Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Masyarakat Pada Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR )

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUASAN

MASYARAKAT PADA LAYANAN ASPIRASI DAN PENGADUAN

ONLINE RAKYAT (LAPOR!): Dilihat dari Proses Penanganan

Pengaduan, Hasil Penanganan Pengaduan, dan Keterampilan Digital

SKRIPSI

MUHAMMAD HAIKAL AKBAR LASABUDA 1106082395

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

DEPOK JUNI 2015


(2)

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUASAN

MASYARAKAT PADA LAYANAN ASPIRASI DAN

PENGADUAN ONLINE RAKYAT (LAPOR!): Dilihat dari

Proses Penanganan Pengaduan, Hasil Penanganan Pengaduan,

dan Keterampilan Digital

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1

MUHAMMAD HAIKAL AKBAR LASABUDA 1106082395

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK SOSIOLOGI

DEPOK JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan suatu upaya penulis untuk melengkapi khasanah pustaka mengenai pengelolaan pengaduan masyarakat di Indonesia. Setelah melalui berbagai pertimbangan selama proses penulisan skripsi, akhirnya peneliti memutuskan

untuk menyusun skripsi berjudul “Pengaruh Proses Penanganan Pengaduan, Hasil

Penanganan Pengaduan, dan Keterampilan Digital terhadap Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR!”.

Pemilihan topik skripsi ini bertitik tolak dari pengalaman penulis selama magang di dua instansi pemerintah, yakni Ombudsman Republik Indonesia pada bulan Juni – Agustus 2014 dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada bulan September – Desember 2014. Selama magang di dua instansi tersebut, penulis bersentuhan langsung dengan pengelolaan pengaduan masyarakat, sehingga ini memengaruhi keputusan penulis dalam menentukan topik skripsi.

Selain itu, penulis melihat fenomena buruknya pelayanan publik yang didukung ketiadaan mekanisme untuk mengadu. Hal ini meresahkan penulis sebagai pengguna pelayanan publik, karena mekanisme untuk mengadu merupakan salah satu cara untuk mewujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Untuk itu, melalui skripsi ini peneliti membahas salah satu sistem penanganan pengaduan masyarakat yakni LAPOR! dengan harapan dapat memberi masukan untuk pengembangannya ke depan.

Penulis menyadari bahwa tidak ada karya yang sempurna karena keterbatasan yang dimiliki setiap manusia. Skripsi ini masih memiliki sejumlah kekurangan, oleh karena itu penulis terbuka terhadap kritik yang disampaikan siapapun terhadap skripsi ini. Terlepas dari segala kekurangan dalam skripsi ini, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat kepada siapa saja yang membutuhkannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang membantu selama proses penulisan skripsi ini sampai selesai.

Depok, 30 Juni 2015 M. Haikal Akbar. L


(7)

vii

Selama proses penyusunan skripsi ini, ada banyak pihak yang berperan sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk itu, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Terima kasih kepada keluarga saya, papa, mama, kak intan, kak fanji, dan candyce. Untuk papa dan mama haikal sangat berterima kasih karena selalu mendukung haikal, dukungan papa dan mama sangat berarti selama proses penyusunan skripsi ini. Haikal minta maaf juga selama beberapa bulan terakhir ini bikin jantung papa mama enggak tenang, tapi alhamdulillah akhirnya skripsi ini bisa haikal selesaikan.

2. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Iwan Gardono Sujatmiko, Ph.D yang berperan sebagai pembimbing saya. Saya sangat bangga dan senang dibimbing Mas Iwan, hal ini menjadi suatu kehormatan tersendiri bagi saya. Selama proses penyusunan skripsi ini Mas Iwan sangat membantu saya, sesuatu yang awalnya membingungkan bagi saya menjadi lebih mudah setelah bimbingan dengan Mas Iwan. Mas Iwan menyederhanakan apa yang menurut saya dan Tantri itu sesuatu yang sulit menjadi lebih mudah, memberikan solusi dari setiap kebuntuan kami selama penyusunan skripsi. 3. Terima kasih kepada Drs. Ganda Upaya, MA atas kesediaannya menjadi

penguji dalam sidang skripsi ini. Saran Mas Ganda ketika proses review dan sidang membantu saya untuk memahami lebih jauh keterkaitan skripsi saya dengan studi sosiologi politik. Selain itu, selama proses perkuliahan Mas Ganda memberikan ilmu pengetahuan yang amat banyak dan menginspirasi saya dengan berbagai pengalaman Mas Ganda.

4. Terima kasih kepada Dr. Dra. Indera Ratna Irawati Pattinasarany, MA, dan Yosef Hilarius Timu Pera, S.Sos., M.Si. Mba Ira dan Mas Yerus telah banyak membantu saya selama ini, terutama dalam proses penyusunan skripsi. Dari Mba Ira saya mendapat laporan pengaduan publik terbitan tahun 2002, laporan ini memberi saya gambaran bagaimana ilmu sosiologi menganalisa pengaduan masyarakat. Dengan Mas Yerus saya beberapa kali berkonsultasi terkait statistik, membuat saya menjadi lebih paham dan mudah dalam penyusunan


(8)

viii

skripsi ini. Terima kasih juga untuk staf Departemen Sosiologi UI yang baik dan ramah kepada saya selama ini.

5. Terima kasih kepada tim LAPOR! UKP4, Kak Gibran, Kak Ferdy, Kak Miranti, dan Mas Heru. Pengalaman magang yang luar biasa selama di UKP4, bisa main ke Istana Negara, terus bisa ikut rapat-rapat bareng instansi lainnya, ngerasain transisi pemerintah dari kantor rame sampai sepi banget, dan banyak kenangan menyenangkan lainnya. Sampai pada dukungan selama proses penyusunan skripsi ini, terima kasih banyak kakak-kakak. Terima kasih juga buat peserta magang LAPOR! Batch V, Toni, Sani, Kak Bia, Gege, dan Dira untuk pertemanan yang seru dan entahlah sulit dideskripsikan hahaha. Saya juga ingin berterima kasih kepada pemagang LAPOR! Batch VI, terima kasih atas kebaikan dan keramahannya ketika saya sering datang ke kantor UKP4 untuk ambil data, jadi saya tidak merasa sendiri ketika ke sana.

6. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman Sosiologi UI 2011, teman seperjuangan kuliah. Khusus kepada Deden dan Rio yang menjadi teman berdiskusi dan berkeluh kesah. Nanda, Arsa, Asti, dan Okta yang bersedia menjadi tempat bertanya. Tantri yang menjadi rekan bimbingan saya. Saya ucapkan terima kasih kepada mereka semua.

7. Terima kasih untuk Amelia Ajrina yang telah bersama dengan saya melewati beberapa fase kehidupan mulai dari SMA sampai kuliah. Selama skripsi ini banyak membantu mulai dari dukungan semangat, transkrip wawancara, desain, dan hal teknis lainnya.

8. Teman-teman terdekat saya dari SMA sampai sekarang, Rosyka, Dikron, dan Destha. Mereka tempat saya bertukar pikiran, berkeluh kesah, dan bermain. 9. Untuk teman-teman saya yang berawal dari Olimpiade UI, Bayu, Ijul, dan

Chintamy saya ucapkan terima kasih atas dukungannya.

10. Saya juga ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu saya

selama proses penyusunan skripsi ini.

Depok, 30 Juni 2015 M. Haikal Akbar L


(9)

(10)

x ABSTRAK

Nama : Muhammad Haikal Akbar Lasabuda Program Studi : Sosiologi

Judul : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

KEPUASAN MASYARAKAT PADA LAYANAN ASPIRASI DAN PENGADUAN ONLINE RAKYAT (LAPOR!): Dilihat dari Proses Penanganan Pengaduan, Hasil Penanganan Pengaduan, dan Keterampilan Digital

Pasca runtuhnya orde baru, tuntutan masyarakat akan pemenuhan hak-haknya semakin meningkat, salah satunya adalah hak untuk mengadu. Pemerintah menjawab tuntutan tersebut dengan menyediakan sistem penanganan pengaduan berbasis digital yang bernama Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!). Dalam pelaksanaannya terdapat sejumlah kendala yang membuat masyarakat tidak puas terhadap LAPOR!. Untuk itu penelitian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan masyarakat terhadap LAPOR!. Hasil penelitian ini menunjukkan proses dan hasil penanganan pengaduan berpengaruh terhadap kepuasan masyarakat pada LAPOR!. Responsivitas menjadi dimensi yang mempunyai tingkat kekuatan hubungan cukup kuat dengan kepuasan masyarakat pada LAPOR!. Selain itu, diketahui pula bahwa mayoritas pengguna LAPOR! mempunyai keterampilan digital yang tinggi dan merasa puas terhadap LAPOR!. Meskipun kepuasan masyarakat menunjukkan hasil yang tinggi, partisipasi masyarakat menunjukkan hasil rendah. Hal itu tercermin dari rendahnya partisipasi perempuan dan tidak tersebarnya pelapor di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data berupa survei dengan instrumen kuesioner online yang disebarkan kepada pengguna lapor melalui e-mail dan SMS. Kata kunci: complaint handling system, citizen satisfaction, digital skills, citizen participation


(11)

xi

Name : Muhammad Haikal Akbar Lasabuda

Study Program : Sociology, Undergraduate Regular Program

Title : FACTORS THAT AFFECTING CITIZEN

SATISFACTION OF NATIONAL ASPIRATION AND COMPLAINT HANDLING SYSTEM (LAPOR!): Based on Complaint Process, Complaint Handling Outcome, and Digital Skills

After the collapse of the new order era, citizen demand of their rights fulfillment was increasing, one of them is the right to complain. Government answered these demands by providing a digital-based complaint handling system called Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!). This study shows, there are a number of obstacles that make people dissatisfied with LAPOR!. Therefore, this study tries to explain the factors that influence citizen satisfaction LAPOR!. The results showed complaints handling process and results had influenced the satisfaction of the citizen on LAPOR!. Responsiveness into dimensions that has a strong relationship with the citizen satisfaction on LAPOR!. In addition, known that the majority of users of LAPOR! have a high digital skills and are satisfied with LAPOR!. Although citizen satisfaction shows a high level, in contrast, the result shows a low participation of citizen. It reflected to the low participation of women and the spread of the complainant in Indonesia regions. This research uses a quantitative approach with data collection in the form of an online survey questionnaire that distributed to LAPOR users by e-mail and text (SMS).

Keywords: complaint handling system, citizen satisfaction, digital skills, citizen participation


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENYATAAN JUDUL KARYA AKHIR ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR DIAGRAM ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 10

1.4.Signifikansi Penelitian ... 10

1.5.Sistematika Penulisan ... 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL ... 13

2.1.Tinjauan Pustaka ... 13

2.1.1 Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat ... 13

2.1.2 Keterampilan Digital ... 18

2.2.Kerangka Konseptual ... 22

2.2.1 Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat ... 22

2.2.2 Proses Penanganan Pengaduan ... 27

2.2.3 Hasil Penanganan Pengaduan ... 32

2.2.4 Keterampilan Digital ... 32

2.3.Kerangka Teori ... 49

2.3.1 Negara ... 49

2.3.2 Kewarganegaraan ... 50

2.3.3 Partisipasi Masyarakat ... 52

2.3.4 Akuntabilitas ... 53

2.3.5 Inklusi ... 53

2.4 Model Analisis ... 54


(13)

xiii

3.2.Jenis Penelitian ... 56

3.3.Populasi dan Sampel ... 58

3.4.Waktu dan Tempat Penelitian ... 60

3.5.Teknik Pengumpulan Data ... 61

3.6.Teknik Pengolahan Data ... 62

3.7.Validitas dan Realiblitas ... 63

3.8.Limitasi dan Delimitasi Penelitian ... 74

BAB 4 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN ANALISA UNIVARIAT ... 76

4.1 Deskripsi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) ... 76

4.2 Deskripsi Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) 80 4.3 Karakteristik Responden ... 87

4.4 Variabel Proses Penanganan Pengaduan ... 94

4.5 Variabel Hasil Penanganan Pengaduan ... 109

4.6 Variabel Keterampilan Digital ... 112

4.7 Variabel Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR ... 119

BAB 5 ANALISA VARIABEL BIVARIAT ... 120

5.1 Hubungan antara Proses Penanganan Pengaduan dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 123

5.2 Hubungan antara Hasil Penanganan Pengaduan dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 127

5.3 Hubungan antara Keterampilan Digital dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 133

5.4 Hubungan antara Karakteristik Demografis Responden dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 134

5.5 Keterkaitan Hasil Data dengan Teori ... 141

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 150

6.1.Kesimpulan ... 150

6.2.Saran ... 153

DAFTAR REFERENSI ... 164


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Komparasi Prinsip-prinsip Good Complaint Handling ... 31

Tabel 2.2 Operasionalisasi Konsep ... 36

Tabel 3.1. Uji Validitas Dimensi Visibilitas ... 64

Tabel 3.2. Uji Validitas Dimensi Aksesbilitas ... 65

Tabel 3.3. Uji Validitas Dimensi Responsivitas ... 65

Tabel 3.4. Uji Validitas Dimensi Objektivitas ... 66

Tabel 3.5. Uji Validitas Dimensi Kerahasiaan ... 67

Tabel 3.6. Uji Validitas Dimensi Akuntabilitas ... 67

Tabel 3.7. Uji Validitas Variabel Hasil Penanganan Pengaduan ... 69

Tabel 3.8. Uji Validitas Dimensi Keterampilan Operasional... 69

Tabel 3.9. Uji Validitas Dimensi Keterampilan Formal ... 70

Tabel 3.10. Uji Validitas Dimensi Keterampilan Informasi ... 71

Tabel 3.11. Uji Validitas Dimensi Keterampilan Komunikasi ... 72

Tabel 3.12. Uji Realibilitas Variabel Proses Penanganan Pengaduan, Hasil Penanganan Pengaduan, dan Keterampilan Digital ... 73

Tabel 4.1. Karakteristik Responden ... 87

Tabel 5.1. Skor Somers’d ... 120

Tabel 5.2. Rangkuman Hasil Hubungan Antarvariabel ... 121

Tabel 5.3. Rangkuman Hasil Hubungan Dimensi Proses Penanganan Pengaduan dengan Kepuasan Masyarakat ... 122

Tabel 5.4. Hubungan Antara Variabel Proses Penanganan Pengaduan dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 124

Tabel 5.5. Hubungan Antara Variabel Hasil Penanganan Pengaduan dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 128

Tabel 5.6 Hubungan Antara Variabel Keterampilan Digital dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 133

Tabel 5.7 Crosstab Antara Jenis Kelamin Responden dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 135

Tabel 5.8 Crosstab Antara Usia Responden dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 136

Tabel 5.9 Crosstab Antara Domisili Responden dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 137

Tabel 5.10 Crosstab Antara Tingkat Pendidikan Responden dengan Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 139


(15)

xv

LAPOR! ... 139 Tabel 5.12 Crosstab Antara Tingkat Pendapatan Responden dengan Kepuasan

Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat LAPOR! ... 140


(16)

xvi

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 3.1 Laporan yang Didisposisi Administrator LAPOR! pada tahun 2014 59

Diagram 4.1. Proses Penanganan Pengaduan ... 95

Diagram 4.2. Visibilitas LAPOR! ... 98

Diagram 4.3 Aksesibilitas LAPOR! ... 101

Diagram 4.4. Responsivitas LAPOR! ... 102

Diagram 4.5. Objektivitas LAPOR! ... 105

Diagram 4.6. Kerahasiaan LAPOR!... 106

Diagram 4.7. Akuntabilitas LAPOR! ... 108

Diagram 4.8. Hasil Penanganan Pengaduan ... 109

Diagram 4.9. Status Laporan Disposisi ... 112

Diagram 4.10. Keterampilan Digital Responden ... 113

Diagram 4.11. Keterampilan Operasional Responden ... 114

Diagram 4.12. Keterampilan Formal ... 115

Diagram 4.13. Keterampilan Informasi ... 116

Diagram 4.14 Keterampilan Komunikasi ... 118


(17)

xvii

Gambar 4.1. Peran UKP4 Monitoring Kinerja untuk Mengawal Konsisten

dan Sinkronisasi ... 79

Gambar 4.2. Model Struktur Organisasi Pada Inti (Core Team) di UKP4 ... 80

Gambar 4.3. Akses LAPOR! ... 81

Gambar 4.4. Keterpaduan LAPOR! ... 82

Gambar 4.5. Komposisi Pengelola Induk ... 84

Gambar 4.6. Alur Kerja LAPOR! ... 85

Gambar 4.7. Formulir Registrasi pada Web LAPOR! ... 92

Gambar 4.8 Infografis Pengguna LAPOR! ... 94

Gambar 5.1. Halaman Awal Web LAPOR! ... 126

Gambar 5.2. Komentar Walikota Bandung pada Salah Satu Laporan Warga dalam Web LAPOR! ... 131

Gambar 5.3. Komentar Menteri Hukum dan HAM pada Salah Satu Laporan Warga dalam Web LAPOR!... 131


(18)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2011, terlihat sebuah tren gairah yang besar dari masyarakat untuk memanfaatkan kebebasan sipil yang semakin luas. Hal itu ditandai dengan tingginya tuntutan publik terhadap pelayanan publik yang muncul dari berbagai kalangan di seluruh negeri, dari desa hingga ibukota negara (Rauf, M., Hidayat, S., Gismar, A. M., dan Mulia, M., 2013). Tingginya tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas tidak lepas dari runtuhnya resim orde baru yang memungkinkan meluasnya kebebasan sipil. Di era demokrasi seperti saat ini, tingginya tuntutan masyarakat mencerminkan kesadaran mereka akan hak-haknya yang selama rezim orde baru tidak diberikan oleh negara. Artinya demokrasi berperan penting dalam tingginya tuntutan masyarakat.

Sayangnya, tingginya tuntutan publik ini harus berhadapan dengan “inersia politik” yaitu praktek politik yang tidak disertai oleh proses, fungsi, dan kapasitas lembaga yang mampu untuk mengakomodasi, menindaklanjuti, dan memenuhi tuntutan publik yang sah (Rauf, M., Hidayat, S., Gismar, A. M., dan Mulia, M., 2013). Hal itu terlihat dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat. Hal ini diakui oleh Ketua Ombudsman RI bahwa layanan pelayanan publik di tingkat Pemerintah Daerah masih buruk (Merdeka.com, 18 Juli 2014). Buruknya pelayanan publik mengindikasikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) belum terwujud. Satu dasawarsa lebih reformasi berjalan ternyata belum mampu mewujudkan pemerintah yang responsif terhadap tuntutan dari masyarakatnya.

Upaya peningkatan pelayanan publik sebenarnya sudah mulai dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah peraturan. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sebagai sebuah produk hukum, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh


(19)

penyelenggara pelayanan publik. Dengan demikian UU 25/2009 dapat menjadi kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas.

Namun, dalam pelaksanaannya pemerintah ternyata belum mematuhi peraturan yang dibuatnya sendiri. Kenyataan di lapangan masih terdapat kementerian yang belum mematuhi UU 25/2009. Hal ini bisa dilihat pada hasil monitoring Ombudsman tahun 2013 terhadap sejumlah kementerian dan lembaga. Hasil survei kepatuhan kementerian dalam pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 memperlihatkan masih terdapat 5 kementerian masuk dalam zona merah yang berarti tingkat kepatuhannya rendah, 9 kementerian masuk zona kuning tingkat kepatuhan sedang, dan hanya 4 kementerian masuk zona hijau tingkat kepatuhannya tinggi pada hasil observasi I (Ombudsman RI, 2013).

Tidak hanya kementerian, lembaga negara juga menunjukkan ketidakpatuhannya pada UU 25/2009. Dari hasil survei kepatuhan lembaga negara dalam melaksanakan UU Nomor 25 Tahun 2009 diketahui bahwa masih terdapat 6 lembaga masuk zona merah, 20 lembaga masuk ke dalam zona kuning, dan hanya 10 lembaga saja yang masuk zona hijau (Ombudsman RI, 2013). Kedua hasil survei ini menunjukkan bahwa sejumlah Kementerian dan Lembaga masih belum mematuhi UU 25/2009. Hal ini menandakan bahwa peraturan tersebut tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sehingga pelayanan publik yang didapatkan oleh masyarakat masih belum sesuai kriteria yang ditetapkan.

Selain itu, dalam Survei Integritas Sektor Publik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Mei – September 2014, masih terdapat unit layanan di tingkat kementerian dan lembaga dengan skor integritas dibawah batas dari yang ditetapkan oleh KPK. Unit layanan tersebut yaitu izin penyelenggaraan angkutan pariwisata di Kementerian Perhubungan dan pencatatan nikah oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di Kementerian Agama (KPK, 2014). Skor yang buruk menandakan masyarakat tidak puas dengan pelayanan publik, ketidakpuasan ini berangkat dari pengalaman yang dirasakan oleh masyarakat sebagai pengguna layanan. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah masih buruk. Walaupun sudah


(20)

3

Universitas Indonesia

terdapat peraturan yang menjadi dasar untuk mewujudkan pelayanan publik berkualitas.

Melihat kenyataan ini, mekanisme pengaduan masyarakat menjadi penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pengaduan atau laporan dari masyarakat merupakan salah satu bentuk pengawasan eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Pengawasan dari masyarakat dapat meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan publik. Selain itu, mekanisme pengaduan juga dapat meningkatkan posisi tawar masyarakat terhadap pemerintah, agar pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam memberikan pelayanan.

Mekanisme pengaduan masyarakat dapat berperan sebagai sarana mewujudkan kebijakan yang inklusif, karena setiap kebijakan dapat dievaluasi langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pengaduan. Dengan kata lain, mekanisme pengaduan memberikan ruang interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Melalui ruang interaksi tersebut program dan kinerja pemerintah dapat dievaluasi oleh masyarakat dan pemerintah dapat memberikan tanggapannya mengenai aspirasi masyarakat.

Sayangnya, keberadaan mekanisme pengaduan masyarakat tidak tersedia di seluruh layanan publik pada tingkat nasional. Dalam Survei Integritas Sektor Publik KPK tahun 2013, tercatat hanya 57,9% mekanisme pengaduan diakui keberadaannya oleh pengguna layanan. Selain itu dari pengalaman responden yang pernah mengadu (6%), hanya 58,3% pengaduan saja yang ditanggapi dan ditindaklanjuti (KPK, 2013). Senada dengan hal tersebut, Pramusinto (2013) dalam tulisannya mengatakan birokrasi Indonesia tidak memiliki sistem penanganan pengaduan yang memadai, meskipun terdapat kotak saran, tetap saja tidak mudah diakses atau ditempatkan di depan petugas pelayanan sehingga mengurangi kerahasiaan pengaduan. Tidak mengherankan kalau Indonesia menempati peringkat 45 dari 102 negara yang diukur dalam hal mekanisme komplain (World Justice Project, 2015).

Hal ini membuat masyarakat cenderung pesimis untuk membuat pengaduan, karena tindak lanjut pengaduan tidak mampu menyelesaikan permasalahan, apalagi tidak ada mekanisme untuk mengetahui proses penanganan


(21)

pengaduan sudah sejauh mana penyelesaiannya (Cendikia, Wibowo, Sudarno, dan Rostanti, 2007). Permasalahan ini menandakan tata kelola sistem penanganan pengaduan masyarakat yang ada belum dapat memuaskan masyarakat, sehingga timbul rasa kekecewaan yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi pesimis untuk membuat pengaduan.

Selain itu, terdapat kecenderungan pengadu untuk mengirimkan pengaduan yang sama ke beberapa lembaga yang berbeda sehingga potensial menimbulkan inefisiensi penanganan pengaduan (Rosita, Dian, & Astriyani, 2012). Timbulnya inefisiensi penanganan pengaduan tidak lepas dari tidak terintegrasinya penanganan pengaduan. Otonomi daerah membawa implikasi kewenangan yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perbedaan kewenangan ini tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya, hal ini membuat mereka mengirimkan pengaduan ke banyak lembaga sekaligus.

Semua permasalahan itu menggambarkan mekanisme dan institusi demokrasi yang ada kurang berfungsi dengan maksimal. Maka dari itu, sebuah unit khusus yang berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha membuat sebuah terobosan baru dalam membenahi tata kelola sistem penanganan pengaduan masyarakat. Upaya ini juga dapat dimaknai merupakan salah satu bentuk demokratisasi yang dilakukan pemerintah di era demokrasi, karena sebuah sistem penanganan pengaduan merupakan ruang untuk warga berpartisipasi dalam kerangka demokrasi. Jadi, inisiatif tersebut bukan sekadar membenahi tata kelola pengelolaan pengaduan masyarakat saja, melainkan upaya membuat negara ini menjadi lebih demokratis.

Unit khusus itu bernama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). UKP4 berinisiatif membuat sebuah sistem penanganan pengaduan masyarakat berbasiskan online dan SMS (Short Message Service). Inisiatif itu dikenal dengan nama Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat atau LAPOR! yang diluncurkan secara resmi kepada publik pada tanggal 18 September 2012 (facebook.com/UKPPPP, diakses pada 15 Februari 2015). LAPOR! dapat diakses melalui aplikasi android, layanan pesan singkat ke nomor 1708, dan website lapor.ukp.go.id. LAPOR! mengadopsi sistem media sosial, sehingga pelapor dapat berinteraksi satu sama lain dalam sistem LAPOR!


(22)

5

Universitas Indonesia

untuk saling dukung mendukung pengaduan atau aspirasi yang mereka sampaikan.

Keberadaan LAPOR! mengundang apresiasi dari berbagai pihak, diantaranya menjadi salah satu inisiatif terbaik dunia pada acara Open Government Partnership Summit 2013 di London, Inggris dan meraih tiga besar nominasi Government Web Award dalam Bubu Awards v.08 pada bulan Juni 2013 (lapor.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015). Apresiasi yang datang untuk LAPOR! begitu tinggi baik dari tingkat internasional dan nasional, karena selama ini sistem penanganan pengaduan di Indonesia yang ada belum mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi terkini.

Selain itu, dari sekian banyak sistem penanganan pengaduan yang ada, hanya LAPOR! yang dapat diakses melalui aplikasi di handphone, SMS, dan website. Tingkat keterhubungan LAPOR! dengan instansi pemerintah juga cukup tinggi, data terakhir di bulan April 2015 menunjukkan LAPOR! telah terhubung dengan 86 Kementerian/Lembaga dan 5 Pemerintah Daerah, serta BUMN di Indonesia (lapor.go.id, diakses pada tanggal 15 April 2015). Hal ini tentu dapat memudahkan masyarakat untuk mengadu, maka dari itu LAPOR! dianggap sebagai inovasi publik yang mampu memberikan ruang untuk masyarakat menyampaikan pengaduan atas layanan publik (Tim PIRAC, 2015).

Meskipun demikian, implementasi LAPOR! selama tiga tahun belakangan ini perlu dilihat lebih jauh. Tim PIRAC (2015) dalam penelitiannya mengemukakan dari laporan yang masuk, sebagian besar laporan atau pengaduan belum dapat diselesaikan, tercermin dari tingkat penyelesaian keluhan masyarakat yang masih pada level di bawah 50%. Tidak heran instansi terlapor dipandang tidak responsif dalam menjawab laporan oleh pelapor (Sadat, 2014). Selain itu, LAPOR! dipandang belum efektif untuk menyelesaikan pengaduan masyarakat, karena penyelesaian pengaduan bergantung kepada dinas/instansi, kecuali pengaduan tersebut ditujukan untuk LAPOR! (Tim PIRAC, 2015).

Dari pemaparan di atas, maka dapat diketahui keberadaan LAPOR! di satu sisi mendapat apresiasi, di sisi lain terdapat sejumlah kritik terkait pelaksanaannya. Dilihat dari temuan penelitian sebelumnya, maka kritik itu bermuara dari dua hal yakni: proses penanganan pengaduan dan hasil penanganan


(23)

pengaduan. Jika keduanya tidak ditangani secara serius, maka dapat berimplikasi pada timbulnya rasa pesimis masyarakat untuk mengadu yang diawali dengan ketidakpuasan masyarakat. Sebaliknya, jika ditangani secara serius, akan membuat masyarakat puas dengan keberadaan LAPOR!.

Selain itu, LAPOR! sebagai sistem penanganan pengaduan masyarakat yang berbasiskan digital mempunyai tantangan dalam pelaksanaannya di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan United Nations (2014) yang bertajuk E-Government Survey 2014 menunjukkan posisi Indonesia masih dalam kategori middle, belum sampai kategori high atau very high, hal ini membuat Indonesia sejajar dengan negara Ethiopia, Congo, Sudan, dan lainnya. Survei ini diukur berdasarkan tiga dimensi, yakni penyediaan layanan online, konektivitas telekomunikasi, dan kapasitas manusia. Ini artinya Indonesia belum begitu siap dengan implementasi e-government jika menggunakan ketiga indikator tersebut.

Dari segi kapasitas manusia, ternyata keterampilan digital masyarakat Indonesia belum mumpuni. Hal ini dapat dilihat dalam laporan The Global Information Technology Report 2014 yang diterbitkan oleh World Economic Forum dan INSEAD (2014), bahwa Indonesia berada di peringkat 61 dari 148 negara yang disurvei mengenai keterampilan masyarakat dalam hal memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan efektif. LAPOR! dengan segala fitur yang dimiliki, mempunyai kemungkinan tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh pengguna yang keterampilan digitalnya rendah, hal ini dapat menimbulkan persepsi berbeda di antara pengguna LAPOR! ketika menggunakannya.

1.2 Permasalahan

Melihat gambaran yang diberikan di atas, maka permasalahan yang terjadi dalam proses dan hasil penanganan pengaduan menjadi penting untuk dilihat lebih jauh. Hal ini dipandang cukup berkaitan dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat. Selain itu, permasalahan keterampilan digital juga penting untuk dibahas dalam konteks sistem penanganan pengaduan masyarakat berbasiskan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Berdasarkan tiga substansi tersebut, terdapat sejumlah penelitian yang dapat berhubungan


(24)

7

Universitas Indonesia

untuk mengkaji program LAPOR! sebagai sistem penanganan pengaduan masyarakat berbasiskan TIK.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat yang ada termasuk dalam kategori puas dan dipandang sudah efektif (Sitoresmi, 2013; PSKK UGM, 2013; Sadat, 2014). Misalnya pada Unit Pengaduan, Informasi dan Keluhan (UPIK) Pemerintah Kota Yogyakarta. Kepuasan pengguna UPIK dengan menggunakan indeks total masuk dalam kategori baik dengan mengacu pada Kepmenpan 25/M.PAN/2/2004 (PSKK UGM, 2013). Sistem penanganan pengaduan lainnya yang mendapat apresiasi positif masyarakat yaitu LAPOR!. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Sitoresmi (2013) dan Sadat (2014) yang menunjukkan masyarakat puas menggunakan LAPOR!.

Namun jika ditelusuri lebih jauh, maka akan nampak bahwa sebenarnya masyarakat masih belum terlalu puas dengan sistem penanganan pengaduan masyarakat yang ada. Indeks total pada layanan UPIK yakni 68,92 dapat dikatakan masih dalam batas rendah kategori baik, bahkan pada dimensi jaminan kerahasiaan (62,35), kepuasan layanan (62,04), dan permasalahan jaringan (61,54) berada dalam kategori kurang baik, kategori baik mengacu pada Kepmenpan 25/M.PAN/2/2004 berada pada interval 62,51-81,25 (PSKK UGM, 2013). Padahal ketiga dimensi tersebut merupakan dimensi yang cukup penting dalam mengelola pengaduan masyarakat sehari-hari.

Penelitian Sitoresmi (2013) menunjukkan kecepatan respon / tindak lanjut baik itu dari administrator LAPOR! ketika verifikasi laporan atau dari instansi terlapor masih dianggap belum cepat oleh responden. Hal ini memang tidak lepas dari banyaknya laporan yang masuk dan terbatasnya sumber daya manusia tim LAPOR! (Sitoresmi, 2013). Dari temuan tersebut dapat dimaknai bahwa LAPOR! masih mempunyai kekurangan yang cukup mendasar, yakni kecepatan atau responsivitas dalam mengelola pengaduan masyarakat, baik itu pada saat verifikasi atau setelah disposisi laporan.

Hal serupa dapat dilihat dalam penelitian Sadat (2014) mengenai implementasi m-government di Indonesia dengan studi kasus LAPOR!. Berdasarkan penelitian Sadat (2014) dapat diketahui bahwa sebagian besar


(25)

responden puas disebabkan mereka dapat berpartisipasi dan berinteraksi dengan pemerintah, namun kepuasan secara keseluruhan menunjukkan hasil yang berbeda meskipun kecenderungan responden tetap merasa puas. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: permasalahan jawaban dari instansi terlapor yang lama atau tidak menjawab sama sekali, tidak adanya tindaklanjut, permasalahan teknis terkait akses dan sistem, permasalahan mengenai keamanan atau kerahasiaan, makna pesan yang berubah karena direvisi oleh administrator LAPOR!, dan jawaban otomatis yang tidak jelas, kaku, dan normatif dari sistem LAPOR! (Sadat, 2014).

Permasalahan-permasalahan tersebut dianggap dapat menimbulkan rasa pesimis pada masyarakat untuk membuat pengaduan. Sebagaimana dipaparkan oleh Cendikia, Wibowo, Sudarno, dan Rostanti (2007) bahwa masyarakat pesimis dan takut dalam membuat pengaduan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: tidak yakin dengan hasil yang akan dicapai melalui mekanisme pengaduan, ketiadaan mekanisme untuk memantau proses penanganan pengaduan, dan ketiadaan jaminan keamanan untuk pelapor. Hal inilah yang sepatutnya diperhatikan oleh instansi pengelola pengaduan, agar masyarakat tidak pesimis pada sistem penanganan pengaduan yang telah disiapkan.

Hal menarik lainnya yang dapat dilihat pada implementasi sistem penanganan pengaduan masyarakat adalah keterampilan digital. Keterampilan digital menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut mengingat implementasi produk e-government berupa layanan pengaduan berbasiskan online / web dan SMS. Hal ini mengacu pada data bahwa saat ini Indonesia berada di peringkat 61 dari 148 negara dari sisi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan efektif (WEF dan INSEAD, 2014). Pengguna tidak dapat memanfaatkan fitur yang ada pada layanan pengaduan online dan SMS dengan maksimal, sehingga menimbulkan persepsi berbeda mengenai kepuasan yang mereka rasakan.

Hal ini dapat dilihat pada penelitian Mattila dan Mount (2003) yang menemukan bahwa responden di kalangan technology enthusiasts merasa lebih puas dibandingkan yang non- technology enthusiasts ketika mendapat tanggapan langsung / cepat atas pengaduan mereka. Kepuasan tersebut disebabkan kalangan technology enthusiasts lebih rutin membuka e-mail, sehingga ketika tidak ada


(26)

9

Universitas Indonesia

balasan cepat mereka akan kecewa. Sedangkan kalangan non-technology enthusiasts frekuensi membuka e-mail lebih jarang, sehingga mereka lebih memaafkan jika pengaduannya tidak dijawab dengan cepat.

Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan Van Deursen (2012) ditemukan bahwa masih terdapat responden yang mempunyai permasalahan dengan keterampilan operasional dan formal, dengan kata lain keterampilan operasional dan formal mereka rendah. Padahal menurut data dari CBS Statistics Netherlands (2011) tingkat akses internet di Belanda pada tahun 2010 mencapai 94% dan hampir 100% broadband (Van Deursen, 2012, p. 62). Maka dapat dikatakan bahwa sekalipun negara tersebut tingkat penetrasi internetnya tinggi, belum tentu keterampilan warganya dalam memanfaatkan internet juga tinggi. Untuk itu, mengetahui keterampilan digital pengguna suatu layanan berbasiskan digital menjadi penting.

Berdasarkan uraian di atas, penting untuk dilihat bagaimana proses dan hasil penanganan pengaduan memengaruhi kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Sadat (2014) bahwa kepuasan masyarakat secara keseluruhan dipengaruhi oleh ukuran kualitas lainnya, bukan hanya kualitas yang sudah diukur sebelumnya. Maka untuk mengukur kepuasan masyarakat secara keseluruhan pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!, peneliti menggunakan kerangka konsep yang berbeda dengan Sadat (2014) dan Sitoresmi (2013), karena peneliti anggap beberapa dimensinya masih terlalu luas dan tidak sesuai konteks penelitian ini.

Sedangkan dari aspek keterampilan digital, saat ini belum ada penelitian yang memadai tentang hal tersebut di Indonesia, khususnya terkait dengan pelaksanaan e-government dalam konteks pengaduan online. Perlu dilihat lebih jauh keterampilan digital pengguna LAPOR! untuk memastikan bahwa layanan ini dapat dimanfaatkan oleh banyak orang. Selain itu, juga dapat melihat dampak dari keterampilan digital terhadap kepuasan masyarakat pada sistem pengaduan masyarakat berbasiskan online dan SMS yakni LAPOR!. Maka dari itu, peneliti akan menggunakan konsep keterampilan digital dalam penelitian ini, karena LAPOR! merupakan sistem penanganan pengaduan masyarakat yang berbasis online dan SMS.


(27)

Ketiga hal itulah yang menjadi tawaran baru dari peneliti untuk menganalisa kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan pembahasan di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana hubungan antara proses penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!?

2. Bagaimana hubungan antara hasil penanganan pengaduan dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!?

3. Bagaimana hubungan antara keterampilan digital dengan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori karena bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar variabel. Penelitian ini berusaha untuk melihat hubungan antara variabel proses penanganan pengaduan, hasil penanganan pengaduan, dan keterampilan digital terhadap kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!. Penelitian ini juga berusaha menganalisa keterkaitan hasil data yang diperoleh dengan teori tentang negara, kewarganegaraan, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan inklusi.

Penelitian mengenai kepuasan masyarakat terhadap sistem penanganan pengaduan LAPOR! menjadi penting untuk dilakukan karena penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan LAPOR! ke depan. Mengingat LAPOR! sudah secara resmi dipertahankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan akan digunakan sebagai sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional sesuai PermenPAN dan RB 3/2015. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjelaskan sejauh mana demokrasi Indonesia berjalan pasca 1998, karena pengaduan masyarakat merupakan salah satu kegiatan dalam rangka demokrasi.

1.4 Signifikansi Penelitian Signifikansi teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan memberikan sumbangan terhadap ilmu sosiologi politik dalam hal melihat kepuasan masyarakat pada suatu


(28)

11

Universitas Indonesia

pelayanan publik yakni sistem penanganan pengaduan masyarakat berbasiskan digital, dengan melihat proses dan hasil dari penanganan pengaduan, serta keterampilan digital pengguna layanan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberi gambaran pelaksanaan demokratisasi di Indonesia dalam bentuk pengaduan masyarakat.

Signifikansi praktis

Saat ini roadmap sistem pengelolaan pengaduan nasional oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sudah selesai disusun, yang salah satu isinya menjadikan LAPOR! sebagai Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Selain itu, LAPOR! sudah menjadi bagian dari program Kantor Staf Presiden, yang artinya LAPOR! dipertahankan oleh Presiden Joko Widodo. Atas dasar kedua alasan di atas, peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan LAPOR! ke depan.

1.5 Sistematika Penulisan Bab 1

Dalam bab 1 peneliti menguraikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian dan signifikansi penelitian. Bab ini memperlihatkan penanganan pengaduan masyarakat di Indonesia selama ini. Peneliti juga menerangkan konteks penelitian ini yakni sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!.

Bab 2

Bab ini membahas bagaimana kerangka konseptual dan studi literatur mengenai sistem penanganan pengaduan masyarakat, proses penanganan pengaduan, dan hasil penanganan pengaduan, serta keterampilan digital. Ulasan di dalamnya berisi tentang kajian-kajian sebelumnya dan kerangka berpikir yang digunakan untuk menganalisa data temuan. Konsep yang akan dibahas antara lain kepuasan masyarakat, proses penanganan pengaduan, hasil penanganan pengaduan, dan keterampilan digital. Teori yang dibahas antara lain negara, kewarganegaraan, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan inklusi.


(29)

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan metode yang digunakan serta proses penarikan sampel dan pengumpulan data ketika melakukan penelitian. Metode yang digunakan adalah kuantitatif, dengan unit analisis pengguna program LAPOR! yang laporannya didisposisikan pada bulan Oktober – Desember 2014.

Bab 4

Dalam bab 4, peneliti akan memaparkan deskripsi UKP4 sebagai pengelola dari program LAPOR! dan deskripsi program LAPOR! itu sendiri. Peneliti juga memaparkan karakteristik responden dan analisa variabel univariat dengan menggunakan data-data yang telah berhasil dikumpulkan selama penelitian, baik dari hasil survei, wawancara mendalam, maupun data sekunder terkait.

Bab 5

Pada bab 5, peneliti memaparkan hasil analisa data bivariat dan refleksi teoritis menggunakan teori yang telah dijelaskan sebelumnya.

Bab 6

Bab ini menjadi penutup penelitian ini yang berisikan kesimpulan, saran, dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. Bab ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terdapat dalam bab 1.


(30)

13 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat

Pada bagian sub bab ini peneliti akan memaparkan tinjauan pustaka atas beberapa studi mengenai kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat di berbagai lembaga / unit layanan. Dalam studi-studi sebelumnya, kepuasan masyarakat terhadap sistem penanganan pengaduan masyarakat di pengaruhi oleh variabel lainnya. Artinya kepuasan masyarakat tidak berdiri sendiri, melainkan disebabkan oleh faktor lain.

Tinjauan pustaka pertama yakni skripsi Suci Sitoresmi (2013) dari Universitas Indonesia yang meneliti efektivitas sistem informasi program pengaduan masyarakat LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana efektivitas sistem informasi LAPOR! pada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)? Suci menggunakan kerangka konsep kesuksesan sistem informasi dari DeLone dan McLean (2003). Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif, dengan jenis penelitian cross-sectional jika dilihat dari dimensi waktu. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Februari – Juli 2013 dengan menggunakan instrumen kuesioner dan mewawancarai informan terkait. Populasi dari penelitian ini adalah pengguna LAPOR! yang pernah melakukan pengaduan dengan kurun waktu 2012 – Mei 2013, sampel yang diambil sebanyak 100 orang. Teknik penarikan sampel yang digunakan non probabilita dengan teknik purposive sampling, dikarenakan terdapat kriteria sampel yakni pengguna LAPOR! yang pernah menggunakan aplikasi LAPOR! dan pernah melakukan pengaduan dalam kurun waktu 2012 – Mei 2013.

Ada lima dimensi yang diukur oleh peneliti, yakni dimensi penggunaan, kualitas sistem, kualitas informasi, kualitas pelayanan, dan kepuasan pengguna. Dimensi penggunaan menunjukkan hasil sangat efektif. Dimensi kualitas sistem, kualitas informasi, dan kepuasan pengguna berada pada kategori efektif. Dimensi


(31)

kualitas pelayanan dinilai cukup efektif. Analisis keseluruhan menunjukkan sistem informasi LAPOR! pada UKP4 efektif. Namun harus ada peningkatan dari instansi terlapor lebih meningkatkan respon dan jawaban dari laporan yang masuk. Selain itu perlu sosialisasi dan promosi program LAPOR! agar lebih dikenal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Terdapat beberapa temuan menarik dalam penelitian ini, salah satunya yakni informasi yang disampaikan pelapor terkadang menyulitkan administrator LAPOR! memverifikasi laporan, karena pelapor menggunakan bahasa daerah atau bahasa gaul yang tidak dapat dimengerti. Selain itu masih terdapat pelapor yang memberikan laporan namun informasi yang diberikan tidak lengkap, sehingga laporannya diarsipkan (dihapus) oleh administrator LAPOR!.

Tinjauan pustaka yang kedua yakni disertasi Dinur Rahmani Sadat (2014) yang berjudul M-Government Implementation Evaluation in Encouraging Citizen Participation in Indonesia: A Case Study of LAPOR!, disertasi ini diterbitkan oleh University of Manchester. Secara spesifik disertasinya ingin menjawab tiga pertanyaan yakni: Bagaimana adopsi m-government di Indonesia saat ini, khususnya untuk berpartisipasi? Seberapa sukses implementasinya dalam mendorong partisipasi masyarakat? Apa manfaat yang dirasakan warga yang menggunakan m-government?. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, ia menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa kuesioner kepada pengguna LAPOR! dan mewawancarai pengelola LAPOR!. Populasi target penelitiannya adalah pengguna LAPOR! yang terdaftar dalam database, tercatat 5000 responden dikirimkan kuesioner melalui e-mail, sedangkan 300 responden lainnya dikirimkan link kuesioner melalui short message service (SMS). Sampai batas waktu pengumpulan data, tercatat 118 responden mengisi kuesioner, pengumpulan data sendiri dilakukan dari tanggal 16 – 28 Juli 2014.

Sadat menggunakan kerangka konsep kesuksesan sistem informasi dari DeLone dan McLean (2003) dengan dimensi yang terdiri atas kualitas sistem, kualitas informasi, kualitas pelayanan, penggunaan lebih lanjut, kepuasan pengguna, dan manfaat yang dirasakan. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa mayoritas responden setuju dimensi kualitas sistem, kualitas


(32)

15

informasi, dan kualitas pelayanan LAPOR! sudah baik. Namun terdapat beberapa indikator yang dianggap masih kurang baik diantaranya feedback mechanism, response time, system realibility, timeliness, dan responsiveness.

Hasil penelitiannya juga menunjukkan sebagian besar responden puas dengan LAPOR! karena dianggap memberi ruang partisipasi dan interaksi dengan pemerintah. Selain itu, sebagian besar responden menyatakan akan merekomendasikan dan terus-menerus menggunakan LAPOR!. Namun frekuensi penggunaan LAPOR! memang tidak tinggi, dari 118 responden, sebanyak 47 responsen tidak sering mengakses LAPOR!. Responden yang kecewa dan tidak akan kembali menggunakan LAPOR! beralasan karena respon pemerintah lambat dan tidak direspon, serta permasalahan kebocoran privasi pengguna.

Dengan menggunakan uji korelasi, diketahui bahwa semua dimensi mempunyai arah hubungan positif dengan kepuasan pengguna dan penggunaan LAPOR! lebih lanjut. Dimensi kualitas sistem, kualitas informasi, dan dimensi kualitas pelayanan mempunyai hubungan yang kuat dengan kepuasaan pengguna, dibandingkan dengan dimensi lainnya. Kepuasan pengguna dengan penggunaan LAPOR! lebih lanjut juga mempunyai korelasi positif dan hubungannya kuat.

Tinjauan pustaka yang ketiga yakni artikel jurnal dari Ang dan Buttle (2012) yang berjudul “Complaints-handling processes and organisational benefits: An ISO 10002- based investigation”. Artikel jurnal ini ingin melihat apakah ada hubungan antara ISO 10002 tentang proses penanganan pengaduan dengan hasil terkait pemasaran organisasi (marketing-related organisational outcomes). ISO 10002 merupakan pedoman dalam mengimplementasikan proses penanganan pengaduan yang efektif dan dapat memberikan manfaat kepada pelanggan atau organisasi. Pedoman yang terdapat dalam ISO 10002 antara lain visibilitas, aksesbilitas, responsivitas, objektivitas, tanpa biaya, kerahasiaan, berfokus pada pelanggan, akuntabilitas, dan perbaikan berkelanjutan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data adalah data sekunder yang disediakan oleh sebuah perusahaan konsultan di Australia yang bergerak di bidang terkait penanganan pengaduan. Studi yang dilakukan perusahaan tersebut diambil antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Kuesioner diserbakan secara online dan


(33)

lampiran e-mail ke berbagai perusahaan dengan total sampel 144 organisasi / perusahaan.

Proses penanganan pengaduan didasarkan pada 24 indikator dan 6 indikator mengenai marketing-related organisational outcomes. Setelah melalui analisis faktor, dari proses penanganan pengaduan hanya lima indikator yang dianalisa lebih lanju. Kelima indikator itu yakni visibilitas dan aksesbilitas, mudah digunakan oleh semua pelapor, responsivitas, komunikasi yang adil, dan berfokus pada pelanggan. Dengan melakukan uji korelasi bivariat, ditemukan bahwa indikator yang mempunyai pengaruh paling kuat terhadap kepuasan masyarakat adalah prinsip mudah digunakan oleh semua pelapor, berikutnya komunikasi yang adil (objektivitas), visibilitas dan aksesbilitas, dan responsivitas. Sedangkan prinsip berfokus kepada pelanggan untuk mendapatkan resolusi menunjukkan hubungan yang lemah.

Kesimpulan penelitian ini adalah adanya hubungan antara proses penanganan pengaduan dengan kepuasan pelanggan. Penelitian ini juga dapat menjadi dasar bahwa organisasi yang menerapkan ISO 10002 proses penanganan pengaduan akan membawa dampak positif, salah satunya adalah kepuasan pelanggan.

Dari ketiga sumber literatur yang sudah dibahas, dapat diketahui terdapat beberapa kekurangan studi tersebut. Penelitian Sitoresmi (2013) dan Sadat (2014) menggunakan kerangka konsep yang sama, yakni kesuksesan sistem informasi dari Delone dan McLean (2003). Kerangka konsep atau model yang digunakan untuk menganalisa kepuasan masyarakat menurut peneliti kurang tepat, karena LAPOR! merupakan sistem penanganan pengaduan masyarakat, maka sebaiknya dianalisa dengan menggunakan konsep atau model sistem penanganan pengaduan masyarakat ideal. Sementara itu model Delone dan McLean (2003) masih terlalu umum, padahal LAPOR! merupakan suatu bentuk sistem informasi yang spesifik, yakni sistem penanganan pengaduan masyarakat berbasiskan digital (online, SMS, dan aplikasi mobile).

Selain itu, indikator yang terdapat pada dimensi-dimensi model kesuksesan sistem informasi dapat membingungkan responden karena seolah berbeda padahal maknanya kurang lebih sama. Hal ini bisa dilihat dalam


(34)

17

penelitian Sadat (2014) yang mana terdapat indikator response time, timeliness, dan responsiveness. Padahal maknanya kurang lebih sama, hal ini dikarenakan kerangka konsep sistem informasi tersebut terlalu luas.

Sedangkan penelitian Ang dan Buttle (2012) dari sisi indikator yang digunakan menurut peneliti tidak menggambarkan sepenuhnya implementasi ISO 10002. Hal ini disebabkan mereka bergantung pada data sekunder yang berimplikasi indikatornya tidak komprehensif dalam menggambarkan standar ISO 10002 sebagaimana yang mereka maksud. Indikator dalam penelitiannya seperti mudah digunakan oleh semua pelapor sebenarnya merupakan bagian dari aksesbilitas itu sendiri, sementara itu visibilitas digabung dengan aksesbilitas, padahal dalam ISO 10002 keduanya merupakan sesuatu yang terpisah.

Mereka mengakui bahwa memang tidak ada model teoritis yang membimbing penelitian mereka, karena studi terkait implementasi ISO 10002 belum ada yang melakukannya. Selain itu, Ang dan Buttle (2012) tidak spesifik menggambarkan manfaat seperti apa yang didapat organisasi atau perusahaan yang menerapkan ISO 10002, dikarenakan sampelnya masih terlalu luas, mencakup universitas, perusahaan jasa, asuransi kesehatan, dan lainnya. Mereka menekankan pada marketing-related organisational outcomes, padahal masing-masing sampel mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, peneliti melalui penelitian ini berusaha menawarkan tawaran baru dalam menganalisa kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat LAPOR!. Tawaran baru peneliti adalah mengajukan kerangka konsep atau model yang berbeda dengan tiga penelitian yang dibahas sebelumnya. Peneliti akan menggunakan variabel proses penanganan pengaduan dan hasil penanganan pengaduan. Hal ini menjadi salah satu perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitoresmi (2013) dan Sadat (2014). Peneliti akan mengadopsi sejumlah dimensi yang terdapat dalam ISO 10002, pedoman sistem penanganan pengaduan ideal di sejumlah lembaga, dan dari hasil penelitian terkait sistem penanganan pengaduan masyarakat. Fokus penelitian ini juga spesifik, yakni sistem LAPOR!, hal ini membedakan dengan penelitian Ang dan Buttle (2012) yang masih terlalu luas mencakup berbagai organisasi dan perusahaan.


(35)

Peneliti juga akan melakukan uji hubungan antara variabel independen dengan dependen. Hal ini tidak dilakukan oleh penelitian Sitoresmi (2013), karena penelitiannya hanya mendeskripsikan data saja. Selain itu, peneliti akan melakukan wawancara langsung tatap muka dengan pengelola LAPOR! dan mengetahui secara langsung bagaimana sistem LAPOR! dikelola, berbeda dengan Sadat (2014) yang hanya melakukan wawancara via internet. Penelitian ini juga berbeda dengan Sitoresmi (2013) dan Sadat (2014) dari segi latar waktu penelitian, pada saat mereka melakukan penelitian secara kelembagaan status UKP4 sebagai induk dari LAPOR! masih jelas. Sayangnya, hal tersebut tidak dilihat atau dianalisa dalam penelitian mereka. Sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, status UKP4 sedang dalam masa transisi pemerintahan dan tidak tahu kelanjutannya ke depan, hal ini berimplikasi pada pengelolaan LAPOR! sebagai salah satu program dari UKP4. Latar waktu ini akan peneliti tampilkan dalam penelitian ini pada bagian analisa.

2.1.2 Keterampilan Digital

Tinjauan pustaka yang pertama yakni artikel jurnal yang ditulis oleh dan Mount (2003) dengan judul “The impact of selected customer characteristics and response time on E-complaint satisfaction and return intent”. Penelitian ini berkaitan dengan topik penelitian yang akan dilakukan peneliti, yakni membahas keterampilan digital dan kepuasan masyarakat. Pertanyaan penelitian yang diajukan oleh Mattila dan Mount (2003) ada dua, yakni: bagaimana pengaruh karakteristik konsumen dengan kriteria tertentu (technology readliness atau enthusiasm) terhadap persepsi konsumen pada proses penanganan pengaduan berbasis Web? Seberapa penting kecepatan response pada kepuasan pasca penanganan pengaduan? Pendekatan penelitian yang dipakai adalah kuantitatif dengan metode survei. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara mengirimkan e-mail survei ke 2007 tamu hotel yang terdaftar, total sampel yang didapat 446 orang dengan response rate 22,2%.

Mattila dan Mount (2003) berpendapat keakraban pelanggan dengan teknologi informasi atau antusiasme teknologi mempunyai dampak pada pandangan pelanggan dalam hal waktu penerimaan tanggapan e-mail pengaduan yang mereka terima. Dengan kata lain terdapat reaksi yang berbeda antara tamu


(36)

19

hotel dalam menerima balasan email pengaduan yang bergantung pada kecakapan teknologi mereka.Untuk itu peneliti mengajukan dua hipotesis, hipotesis pertama yakni tanggapan langsung akan menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi pada penanganan pengaduan dan niat pembelian kembali yang lebih tinggi di kalangan technology enthusiasts dibandingkan responden dengan kecakapan teknologi rendah. Hipotesis kedua yaitu kedua kelompok tamu hotel akan sama-sama tidak puas dan menunjukkan keinginan rendah untuk kembali lagi ketika perusahaan gagal untuk menanggapi pengaduan berbasis Web. Peneliti membagi sampel menjadi kategori rendah dan tinggi berdasarkan nilai median pada technology readliness scale.

Hasil penelitian ini menunjukkan tanggapan langsung menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan niat untuk kembali di kalangan technology enthusiasts dibandingkan yang kecakapan teknologinya rendah, hal ini membuktikan hipotesis pertama terbukti. Begitu juga dengan hipotesis kedua, kepuasan dengan penanganan pengaduan dan niat untuk kembali berada di tingkat terendah bagi kedua kelompok ketika perusahaan gagal menanggapi e-mail pengaduan dari tamu hotel.

Terdapat beberapa temuan menarik dalam penelitian ini, diantaranya penerimaan teknologi memengaruhi persepsi responden akan penanganan pengaduan melalui web. Selain itu, responden dengan kecakapan teknologi tinggi hidup dalam lingkungan ”click and switch”, hal ini membuat mereka tidak punya toleransi pada lambannya tanggapan atas pengaduan elektronik mereka. Berbeda dengan responden yang kecakapan teknologinya rendah, mereka lebih memaafkan perusahaan jika e-mail pengaduannya tidak dijawab dalam waktu 48 jam.

Tinjauan pustaka yang kedua adalah artikel jurnal yang berjudul Internet skill-related fproblems in accessing online health information, artikel jurnal ini ditulis oleh Alexander J.A.M. Van Deursen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah terkait keterampilan individu saat mengakses internet untuk informasi dan pelayanan kesehatan. Van Deursen (2012) mengajukan dua pertanyaan penelitian: Pertama, permasalahan keterampilan seperti apa yang dialami individu ketika mereka menggunakan internet untuk mengakes informasi


(37)

kesehatan? Apakah ada perbedaan diantara segmen yang berbeda dalam populasi mengenai masalah keterampilan individu?

Pendekatan penelitan ini adalah kuantitatif dengan teknik pengumpulan data berupa performance test kepada sejumlah sampel yang dipilih secara acak dari buku telepon. Teknik penarikan sampel yang dipakai adalah stratified random sampling dengan mempertimbangkan keterwakilan jenis kelamin, usia, dan pendidikan. Performance test dimulai dari bulan November 2009 sampai Maret 2010 di University of Twente. Terdapat 88 responden dalam penelitian ini, setiap responden mendapat 23 € atas kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian ini.

Performance test dilakukan dengan meminta responden menyelesaikan sembilan tugas di internet yang berhubungan dengan kesehatan. Performance test didasarkan pada konsep keterampilan internet, terdapat empat dimensi keterampilan internet yang digunakan dalam penelitian ini, yakni: keterampilan operasional, keterampilan formal, keterampilan informasi, dan keterampilan strategis.

Hasil penelitian ini menunjukkan, permasalahan yang terjadi umumnya berkaitan pada keterampilan informasi dan keterampilan strategis. Usia tua dan tingkat pendidikan rendah berkontribusi pada masalah terkait keterampilan operasional dan formal, seperti menyimpan file, bookmark situs, dan menggunakan mesin pencari mereka anggap merepotkan. Responden usia tua mengalami permasalahan ketika memilih informasi dan menggunakan hasil pencarian, mereka memilih hasil pencarian yang tidak relevan dan tidak dapat diandalkan.

Temuan menarik dalam penelitian ini adalah umur responden sangat berhubungan dengan permasalahan yang mereka alami apada keterampilan operasional dan formal. Terdapat sejumlah responden dari usia tua yang mengalami permasalahan pada keterampilan operasional, mereka tidak dapat mengoperasikan internet tanpa google, bagi mereka menggunakan google adalah menggunakan internet. Temuan lainnya yang menarik adalah tingkat pencapaian pendidikan sangat penting bagi keterampilan internet. Semakin berpendidikan, maka semakin kecil permasalahan keterampilan internet yang dialaminya.


(38)

21

Dari tinjauan pustaka di atas, maka dapat dilihat bahwa terdapat sejumlah kekurangan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mattila dan Mount (2003) dapat diketahui bahwa terdapat kemungkinan responden berpartisipasi dalam penelitian ini lebih dari sekali. Beda halnya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti membatasi responden hanya dapat mengisi kuesioner satu kali, untuk itu peneliti melakukan pengecekan identitas yang sama pada data penelitian yang telah terkumpul. Selain itu, mereka juga memaparkan mempunyai kekurangan dalam hal kemungkinan bahwa responden lupa pernah menjadi tamu hotel, padahal datanya ada dalam database hotel. Hal ini peneliti minimalisir dengan memilih target populasi yang jarak antara pengaduannya dengan pengumpulan data penelitian tidak terlalu jauh, sehingga dapat diperkirakan responden masih mengingat pengalamannya ketika menggunakan LAPOR!.

Sedangkan dari penelitian Van Deursen (2012) kekurangan itu dapat dilihat pada penggunaan konsep keterampilan internet. Padahal konsep tersebut dapat lebih luas digunakan, bukan hanya mengenai internet saja, tetapi penggunaan perangkat digital juga dapat dibahas. Selain itu, dimensi keterampilan komunikasi tidak dimasukkan ke dalam penelitiannya, mengingat dari segi latar waktu penelitian dilakukan media sosial sudah banyak digunakan oleh berbagai institusi untuk berbagai kepentingan, salah satunya sosialisasi kesehatan. Dari sisi pengumpulan data, performance test dianggap sebagai kelebihan penelitian ini. Namun juga dapat menjadi kekurangan penelitian ini, mungkin saja terjadi bias dalam pelaksanaannya karena responden merasa gugup diawasi dan ada rasa bersalah ketika tidak dapat mengerjakan sembilan tugas yang diberikan atau tidak dapat memahaminya maksud dari tugas tersebut.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mencoba melengkapi penelitian sebelumnya. Peneliti akan menggunakan variabel keterampilan digital pengguna LAPOR! dengan kriteria laporannya didisposisi antara bulan Oktober – Desember 2014, pemilihan ini dengan dasar jarak yang tidak terlalu jauh dalam waktu penelitian, sehingga dapat meminimalisir kealpaan responden. Peneliti juga melakukan validasi satu per satu data responden agar mereka tidak mengisinya dua kali. Secara konseptual peneliti bukan sekadar melihat keterampilan internet, tapi lebih kepada keterampilan digital dengan memasukkan dimensi keterampilan


(39)

komunikasi sebagai dimensi baru. Untuk teknik pengumpulan data, tidak melalui performance test, tetapi menggunakan self assesment dengan menggunakan instrumen kuesioner. Alasannya adalah agar responden lebih mempunyai kebebasan untuk menggambarkan keterampilan digitalnya, akan berbeda halnya ketika mereka diawasi atau diberi instruktur khusus oleh orang lain secara langsung.

2.2 Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kepuasan masyarakat pada sistem penanganan pengaduan masyarakat sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independennya adalah proses penanganan pengaduan, hasil penanganan pengaduan, dan keterampilan digital (digital skills). Di bawah ini peneliti akan menjelaskan mengenai konsep dari setiap variabel tersebut.

2.2.1 Kepuasan Masyarakat pada Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat

2.2.1.1 Kepuasan Masyarakat

Konsep terkait dengan kepuasan warga / masyarakat (citizens satisfaction) adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction), studi mengenai kepuasan pelanggan banyak dibahas dalam ilmu komunikasi dan manajemen. Menurut Schiffman, Kanuk, dan Hansen (2012) kepuasan pelanggan adalah persepsi individu mengenai produk atau jasa yang didapatkan berkaitan dengan harapannya terhadap produk atau jasa tersebut. Seperti misalnya pelanggan akan merasa puas jika mendapatkan makanan yang enak ketika makan di restoran mahal, sebaliknya pelanggan akan merasa tidak puas jika mendapatkan makanan yang tidak enak ketika makan di restoran mahal, harapan yang tinggi terhadap rasa makanan dikarenakan pelanggan sudah membayar mahal untuk makanan tersebut. Kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan dapat dibedakan dengan melihat harapan dari barang atau jasa yang dibeli dan barang atau jasa yang diterima pelanggan. Jadi, kepuasan pelanggan dibentuk oleh harapan yang berbanding lurus dengan barang / jasa yang didapatkan.

Pandangan lain disampaikan oleh Szwarc (2005) yang mengatakan kepuasan pelanggan adalah bagaimana pelanggan melihat produk atau jasa


(40)

23

organisasi berdasarkan pengalaman mereka dengan organisasi tersebut (atau dengan produknya), serta membandingkan dengan apa yang mereka dengar atau lihat mengenai perusahaan atau organisasi lainnya. Dengan kata lain kepuasan pelanggan dibentuk berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh individu, pengalaman orang lain yang menjadi rujukan individu tersebut, dan pengalaman yang didapatkan dari penyedia produk atau jasa lainnya.

Kepuasan pelanggan dipandang merupakan sesuatu yang penting, hal ini dijelaskan oleh Rodriguez, Burguete, Vaughan, dan Edwards (2009) bahwa pelanggan yang puas cenderung mempertahankan pola pemakaian mereka atau memakai lebih sering dari produk atau jasa yang sama dengan sebelumnya. Artinya pelanggan yang puas akan tetap menggunakan produk atau jasa yang mereka terima, bahkan dapat menggunakannya lebih sering dari sebelumnya. Ini berarti kepuasan pelanggan harus diperhatikan oleh penyelenggara layanan agar pelanggan terus menerus menggunakan jasa atau produk yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

Gagasan bahwa masyarakat sebagai pelanggan atau konsumen dapat dilihat dalam konsep new public management. Konsep ini merujuk kepada penggunaan pendekatan swasta dan bisnis di sektor publik (Denhardt dan Denhardt, 2007). Berarti pemerintah menjalankan aktivitas atau kegiatannya seperti bisnis, salah satunya dengan berfokus kepada kepuasan pelanggan. Konsep tersebut kemudian berkembang menjadi new public service yang mana ada perbedaan antara pelanggan dengan warga (masyarakat). Warga mempunyai hak dan kewajiban dalam konteks hubungan dengan negara, sedangkan pelanggan sekadar individu yang hanya berusaha mengoptimalkan manfaat untuk kepentingan diri sendiri (Denhardt dan Denhardt, 2007).

Konsep new public service pada intinya ingin menjelaskan bahwa ada keterlibatan masyarakat dalam bentuk pemenuhan tanggung jawab atau kewajiban mereka sebagai warga, di sisi yang berlainan pemerintah menjadi responsif akan pemenuhan hak mereka dan berperan sebagai pelayan masyarakat. Dengan kata lain demokrasi, kewargaan, dan kepentingan publik menjadi payung dari konsep new public service. Sehubungan dengan kepuasan masyarakat, maka peran pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus dapat memuaskan masyarakat.


(41)

2.2.1.2 Pengaduan Masyarakat

Cendikia, Wibowo, Sudarno, & Rostanti (2007) mendefinisikan keluhan atau komplain merupakan bentuk respon dari konsumen atas pelayanan yang diterimanya, respon tersebut merupakan gambaran bagaimana pemenuhan hak masyarakat atas pelayanan publik terjadi (p. 13). Dari tanggapan masyarakat ini dapat diketahui pelayanan publik yang diberikan sudah memuaskan masyarakat atau belum, karena pengaduan merupakan bentuk dari ketidakpuasan akan pelayanan publik yang diterima. Sebagaimana disampaikan oleh Sukoco dan Aprilinda (2013) bahwa keluhan adalah ekspresi ketidakpuasan tentang standar pelayanan, tindakan atau ketiadaan tindakan yang memengaruhi pelanggan individual atau sekelompok pelanggan (p. 236).

Pengaduan juga merupakan salah satu sarana evaluasi pelayanan yang diberikan bagi penyedia layanan, seperti yang disampaikan oleh Razali dan Jaafar (2012) bahwa pengaduan atau keluhan merupakan informasi berharga dan sangat berguna bagi organisasi sebagai salah satu metode untuk mengidentifikasi efektivitas dan efisiensi dari layanan yang disediakan (p. 382). Hal ini menandakan pengaduan atau keluhan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif saja, melainkan sesuatu yang mempunyai dampak positif dalam perbaikan pelayanan publik. Dengan adanya pengaduan atau keluhan, penyedia layanan menjadi tahu kinerja mereka selama ini dalam memberikan pelayanan.

Merujuk kepada Hirschman (1970) bahwa sebenarnya pengaduan atau keluhan merupakan suatu bentuk dari voice yang bertujuan memperbaiki keadaan, voice menjadi pilihan karena pelanggan atau anggota tidak punya pilihan untuk exit. Hal ini disebabkan pelayanan tersebut dimonopoli. Exit merupakan bentuk pencarian alternatif pelayanan lain ketika pelanggan atau anggota tidak puas terhadap pelayanan yang didapat. Dalam konteks pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah, maka tidak mungkin bagi masyarakat untuk mencari alternatif pelayanan lain. Pengaduan atau keluhan menjadi salah satu pilihan bagi pelanggan untuk memperbaiki kualitas pelayanan sebagai respon atas ketidakpuasan yang didapatkan.

Di dalam konteks pelayanan publik yang disediakan oleh negara, peran masyarakat bukan sekadar target layanan, namun juga sebagai pengawas eksternal


(42)

25

kinerja negara (Rosita & Astriyani, 2012). Senada dengan hal tersebut, Ratminto dan Winarsih (2005) mengatakan bahwa keseimbangan posisi tawar antara instansi penyedia pelayanan publik dengan masyarakat penerima layanan merupakan syarat pelayanan publik yang berkualitas (Afidah, 2013, p. 166). Untuk dapat menjadi pengawas eksternal kinerja negara dan mencapai keseimbangan posisi tawar, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyediakan sarana pengaduan atau keluhan masyarakat, hal ini akan mendorong masyarakat untuk mempunyai posisi tawar terhadap instansi penyedia pelayanan publik. Melalui sarana pengaduan atau keluhan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan yang dialaminya.

Untuk menyalurkan keluhan ke instansi penyedia layanan, masyarakat dapat menyampaikan aduan secara langsung atau tidak langsung, BAPPENAS (2010) menyebutkan terdapat dua saluran dalam menyampaikan pengaduan yakni saluran internal dan saluran eksternal. Saluran internal dilakukan secara langsung kepada penyelenggara layanan melalui pengaduan lisan, kotak pos, email, surat, dan sebagainya. Sedangkan melalui saluran eksternal pengadu menyampaikan pengaduannya melalui pihak lain, tidak kepada penyelenggara layanan secara langsung, misalnya melalui media, NGO (Non Government Organizations), Lembaga Ombudsman Daerah dan sebagainya.

2.2.1.3 Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat

Cendikia, Wibowo, Sudarno, dan Rostanti (2007) mendefinisikan mekanisme pengelolaan keluhan atau mekanisme komplain sebagai suatu bagian dari sistem pelayanan publik untuk memfasilitasi, mengakomodasi dan mengelola keluhan konsumen atas pelayanan publik yang diterimanya (p. 22). Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa pengelolaan pengaduan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan publik dan mempunyai peran penting untuk mengetahui tanggapan masyarakat atas pelayanan publik.

Sedangkan NSW Ombudsman (2010) mendefinisikan sistem penanganan pengaduan sebagai cara yang terorganisir dalam menanggapi, merekam, melaporkan, dan menggunakan pengaduan untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, serta prosedur bagi pelanggan untuk membuat pengaduan dan pedoman bagi staf untuk menyelesaikan pengaduan. Artinya sistem penanganan


(1)

H: Iya, eselon… yang…

PS: Komposisi posisi jabatan. Jadi misalnya kepala dinas pendidikan, nah Kadisdik itu eselon 2. Makin kecil makin tinggi dia kalau eselon, tapi pangkat makin besar makin tinggi. Sementara kepala pusat—kepala P5 ini, ini kan belum structural. Dia masih dijabat sih, dijabat oleh bawahannya asisten. Dia levelnya itu eselon 3. Eselon 3 ini udah seperti jalur komando kalau di—sama dengan tentara. Gak berani dia negur yang eselon 2. Nah caranya apa? Dia minta bantuan ke Sekda, atau ke walikota kalau ada pengaduan yang tidak direspon dalam jangka waktu tertentu. Nah di sini faktor kepemimpinan jadi sangat penting. Betulkah? Kalau pemimpinnya tidak punya visi, maksudnya tidak punya kemauan untuk menyelesaikan pengaduan-pengaduan dari masyarakat, maka tidak akan jadi bergigi** nih P5. Karena apa? Masukan—laporan sudah disampaikan , sudah diteruskan ke dinas tapi dinasnya masa bodoan aja, cuek—gak bisa apa-apa. Makanya ada faktornya di sini, jadi si—dalam konteks P5 itu, lumayan bagus walikotanya saat itu. Terlepas dari dia dulu ada kasus korupsi dan sebagainya. Tapi bahwa dia mau—jadi gini, bila tidak merespon, si P5 tinggal ngirim surat laporan, progress ke Sekda atau walikota. Nanti walikota mengirimkan surat teguran.

H: Jadi saktinya di situ ya, Pak.

PS: Ya, saktinya di situ. Padahal dia **

H: Tapi, Pak, itu kan leadership berarti kalau misalnya dia diganti…?

PS: Nah ini kan saya baru bilang 1, yang menentukannya pertama adalah leadership. Dan ini kecenderungannya kepala-kepala daerah sekarang, bagus kepala daerahnya—leadership-nya bagus, habis masa jabatannya udah 2 periode misalnya, atau kalah dalam pemilihan di periode kedua—hilang seluruh inisiatifnya. Maka dia dijadikan sistem. Apa sistem itu bahasa gampangnya? Regulasi, bentuk hukum, produk hukum

H: Itu yang di penelitian saya, boleh dibilang Lapor ini agak terombang-ambing setelah UKP 4 bubar, akhirnya… dan untungnya mau ditampung **

PS: Iya, itupun masih belum ada pengumuman, belum di-disclose ke semua orang. Leadership nggak cukup, dia harus dibuat sistem dalam bentuk regulasi. Nah regulasi apa? Yang paling tinggi kan Perda, ke bawahnya apa? Perkada, peraturan kepala daerah, yang sekarang dibuat ini kan emang P5 saat itu kan masih peraturan walikota aja. Harusnya kan dia naik ke Perda, dalam konteks menjadi Perda tentang SOTK. Jadi struktur organisasi dan tata kerja dinas perangkat daerah, dan harus masuk ke situ P5. Kalau dia sudah masuk di sini, maka susah ngubahnya lagi


(2)

kan. Harus ngubah dulu nanti, nunggu ganti walikotanya lagi, atau mengubah—mencabut SOTK yang lama dan dikeluarkan SOTK yang baru. Nah itu yang kasusnya UKP 4 di situ, di Lapor—di UKP4, dia hanyalah bentuk dari peraturan presiden. Jadi begitu dia tidak masuk dalam struktur yang baru, udah ilang. Jadi leadership harus ditindak lanjuti, inisiatif kalau ingin menjadi sebuah system, dia tidak cukup hanya karena leadership, tapi harus ditindak lanjuti—diteruskan dengan bentuk regulasi. Dipayungi dengan regulasi. Terus berikutnya adalah apa? Berikutnya adalah kewenangan. Kalau kewenangannya hanya di level itu ya begitu-begitu saja, kalau cuma sekadar menyalurkan—tembusan , susah. Caranya apa? Sebetulnya bisa sih, walaupun itu lembaga Lapor atau apapun namanya, si P5 misalnya, dia kan tidak mungkin menjadi yang mengeksekusi, tapi dia punya kewenangan menegur—memberikan hukuman kepada pihak yag tidak merespon. Jadi harus diatur dalam regulasinya itu, bahwa… jadi, regulasi—diatur dalam regulasi, kewenangan mengenai unit—

H: Bukan sekadar keberadaan aja pak ya?

PS: Bukan keberadaan aja tapi langsung kewenangannya. Makanya kan ** di SOTK, kalau di peraturan daerah **, . Jadi di tata kerja juga mencakup kewenangan—kedudukan kewenangan lembaga yang bersangkutan.

H: Itu contohnya yang berhasil yang saya baca Yogya sih, pak. UPIK itu, Pak. Setelah Pak Zerry.. . apa.. walikota itu berakhir tapi si UPIK itu tetap ada. Malah dimasukkin di LPJNM daerah…

PS: Karena mungkin dia dipayungi oleh regulasi yang kuat, diberikan kewenangan yang memadai. Yang keempat menurut saya adalah faktor pentingnya itu masyarakat, terutama masyarakat sipil. Masyarakat sipil itu maksudnya gini, bukannya saya mengagungkan NGO itu hebat dan sebagainya. Tapi masyarakat sipil adalah orang-orang yang lebih tercerahkan dibanding masyarakat biasa. Mereka cenderung lebih kritis, jadi katalisator dalam proses-proses apa namanya… penyelenggaraan pemerintahan.

Ini biasanya kan bentuknya NGO, LSM… aktifis masyarakat dan sebagainya… ini yang memberikan tekanan itu tadi. Memberikan tekanan, sekaligus memonitor. Ini kalau kerjanya P5 lambat, didorong, disebarkan lewat pendapat—opini-opini di media dan sejenisnya. Nah Lapor juga harusnya begitu, cuma Lapor ini kan--menurut saya--dia sibuk. UKP 4-nya dengan urusan mencitrakan dirinya sebagai lembaga yang kuat. Dia seolah-olah menyatakan bahwa cukup dengan kami—instrumen Lapor ini, semua akan selesai. Dia tidak merasa perlu mengajak


(3)

pihak-pihak lain, dia mengasih tahu sih tapi tidak menjadikan bahwa itu adalah sama-sama **. Jadi begitu Lapor hilang, diem aja…

H: Ya, istilahnya LSM atau sesuatu gak ada yang advokasi… ini yang harus dipertahanin… PS: Iya, karena dianya juga tadinya merasa bahwa ini adalah inovasi saya, inisiatif saya, bukan inisiatif bersama. Nah, sementara P5 sebetulnya bagusnya itu di-desain dengan cara mengajak diskusi banyak orang, termasuk masyarakat sipil di Semarang. Jadi begitu ada masalah, yang lain boleh mengkritis. Ini tetep dipertahankan.

H: Jadi letak penting masyarakat itu di situ, Pak, ya?

PS: Salah satunya adalah itu, dia ikut mengontrol, mengawal agar inisiatif itu tetep sustain gitu. Lapor kan sempet ilang kan, maksudnya sempet ** diem aja orang, karena tidak merasa memiliki gitu.

H: Dan daerah-daerah yang terhubung kayak Jakarta itu malah beli program dari Google… PS: Iya, karena dia tidak menjadikan ini sebagai sebuah inisiatif bersama. Harusnya kan jadi inisiatif bersama.

H: Kayak daerah-daerah ini kan bikin sendiri, artinya kurang lebih mereka gak mau bikin satu yang bareng Menpan atau apa gitu… itu faktor apa ya, Pak? Kalau saya sih ngeliatnya anggaran, Pak…

PS: Bisa jadi begitu…

H: Karena kan ya milyaran buat bikin lembaga pengaduan atau apa… PS: Lapor? Kayak Lapor…

H: Iya, kalau Lapor kan build-in dari dalem desainernya… tapi kan kalau kayak DKI itu saya lihat dia langganan sama Google 35M, Pak, di APBD. Jadi saya ngerasa… faktor itu sih, Pak. PS: Kalau menurut saya, kan sebetulnya prinsip dasar desentralisasi adalah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri—sesuai dengan lokalitasnya. Lokalitas itu artinya kondisi social masyarakatnya, termasuk di dalamnya kemampuan keuangan dan kondisi birokrasi. Jadi, itu menurut saya gapapa, sepanjang yang di--harus dicek adalah bukan di--harus seragam bentuknya dan sebagainya… tapi dampaknya ada nggak? Penhatuhnya kepada masyarakat, berguna nggak? Bermanfaat nggak? Atau dimanfaatkan nggak? Kan ini masalahnya adalah bermanfaat dan dimanfaatkan. Saya khawatir dan saya belum ngecek sih yang disebut Haikal 35M untuk sistem yang Google tadi…


(4)

PS: Jadi katakanlah menurut dia udah dibuat nih, tapi tidak disosialisasikan. Orang tidak merasa tahu dan sebagainya.. akibatnya… harusnya kan setelah dibuat, dimanfaatkan kan. Tapi, karena orang tidak tahu, maka tidak dimanfaatkan. Jadi useless kan. Harusnya kan utilize dia, dimanfaatkan terus menerus sehingga dia memperbaiki standar hidup masyarakat lah atau mengurangi beban hidup masyarakat, kalau saya istilahnya mengurangi beban hidup masyarakat. H: Jadi daerah-daerah ini sebenernya efek lebih ke desentralisasi Pak ya?

PS: Gapapa, kalau saya setuju saja mereka menyusun-- gak harus. Apalagi mahal-mahal. Gak mahal kok. Bikin sistem online gitu juga gapapa. Tapi itu juga lagi mengembangkan SNM untuk kesehatan ya, kesehatan Ibu dan Anak. Kami—hitungan kami, hitungan kita ya di awal itu paling 20-60 rupiah. Cukup lah, APBD kota kabupaten mana yang tidak bisa bayar 60 juta. 100 pun masih bisa, tapi kalau 35M tidak masuk akal. Hanya DKI yang punya, yang masuk akal melakukan itu karena dia APBDnya sudah trilyunan.

H: Iya 74…

PS: Gitu, menurut saya jadi yang penting adalah kemauan untuk melayani masyarakat lebih baik. Mau pakai metode apapun sepanjang tadi yang saya sebutkan. Jadi Menpan ngasihnya prinsip-prinsipnya saja, ini prinsip-prinsipnya… penanganan pengaduan harus memuat prinsip anonimitas, salah satunya. Jadi harus dilindungi siapa namanya—identitas pelapornya bila pelapor merasa terganggu kalau dia dibukakan ke publik . Kedua ada pejabat pengelola pengaduan. Ketiga ada mekanisme pananganan pengaduannya. Keempat ada komitmen untuk menindak lanjuti hasil dari pengaduan itu. Menurut saya, prinsip-prinsip itu yang ke—prinsip-berikutnya adalah setiap pengaduan yang masuk harus diklarifikasi betul tidak dan sebagainya. Jadi yang penting tugasnya pemerintah pusat itu kan sebetulnya menyusun NSPK—norma standar prosedur kriteria. Gak harus sampai ke level bawah menyusunkan system dan sebagainya. Menpan RD tugasnya bareng dengan kementerian dalam negeri, harusnya memberikan guidance NSPK itu. Nah sementara implementasinya diserahkan kepada daerah, disesuaikan karena mungkin katakanlah daerahnya susah akses internet, kan gak makes sense. Sementara daerahnya yang luas juga tidak makes sense penanganann langsung. Dia harus dengan sms atau apa.

H: Pak, dulu waktu di P5 ada kecenderungan tertentu gak sih pak? Misalnya yang mengadu kebanyakan dari kelas social ini, atau penduduk di daerah pedesaan atau laki perempuan?

PS: Seinget saya sih nggak. Tapi penduduk perkotaan, maksudnya mereka yang ada di wilayah perkotaan kan terpapar informasinya lebih tinggi sehingga punya akses dan kesempatan yang


(5)

lebuh banyak untuk mengadu dan mengajukan keluhannya. Udah begitu Pattiero juga aktif mendampingi dengan beberapa LSM, mendampingi masyarakat-masyarakat yang dianggap punyai potensi untuk mengajukan keluhan. Akibatnya memang—sebetulnya di daerah-daerah desa juga didampingi meskipun Semarang itu urban ya—kota—tapi masih ada ruralnya dan kawasan pedesaan. Tapi keberanian—terutama keberanian—terus terpapar informasinya juga lebih rendah dibanding yang ada di perkotaan sehingga yang mengajukan keluhan adalah yang-- lebih banyak mereka-mereka yang mendapatkan akses informasi.

Tapi ada satu hal yang menarik, yang tadi saya bilang, ini ada empat tadi kan. Prinsip, regulasi, kewenangan. Yang kelima adalah momentum. Maksudnya momentum itu adalah—yang tadi pertanyaanmu--momentumnya dalah penerimaan siswa baru. Maka keluhannya, pengaduan pada bulan itu, sebagian besar itu masuk ke Pokja Pendidikan—yang masuk adalah sebagian besar ke Pokja Pendidikan. Karena ada momentumnya, akibatnya yang mengadu adalah orang tua murid. Orang-orang tua murid yang merasa dirugikan oleh kebijakan sekolah. Misalnya penerimaan mahasiswa baru tidak usah bayar, tapi dia ternyata ada aja tuh cara-cara untuk ngambilin duit misalnya ada bantuan gedung… “kami kan lagi ngebangun nih sekolah kami nih… kami… inilah, berharap dari orang tua murid ada bantuan sekadarnya.” Sekadarnya tapi kan terterror, gak mungkin ngasih seribu-dua ribu. Akibatnya 50 ribu, 100 ribu. Itu ada momentum di situ, jadi justru bukan laki-laki - perempuan atau daerah kota - daerah desa. Tapi tergantung momentum. Kalau lagi—

H: Apa yang lagi in?

PS: Nah iya, yang lagi in. Yang lagi terjadi. Isu besarnya di situ apa, nah itu pengaduannya rata-rata itu

H: Sebaiknya ya sosialisasinya tepat gitu Pak ya saat lagi ada isu ini disosialisasi silakan mengadu kalau anda di-pungli—

PS: Iya sehingga kemudian orang merasa diajak.

H: Iya soalnya sewaktu saya lagi magang juga di sana dan kebetulan presiden waktu itu Jokowi naikin BBM dan itu langsung sih Pak banyak pengaduan tentang BBM.

PS: Di mana? Di Ombudsman? H: Di Lapor.


(6)

H: Saya sempet 3 bulan. Kalau di Ombudsman kemaren 1 bulan. Jadi makanya saya agak tertarik sama isu pengaduan ini.

PS: Nah, yang lanjutannya adalah itu tadi. Kan ini momentum sudah, nyambung dengan yang dirimu sampaikan—informasi. Harusnya kan ini proaktif nih, Lapor… P5… itu harus proaktif mendiseminasikan—mensosialisasikan keberadaanya dia gitu lho. Kasih tau ini lho cara-caranya. Kan banyak caranya, bisa iklan di radio, iklan di TV, iklan di surat kabar, menggunakan media-media sosialisasi yang lain misalnya nitip kalau ada pertemuan di kelurahan. Walikotanya kan dulu seneng banget jalan-jalan, kayak Jokowi gitu blusukan. Nah pada saat blusukan dia menyampaikan, “Bapak ibu, kita punya P5, kita punya Lapor, kita punya apalah—unit pelayanan pengaduan. Silakan manfaatkan, caranya adalah begini… Jadi inisiatif atau apapun tidak akan berguna kalau orang tidak tahu. Jadi informasi ini salah satu—jadi dari hasil research saya, 6 aspek itu menjadi sangat menentukan berhasil tidaknya pengaduan.