dan jaring lampara dasar, terbukti telah meresahkan nelayan tradisional dan dapat memicu konflik sosial. Akibat beroperasinya alat tangkap terlarang tersebut,
jumlah hasil tangkapan nelayan tradisional makin berkurang. Kondisi P. Panggang yang defisit sumberdaya alam dan lingkungan ini
bisa berakibat kepada kekurangan bahan pangan atau kebutuhan pokok lainnya. Hal itu dalam jangka panjang bisa mengakibatkan terjadinya penurunan
kesejahteraan masyarakat atau meningkatnya kemiskinan di wilayah P. Panggang. Analisis itu didasarkan pada perhitungan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan
sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan pokok manusia di wilayah tersebut dan sekitarnya.
5.2.3 Daya Dukung Lingkungan Pulau Pramuka
Hasil wawancara dengan 30 orang responden di P. Pramuka menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Pulau Pramuka sangat kecil dan sangat tergantung
dari luar wilayah tersebut import. Hasil perhitungan footprint di P. Pramuka menunjukkan bahwa daya dukung terbesar dari total konsumsi bahan pangan
adalah hasil perikanan. Perhitungan footprint di Pulau Pramuka seperti pada Tabel 19 menunjukkan bahwa daya dukung lingkungannya sebesar 734 orang.
Artinya bahwa lingkungan dan sumberdaya alam P. Pramuka secara total dapat menghidupi 734 orang secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan
secara optimal. Namun, bukan berarti sebanyak 734 orang tersebut dapat tinggal seluruhnya di P. Pramuka, tetapi angka tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya
alam dan lingkungan termasuk perairan P. Pramuka dan Gosong Pramuka dapat menghidupi 734 orang dimana saja, termasuk orang-orang di luar P. Pramuka
yang ”mengimport” bahan kebutuhan hidup dari P. Pramuka. Perhitungan
biocapacity untuk bahan pangan dari terumbu karang
menggunakan luasan ekosistem terumbu karang di P. Pramuka dan Gosong Pramuka yang merupakan lokasi fishing ground nelayan-nelayan P. Pramuka.
Luasan ekosistem terumbu karang ini merupakan hasil analisis citra ALOS tahun 2008. Luasan total ekosistem terumbu karang di P. Pramuka terdiri dari karang
hidup sebesar 10,32 ha, karang mati 9,53 ha, lamun 33,56 ha dan pasir seluas 34,50 ha. Sedangkan luasan total ekosistem terumbu karang di Gosong Pramuka
terdiri dari karang hidup sebesar 4,73 ha, karang mati 0,99 ha, lamun 9,54 ha dan pasir seluas 7,42 ha.
Tabel 22 Analisis Footprint Pulau Pramuka
Kategori Produktivitas Y = KgHa
Konsumsi DE =
KgKapita Komponen
footprint FP
= HaKapita EF = DEY
Biocapacity BC = Ha
DD = BCEF 1. Bahan pangan
pokok
Kebuntegalan ladang
Padi 2.744
1
103,777 0,03782 Yield factor
YF = 0,48
2
Asumsi A
3
= 8 Ha Sayuran
dan buah
1.800
4
31,135 0,01730 Teh dan kopi
566
5
11,013 0,01946
Gula 4.893
6
17,406 0,00356 Daging dan telur
1.000
7
8,408 0,11362
Sub total 0,192 3,84
Daya dukung parsial Lahan pertanian 20
2. Bahan pangan dari Terumbu
Karang Luas
ekosistem TK P. Pramuka
Ikan karang 29
8
91,250 3,14655
YF = 100
9
A
10
= 110.58 Ikan
lainnya kerang, Udang,
rajungan 29 18,218
0,62820
Sub total 3,7748 11.058,01
Daya dukung parsial Perikanan 2929
TOTAL 3,96650 2909
TOTAL DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
734
Lahan perikanan sumber ekosistem terumbu karang dan perairan P. Pramuka dan Gosong Pramuka mempunyai daya dukung sebesar 2929 orang.
Hal ini bukan berarti bahwa 2929 orang dapat tinggal di P. Pramuka untuk
1
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998
2
Ferguson 1999
3
Asumsi 50 dari luas lahan P. Pramuka yaitu sebesar 16 Ha
4
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998
5
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998
6
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998
7
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998
8
Produktivitas global Wackernagel dan Yount, 1998 ; Warren-Rhode dan Koeing, 2001
9
Produktivitas laut sekitar P. Seribu
10
Luas TK di P. Pramuka dan gosong pramuka menurut analisis citra Alos, 2008
memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan lahan perairan di wilayah tersebut. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan lahan perairan yang masih
memungkinkan bisa memproduksi hasil perikanan tanpa harus merusak lingkungan. Maka ekosistem pesisir dan laut masih mampu mensubsidi sebanyak
2929 orang dengan ikan sebagai bahan pangan utamanya. Melalui
metode footprint
menunjukkan bahwa masyarakat P. Pramuka bisa mensuplai bahan pangan khususnya dari sumber hasil perikanan kepada
penduduk di sekitarnya termasuk penduduk DKI Jakarta dan daerah lainnya yaitu sebanyak 734 orang. Jumlah penduduk saat ini mencapai 1.601 orang, maka
dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan kemampuan P. Pramuka mensuplai kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya.
Artinya jika dihitung dari jumlah total ecological footprint, P. Pramuka menghasilkan nilai 3,97 hakapita. Sedangkan biocapacity nya hanya tersedia
sebesar 1,82 hakapita. Dengan membandingkan antara EF dan Biocapacitynya
BC terlihat bahwa BC EF. Hasil ini menunjukkan telah terjadi defisit
sumberdaya alam di P. Pramuka. Kondisi yang tidak seimbang antara ketersediaan lahan dengan jumlah
penduduk yang ada saat ini menyebabkan daya dukung lingkungan P. Pramuka sudah melampaui kapasitasnya. Kelebihan daya dukung ini terlihat dari
kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan yang hanya bisa mensuplai kebutuhan pangan sebanyak 734 orang. Padahal jumlah penduduk P. Pramuka
saat ini saja berjumlah 1601 orang. Artinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di P. Pramuka saja, sumberdaya alam dan lingkungan laut P. Pramuka
sudah tidak mampu. Perebutan akses terhadap sumberdaya memungkinkan terjadi ditandai dengan adanya konflik antar nelayan di wilayah perairan Kepulauan
Seribu meskipun sangat sedikit. Keberadaan alat tangkap terlarang serta tekonologi penangkapan modern lainnya, menjadi salah satu penyebab terjadinya
gesekan antar nelayan. Akibat beroperasinya alat tangkap terlarang tersebut, jumlah hasil tangkapan nelayan tradisional makin berkurang.
Defisit sumber daya alam yang dialami P. Pramuka berakibat kepada kekurangan bahan pangan atau kebutuhan pokok lainnya. Dalam jangka panjang
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat atau
meningkatnya kemiskinan di wilayah P. Panggang. Analisis itu didasarkan pada perhitungan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan sudah tidak mampu
menyediakan kebutuhan pokok manusia di wilayah tersebut dan sekitarnya. Defisit sumberdaya alam dan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya
berkurangnya produktifitas masyarakat di wilayah tersebut karena berkurangnya gizi masyarakat. Penurunan produktifitas mengakibatkan berkurangnya
kesejahteraan atau meningkatnya kemiskinan. Defisit sumberdaya alam dan lingkungan tidak selalu mengakibatkan terjadinya kemiskinan di wilayah tersebut.
Karena kebutuhan manusia tidak hanya dipenuhi dari ekosistem dengan sumberdaya alam dan lingkungan, tetapi juga ditentukan oleh faktor ekonomi.
Defisit sumberdaya alam dan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya berkurangnya produktifitas masyarakat di wilayah tersebut karena berkurangnya
gizi masyarakat. Penurunan produktifitas mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan atau meningkatnya kemiskinan. Defisit sumberdaya alam dan
lingkungan tidak selalu mengakibatkan terjadinya kemiskinan di wilayah tersebut. Karena kebutuhan manusia tidak hanya dipenuhi dari ekosistem dengan
sumberdaya alam dan lingkungan, tetapi juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Sebagai contoh negara Singapura memiliki biocapacity hanya 0,1 hakapita
sementara footprintnya 6,9 hakapita. Walaupun daya dukung ekologisnya mengalami ”defisit” BC EF tetapi penduduk Singapura masih dapat bertambah
dengan kondisi ekonomi kemakmuran yang tidak harus turun. Hal ini karena faktor pendukung kegiatan ekonomi telah berjalan dengan baik sehingga
pertukaran bahan kebutuhan hidup lancar. Dengan menasbihkan diri sebagai negara yang melayani berbagai jasa, Singapura tumbuh menjadi negara kecil yang
mempunyai kekuatan ekonomi yang besar di Asia Tenggara bahkan dunia. Ecological footprint
Indonesia mencapai 1,4 hakapita dengan biocapacity sebesar 2,6 hakapita Wackernagel et.al., 1999. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia mengalami ”surplus” sumberdaya alam dan lingkungan BC EF, namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya tidak kunjung mengalami
perbaikan. Kemiskinan di Indonesia masih tinggi dengan jumlah orang miskin berjumlah 30 jutaan orang. Fakta tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah
negara yang kaya akan potensi sumber daya alamnya berupa perikanan, pertanian,
pertambangan namun penduduknya masih banyak yang berada dalam kondisi kemiskinan.
Surplus sumberdaya alam yang dialami Indonesia juga tidak diiringi oleh keberpihakan pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam. Sumberdaya
alam yang ada baik pertambangan, perikanan, pertanian, dan perkebunan lebih banyak dikuasai oleh asing dan perusahaan transnasional raksasa TNCs sehingga
terjadi capital outflow dari Indonesia ke negara lain. Berkuasanya perusahaan- perusahaan MNC di bidang pertambangan, pertanian, perikanan dan bidang
lainnya menjadi bukti bahwa ketiadaan visi dan sikap serta tata kelola ekonomi yang benar khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam mengakibatkan
stagnasi alam pembangunan dan kemiskinan bagi bangsanya. Kasus Indonesia menunjukkan bahwa meskipun ”surplus” secara sumberdaya alam namun bukan
berarti ”kayamakmur” secara ekonomi. Sebaliknya, Singapura adalah contoh negara yang ”defisit” sumberdaya alam namun tingkat kesejahteraan rakyatnya
tinggi. Strategi pertumbuhan ekonomi yang dijalankan selama ini dengan model
kemajuan ekonomi industri barat sebagai kiblat dan kapitalisme sebagai basis ideologi, terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
Berkuasanya perusahaan-perusahaan asing seperti Total, Cevron, Exxon mobil dan Monsanto merupakan beberapa contoh dalam pemanfaatan SDA di Indonesia
dalam bidang perminyakan dan pertanian, membuktikan adanya kolonisasi secara permanen negara maju terhadap negara berkembang yang merupakan prasyarat
bagi perkembangan kapitalisme. Pembangunan sebagai akumulasi kapital dan komersialisasi ekonomi yang digerakkan oleh mesin industri barat sebagai
penikmat kelimpahan dan keuntungan tersebut, bukan hanya melahirkan kemakmuran semata, melainkan juga menghasilkan kemiskinan dan kerusakan
sumberdaya alam. Pemanfaatan SDA oleh korporasi asing ke Indonesia melalui elit-elit birokrasi dan pengusaha lokal yang mendapatkan akses politik ke
kekuasaan yang merupakan koloni-koloni baru korporasi asing. Pembangunan kemudian menjadi kesinambungan dari proses kolonisasi dan menjadi perluasan
proyek yang menghasilkan kekayaan di dunia modern Shiva dan Mies, 1993.
Strategi pembangunan dengan menekankan pada semata-mata pertumbuhan ekonomi seringkali melahirkan aktivitas-aktivitas destruktif dalam
pemanfaatan SDA seperti penambangan pasir laut, penebangan hutan, degradasi sumberdaya perikanan, dan pariwisata bahari yang tak terkontrol. Kebijakan
tersebut terbukti telah menghancurkan hutan Indonesia dengan praktek illegal loggingnya
, melahirkan konflik sosial, menimbulkan kesenjangan ekonomi dan keparahan kemiskinan yang makin tinggi. Aktivitas-aktivitas yang terjadi melalui
mekanisme pasar sebagai roda startegi ekonomi berorientasi pertumbuhan terbukti melahirkan dua kerusakan sekaligus yaitu memburuknya kualitas sumber daya
alam dan meningkatnya kemiskinan penduduk. Luxemburg 1951 menyatakan bahwa kolonisasi bersifat tetap, sebuah
prasyarat yang dibutuhkan bagi perkembangan kapitalisme. Tanpa adanya wilayah koloni, akumulasi modal tidak akan mengalami perkembangan. Orang-orang di
negara-negara maju yang menyuruh negara miskin untuk ikut serta menjalankan pasar bebas menurut Chang 2007 disebut Bad Samaritan. Bad Samaritan telah
mengambil keuntungan dari orang lain yang sedang dalam kesulitan. Menurut Chang, Bad Samaritan masa kini bahkan tidak menyadari bahwa mereka
merugikan negara-negara berkembang dengan kebijakan-kebijakan mereka. Sejarah kapitalisme seluruhnya telah ditulis ulang sehingga banyak orang di dunia
kaya tidak merasakan standar ganda yang ada di dalam anjuran untuk menganut perdagangan bebas dan pasar bebas kepada negara-negara berkembang.
6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT 6.1 Analisis
Tingkat Kemiskinan Masyarakat
6.1.1 Perkembangan Ekonomi Regional PDRB Kawasan