sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis, memperhatikan daya dukung lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial. Dampak negatif terhadap PPK ditekan seminimal
mungkin. Karena PPK mempunyai banyak permasalahan yang sangat menentukan arahan dan kinerja pembangunan sekaligus mempengaruhi nasib dari
PPK ke depannya.
2.1.3 Ekosistem, Sumberdaya dan Lingkungan
Fakta tak terbantahkan bahwa PPK mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar dan beranekaragam. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah
ataupun buatan man-made. Ekosistem alami antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pec-caprea,
formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan
permukiman Dahuri, 1998; Kusumastanto, 2000. Penjelasan di atas menggambarkan bahwa dalam ekosistem pulau-pulau kecil terdapat satu atau
lebih ekosistem. Tiga ekosistem utama dan penting yang biasanya mencirikan ekosistem perairan tropis yaitu ekosistem hutan mangrove, terumbu karang dan
padang lamun. Ekosistem hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang tumbuh di
laguna pesisir dangkal dan estuaria tropis dan subtropis, didominasi oleh beberapa spesies mohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang
pasang surut pantai berlumpur. Nilai fungsi mangrove yang berasosiasi dengan keberadaan sumberdaya perikanan didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di
sekitar hutan mangrove tersebut. Seperti contoh hasil tangkapan di Berelang pada tahun 1996 diperoleh sebanyak 7.396 ton. Dengan asumsi jumlah produksi tetap
dan berkorelasi secara linear dengan luas hutan mangrove, maka hasil tangkapan ikan di sekitar hutan mangrove tersebut adalah 0,448 tonhath. Bila harga ikan
diasumsikan tetap sebesar US 1.163,04 per ton Gellwyn dan Dahuri, 1999 dalam
Kusumastanto 2004, maka nilai fungsi ekosistem tersebut adalah sebesar US 521,25 hatahun.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Sebagaimana mangrove, terumbu
karang juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Menurut Kusumastanto 2004 berdasarkan penelitian di wilayah Barelang dan Bintan dengan total luasan
terumbu karang 23.200,14 ha dan dengan asumsi yang diperoleh dari hasil perhitungan bahwa nilai produksi ikan di sekitar perairan karang tersebut pada
tahun 1996 mencapai US 103.575.720, maka dengan asumsi PPK yang dikembangkan memiliki karekteristik yang sama dengan Barelang diperoleh nilai
ikan karang di sekitar perairan terumbu karang adalah sebesar US 4.464,44 hatahun.
Eksosistem padang lamun seagrass tumbuh di daerah subtidal, tersebar luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari, sampai dengan
kedalaman 20 m yang memadai bagi pertumbuhannya. Menurut Kusumastanto 2004 nilai total perikanan yang diwakili oleh komoditas ikan dan udang di
sekitar padang lamun Barelang dan Bintan adalah sebesar US 56.419.620. Asumsi, bila luas total padang lamun di kedua daerah tersebut adalah 14.620,6
hektar, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US 3.858,91hatahun. Selain itu, diperoleh juga nilai tidak langsung yang berasal dari nilai cadangan
biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi, dengan nilai masing-masing sebesar US 15hatahun dan US 34.871,75hath. Nilai tersebut mengacu pada nilai hasil
pendekatan Ruitenbeek 1991 dan Kusumastanto et.al, 1998 . Interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat
fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh. Bentuk interaksi itu bisa berupa
interkasi secara fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Ogden dan
Gladfelter, 1983; Kaswadji, 2001 dalam Bengen, 2001.
Gambar 1
Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove Sumber
: Ogden dan Gladfelter, 1983; Kaswadji 2001
dalam Bengen, 2001 2.1.4
Pemanfaatan dan Pengelolaan PPK
Menurut Ongkosongo, 1998 pulau-pulau telahsedang dimanfaatkan untuk beberapa pemanfaatan. Diantara beberapa pemanfaatan antara lain; 1
daratan negara Indonesia, Filipina; 2 penetapan batas wilayah perairan negara atau antar negara contoh : Pulau Christmas; 3 pembangunan, termasuk
pemukiman; 4 kegiatan dan mencari nafkah masyarakat; 5 Rekreasi, wisata dan olahraga; 6 konservasi dan keanekaragaman hayati dan budaya; 7
konservasi budaya; 8 pendidikan; 9 perhubungan, termasuk perhubungan laut dan udara; 10 penghasil sumberdaya mineral, hayati dan energi; 11 kegiatan
tertentu; 12 pertahanan keamanan; 13 penjara. Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah
secara terpadu guna pembangunan berkelanjutan yaitu i perencanaan; ii pelaksanaan dan iii pemantauan dan evaluasi Dahuri et al 1995; Dutton dan
Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998 dalam PKSPL 2005. Ketiga tahapan utama tersebut kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.
Fisik Bahan organik terlarut
Bahan organik partikel Migrasi fauna
Dampak manusia
Gambar 2 Proses Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil Modifikasi dari Dahuri
et al 1995
Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar ekosistem pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1
mintakat preservasi; 2 mintakat konservasi dan 3 mintakat pemanfaatan. Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik,
biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan
yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah
yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan pemanfaatan secara terbatas dan terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan
wisata alam ecotourism, sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman,
pelabuhan dan sebagainya PKSPL, 2005.
Isu dan Permasalahan : Lokalnasional dan
Verifikasi permasalahan
Aspirasi lokalNasional
Aspek Kelembagaan
Potensi sumberdaya
ekosistem
Tujuan dan Sasaran
Peluang dan Kendala
Formulasi rencana
Pelaksanaan rencana
Pembangunan PPK
berkelanjutan
Mekanisme umpan balik
Pemantauan dan Evaluasi
Tantangan dan Kekuatan
Langkah selanjutnya setelah berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut adalah
menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan sosial, ekonomi dan ekologis yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan
pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih recovery atau daya lenting resilience dari sumberdaya yang
dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998. Proses tersebut diatas
secara grafis diperlihatkan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Proses Formulasi Perencanaan Dan Pemanfaatan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan PKSPL, 2005
Keterbatasan sumberdaya alam yang makin menipis pada satu sisi dan kebutuhan manusia yang makin meningkat pada sisi lainnya, melahirkan suatu
kesadaran kritis yang mengarahkan pendekatan pengelolaan kearah pemanfaatan yang efisien. Namun lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya tidak boleh
mnegorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dibutuhkan konsep keberimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya sekaligus
keadilan antar generasi yang selanjutnya disebut konsep pembangunan
Persyaratan biogeofisik kegiatan pembangunan
Karakteristik biogeofisik wilayah PPK
Kelayakan
Tata ruang
Daya dukung Daya pulih
Penggunaan SD PPK secara berkelanjutan Aspirasi masyarakat
lokalnasional
Kondisi awal
berkelanjutan. Sebagaimana dikemukakan Serageldin 1996 dalam Rustiadi 2003 bahwa konsep pembangunan berkelanjutan meliputi tiga dimensi yang
disebutnya sebagai a triangular framework yakni keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Spangenber 1999 dalam Rustiadi 2003 menambahkan dimensi
kelembagaan institution sebagai dimensi keempat keberlanjutan.
2.1.5 Kebijakan Pengelolaan PPK