pengetahuan. Semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka akan semakin tinggi produktivitas. Semakin tinggi produktivitas, semakin tinggi pendapatan
dan ujungnya akan semakin meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan menurut Mc Clelland disebabkan karena kurangnya dorongan berprestasi pada kaum
miskin. Dalam strategi pembangunan ekonomi, perspektif modernisasi
diwujudkan dalam bentuk strategi pertumbuhan ala model liberal. Damanhuri 1997 mencatat bahwa hasil pembangunan model liberal seperti itu menyebabkan
pengangguran terbuka dan tertutup yang membengkak, kemiskinan absolut dan relatif ketimpangan serta ketergantungan permanen terhadap modal asing dan
teknologi.
B. Teori Radikal
Pandangan-pandangan penganut teori liberal baik yang neo klasik maupun keynesian telah mendominasi arus besar pemikiran pembangunan di dunia selama
beberapa dekade sampai saat ini. Pola ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dari penganut teori liberal menimbulkan banyak kritik dari kaum Marxis.
Setidaknya terdapat beberapa teori yang banyak mengkritisi teori-teori liberal ini yaitu teori strukturalis, teori ketergantungan dan keterbelakangan serta teori
sistem dunia. Teori ketergantungan mengkritik teori modernisasi didasari atas fakta
keterlambatan pembangunan di dunia ketiga, khususnya dalam kasus Amerika latin. Teori ini sepenuhnya menggunakan paradigma neo-Marxis sehingga terlihat
sangat radikal dengan menganalogkan pada perkiraan marxis tentang adanya pemberontakan kaum buruh terhadap majikan dalam industri kapitalis. Corak
analisis Marxis tampak ketika teori ketergantungan mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Dalam
perspektif ini -meminjam istilah Gunder Frank- negara pusat metropolis dianggap sebagai kelas majikan dan negara dunia ketiga satellit sebagai
buruhnya. Bagi teori modern atau liberal, untuk tumbuhnya perkembangan ekonomi
di negara ketiga maka perlu adanya indutrialisasi Rosenstein-Rodan, 1943,
rangsangan dan mobilisasi investasi Nurske, 1952 serta pengembangan sektor kapitalis dengan mempertahankan akumulasi modal Lewis, 1954. Bagi
Robinson 1959 dalam Arif 1998 industrialisasi negara berkembang tidak sesuai dengan realitas sosial negara-negara tersebut. Robinson meyakini bahwa
pertanian harus menjadi induk pembangunan dan industri sebagai motor pembangunan.
Pola interaksi ekonomi internasional yang menjadi pertanda berkembangnya teori modernisasi tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi
negara berkembang. Baran 1957 mengemukakan bahwa meskipun terjadi pergerakan faktor modal antar negara yaitu dari negara maju ke negara miskin,
pergerakan ini hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan negara miskin. Bahkan menurut Baran 1957 naiknya pendapatan nasional negara miskin akibat
adanya aliran investasi asing, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat di negara tersebut namun justru dinikmati oleh segelintir elit masyarakat yang
memperolehnya dengan cara ekploitatif. Adanya elit penguasa dan yang menopang elit penguasa sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab
terhadap proses ekploitasi yang luas dan dalam di Negara miskin Santos, 1970. Cardoso 1973 dalam Sasono dan Arif 1981 menyatakan bahwa golongan elit
sosial di negara dunia ketiga merupakan kekuatan-kekuatan internal yang disebutnya sebagai kelas sosial dominan, oleh kalangan Marxisme disebut sebagai
kelas “komprador’ Compradore Class. Klas otoriter birokratis O’Donnel,1978 dalam
Tindjabate 2001 inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis asing di negara berkembangdunia ketiga dengan kekuatan ekonominya, kekuatan modal
dan birokrasi, elite-elite sosial ini membangun aliansi dengan para kapitalis asing dalam mengekploitasi rakyat miskin di negara-negara dunia ketiga. Formasi
sosial dan kelas-kelas sosial inilah menurut Brener 1977 dalam Forbes 1983 luput dari pengamatan para teoritikus ketergantungan ketika melihat proses
kapitalisme dan keterbelakangan negara berkembang. Sejalan dengan Paul Baran, dalam konteks proses hubungan ekonomi
Frank 1984 membuat pembagian yaitu apa yang disebut dengan negara-negara metropolis maju developed metropolitan countries dan negara-negara satelit
yang terbelakang satellite underdeveloped countries. Frank 1984 menolak
bahwa perkembangan ekonomi negara miskin sebagai akibat adanya hubungan ekonomi negara metropolis-satellit yang akan menimbulkan difusi modal,
teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor dinamis lainnya kepada negara miskin tidak dapat dibenarkan. Penolakan tersebut didasarkan atas temuan historis Frank
di Amerika Latin di mana perkembagan yang sehat dan otonom justru terjadi waktu hubungan metropolis-satelit ini tidak ada Arif, 1998. Bagi Frank 1984
teori Rostow dengan tahapan pertumbuhan ekonominya telah mengabaikan sejarah ahistoris. Rostow dengan pijakan kapitalismenya telah mengabaikan
kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank 1984 melihat adanya hubungan negara-negara industri maju dengan negara non industri dunia
ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan ekploitasi antara metropolis dengan satelit-satelitnya, walaupun, menurut Roxborough 1986, Frank kurang
memberikan perhatian pada peranan struktur kelas di negara dunia ketiga yang juga berperan dalam hubungan dominasi tersebut. Hal ini dikoreksi Santos 1970
dalam Arif 1998 dengan saran bahwa ketergantungan tersebut tak dapat diatasi
tanpa perubahan kualitatif dalam hubungan struktur internal dan eksternal. Selanjutnya Santos 1970 menyatakan, bahwa ada tiga bentuk
ketergantungan yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara
dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil
bumi dari negara jajahan. Bagi Indonesia, ketergantungan kolonial telah dialami selama tiga abad lebih yaitu pada saat Belanda menjajah Indonesia dengan sistem
tanam paksa maupun pajak tanah. Kolaborasi kolonial Belanda dengan para Bupati dan kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu, terbukti membawa
kesengsaraan bagi petani. Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada
akhir abad 19 menjadikan ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori
dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan
pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya
perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Indonesia sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam
bidang perikanan misalnya, Indonesia masih lemah misalnya dalam teknologi pengolahan hasil perikanan dan pembenihan ikan.
Perdagangan internasional yang menjadi ciri utama dari teori modern ternyata menyisakan permasalahan bagi negara berkembang karena adanya
pertukaran yang tidak adil. Amin 1978 menunjukkan ketergantungan negara berkembang kepada negara maju dengan konsep pertukaran yang tidak adil.
Amin 1978 menunjukkan terjadinya pengalihan surplus dari negara miskin yang disebutnya peri-pheri ke negara-negara maju yang disebutnya centre sebagai
akibat proses perdagangan internasional antara kedua kelompok negara ini. Rintangan-rintangan akibat proses pertukaran yang tidak adil ini menyebabkan
proses transisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di negara-negara terbelakang, mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang
pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu negara-negara ini mengalami proses transisi. Sehingga negara-negara terbelakang tetap terus terbelakang.
Proses perdagangan internasional dengan mekanisme pola ekonomi kapitalis seperti ini, bagi pemikir ketergantungan seperti Roxborough, merupakan
dampak lanjutan dari imprealisme yang pernah dialami dulu yang hidup bersama- sama dengan kapitalisme. Menurut Roxborough 1986, teori imprealisme
memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi
pra kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Ekspansi kapitalis ini berupa cara- cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.
Menurut Roxborough 1986, pengaruh kapitalisme terhadap perubahan struktur sosial masyarakat khususnya yang berada di wilayah pedesaan akan lebih
baik menggunakan analisa kelas. Analisis Lenin dalam Roxborough 1986, tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama,
yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi. Jejak pemikiran teori ketergantungan di Indonesia dapat dilihat dalam
sosok pemikiran Sritua Arif dan Adi Sasono. Arif dan Sasono 1981 menilai bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang
bertanggungjawab terhadap berkembang suburnya keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia. Mereka menilai bahwa terjadi pengalihan surplus
ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah amat besar. Sistem tanam paksa, menurut Arif dan Sasono 1981 telah memperkecil jumlah petani yang
berkecukupan atau melahirkan proletariat desa. Selanjutnya, dalam menguji pembangunan ekonomi Indonesia, Sritua Arif
dan Adi Sasono melompat langsung kepada pengamatan di zaman orde baru. Sebetulnya, langkah ini agak gegabah, karena sepertinya Sritua Arif dan Adi
Sasono melewati begitu saja masa penjajahan Jepang dan zaman orde lama. Dalam mengamati orde baru, Arif dan Sasono menggunakan lima tolak ukur,
yakni sifat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi, pembiayaan pembangunan dan persediaan bahan makanan. Pertama,
pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia dibarengi dengan melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal itu didasari atas pengamatan
pada periode 1970-1976 dimana menurut Arif dan Sasono 1981, golongan miskin bertambah miskin dan mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi
yang dinyatakan cukup memadai. Kedua, Indonesia memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Hal ini terjadi karena industri yang padat modal
ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Ketiga, Proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses industrialisasi yang oleh Samir Amin
disebut sebagai industri ekstraversi. Industri substitusi impor yang dikembangkan memiliki ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi. Keempat,
karena sifat pertumbuhan ekonomi dan model industrialisasi yang dipilih, maka Indonesia hanya memiliki satu pilihan yakni kebutuhan untuk selalu memperoleh
modal asing. Kelima, Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia belum mampu mencapai swasembada pangan atau tepatnya baru pada tahun 1985, untuk pertama
kali sejak kemerdekaannya, Indonesia mencapai swasembada beras. Pisau analisis teori ketergantungan, termasuk yang digunakan oleh Arif
dan Sasono 1981 ini, jelas sekali berpijak kepada metodologi dan paradigma berpikir ala paul Baran, Gunder Frank maupun pemikir ketergantungan lainnya.
Namun, perspektif teori dipendensia menurut Damanhuri 1996 gagal menjelaskan fenomena sosial yang ada di Indonesia maupun di negara-negara
Asia lainnya. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Hongkong, Malaysia dan Indonesia sendiri termasuk mencengangkan bagi kaum
dependensia. Bahkan, Samir Amin pun tidak mampu menjelaskan fenomena Korea dan Taiwan yang disebutnya ”perkecualian”. Bagi Damanhuri, teori-teori
besar yang ada, tidak berlatar belakang sejarah Asia, bahkan sangat berjarak dari kultur Asia. Menurut Damanhuri 1996 yang lebih mengena untuk memahami
fenomena Asia adalah teori-teori menengah dan tidak terlalu radikal serta tidak terlalu optimistik seperti yang dilontarkan Gunar Myrdal. Teori tersebut
menyebutkan bahwa negara Asia Tenggara dan Timur berlaku tipikal perencanaan ketiga yang sangat berbeda dengan tipikal negara liberalis yang diwakili Amerika
dan Sosialis yang diwakili Uni Soviet. Menurut Damanhuri, berangkat dari teori tersebut, tipikal tersebut berupa adanya kontrol negara – yang pada saat tertentu
juga memberi keleluasaan yang besar- terhadap swasta. Sebetulnya Joan Robinson ketika mengkritik Rosenstein-Rodan mengatakan bahwa pandangan
teori modernis tidak sesuai realitas sosial masyarakat negara ketiga. Demikian halnya Damanhuri 1996 menyarankan agar pijakan teori dalam membedah
pembangunan ekonomi haruslah lebih menggambarkan realitas sosial politik setempat.
Selain itu, konsep ketergantungan yang dikemukakan oleh pemikir- pemikir Marxis strukturalis juga mendapatkan kritik dari pemikir-pemikir
ekonomi politik Marxis lainnya seperti Anthony Giddens, Thompson, Soja dan Forbes. Forbes 1986 menyoroti pembangunan dan keterbelakangan dalam
perspektif geografi dan ekonomi politik. Pertama, karya mengenai keterbelakangan lebih didominasi oleh pendekatan ekonomistik dan tidak banyak
menelaah tentang hubungan sosial, konflik kelas, dan reproduksi atau dengan kata lain penelaahan harusnya juga dilihat dari sisi sosial dari ekploitasi. Kedua, karya
keterbelakangan yang dilontarkan selama ini berada pada tataran abstrak. Pemikiran akhir-akhir ini menyerukan agar tidak mengadakan pembedaan yang
apriori atau statis antara negara maju dan terbelakang, tetapi sebaliknya menyoroti suatu perekonomian dunia yang komplek, tunggal dan hubungan antara berbagai
kesatuan soaial dan ekonomi yang kecil dan besar yang mengisinya. Ketiga, perkembangan pemikiran yang ekonomistik dan abstrak disertai dengan
meningkatnya dominasi pengetahuan komposisional terhadap pengetahuan kontekstual. Menurut Forbes 1983 lapangan tengah dari ”ekonomi politik”
menjadi terlalu sesak, sementara pertanyaan mengenai wawasan seperti lingkungan dan organisasi tempat yang memperoleh perlakuan, relatif jarang
diamati. Ekonomi politik keterbelakangan lebih memusatkan pada isyu yang relatif kecil dan menjauhkan peneliti kritis dari aneka ragam penelitian yang
berkaitan.
C. Teori Heterodox