Responsivitas LAPOR Variabel Proses Penanganan Pengaduan

106 Universitas Indonesia Dari data tersebut dapat dimaknai bahwa masih terdapat responden yang merasa LAPOR belum dapat menjamin kerahasiaan data laporan atau identitas pelapor. Diagram 4.6 Kerahasiaan LAPOR Kekhawatiran responden mengenai keselamatan dirinya cukup beralasan. Mengacu pada hasil penelitian Pusat Telaah dan Informasi Regional PATTIRO tahun 2005 terdapat sebagian orang yang takut untuk mengadu terutama pada kalangan keluarga miskin, ketakutan muncul disebabkan faktor hambatan budaya dan ketiadaan jaminan bahwa pengadu tidak mendapat resiko apapun dari pengaduannya Cendikia, Wibowo, Sudarno, Rostanti, 2007. Dalam menggunakan LAPOR, pelapor mempunyai kuasa untuk menentukan laporan dan atau identitasnya dapat dirahasiakan melalui fitur rahasia atau anonim. Seandainya pelapor tidak menggunakan fitur tersebut, ketika proses verifikasi admin juga dapat menentukan laporan tersebut dirahasiakan atau dianonimkan berdasarkan isi laporan. Jika laporan tersebut terdapat informasi rahasia atau menyebut identitas orang lain yang dapat menimbulkan fitnah, maka laporan tersebut akan dirahasiakan. Laporan yang sudah dikategorikan rahasia, maka tidak dapat dilihat oleh masyarakat luas. Sedangkan laporan anonim, laporannya dapat dilihat masyarakat luas tapi identitas pelapor dianonimkan. Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat diasumsikan mengadu menggunakan LAPOR dijamin kerahasiannya baik data atau identitas pelapor. Namun, permasalahan terkait kerahasiaan pernah dialami oleh beberapa pelapor. Terdapat dua kasus yang sampai ke ranah hukum, dibawa ke kepolisian. Hal ini terjadi karena kelalaian administrator LAPOR yang lupa mengubah kategori laporan tersebut menjadi anonim dan rahasia. Administrator LAPOR ini bukan berasal dari admin induk, melainkan dari administrator yang terhubung 49,6 50,4 Rendah Tinggi 107 Universitas Indonesia dengan LAPOR. Dikarenakan laporan tersebut lupa dirahasiakan, salah satu pihak yang disebutkan dalam laporan membawa kasus ini ke pihak kepolisian. LAPOR mengetahui laporan ini lupa dirahasiakan setelah tim LAPOR dipanggil menjadi saksi oleh polisi. Setelah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, pada akhirnya kasus tersebut di SP3 oleh pihak kepolisian. Setelah itu, tim LAPOR melakukan evaluasi dan peningkatan fitur pada sistem LAPOR dengan memberi notifikasi kepada administrator di setiap ingin mendisposisikan laporan agar tidak lupa memilih kategori rahasia atau anonim. Tidak lama berselang, muncul kasus kedua dikarenakan kelalaian administrator. Tim LAPOR kembali menjadi saksi di kepolisian, kasus pun berakhir setelah di SP3 oleh pihak kepolisian. Hal ini peneliti ketahui dari wawancara mendalam dengan Manajer Program LAPOR, berikut ini kutipan wawancaranya: “Nah itu intinya admin yang slip, jadi adminnya.. laporannya sensitive tapi adminnya ga klick rahasia Pihak Administrator lupa memilih kategori laporan rahasia. Di polisi ya kita jadi saksi, kok bisa muncul Laporannya bisa dilihat orang lain karena tidak dirahasiakan. Selesai terakhirnya, trus kasusnya di SP3 Laporan tidak dilanjutkan oleh Polisi. Ya, kayaknya pas jaman-jamannya ade langit kali ya Kejadian sebelum bulan Oktober 2014. Ulah , abis itu kita tambahin tuh fitur kalo disposisi ada, reminder kan, trus udah diingetin semua admin, eh tau-tau sebulan kemudian, ada lagi kasusnya. Tiba-tiba Pak Kun terima surat dari polisi. Gue udah ingetin lagi ke admin-admin semuanya Kepala UKP4 kembali mendapat surat panggilan dari Polisi terkait LAPOR. ” Wawancara dengan Informan G, Manajer Program LAPOR, 17 April 2015. Setelah dua kasus tersebut, pihak LAPOR kembali melakukan evaluasi dan mengingatkan para administrator, baik yang terdapat pada pengelola induk dan instansi yang telah terhubung agar selalu berhati-hati dalam mendisposisikan laporan. Kedua kasus ini terjadi sebagai akibat dari kesalahan manusia, bukan sistem LAPOR. Kasus seperti yang telah dijelaskan di atas dapat membuat pelapor menjadi ragu menyampaikan pengaduan, karena dapat membuat keamanan dan keselamatan mereka terganggu. Atas dasar itu, ke depan administrator LAPOR harus lebih teliti dalam mengelola pengaduan. Selain itu, tim LAPOR juga harus secara rutin memberi arahan dan pengingat kepada seluruh administratornya agar kasus serupa tidak terulang. 108 Universitas Indonesia

4.4.6 Akuntabilitas LAPOR

Dimensi terakhir dari variabel proses penanganan pengaduan adalah akuntabilitas. Dalam dimensi ini peneliti melihat perkembangan dari pengaduan yang disampaikan oleh pelapor, setiap perkembangan seharusnya dapat diketahui pelapor dengan mudah. Begitu juga kinerja dari penanganan pengaduan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa akuntabilitas dengan kategori tinggi memperoleh angka 70,2, sedangkan akuntabilitas kategori rendah mendapat 29,8. Artinya mayoritas responden setuju akuntabilitas LAPOR sudah baik, terbukti dengan perolehan angka yang sangat besar dibandingkan dengan kategori rendah yang mencerminkan ketidaksetujuan. Setiap pengaduan yang disampaikan melalui LAPOR akan selalu mendapatkan notifikasi, baik ketika laporannya baru disampaikan, sudah didisposisikan, mendapatkan jawaban, diberi tanggapan kembali oleh instansi terlapor. Segala aktivitas dapat dilihat pada akun LAPOR yang diberikan, e-mail pelapor, atau handphone pelapor melalui SMS. Selain itu, pelapor juga dapat melihat statistik tindak lanjut dan topik pengaduan yang sering diadukan melalui web LAPOR. Diagram 4.7 Akuntabilitas LAPOR Meskipun demikian, terdapat responden yang menyatakan tidak mengetahui tindak lanjut laporan yang diberikan. Hal ini tidak lepas dari instansi terlapor yang tidak responsif, sehingga pelapor hanya mendapatkan notifikasi perihal pengaduannya sudah masuk, pengaduannya sudah didisposisikan, dan tindak lanjut tim LAPOR kepada instansi terlapor saja. Selain itu, terdapat kemungkinan permasalahan teknis baik itu dialami oleh pelapor atau sistem 29,8 70,2 Rendah Tinggi