Keterkaitan Hasil Data dengan Teori
145
Universitas Indonesia
dilakukan sebelumnya misalnya kebijakan kenaikan harga BBM, kurikulum 2013, dan pengurusan sertipikat tanah. Namun, hasil survei yang masuk belum mampu
memengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut. Maka dari itu, tekanan publik harus lebih kuat seperti kasus tunjangan profesi guru. Jadi, terwujudnya inklusi melalui
LAPOR tidak dapat digeneralisir, karena hanya berhasil pada kasus-kasus atau isu-isu tertentu saja. Paling tidak LAPOR dapat menjadi harapan masyarakat
dalam mendorong terjadinya inklusi. Meskipun berhasil menjadi ruang partisipasi masyarakat dalam
memengaruhi kebijakan publik. Pada kenyataannya hal ini tidak berlangsung lancar, temuan tim PIRAC 2015 memperlihatkan bahwa rendahnya penyelesaian
pengaduan masyarakat disebabkan lamanya proses penanganan pengaduan, karena penanganan pengaduan tersebut terkait dengan kebijakan. Seperti subsidi
BBM, raskin, sertifikasi guru, dan lain-lain, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk penyelesaiannya. Artinya tidak semua pengaduan mengenai kebijakan
publik dapat terselesaikan dengan baik dan dapat sesuai dengan harapan masyarakat yang mengalami dampak dari kebijakan itu, misalnya pengaduan
terkait kebijakan raskin dan bantuan lainnya yang ditujukan untuk Kementerian Sosial masih belum dapat terselesaikan. Sampai bulan Desember 2014,
Kementerian Sosial hanya dapat menyelesaikan 394 pengaduan, 370 sedang dalam proses tindak lanjut, dan 17.821 pengaduan belum ditindaklanjuti sama
sekali Tim LAPOR, 2014. Rendahnya penyelesaian pengaduan oleh instansi tertentu, dapat membuat
masyarakat menjadi malas untuk mengadu. Anggapan bahwa mengadu tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak ditindaklanjuti membuat masyarakat tidak mau
menggunakan LAPOR. Dari data penelitian ini, dapat diketahui bahwa sudah terdapat gejala masyarakat yang kecewa terhadap keberadaan LAPOR, umumnya
kekecewaan masyarakat disebabkan oleh instansi terlapor yang tidak menjawab laporannya. Meskipun jumlah mereka sedikit, kekecewaan tersebut dapat terus
meningkat jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan oleh pengelola LAPOR. Oleh karena itu ke depan penting bagi pengelola LAPOR untuk
mempunyai kewenangan berupa pemberian sanksi kepada instansi yang tidak
146
Universitas Indonesia
responsif. Sanksi yang diberikan tidak sebatas teguran, melainkan sesuatu yang lebih kuat misalnya sanksi administratif dicopot dari jabatannya.
Sejauh ini pengelola LAPOR memang hanya dapat memberikan sanksi teguran, tapi dalam implementasinya LAPOR dapat menjembatani antar unit
kerja dalam suatu instansi untuk menindak pejabat negara instansi tersebut yang berlaku sewenang-wenang. Hal itu dapat dilihat pada sebuah pengaduan yang
melaporkan penyelewengan oleh seorang pejabat di suatu unit kerja pada instansi pemerintah, tim LAPOR meneruskan mendisposisikan laporan tersebut ke
pejabat penghubung di instansi tersebut. Setelah dilakukan investigasi oleh tim dari internal instasi tersebut, pejabat yang dilaporkan terbukti bersalah dan diberi
sanksi dicopot dari jabatannya Presentasi LAPOR pada Data Innovation Forum, 2014. Dari kasus ini, maka dapat disimpulkan LAPOR berperan dalam
menciptakan akuntabilitas horizontal, walaupun hanya sebatas mediator. Sebenarnya, peran LAPOR dalam menciptakan akuntabilitas horizontal
dapat ditingkatkan dengan bekerjasama dengan DPR RI. DPR RI mempunyai tiga fungsi, salah satunya fungsi pengawasan dengan tugas dan wewenang melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah. Selain itu, DPR RI juga mempunyai tugas dan wewenang berupa menyerap,
menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat dpr.go.id. Maka dari itu DPR dalam sistem LAPOR dapat berperan lebih dari pemerhati, seperti misalnya
menegur instansi terlapor ketika rapat kerja antara pemerintah dengan DPR dan mengawal ketuntasan setiap laporan masyarakat. Mengingat setiap anggota DPR
merupakan representasi dari daerah tertentu. Selain itu, anggota DPR juga dapat mensosialisasikan LAPOR ke konstituennya ketika masa reses. Kerja sama ini
dapat menguntungkan ketiga pihak, yakni masyarakat, anggota DPR dan DPD, dan pengelola LAPOR. Jadi, akuntabilitas vertikal yang menekankan peran
masyarakat dalam mengkontrol pemerintah dapat lebih efektif ketika DPR juga punya peran pada LAPOR
Kemudian mengenai partisipasi masyarakat dalam LAPOR. Berdasarkan hasil data penelitian ini, dapat diketahui bahwa masih terdapat kelompok
masyarakat tertentu yang tidak dapat berpartisipasi penuh dalam mengakses LAPOR, misalnya perempuan, masyarakat dari Pulau non Jawa, masyarakat
147
Universitas Indonesia
berpenghasilan dan berpendidikan rendah, dan masyarakat dengan pekerjaan kategori kelas menengah ke bawah. Hal itu dapat dilihat pada rendahnya
partisipasi mereka dalam penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya. Dilihat berdasarkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini, dapat
diketahui bahwa jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Responden laki-laki berjumlah 100, sedangkan responden perempuan hanya 21
orang. Merujuk pada penelitian sebelumnya yang menjadikan LAPOR sebagai tempat penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sitoresmi 2013 dan
Sadat 2014 terlihat bahwa jumlah responden mereka sebagian besar laki-laki. Dalam penelitian Sitoresmi 2013 responden laki-laki berjumlah 80 orang,
respondenperempuan hanya 20 orang. Pada penelitian Sadat 2014 responden laki-laki berjumlah 101 dan perempuan hanya 17 orang.
Hal ini dapat dimaknai bahwa ada kecenderungan laki-laki lebih sering membuat pengaduan atau penyampaian aspirasi kepada pemerintah melalui
LAPOR, sedangkan perempuan cenderung lebih jarang. Padahal dilihat dari data pengguna internet di Indonesia, persentase perempuan dan laki-laki perbedaannya
tidak jauh, perempuan 51 dan laki-laki 49 APJII dan Puskakom UI, 2015. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan dalam pelayanan
publik, khususnya pengaduan berbasiskan digital menunjukkan hasil yang rendah. Dari segi akses, sebenarnya LAPOR tergolong mudah diakses, cukup
dengan membuka webnya, mengirim SMS ke 1708, atau mengunduh aplikasi android, masyarakat sudah bisa membuat pengaduan atau menyampaikan aspirasi
kepada pemerintah. Namun, hal tersebut ternyata tidak cukup untuk mendorong partisipasi perempuan dalam menggunakan LAPOR. Mungkin ada alasan-alasan
tertentu yang membuat perempuan tidak mau membuat pengaduan, bisa disebabkan oleh rasa takut akan keselamatannya, pesimis aduannya akan
diselesaikan, peran perempuan yang dipandang sebatas mengurus rumah tangga, dan lainnya.
Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa perjalanan LAPOR beberapa tahun belakangan ini belum mampu merangkul perempuan untuk
berpartisipasi dalam membuat pengaduan. Mungkin hal ini tidak lepas dari tidak adanya pendekatan khusus yang dilakukan pengelola LAPOR untuk mendorong
148
Universitas Indonesia
partisipasi perempuan untuk mengadu. Padahal sedari tahun 2013 melalui penelitian Sitoresmi 2013 sudah terlihat kecenderungan pengguna LAPOR
yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki, namun pendekatan khusus terhadap kaum perempuan nampaknya memang belum secara serius dilakukan. Kolom
pendaftaran pengguna baru melalui web LAPOR tidak mengalami perubahan sejak tahun 2013 sampai penelitian ini dilakukan, tidak ada opsi pilihan jenis
kelamin. Padahal data tersebut dapat bermanfaat bagi pengelola LAPOR untuk melihat kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam pemanfaatan LAPOR oleh
para perempuan. Berikutnya persebaran sampel dilihat per wilayah, maka akan terlihat
bahwa mayoritas tinggal di Pulau Jawa. Hal ini dapat menandakan selama empat tahun belakangan LAPOR belum tersosialisasi dengan baik ke seluruh Indonesia.
Sehingga tidak semua masyarakat mengetahui keberadaan LAPOR sebagai sarana pengaduan, meskipun LAPOR dikelola secara resmi oleh lembaga yang
berada langsung di bawah presiden. Selain itu, rendahnya partisipasi dari pelapor non Pulau Jawa disebabkan pemerintah daerah yang terhubung dengan LAPOR
masih terbatas, tiga di Pulau Jawa, satu di Pulau Sumatera, dan satu di Pulau Sulawesi. Sosialisasi di lima daerah itu juga berbeda-beda, ada yang dilakukan
besar-besaran, ada pula yang sekadarnya saja, dikarenakan sosialisasi diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing
Untuk terhubung dengan LAPOR, pengelola LAPOR tidak melakukan paksaan kepada pemerintah daerah untuk terhubung, sifatnya sukarela dan
bergantung pada komitmen kepala daerah tersebut. Sehingga pertumbuhan jumlah pemerintah daerah yang terhubung dengan LAPOR sangat lambat, berbeda
dengan kementerian dan lembaga negara non kementerian, disebabkan posisi UKP4 yang setingkat menteri, maka memudahkan UKP4 menjalin koordinasi
untuk terhubung dengan LAPOR. Pengelola LAPOR juga tidak mempunyai anggaran khusus untuk
melakukan sosialisasi dan tidak mempunyai pegawai yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Sejauh ini upaya yang telah dilakukan pengelola LAPOR
adalah mengundang beberapa organisasi ke kantor UKP4 untuk memperkenalkan LAPOR, dari bulan Oktober
β Desember 2014 pengelola LAPOR melakukan
149
Universitas Indonesia
pertemuan dengan perwakilan organisasi kemahasiswaaan dari Universitas Bakrie, BEM UI, BEM FE UI, dan BEM FT UI. Upaya ini merupakan salah satu
inisiatif yang baik, namun cakupannya masih sangat terbatas. Sehingga dampaknya belum terlalu signifikan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk menggunakan LAPOR. Upaya lainnya yang sudah dilakukan adalah menjalin relasi dengan LSM
sebagai pemerhati pada sistem LAPOR, pemerhati berperan mengawal pengaduan dengant topik tertentu. Saat ini terdapat lima pemerhati pada sistem
LAPOR, salah satunya adalah LSM Publish What You Pay PWYP, LSM yang berfokus pada transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif. PWYP menjadi
pemerhati sejak bulan Desember 2014. Dengan dukungan anggotanya yang tersebar di daerah, PWYP turut serta mensosialisasikan LAPOR di daerah seperti
Kalimantan Barat. Kegiatan semacam ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di daerah, karena para pemerhati yang merupakan
komunitas atau LSM dapat mensosialisasikan LAPOR pada kelompoknya masing-masing. Seperti PWYP yang mensosialisasikan LAPOR pada suku dayak
di Tayan Ilir Kalimantan Barat. Berikut ini kutipan wawancara dengan informan dari PWYP terkait sosialisasi LAPOR:
βHe eh, jadi kita kemarin itu untuk program yang saat ini yang open data ini, kita kan daerah pilot-nya tuh di Kalimantan Barat, namanya Sanggau
Tayan. Nah kita kemarin tuh training open data sekaligus sosialisasi sistem LAPOR di situ. Nah selain sosialisasi, kita juga kemarin itu apa
ya...meminta masyarakat mencoba langsung kalo mau lapor itu gimana gitu. Kemarin pas training itu beberapa masyarakat udah itu udah belajar
gimana cara nyusun laporan yang baik, laporan itu sifatnya lengkap dan langsung bisa ditindaklanjuti gitu. Kan ada laporan yang mutung gitu ya,
infonya kurang gitu kan.
β Wawancara dengan Informan D, Project Asisten Publish What You Pay Indonesia, 22 April 2015.
Kemudian, partisipasi pengguna dari kalangan kelas menengah ke bawah, berpendidikan, dan berpenghasilan rendah juga dapat menjadi cerminan bahwa
LAPOR belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Keberadaan mereka penting untuk diperhatikan, mengingat mereka merupakan kelompok yang punya
kecenderungan takut untuk menyampaikan pengaduan karena menganggap keselamatannya dapat terancam. Artinya mereka harus diyakinkan dengan
sungguh-sungguh bahwa sistem LAPOR ini dapat menjamin kerahasiaan dan anonimitas pelapor
150
Universitas Indonesia