peningkatan sebesar 10,06 . Namun, secara ril PDRB per kapita tersebut hanya sebesar Rp 6.695.287 tahun 2004 kemudian meningkat menjadi Rp 6.811.994
tahun 2005.
Tabel 24 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Tanpa Migas 2001-2005
Tahun Harga Berlaku
Harga Konstan PDRB Perkapita
Perubahan PDRB Perkapita
Perubahan
2001 9,055,638
6,78 8,216,183
-3,12 2002
9,316,220 2,88
7,829,892 4,70
2003 7,961,922
-14,54 6,624,193
-15,40 2004
8,864,340 11,33
6,695,287 1,07
2005 9,756,071
10,06 6,811,994
1,74
Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006
Jika mempertimbangkan faktor migas, maka PDRB per kapita Kepulauan Seribu meningkat dari Rp 78.576.755 tahun 2004 menjadi Rp 109.295.245 tahun
2005 atau mengalami kenaikan sebesar 39,09. Sedangkan secara ril PDRB per kapita tersebut justru mengalami penurunan dari Rp 57.268.456 tahun 2004
menjadi Rp 53.346.083 tahun 2005, atau menurun sebesar 6,85. Tabel 22 menyajikan PDRB per kapita dengan migas di Kepulauan Seribu.
Tabel 25 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Dengan Migas 2001-2005
Tahun Harga Berlaku
Harga Konstan PDRB
Perkapita Perubahan PDRB Perkapita Perubahan
2001 82,309,193
5,64 76,621,399
-1,66 2002
70,324,891 -14,56
72,645,775 -5,19
2003 63,559,065
-9,62 61,654,361
-15,13 2004
78,576,755 23,63
57,268,456 -7,11
2005 109,295,245
39,09 53,346,083
-6,85
Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006
6.1.2 Perkembangan Kemiskinan
Regional Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Perkembangan kemiskinan ditandai dengan jumah penduduk miskin dan peresentase masyarakat miskin yang dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat
Propinsi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data yang detail tentang Kepulauan seribu.
Hasil pendataan responden miskin Tahap I dan II tahun 2005 oleh BPS, menunjukkan bahwa terdapat 150.492 responden miskin di DKI Jakarta. Hasil ini
lebih banyak dibandingkan temuan pada tahun 2004 sebanyak 91.468 responden. Apabila diamati jumlah anggota respondennya, maka terjadi peningkatan jumlah
penduduk miskin dari tahun 2004 ke tahun 2005, yakni dari 370.898 penduduk miskin menjadi 633.212 4,25 dari penduduk DKI Jakarta.
Tabel 26 Perkembangan Jumlah Responden dan Penduduk Miskin Menurut KabupatenKota, 2004-2005
Rumah Tangga
Penduduk Rumah
Tangga Penduduk
Rumah Tangga
Penduduk
Kepulauan Seribu 452
1,860 1,042
3,835 1,043
3,882 Jakarta Selatan
6,053 25,504
11,162 48,169
11,377 49,818
Jakarta Timur 26,420
102,957 28,738
163,021 39,768
167,367 Jakarta Pusat
16,625 68,599
21,968 89,514
22,723 92,906
Jakarta Barat 14,787
55,915 29,915
122,714 30,320
127,048 Jakarta Utara
27,131 116,063
48,254 205,959
55,249 234,697
DKI Jakarta 91,468
370,898 141,079
633,212 160,480
675,718 KabupatenKota
2006 2004
2005
Catatan : Data tahun 2005 tidak bisa dibandingkan thd tahun sebelumnya dikarenakan Metode penghitungannya berbeda
Sumber: Tahun 2004 merupakan hasil pemutakhiran survei responden miskin Tahun 2004 Tahun 2005 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk PSE 2005
Tahun 2006 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk PSE 2006
Tabel 26 menunjukkan terjadinya peningkatan responden miskin di Kepulauan Seribu dari 452 responden di tahun 2004 menjadi 1.042 responden di
tahun 2005. Jumlah penduduk miskin juga makin bertambah yaitu dari 1.860 jiwa tahun 2004 menjadi 3.835 jiwa tahun 2005. Meningkatnya angka kemiskinan ini
disebabkan karena adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali telah menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu yang
mayoritas nelayan. Kenaikan BBM menyebabkan terjadinya inflasi yang berdampak pada peningkatan berbagai kebutuhan pokok. Sedangkan bagi
nelayan, biaya BBM memakan sekitar 40 dari total biaya produksinya. Kenaikan harga BBM di awal tahun 2005 menyebabkan banyaknya nelayan yang
tidak melautmenghentikan aktivitas penangkapannya karena biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Kenaikan harga
BBM parahnya tidak diimbangi dengan kenaikan harga ikan. Sehingga kebijakan
penaikkan BBM sangat merugikan nelayan dan meningkatkan angka kemiskinan di kalangan masyarakat pesisir.
Jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mengalami penurunan pada tahun 2006 3.400 jiwa jika dibandingkan dengan tahun 2005 3.835 jiwa.
Angka kemiskinan ini tergolong tinggi karena sebelumnya 2004, jumlah penduduk miskin Kepulauan Seribu hanya 1.860 jiwa. Tabel 27 menunjukkan
perkembangan jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu tahun 2006.
Tabel 27 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase, P1, P2 dan Garis Kemiskinan Menurut KabupatenKota, 2005-2006
KabupatenKota Jumlah
penduduk miskin 000
Persentase penduduk
miskin P1
P2 Garis
Kemiskinan RpKapbln
Kepulauan Seribu 3,4
14,64 2,69
0,80 270071
Jakarta Selatan 64,0
3,36 0,73
0,17 263740
Jakarta Timur 71,2
2,85 0,66
0,17 220855
Jakarta Pusat 28,5
3,17 0,67
0,19 209929
Jakarta Barat 57,4
2,84 0,51
0,112 211074
Jakarta Utara 91,7
6,48 1,54
0,45 212490
DKI Jakarta 316,2
3,61 0,78
0,20 237735
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006, BPS Jakarta.
Penyebaran penduduk miskin menurut wilayah kabupatenkota di DKI Jakarta tahun 2006 sebanyak 14,64 berada di Kepulauan Seribu. Jumlah
persentase penduduk miskin Kepulauan Seribu di atas rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta yang mencapai 3,61. Ketimpangan yang sangat tinggi ini
menunjukkan bahwa belum terjadi pemerataan pembangunan di pusat ibu kota. Selain itu, keberadaan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten Baru di DKI Jakarta,
belum bisa menunjukkan prestasi pembangunan yang menggembirakan. Kondisi geografis Kepulauan Seribu berupa daerah kepulauan dengan jarak pulau yang
berjauhan, menjadikan akses terhadap distribusi pembangunan tidak berjalan optimal. Tingginya persentase penduduk miskin di Kepulauan Seribu yang dekat
DKI Jakarta ini dapat disebabkan karena tatanan kelembagaan belum berjalan dengan baik, disamping peraturan dan kebijakan pembangunan belum sepenuhnya
berpihak kepada wilayah pesisirpedesaan dan bias perkotaan. Kesenjangan dari sisi kepemilikan faktor produksi, dan kesenjangan sumberdaya manusia semakin
memperjelas tingginya kemiskinan di Kepulauan Seribu.
Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Tingkat kedalaman kemiskinan Poverty Gap IndexPI menunjukkan ukuran rata- rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin
terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indekss semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sedangkan
tingkat keparahan kemiskinan Poverty Severity IndexP2 menunjukkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan juga intensitas
kemiskinan Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai P1 Kabupaten Kepulauan Seribu
tertinggi yaitu 2,69 lebih tinggi dari rata-rata P1 di DKI Jakarta yaitu 0,78. Nilai P1 Jakarta Utara sedikit lebih rendah yaitu 1,54. Terjadi kesenjangan pengeluaran
rata-rata penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di DKI Jakarta. Kesenjangan ini sangat kentara antara KabupatenKota yang berada di wilayah pesisir atau
berupa kepulauan dengan perkotaan. Jika diperhatikan karakteristik masyarakatnya, baik Jakarta Utara maupun Kepulauan Seribu rata-rata merupakan
masyarakat pesisir. Fakta ini menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil belum berjalan dengan baik di DKI Jakarta.
Fakta ini juga menunjukkan adanya bias kebijakan antara pembangunan kawasan pesisir dan PPK dengan kawasan teresterial dan perkotaan.
Kepulauan Seribu mempunyai intensitas kemiskinan yang tinggi jika dibandingkan dengan Kota lain dengan nilai P2 sebesar 0,80 di atas rata-rata nilai
P2 DKI Jakarta yaitu 0,20. Data ini menunjukkan bahwa penyebaran pengeluaran penduduk miskin dan intensitas kemiskinan antara Kabupaten Kepulauan Seribu
dengan KabupatenKota lainnya di DKI Jakarta terjadi kesenjangan. Kehidupan penduduk miskin di Kepulauan Seribu belum mengalami perbaikan dibandingkan
dengan KabupatenKota lainnya di DKI Jakarta.
Angka Harapan Hidup
Angka harapan hidup AHH secara konsepsi diartikan sebagai rata-rata jumlah tahun hidup yang dapat dijalani oleh seorang hingga akhir hayatnya. Dan
merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan.
Berdasarkan data BPS tahun 2006, angka harapan hidup AHH Kepulauan Seribu mencapai usia 72,2 tahun 2002 dan semakin menurun menjadi
69,7 tahun pada tahun 2005. Tahun 1993 AHH Kepulauan Seribu cukup baik yaitu 70,2 tahun dan terus meningkat menjadi 70,3 tahun 1996, 71,2 tahun
1999 dan 72,2 tahun 2002, kemudian turun menjadi 69,7 tahun pada tahun 2005. AHH tahun 2005 Kepulauan Seribu ini lebih rendah dari AHH rata-rata
DKI pada tahun yang sama yaitu 74 tahun. Penurunan AHH mengindikasikan kemampuan untuk dapat bertahan
hidup bagi penduduk Kepulauan Seribu semakin memburuk. Semakin memburuknya kondisi sosial ekonomi, kesehatan dan lingkungan di wilayah
Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta umumnya serta tingkat kematian bayi yang makin tinggi, menyebabkan menurunnya AHH. Data ini juga menggambarkan
bahwa kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat mengalami kemunduran disebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan sehingga akses
terhadap kesehatan semakin berkurang. Kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali, diduga kuat menjadi penyebab rendahnya daya beli dan tingkat
pendapatan masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan naiknya biaya operasional melaut yang diikuti dengan kenaikan bahan-bahan pokok. Tabel 28 memberikan
gambaran AHH Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta.
Tabel 28 Angka Harapan Hidup DKI Jakarta Tahun
Kabupaten 1993
1996 1999
2002 2005
Kepulauan Seribu 70.2
70.3 71.2
72.2 69.7
Jakarta Selatan 70.0
70.1 71.1
71.7 72.4
Jakarta Timur 70.4
70.6 71.5
72.5 72.5
Jakarta Pusat 69.1
69.3 70.2
70.7 71.3
Jakarta Barat 70.3
70.5 71.4
72.3 72.6
Jakarta Utara 70.2
70.3 71.2
72.2 72.2
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006
Tabel 28 menggambarkan bahwa AHH Kepulauan Seribu lebih rendah dibandingkan AHH KabupatenKota lainnya di DKI Jakarta. Data ini
menunjukkan adanya ketidakmerataan dalam akses kesehatan. Pemerintah DKI Jakarta belum memprioritaskan masyarakat Kepulauan Seribu yang sudah
terisolasi karena letak geografis berupa pulau-pulau kecil yang saling berjauhan
dan akses kesehatan, informasi dan pendidikan yang terbatas. Ketidakpekaan pemerintah DKI Jakarta ini, menunjukkan adanya bias pembangunan yang
condong mendorong kemajuan di perkotaan dan mengabaikan wilayah pedesaan dan kepulauan.
Angka Melek Huruf
Angka melek huruf AMH merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dan menjadi indikator keberhasilan pembangunan di bidang
pendidikan. AMH merupakan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya.
Angka melek huruf AMH masyarakat Kepulauan Seribu sebelum berubah status menjadi Kabupaten mencapai 96,1 1993, kemudian turun
menjadi 95,1 1996 dan naik lagi menjadi 97,1 1999. Sejak terbentuknya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2002, AMH semakin membaik
mencapai 98,2 tahun 2002. Namun kembali turun cukup tajam pada tahun 2005 dengan nilai 96,6. Penurunan AMH ini disebabkan karena menurunnya
kesempatan belajar masyarakat dan tingginya angka putus sekolah sebagai akibat kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali kenaikan dan
menurunkan pendapatan masyarakat Tabel 29.
Tabel 29 Persentase Angka Melek Huruf DKI Jakarta
Kabupaten 1993
1996 1999
2002 2005
Kepulauan Seribu 96.1
95.1 97.1
98.2 96.6
Jakarta Selatan 96.9
97.7 97.7
98.3 98.0
Jakarta Timur 96.9
96.8 98.4
98.5 99.0
Jakarta Pusat 97.8
96.6 97.7
98.1 98.8
Jakarta Barat 96.1
97.3 97.8
97.9 98.2
Jakarta Utara 96.1
95.1 97.1
98.2 98.4
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006
Pada tahun 2006, perkembangan AMH Kepulauan Seribu dengan kota- kota lain di DKI Jakarta tidak terlampau timpang. Nilai AMH Kepulauan Seribu
yang mencapai 98,2 sama dengan rata-rata AMH di DKI Jakarta yaitu 98,2. Namun pada tahun 2005, ketimpangan tersebut terlihat dengan angka 96,6
AMH Kepulauan Seribu yang berada di bawah rata-rata AMH DKI Jakarta
sebesar 98,2. Krisis ekonomi yang dipicu oleh kenaikan BBM di tahun 2005 tidak bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu sebagai akibat pukulan keras kenaikan BBM mengakibatkan semakin tingginya angka putus sekolah.
Fasilitas Pendidikan
Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Fasilitas pendidikan ditunjukkan
dengan ketersediaan bangunan pendidikan baik formal maupun non formal. Tabel 30 menyajikan fasilitas pendidikan yang ada di DKI Jakarta termasuk Kepulauan
Seribu di dalamnya menurut jenjang pendidikan dan status pengelolanya.
Tabel 30 Jumlah Gedung Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan 2006-2007 Unit
KabupatenKota TK
SD SLTP
SMU SMK
Jakarta Selatan 402
662 192
99 131
Jakarta Timur 536
854 248
131 184
Jakarta Pusat 222
412 130
67 73
Jakarta Barat 383
663 224
118 115
Jakarta Utara 237
428 156
82 74
Kepulauan Seribu 10
14 5
1 1
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007
Jumlah gedung TK di Kepulauan Seribu hanya 10 buah dari 1.790 yang berada di DKI Jakarta. Gedung sekolah SD berjumlah 14 buah dari total 3.033
seluruh DKI Jakarta, SMP sebanyak 5 buah dari total 955 buah di DKI Jakarta. Sedangkan ketersediaan gedung SMU jumlahnya sangat minim. Jumlah gedung
SMU dan SMK masing-masing hanya 1 buah terdapat di Kelurahan P. Panggang, yaitu di P. Panggang dari total 498 buah SMU dan 578 SMK di DKI Jakarta.
Tingginya sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana pendidikan di wilayah tersebut. Data ini menggambarkan kondisi masyarakat
Kepulauan Seribu dan masyarakat Kepulauan lainnya di Indonesia yang senantiasa tertinggal dan terbelit dalam kemiskinan. Ketimpangan ini karena
tidak adanya keberpihakan negara terhadap wilayah pedesaan dan kepulauan, khususnya dalam penyediaan sarana pendidikan. Fakta ketimpangan dan bias
pembangunan tersebut jelas terlihat nyata dengan minimnya sarana pendidikan yang tersedia di Kepulauan Seribu. Letak geografis yang berjauhan satu pulau
dengan pulau lainnya dan budaya masyarakat yang cenderung tidak mau bersekolah dan memilih bekerja di laut dituding sebagai alasan dasar kenapa
sarana pendidikan jarang terlihat di Kepulauan Seribu. Pemerintah seyogyanya mencari strategi kebijakan yang tepat dan khusus bagi daerah Kabupaten yang
berbentuk kepulauan secara geografis seperti Kepulauan Seribu. Tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang bias seperti inilah yang banyak mengakibatkan
terjadinya kemiskinan yang lebih bersifat struktural. Kemiskinan struktural adalah contoh dominan kemiskinan yang banyak terjadi di Indonesia.
Selain fasilitas gedung pendidikan, rasio murid-guru juga menentukan keberhasilan pendidikan. Semakin rendah rasio guru murid, maka diharapkan
semakin baik tingkat keberhasilan proses belajar pada anak didik di sekolah. Hal ini karena beban guru dalam mendidik siswa relatif lebih ringan dibandingkan
dengan rasio murid-guru yang relatif tinggi.
Tabel 31 Persentase Rasio Murid-Guru Menurut KabKota dan Tingkat Pendidikan di DKI Jakarta 2006-2007
KabupatenKota TK
SD SLTP
SMU SMK
Jakarta Selatan
10.24 24.29
20.93 11.53
11.64
Jakarta Timur
11.08 25.87
17.61 12.01
12.74
Jakarta Pusat
12.02 21.34
18.36 10.45
11.09
Jakarta Barat
10.26 24.40