Potret Kemiskinan Struktural Tipologi dan Strategi Pengembangan Kelembagaan

Tatanan kelembagaan . Prosedur perbankan yang ketat dan mengharuskan adanya agunan dalam proses peminjaman, menjadi kendala utama bagi masyarakat pesisir dalam mengakses modal ke perbankan. Dalam tatanan kelembagaan, perbankan hanya bisa diakses oleh masyarakat pesisir yang mempunyai aset seperti tanah dan kendaraan perbankan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh nelayan besar juragan, pemilik kapal, bakul besar, karyawan swasta dan PNS. Sedangkan nelayan kecil yang sebetulnya paling membutuhkan tidak bisa mengaksesnya. Mereka memilih tetap meminjam kepada bakul –yang mungkin mendapatkan pinjaman modal dari Bank- meskipun dengan pola hubungan yang ekploitatif dan cenderung mentargetkan bunga tinggi. Koperasi simpan pinjam yang seharusnya juga mendapatkan penguatan dari perbankan atau bisa mengakses modal kepada perbankan, juga tidak bisa diharapkan. Bagi nelayan, meminjam ke Bank dengan sistem pengembalian per bulan, cukup memberatkan. Sedangkan dengan meminjam kepada bakul atau tengkulak, pengembalian pinjaman dapat dilakukan sesuai dengan kecenderungan musim. Faktor pengembalian, prosedur yang ketat, kepastian agunan dan pola pendapatan yang musiman, menjadikan nelayan tidak bisa mengakses perbankan dan membangun ketergantungan yang tinggi kepada juragan atau bakul ikan. Daya jangkau . Berdasarkan hasil survey dan wawancara, yang bisa mengakses lembaga perbankan hanyalah juraganbakul ikan besar dengan agunan tanah atau kendaraan bermotor. Karena biasanya mereka termasuk golongan kaya yang sedikit jumlahnya di lingkungan masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang. Perbankan lebih mempercayai juragan atau bakul ikan dibandingkan nelayan karena adanya kepastian pembayaran, aset yang mencukupi dan pola pendapatan yang cenderung tetap meskipun fluktuatif. Karena selama nelayan melakukan penangkapan, juragan dan bakul ikan dipastikan mendapatkan bagian yang lebih besar, apalagi yang juga menjadi pemilik kapal dan pemberi modal.

8.2.2 Potret Kemiskinan Struktural

Suharto 2004 menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan indiviual melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Menurut Jarnasy 2004 kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebabai penyebab tumbuh dan berkembangnya kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Kemiskinan kultural lebih mengacu kepada persoalan sikap dan budaya. Melihat kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka dapat digolongkan ke dalam masyarakat yang kurang sejahtera atau miskin. Tipe kemiskinan yang ditemukan adalah kemiskinan relatif, kultural, struktural, alamiah dan buatan. Kelima tipe kemiskinan tersebut ditemukan dalam masyarakat P. Panggang dan Pramuka serta Kepulauan Seribu umumnya. Namun dari sekian definisi kemiskinan yang ditemukan, kondisi kemiskinan masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka lebih tepat disebut kemiskinan karena strukutural. Fokus dalam memandang kemiskinan struktural menurut Suharto 2004 adalah membongkar sebab-sebab masalah kemiskinan yang teridentifikasi dengan adanya perampasan daya kemampuan yang mencakup sosial, politik dan psikologis yang disebabkan oleh pengaruh kekuatan eksternal dibandingkan kekuatan internal. Dimensi pokok kemiskinan strukutral terdiri dari KIKIS, 2001 : 1 Dimensi kekuasaan ; Dimensi kekuasaan berkaitan dengan pola hubungan kekuasaan baik hubungan kekuasaan politik, ekonomi maupun kebudayaan 2 Dimensi kelembagaan ; Dimensi kelembagaan bukan saja pemerintahan tetapi lembaga tradisional mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kemiskinan struktural misalnya bagaimana kondisi lembaga atau pengorganisasian untuk memperjuangkan kepentingan kelompok miskin 3 Dimensi Kebijakan ; unsur-unsur yang masuk dalam kelompok ini adalah produk perundang-undangan serta keputusan-keputusan lembaga pemerintah yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap proses pemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan 4 Dimensi budaya ; unsur-unsur yang termasuk dalam dimensi budaya adalah nilai, sikap, perilaku budaya yang berkembang sebagai reaksi terhadap tekanan eksternal masyarakat miskin. 5 Dimensi lingkungan fisik ; Dimensi lingkungan fisik berkaitan dengan potensi sumber daya alam di suatu daerah. Daerah yang potensi sumber daya alamnya besar akan berpeluang untuk tidak terlalu miskin Dimensi Kekuasaan Dimensi kekuasaan merujuk kepada pelaku yang terlibat dalam aktivitas perikanan di P. Panggang dan P. Pramuka. Dalam lingkungan nelayan terlibat didalamnya yaitu nelayan pemilik juragan, bakul ikan pedagang dan nelayan kecil perikanan pancing yang menggunakan motor tempel dan buruh nelayan atau ABK. Nelayan buruh biasanya bekerja kepada nelayan pemilik juragan, sedangkan nelayan kecil biasanya menjual ikannya kepada bakul ikan. Pola hubungan kedua kelompok ini bersifat ekploitatif yaitu antara juragan yang mengekploitasi buruh kapal dengan pola bagi hasil yang tidak seimbang dan bakul ikan mengekploitasi nelayan kecil. Nelayan buruh tidak mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi harga ikan karena ketergantungannya yang tinggi kepada juragan kapal dalam hal sarana, biaya operasional dan kebutuhan lainnya. Nelayan buruh juga tidak memiliki kekuasaan ekonomi untuk melepaskan diri dari juragan kapal. Demikian halnya dengan nelayan kecil, tidak memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi harga ikan karena ketergantungannya yang tinggi pada bakul dalam hal pemasaran dan permodalan. Pola hubungan seperti ini juga sudah menjadi semacam budaya dimana satu dengan lainnya merasa saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Bahkan pada sebagian kasus ditemukan, keterikatan terhadap bakul ikan bukan semata karena ketergantungan modal namun karena adanya faktor kekerabatan dan prinsip saling membantu. Pada masyarakat pembudidaya baik itu budidaya rumput laut maupun kerapu juga ditemukan hubungan seperti ini namun sifatnya tidak terlalu ekploitatif seperti dalam kehidupan nelayan. Pola hubungan di kalangan pembudidaya rumput laut terjadi antara pembudidaya dengan pengumpul. Pembudidaya biasanya memiliki keterbatasan akses dalam hal pemasaran dan pengadaan benih yang biasanya dipenuhi oleh pengumpul. Katerbatasan ini biasanya dapat dipenuhi oleh pengumpul rumput laut di tingkat lokal. Pengumpul dapat memainkan harga sesuai kehendaknya dan pembudidaya karena keterbatasannya tidak mempunyai kekuasaan mempengaruhinya. Pengumpul lokal juga mengalami pola hubungan ketergantungan kepada pengumpul besar atau pengusaha yang mempunyai akses pasar yang lebih luas dan permodalan yang lebih besar. Pengumpul besar biasanya memberikan sejumlah modal untuk mengalirkannya kembali kepada pembudidaya dengan jaminan hasil panen dijual kepadanya. Pada kelompok pembudidaya rumput laut, pola hubungan lebih disebabkan karena keterbatasan akses pasar dan modal. Sedangkan pada pembudidaya kerapu lebih mandiri. Pembudidaya kerapu banyak menggunakan modal sendiri dalam usahanya. Sehingga praktis tidak terlalu tergantung kepada pemberi modal. Kecuali pada kelompok pembudiya yang mengikuti program sea farming seperti yang terdapat di P. Panggang. Kelembagaan sea farming memberikan sejumlah modal usaha dan benih dengan sistem pelunasan dengan dicicil. namun pembudidaya tidak mempunyai kewajiban untuk menjual ikannya kepada pengelola sea farming. Pembeli ikan kerapu tersedia cukup banyak baik yang bersifat menampung maupun yang datang langsung ke lokasi budidaya. Satu-satunya keterbatasan adalah dalam hal pemasaran yang biasanya dikuasai memang oleh para pengumpul. Dalam lingkungan nelayan, keterbatasan akses politik juga terjadi pada permasalahan penentuan harga ikan. Informasi harga didominasi oleh juragan dan bakul ikan. TPI dan koperasi tidak banyak berfungsi dalam menjamin harga ikan. TPI hanya difungsikan untuk mendaratkan dan mencatat ikan yang masuk. Proses pemasaran tetap dilakukan oleh juragan atau bakul ikan. Akibatnya, nelayan kecil dan buruh tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya baik dalam akses pasar maupun permodalan. Mekanisme pasar monopsoni dan oligopolistik cenderung terjadi dalam pola hubungan seperti ini, dimana juragan dan bakul lebih banyak menguasainya. Dimensi kekuasaan lainnya yang dapat ditemukan dalam lingkungan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka adalah dalam akses permodalan. Berdasarkan hasil survey, hubungan dengan tengkulak dalam hal permodalan tergolong sedikit hanya 20. Bagi nelayan yang memiliki ketergantungan terhadap permodalan biasanya banyak terjadi pada nelayan buruh kepada juragan dan nelayan kecil pada bakul. Sumber permodalan lain seperti koperasi juga menjadi salah satu alternatif nelayan, namun koperasi tidak mempunyai akses terhadap pasar. Informasi pasar dimonopoli oleh juragan dan bakul ikan. Sehingga ketergantungan nelayan kecil terhadap bakul lebih utama dalam hal pemasaran. Sedangkan bagi buruh nelayan kepada juragan lebih disebabkan oleh faktor yang lebih komplek yaitu karena keterbatasan modal, pasar dan teknologi. Dimensi Kelembagaan Kelembagaan yang ditemukan dalam lingkungan masyartakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka khususnya masyarakat nelayan adalah kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal seperti lembaga permodalanperbankan Bank DKI, Koperasi simpan pinjam, TPI, organisasi nelayan penyelamat terumbu karang dan LSM pengelola terumbu karang. Sedangkan kelembagaan informal seperti juragan dan bakul, DKM dan majlis taklim Kelembagaan perbankan tidak terlalu banyak memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan. Permasalahan-permasalahan teknis perbankan, prosedur yang rumit, pola pendapatan nelayan, keharusan adanya jaminan dan prosedur teknis lainnya menyebabkan nelayan kecil maupun masyarakat lainnya mengalami keseulitan mengaksesnya. Aktivitas yang biasa dilakukan dalam hubungannya dengan perbankan hanyalah menabung. Sedangkan peminjaman biasanya dapat diakses oleh para juragan pemilik kapal dan aset tanah, bakul ikan dan kelompok masyarakat pesisir yang mempunayi aset tanah lainnya. Kelembagaan perbankan Bank DKI lebih banyak berfungsi untuk mengurusi kebutuhan para pegawai Dinas Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya sebagai media transaksi dan penyaluran dana-dana proyek. Koperasi simpan pinjam fungsinya sama dengan perbankan yaitu sebagai media simpan pinjam. Dari 2 unit koperasi yang ada, hanya 1 unit yang aktif, itupun tidak banyak membantu usaha nelayan karena keterbatasan modal likuiditas yang dimilikinya. Sedangkan TPI praktis tidak banyak berfungsi, selain karena terbatasnya sarana dan prasarananya, fungsi pemasaran dan informasi harga ikan juga tidak bisa dilakukan oleh TPI. Informasi harga dan pemasaran justru dikuasai oleh bakul dan juragan. Kalaupun nelayan mendaratkan ikannya di TPI, proses penjualan tetap dilakukan dengan bakul ikan. Kelembagaan organisasi nelayan cukup banyak diikuti oleh masyarakat khususnya nelayan. Organisasi nelayan ini bergerak dalam hal pengelolaan terumbu karang dan ikan hias. Organisasi ini cukup aktif dan banyak berperan dalam mencegah aksi pengrusakan terumbu karang dan ikan hias karena keanggotaannya rata-rata merupakan nelayan ikan karang dan ikan hias yang hidupnya sangta tergantung dari habitat terumbu karang. Sedangkan LSM yang cukup aktif sampai saat ini mendampingi baru ditemukan dari Yayasan Terumbu Karang Indonesia Terangi. Terangi banyak melakukan penelitian tentang kualitas terumbu karang dan tentang ikan hias di seluruh Kepulauan Seribu serta melakukan penyadaran dan pendampingan kepada masyarakat untuk menyelamatkan terumbu karang. Karya Terangi membangun harapan baru karena terbentuknya organisasi penyelamat terumbu karang juga difasilitasi oleh Terangi. Titik harapan itu terlihat dari menurunnya aktivitas penangkapan dengan menggunakan potasium, masyarakat ikut serta dalam melakukan budidaya terumbu karang, menangkap ikan hias dengan cara dan tehnik yang ramah lingkungan serta adanya trend peningkatan persentase tutupan karang. Terangi merupakan salah satu LSM yang menjadikan Kepulauan Seribu sebagai basis utama penelitian dan mempunyai basecamp di P. Pramuka. Lembaga lnformal yang banyak mempengaruhi pola interaksi sosial dan integritas moral masyarakat adalah banyaknya lembaga pengajian khususnya di kalangan ibu-ibu. Kelembagaan pengajian ini berfungsi dalam membangun soliditas, kebersamaan, mencegah konflik sosial antar warga dan membangun aspek moralitas penduduk. Kelompok pengajian lebih banyak menyajikan tema yang berkaitan dengan ibadah mahdoh dan interaksi antar manusia, tetapi absen dalam menyajikan tema interaksi antara manusia dan alam. Tema pengajian harusnya juga membahas tentang larangan merusak sumber daya alam dan dosa bagi yang melakukannya termasuk merusak terumbu karang dan lingkungan laut. Tema-tema ini bisa jadi tidak sampai kepada anggota pengajian karena keterbatasan referensi yang dimiliki oleh ulama atau tokoh masyarakat. Dimensi Kebijakan Untuk melihat kebijakan secara umum baik yang terkait dengan pengelolaan SDPL maupun peningkatan ekonomi dan kesejahteraan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kepulauan Seribu di P. Panggang dan P. Pramuka khususnya dan di Kepulauan Seribu umumnya, menggunakan kerangka pemikiran neo-liberal dan sosial demokrat. Tabel 110 menyajikan pandangan neo-liberal dan sosial demokrat terhadap kemiskinan. Melihat kebijakan peningkatan kesejahteraan atau pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah Kepulauan Seribu maupun pemerintah pusat yang sasarannya kepuluan Seribu, maka terlihat bahwa secara umum program-program tersebut berhalaun Neo-liberal. Program seperti P2KP dan PPK dan penyaluran kreditpermodalan kepada perorangan dan kelompok yang dilaksanakan di Kelurahan P. Panggang lebih bersifat residual dan jangka pendek. Pembangunan sarana dengan orientasi ini lebih berorientasi jangka pendek. Menurut kalangan sosial demokrat, hal ini dianggap sebagai tindakan yang menghabiskan dana, memberikan dampak yang singkat, jangkauannya terbatas dan tidak berorinetasi pada pemberdayaan serta tidak ada jaminan kelanjutan. Bias kebijakan ini juga nampak dari jenis sarana yang dibangun yang lebih berorientasi pada pembangunan fisik dan sedikit alokasi untuk pembangunan SDM, mental dan rehabilitasi SDPL. Karekteristik Kepulauan Seribu sebagai daerah yang terdiri dari pulau-pulau dan ketergantungan masyarakat tinggi terhadap SDPL, idealnya dalam setiap pembangunan harus berorientasi pada keseimbangan ekologis dan kesehatan lingkungan. Tabel 110 Pandangan Neo-Liberal dan Sosial Demokrat Terhadap Kemiskinan Uraian Neo-Liberal Sosial-Demokrat Landasan teoritis Individual Struktural Konsepsi dan indikator kemiskinan Kemiskinan absolut Kemiskinan relatif Penyebab kemiskinan • Kelemahan dan pilihan- pilihan individu • Lemahnya pengaturan pendapatan • Lemahnya kepribadian malas, pasarah, bodoh • Ketimpangan struktur ekonomi dan politik • Ketidakadilan sosial • Ketidakadilan ekologi Strategi penanggulangan kemiskinan • Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif • Memberi pelatihan, keterampilan pengelolaan keuangan • Penyaluran pendapatan dasar secara universal • Perubahan fundamental dalam pola-pola pendi5stribusian pendapatan melalui intervensi negara Prinsip • Residual. Dukungan yang saling menguntungkan • Beorientasi proyek jangka pendek • Institusional. Redistribusi pendapatan vertikal dan horisontal • Aksi kolektif Sumber : dikembangkan dari Cheyne, O’Brien dan Belgrave 1998 dalam Suharto 2004 Pandangan neo-liberal dalam pelaksanaan program pembangunan nampak terlihat dari hasil survey yang menyatakan bahwa bentuk program yang sering diterima masyarakat adalah pelatihan 55 diikuti modal 49 dan bantuan fisik 19. Penekatan solusi melalui pelatihan membuktikan bahwa cara pandang pemerintah daerah terhadap penyebab kemiskinan, lebih disebabkan karena kultur kemiskinan kultural. Dalam pandangan kelompok neo-liberal penyebab kemiskinan lebih disebabkan karena kelemahan individu. Sifat-sifat seperti malas, bodoh, apatis dan perilaku negatif lain merupakan streotip yang sering dijadikan justifikasi penyebab kemiskinan. Melihat hasil penelitian Baihaqie 2004 di P. Panggang, perilaku individu masyarakat menempati urutan masalah paling atas di P. Panggang. Namun, setelah digali lebih lanjut bersama masyarakat, mereka mengakui bahwa kecenderungan untuk berprlikau negatif karena kurangnya pelayanan dari pemerintah dan banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kelompok neo- liberal lebih melihat permasalahan kemiskinan disebabkan karena faktor-faktor internal yang dialami masyarakat. Sedangkan dalam pandangan kelompok sosial- demokrat yang merupakan varian dari aliran Marxis, lingkungan atau faktor sturktur ekonomi dan politik serta faktor eksternal lain, menjadi penyebab kemiskinan. Program penanggulangan terkini yang juga berpatokan kepada haluan neo- liberal adalah pemberian BLT kepada masyarakat sebagai kompensasi atas kenaikan BBM. Penyaluran BLT dilakukan secara selektif dan penuh dengan kebiasan. Sasaran pemanfaatt BLT adalah masyarakat terdampak pada tahun 2005 kenaikan BBM 2005. Sampai penyaluran BLT 2008, data sasaran masih menggunakan data 2005. Hal ini menyebab program tidak tepat sasaran. Disamping itu sebagian sasaran lebih diarahkan kepada keluarga dan sanak famili elit desa. Sistem penyaluran pendapatan seperti ini ditentang oleh kelompok sosial-demokrat karena diduga terdapat ketidakadilan dalam pendistribusian pendapatan. Dimensi kemiskinan struktural lain yang memperkuat kemiskinan masyarakat di Pulau Seribu khususnya P. Panggang dan P. Pramuka adalah perkembangan investasi pariwisata bahari yang kurang mengakomodir kepentingan dan eksistensi nelayan. Tercatat sebanyak 20 pulau di Kepulauan Seribu menjadi tempat wisata dan 6 pulau menjadu tujuan penyelaman. Tabel 111 menunjukkan beberapa pulau yang menjadi tempat wisata dengan berbagai jenis potensinya, antara lain : Tabel 111 Lokasi Wisata di Kepulauan Seribu dan Jenis Potensinya Lokasi wisata Potensi dan jenis wisata P. Kayangan Peninggalan sejarah sebuah benteng zaman VOC P. Pabelokan Pusat bisnis dan perkantoran dan base camp pertamina P. Bidadari Benteng Belanda Martello Tower, peninggalan portugis benteng yang terbuat pada abad ke 17 suaka taman purbakala P. Onrust Suaka taman purbakala P. EdamP. Monyet Mercusuar yang disebut Vast Licht P. Kelor Galangan kapal dan benteng yang dibangun VOC untuk menghadapi serangan Portugis di abad ke 17 Kuburan Kapal Tujuh atau Sevent Provincien P. Rambut Hutan bakau yang rimbun serta terumbu karang yang sangat indah, cagar alam burung P. Ayer Cottage yang terletak di pantai, fasilitas memancing di waktu malam, jet ski dan banana boat, sumber air tawar P. Puteri Pasir putih. Akuarium ikan hias, akuarium bawah laut, lapangan tenis, dan biawak di kebun binatang mini P. Matahari • Cottage bertingkat dua dengan kamar yang mewah, dan fasilitas olah raga air dan memancing. • Snorkling, diving • Helipad untuk tamu resor yang datang dengan helikopter P. Sepa Berenang, menyelam, snorkeling, atau memancing P. Pantara Barat dan Pantara timur Menyelam dan snorkeling P. Bira besar Lapangan golf, kolam renang, sepeda untuk berkeliling pulau, tempat bermain anak-anak dan tempat memancing P. Kotok Atoll tropis dengan vegetasi yang masih asli, laut yang jernih dan formasi batu karang berwarna-warni sehingga menjadi tujuan utama para penyelam Konservasi burung Elang bondol mascot DKI Jakarta P. Pelangi Pondok wisata juga beberapa restoran yang terletak di daratan maupun yang terapung P. Papa Theo Snorkling, diving P. Laki Wisata laut P. Pamagaran Stasiun penelitian laut dan sarana telekomunikasi, Terumbu karang P. Sabira Mercusuar itu dibangun atas perintah Raja ZM Willem III pada tahun 1869 P. Saktu dan P. Penike • Pemandangan menakjubkan, dikelilingi oleh pantai yang berpasir putih dengan nyiur dan laguna khas daerah tropis • Snorkling, diving Sumber : Wikipedia, 2008 diolah Orientasi kepada pengembangan pariwisata bahari terlihat pada banyaknya program pengembangan wisata. Selain itu Misi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang berbunyi “Mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari ” sangat jelas bahwa orientasi pemerintah daerah adalah mewujudkan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten wisata bahari. Misi tersebut dijewantahkan lebih lanjut dalam strategi pembangunan yang ke-13 yang berbunyi “Meningkatkan dan membangun infrastruktur ekonomi yang baik termasuk pelayanan investasi guna menarik investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia usaha Public Private Partnership ”. Orientasi pasar sangat jelas secara eksplisit tercermin dalam strategi pembangunan daerahnya. Mengacu kepada pemikiran imperial 1999 bahwa kebijakan pembangunan pariwisata bahari tidak memiliki nilai adaptabilitas adaptability dan keadilan equity karena kurang memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan. Program investasi melalui pariwisata sangat jarang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya. Bahkan pulau yang sudah menjadi tempat wisata, menutup akses terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut oleh nelayan tradisional. Padahal lokasi-lokasi tersebut merupakan zona pemanfaatan tradisional yang harusnya kegiatan nelayan tradisional boleh didalamnya. Akibatnya, pemanfaatan SDPL di wilayah tersebut seringkali berujung pada pengrusakan ekosistem lingkungan dan ekologi karena masyarakat merasa aksesnya ditutup. Perhatian pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan sebetulnya cukup terlihat pada pengembangan kualitas SDM. Terbukti adanya program yang mengarahkan kepada peningkatan kualitas SDM, peningkatan kualitas hidup guru melalui rehab rumah dinas guru, pelatihan dan permagangan. Pelaksanaan program peningkatan SDM tersebut setidaknya membawa hasil cukup baik terbukti tingkat buta huruf di P. Panggang dan P. Pramuka sangat rendah. Kecenderungan orang tua mempunyai kesadaran untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi 8 dan rata-rata mencapai tingkat SMU 53. Akses terhadap informasi juga cepat dan tersedia cukup lengkap sehingga daya kritis masyarakat juga semakin meningkat. Dimensi Budaya Dimensi budaya yang ditemukan dalam komunitas masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka yang menyebabkan kemiskinan struktural adalah ciri- ciri yang melahirkan budaya kemiskinan. Ciri-ciri tersebut bersifat fisik dan perilaku masyarakat. Ciri-ciri fisik nampak seperti masih adanya rumah yang berdempetan dengan luas lantai rata-rata 8x10 m 2 dan perilaku negatif masyarakat seperti apatis, konsumerisme, kurang percaya diri, kurang kompak, kurang kreatif, pragmatis dan tidak berani bertindak. Kondisi perumahan sebetulnya hampir 88 merupakan rumah sendiri, rata-rata berkeramik dan dinding dari tembok. Tapi mereka tidak mau disebut kaya ataupun miskin. Mereka lebih suka dikategorikan sebagai masyarakat dalam kelas ”cukup” atau ”sedang”. Namun jika melihat data pendidikan tertinggi mayoritas responden banyak yang tidak tamat sekolah atau hanya lulus SD. Perilaku negatif yang muncul di kalangan masyarakat tidak serta berasal dari masyarakat semata, tetapi lebih karena pelayanan masyarakat yang kurang memadai dan kebijakan yang kurang tepat. Pemerintah tidak melaksanakan program pembangunan dengan baik, akibatnya banyak sarana tidak berfungsi. Disamping itu pemerintah juga seringkali melanggar peraturan yang telah dibuatnya sendiri, aparat hukum juga tidak tegas terhadap aksi-aksi kerusakan SDPL dan bahkan terlihat membiarkan. Kondisi kekosongan hukum dan keteladanan itu menyebabkan masyarakat apatis dan cuek terhadap SDPL yang berada di sekelilingnya. Perilaku lain yang paling menonjol dalam masyarakat pesisir di manapun termasuk di P. Panggang dan P. Pramuka adalah pola hubungan sosial antara juragan dengan buruh kapal atau nelayan kecil dengan bakul ikan, antara pembudidaya dengan pengumpulpedagang. Pola ini terjadi dalam hubungan yang ekploitatif dan patronase atau saling ketergantungan. Nelayan buruh sering menjadi korban ekploitasi juragan, begitu juga nelayan kecil menjadi korban bakul ikan. Namun, dalam lingkungan masyarakat pesisir P. Panggang dan Pramuka khususnya dalam komunitas nelayan, pola hubungan antara nelayan kecil dan bakul banyak terjadi dalam hal pemasaran. Hubungan ekploitasi terparah diderita oleh buruh nelayan yang mengalami ketergantungan teknologi, modal dan pemasaran kepada juragan yang biasanya sebagai pemilik kapal bahkan juga menjadi bakul. Dimensi Lingkungan Fisik Dimensi lingkungan fisik yang ditemukan dalam masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka kondisi sumber daya pesisir dan laut yang sudah terdegradasi khususnya ekosistem terumbu karang. Secara keseluruhan se Kepulauan Seribu kondisi terumbu karang dalam kondisi memprihatinkan dengan persentase penutupan di bawah 5. Sedangkan di lingkup wilayah Kelurahan P. Panggang sendiri persentase terumbu karang selama periode 2004-2005 rata-rata sebesar 25-34. Meskipun statusnya dalam kondisi mulai buruk sampai sedang, namun secara umum kondisi terumbu karang terancam mengalami kerusakan lebih parah. Kerusakan terumbu karang banyak disebabkan oleh penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang seperti potasium, terinjak karena aktivitas penangkapan dan wisata, serta pengambilan karang sebagai bahan bangunan. Kerusakan ekosistem terumbu karang menjai fokus utama karena mengalami kerusakan yang tinggi dan kebanyakan nelayan Kepulauan Seribu merupakan nelayan ikan karang dimana target ikan sasarannya berada dalam ekosistem terumbu karang. Selain terumbu karang, ekosistem lain yang sudah lebih dulu mengalami kerusakan parah adalah mangrove. Mangrove di P. Panggang dan P. Pramuka sudah sangat sedikit keberadaanya dan saat ini sedang dalam tahap rehabilitasi. Akibat kerusakan kedu ekosistem penting ini, produktivitas perikanan nelayan P. Panggang dan Pramuka banyak mengalami penurunan selain karena faktor adanya kapal arad dan purse seine di perairan Kepulauan Seribu. Selain kerusakan terumbu karang, degradasi sumber perikanan khususnya yang terdapat di Pantai Utara Jawa menurut DKP 2002 sudah mengalami tangkap lebih overfishing yang tingkat pemanfaatannya mencapai 100 . Penurunan sumber daya perikana di pantai Utara Jawa ini tidak hanya terlihat jelas di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta tetapi juga terjadi di hampir seluruh wilayah perairan pantai Utara Jawa.

8.3 Reorientasi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil