dapat menjadi contoh bagaimana pengaduan masyarakat dapat mengubah sebuah kebijakan menjadi lebih berpihak kepada masyarakat. LAPOR juga berperan dalam mewujudkan warga negara yang aktif, melalui LAPOR masyarakat turut serta bertanggung jawab atas kehidupan politik dan sipil yang berkualitas. Partisipasi masyarakat berupa pengaduan dapat membuat pelayanan publik menjadi semakin berkualitas, sehingga menguntungkan banyak pihak. LAPOR berhasil membuktikan bahwa untuk mewujudkan akuntabilitas horizontal tidak selalu membutuhkan lembaga yang terpisah untuk mengawasi lembaga negara lainny. LAPOR yang hanya sekadar mediator atau alat penghubung dalam suatu instansi dengan unit kerjanya, ternyata dapat berperan dalam menciptakan akuntabilitas horizontal. Namun, hal ini tergantung kepada sejauh mana instansi terhubung berkomitmen menyelesaikan semua laporan yang masuk. Keberadaan LAPOR juga dapat dilihat dari kondisi negara saat ini yang sudah demokratis. Dalam negara demokratis peran yang dijalankan oleh LAPOR sangat penting untuk memastikan sistem demokrasi tetap bertahan. Melalui LAPOR, partisipasi masyarakat dapat meningkat didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. LAPOR juga dapat memastikan partisipasi masyarakat dilakukan dalam koridor formal, sehingga dapat meminimalisir tindakan yang anti-demokratik misalnya penggunaan kekerasan untuk memengaruhi kebijakan publik. Meskipun demikian, implementasi LAPOR belum mampung meningkatkan partisipasi pada kelompok tertentu, misalnya perempuan dan masyarakat non Pulau Jawa. Hal ini berkaitan dengan minimnya sosialisasi yang dilakukan selama ini oleh pengelola LAPOR. Terlepas dari minimnya sosialisasi LAPOR kepada masyarakat luas, berdasarkan jejak rekam selama tiga tahun 153 Universitas Indonesia terakhir, LAPOR terbukti dapat meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan demokrasi di Indonesia.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sejumlah saran untuk diberikan kepada pihak terkait dalam penelitian ini, terutama pengelola LAPOR. Berikut saran yang diberikan peneliti dalam penelitian ini:

6.2.1 Untuk Pengelola LAPOR

1. LAPOR perlu disosialisasikan ke masyarakat di seluruh penjuru Indonesia agar dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyampaikan pengaduan dan aspirasi ke pemerintah. Mengingat saat ini laporan yang masuk melalui LAPOR mayoritas berasal dari pulau Jawa, khususnya Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu, jumlah pengguna LAPOR masih berada di angka ratusan ribu. Padahal jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai ratusan juta orang, hal ini dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan LAPOR masih rendah. Bahkan di daerah yang pemerintah daerahnya sudah terhubung dengan LAPOR angka partisipasinya juga tidak terlalu tinggi, jika dibandingkan jumlah penduduk di daerah tersebut, misalnya di Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut menandakan sosialisasi yang dilakukan selama ini tidak dilakukan dengan maksimal. Berdasarkan temuan data penelitian ini, peneliti memberikan beberapa rekomendasi terkait sosialisasi LAPOR: 1 Sosialisasi harus menjadi agenda prioritas bagi pengelola LAPOR ke depannya. Pengelola LAPOR tidak hanya mengandalkan instansi yang sudah terhubung saja untuk mensosialisasikan LAPOR. Tapi juga melakukan sosialisasi secara mandiri, langkah awal yang dapat dilakukan adalah menyediakan anggaran rutin setiap tahun untuk melakukan sosialisasi dengan besaran yang cukup. Sejauh ini nampaknya sosialisasi belum menjadi prioritas pengelola LAPOR, padahal sosialisasi LAPOR kepada masyarakat penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Kesuksesan LAPOR dapat diukur dari tinggi dan rendahnya partisipasi masyarakat, bukan sekadar kepuasan masyarakat yang sudah 154 Universitas Indonesia menggunakan LAPOR saja. Dengan menjadikan sosialisasi sebagai agenda prioritas, maka pengelola LAPOR dapat merancang strategi yang lebih komprehensif dalam mensosialisasikan LAPOR dan memberikan dukungan anggaran yang cukup untuk melakukan sosialisasi. 2 Sosialisasi dapat dilakukan melalui saluran televisi dan radio milik pemerintah yang menjangkau seluruh Indonesia, misalnya TVRI dan RRI. Sejauh ini, upaya tersebut belum dilakukan oleh pengelola LAPOR. Tidak hanya itu, pengelola LAPOR juga dapat melakukannya melalui saluran televisi dan radio milik swasta, mengingat tingginya frekuensi masyarakat dalam menonton atau mendengar program-program di saluran televisi dan radio milik swasta. Untuk itu perlu penyediaan anggaran dan tim yang kreatif untuk memproduksi konten sosialisasi LAPOR. LAPOR juga dapat memanfaatkan mandat dari Peraturan Menkominfo No.212013 yang salah satu isinya memungkinkan pemerintah untuk mengirim pesan ke banyak tujuan terkait dengan kepentingan negara dalam hal ini pelayanan publik. Hal ini pernah dilakukan oleh Kominfo pada bulan Juni tahun 2013 yang mengirimkan pesan ke 245 juta nomor handphone, dengan isi pesan ajakan untuk mengadukan permasalahan terkait dampak kenaikan harga BBM ke nomor LAPOR. Namun upaya ini tidak berfokus untuk mempromosikan LAPOR, maka sebaiknya ke depan dapat dilakukan hal serupa yang secara spesifik bertujuan untuk mempromosikan LAPOR. 3 LAPOR harus disosialisasikan oleh Presiden Jokowi Widodo, mengingat secara kelembagaan, lembaga yang menjadi induk dari LAPOR berada langsung di lingkungan kepresidenan dan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi pada presiden. Selain itu, terlihat bahwa sosialisasi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mempromosikan nomor telepon pengaduan 9949 membawa dampak yang signifikan ditandai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengadu. Hal ini sepatutnya ditiru oleh Presiden Joko Widodo, namun hal tersebut belum dilakukan juga sampai saat ini. Sebaliknya Presiden Joko Widodo malah menyebarkan nomor telepon