• Tekanan kependudukan. Masalah ini terkait dengan kelangkaan tanah. • Manajemen sumberdaya dan lingkungan. Kemiskinan di pedesaan dan
malnutirisi sangat erat terkait dengan persoalan kelangkaan sumberdaya alam.
• Siklus dan proses alamiah. Kelangkaan pangan yang bersifat musiman seringkali memperburuk kemiskinan karena si miskin di pedesaan terpaksa
segera menjual hasil buminya walaupun dengan harga murah hanya demi memenuhi kebutuhan jangka pendek.
• Marjinalisasi wanita. Wanita sering mengalami diskriminasi. Di beberapa daerah jumlah wanita yang menangggung beban keluarga semakin
banyak. Mereka biasanya tergantung pada bidang kerja yang berpenghasilan rendah. Mereka umumnya juga sulit memperoleh akses ke
input produksi, pelatihan dan kredit. • Tengkulak yang eksploitatif. Orang miskin di pedesaan menghadapi
berbagai jenis tengkulak yang eksploitatif. Eksploitatif dari pemilik terhadap penggarap adan pelepas uang terhadap peminjamannya.
• Faktor budaya dan etnik. Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan
• Fragmentasi politik daerah. Suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat dapat menyebabkan kemiskinan
• Proses internasional. Bekerjanya sistem-sistem internasional kolonialisme dan kapitalisme membuat banyak negara menjadi makin miskin
2.3.4 Menuju Kesejahteraan
A. Perspektif Baru Pembangunan
Pola pembangunan yang selama ini berjalan, termasuk di Indonesia membutuhkan perspektif baru dengan tidak hanya menggantungkan pada
kekuatan pasar tanpa melihat realitas sosial budaya masyarakat Indonesia. Bagi Damanhuri 1998 paradigma baru pembangunan yang akan datang tidak cukup
hanya dalam kerangka pemikiran paradigma neo-klasik. Damanhuri mengusulkan
pendekatan historis-struktural dengan mendorong secara langsung, sistematis dan simultan pemecahan kesenjangan oleh semua faktor untuk menjadikan tujuan
strategis bersama tanpa terlalu terkunkung oleh signal-signal pasar. Dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia, Damanhuri 1998 mengusulkan
pentingnya membangun Indonesia incorporated dalam rangka penguasaan pasar global.
Pembangunan yang sejatinya bertujuan menghapus bentuk-bentuk kemiskinan yang selama ini dilakukan hanya menekankan pada peningkatan
pendapatan per kapita, tanpa melihat keterkaitan keduanya. Menurut Mahbub Ul Haq, proses pembangunan dengan pendekatan seperti itu merupakan jurusan yang
salah. Ul Haq 1983 menawarkan perspektif baru mengenai pembangunan dengan melihat realitas sosial budaya masyarakat negara berkembang.
Pertama, tujuan pembangunan haruslah membasmi bentuk-bentuk
terburuk kemiskinan. Sasaran pembangunan harus ditetapkan atas dasar tujuan mengurangi dan akhirnya melenyapkan kurang gizi, penyakit, buta huruf, hidup
melarat, pengangguran dan perbedaan. Bagi Ul Haq, kemiskinan harus dilenyapkan terlebih dahulu, baru kemudian GNP akan bergerak dengan
sendirinya. Kedua, negara sedang berkembang harus menentukan ukuran minimum konsumsi yang hendak dicapainya dalam jangka waktu tertentu.
Karena itu, Ul Haq menganjurkan agar perencanaan konsumsi harus menggunakan satuan ukuran barang dan layanan yang harus disediakan bagi
rakyat biasa guna menghilangkan bentuk-bentuk kemiskinan. Hal ini ditempuh dengan alasan : i melepaskan diri dari cengkeraman konsep permintaan dan
menggantinya dengan konsep kebutuhan pokok minimum; ii usaha mengejar tingkat pendapatan per kepala di Barat, harus diganti dengan usaha mencapai
pendapatan minimum yang harus ditentukan sendiri oleh negara sedang berkembang.
Upaya terus mencari pendekatan baru dalam pembangunan harus dilakukan secara terus menerus agar masa depan pembangunan lebih baik lagi.
Hettne 2001 membangun dugaan tentang masa depan pembangunan yang kemudian dijawabnya sendiri. Masalah pembangunan bagi Hettne 2001
semakin dekat ketika lingkup dunia dan lingkup nasional saling terkait. Dalam
perspektif ini, Hettne membangun pertanyaan tentang masa depan pembangunan. Pertama
, Akankah dunia terus berkembang menuju ketergantungan satu sama lain, kedua, akankah dunia tercerai-berai ke dalam anarki nasionalisme ekonomi
atau ketiga, akankah dunia berubah menjadi sistem yang teregionalisasi ?. Bagi Hettne 2001 skenario pertama tampaknya tidak memungkinkan.
Skenario kedua adalah jalan menuju bencana, sedangkan skenario ketiga dapat menjadi suatu solusi yang tahan lama bagi krisis global –maupun krisis negara-
bangsa di tiga dunia. Dunia pertama ditujukan kepada negara-negara maju dengan kapitalisme industrinya. Dunia kedua ditujukan kepada negara-negara sosialis
dengan proyek sosialismenya, sedangkan dunia ketiga, ditujukan kepada negara- negara sedang berkembang seperti negara-negara yang terdapat di Amerika latin,
Afrika dan Asia, dimana, aparat negara ada di tangan para elite yang kebanyakan berorientasi ke barat.
Mempertimbangkan aspek regional dalam pembangunan seperti ide Hettne, sebetulnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soja 1980
dengan menggunakan pijakan Marxisme dalam analisa ruang. Menurut Soja 1980 dalam Forbes 1983 bahwa hubungan-hubungan sosial dan ruang saling
bereaksi, saling bergantung secara dialektis. Hubungan-hubungan sosial dari produksi bersifat membentuk ruang dan juga tergantung ruang. Dialektika sosial
ruang adalah konsep yang berusaha menarik perhatian kepada makna fundamental dari ruang dalam masyarakat manusia. Giddens 1981 dalam Forbes 1980
berpendapat bahwa bagi teori sosial hubungan waktu-ruang harus dijadikan pusat karena mereka merupakan aspek pembentuk sistem sosial.
Perspektif baru pembangunan yang diutarakan ini tentunya mengarah kepada tujuan pembangunan yaitu bagaimana membangun kesejahteraan
masyarakat. Di Indonesia, berbagai cara telah banyak digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan dan hasilnya juga masing-masing telah dapat dilihat selama
ini. Fakta tak terbantahkan, masih banyak terdapat masyarakat miskin di Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah.
B. Mengukur Kesejahteraan