Kelembagaan berdasarkan alat tangkap Kelembagaan Muoroami

8.2 Tipologi dan Strategi Pengembangan Kelembagaan

8.2.1 Kelembagaan berdasarkan alat tangkap Kelembagaan Muoroami

Tipe kelembagaan . Kelembagaan perikanan muoroami merupakan kelembagaan proses dan aktivitas produksi. Berdasarkan klasifikasi alat tangkap menurut von Brandt 1984 dalam WCS Indonesia 2004, mouroami termasuk dalam drive-in net, dimana ikan ditangkap dengan cara menggiring ikan ke dalam alat tangkap jenis apa saja. Alat tangkap terdiri dari suatu konstruksi alat yang tetap stasioner yang menangkap ikan hanya jika ikan digiring kedalamnya oleh nelayan yang berenang atau menyelam maupun dengan menggunakan tali penggiring. Armada muoroami biasanya melakukan penangkapan di daerah dangkal dan berkarang. Hal itu karena target sasaran utama perikanan muoroami adalah ikan ekor kuning Caesio cuning dari famili Caesionidae. Lokasi penangkapan di daerah karang cenderung merusak terumbu karang. Perikanan mouroami tidak banyak terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka, hanya dimiliki oleh 5 orang dengan jumlah alat sebanyak 8 unit armada. Operasi penangkapan ikan dengan muoroami biasanya menggunakan 3 buah kapal motor. Dua kapal merupakan kapal pembawa jaring, salah satunya menjadi penampung ikan utama yang dilengkapi dengan palka yang sudah diisi es. Kapal ketiga berfungsi sebagai pembawa kompresor hookah yang membawa para penyelamnya. Dalam satu hari penangkapan, satu unit armada penangkapan muoroami rata-rata melakukan 2-3 kali seting. Jaring terdiri dari tiga bagian, dua bagian jaring pelari yang berfungsi sebagai pengarah atau penggiring ikan menuju jaring kantong dan satu bagian jaring kantong yang berfungsi sebagai jaring penampung ikan. Dalam satu armada muoroami biasanya terdiri dari 13–18 orang yang dipimpin oleh seorang kepala laut fishing master. Kepala laut bertanggung jawab atas seluruh operasional penangkapan, mulai dari penentuan lokasi, pemasangan jaring setting, penggiringan, hauling, proses melepas jaring hingga menentukan lokasi penangkapan berikutnya. Dalam penentuan lokasi penangkapan, seorang kepala laut biasanya menggunakan kompresor hookah untuk melihat keberadaan ikan di bawah air. Seringkali kepala laut berfungsi ganda sebagai penyelam penggiring. Penyelam kompresor terdiri dari 5 hingga 7 orang, dipimpin oleh seorang kepala tengah yang bertugas memimpin penggiringan di bawah air dan biasanya posisinya berada di tengah. Jaring dipasang di sekitar terumbu karang dengan kedalaman sekitar 10 hingga 20 meter. Sementara penyelam memulai penggiringan pada kisaran kedalaman 5 hingga 35 meter. Dalam kelembagaan muoroami juga ditemukan pola hubungan patron klien sebagaimana yang umum terjadi di kalangan nelayan. Hubungan tersebut terlihat dalam penguasaan sarana produksi dan biaya operasional yang biasanya ditanggung pemilik juragan, namun BBM ditanggung bersama. Pola bagi hasil muoroami di Kel. P. Panggang sama dengan sistem bagi hasil yang biasa digunakan pada operasi penangkapan dengan muoroami di Karimun Jawa yaitu 3 bagian untuk kapal, 3 bagian untuk jaring, 1 bagian untuk kompresor, 2,5 bagian untuk kepala laut, 1,5 bagian untuk penyelam dan 1 bagian untuk penarik jaring WCS, 2004. Selanjutnya WCS 2004 menyatakan bahwa target utama penangkapan ikan dengan menggunakan muoroami adalah ikan ekor kuning atau Caesio cuning dari famili Caesionidae. Ekor kuning adalah satu-satunya jenis ikan target utama tangkapan setiap operasi muoroami. Selain Caesionidae, muoroami juga sangat effisien dalam menangkap ikan target dari famili Carangidae, Scaridae, Sphyraenidae , dan Lutjanidae. Scaridae kelompok ikan kakatua merupakan kelompok ikan karang yang sangat penting karena peranannya di dalam bio- erosion dan perputaran daur hidup alga pada ekosistem terumbu karang. Perikanan muoroami sangat merusak ekosistem terumbu karang karena lokasi penangkapan dan tehnik penangkapan yang bersentuhan secara langsung dengan terumbu karang. Berbeda dengan jenis-jenis alat tangkap lain yang dioperasikan di daerah terumbu karang, muoroami secara langsung memberikan dampak kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh WCS, 2004 : • Injakan oleh Nelayan Penyelam ; Aktivitas penangkapan menggunakan muoroami lebih banyak dilakukan dibawah air yang disertai oleh proses pemasangan jaring, penggiringan, dan pengangkatan ikan. Selama proses- proses tersebut, nelayan penyelam tidak hanya berenang tetapi juga berjalan diatas karang sehingga menyebabkan kerusakan karang. Hal tersebut terutama terjadi jika operasi penangkapan dilakukan diatas hamparan karang yang didominasi oleh karang bercabang dan karang meja yang sangat mudah rusak • Tali Penggiring ; Tali penggiring sering menyebabkan kerusakan jika tersangkut pada karang • Cincin Penghalau ; Dalam proses penggiringan ikan, para penyelam juga menggunakan alat tambahan yang berfungsi untuk menakuti ikan. Alat tersebut berupa cincin-cincin yang terbuat dari besi. Pada prosesnya cincin-cincin tersebut digunakan dengan cara memukul-mukulkannya pada dasar perairankarang dengan tujuan menghalaumenakuti ikan-ikan yang bersembunyi di dalam lubang atau celah-celah karang. • Jaring ; Faktor lain penyebab kerusakan adalah jaring. Hal tersebut disebabkan karena jaring ditempatkan di dasar perairan dan diikatkan langsung pada karang atau terkadang diberi pemberat yang sebagian menggunakan karang-karang hidup yang ada disekitarnya Hasil riset WCS 2004 di Karimunjawa menunjukkan bahwa kerusakan karang yang disebabkan oleh seorang penyelam muoroami selama proses penggiringan sebesar 11,4 cm 2 dalam setiap 1 m 2 karang hidup, atau 0,11 kerusakan. Nilai ini hampir sama dengan rata-rata kerusakan karang 10,3 cm 2 dalam setiap 1 m 2 karang hidup yang disebabkan oleh aktivitas manusia diseluruh kepulauan Karimunjawa. Hal ini menunjukkan bahwa satu penyelam muoroami berpotensi menimbulkan kerusakan yang relatif sebanding dengan kerusakan yang disebabkan oleh keseluruhan aktivitas jangkar, kapal, kerusakan oleh manusia. Dalam satu kelompok operasi muoroami terdapat 1 hingga 5 orang penyelam yang berpotensi menimbulkan kerusakan sehingga potensi kerusakan yang terjadi dengan mengalikan 11,4 cm2 dengan jumlah penyelam yang ada. Angka tersebut adalah potensi kerusakan dari penyelam muoroami dan tidak mencakup kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas lain seperti pemasangan dan pengangkatan jaring. Tatananan Kelembagaan. Meskipun keberadaannya sedikit di P. Panggang maupun P. Pramuka, namun keberadaan kelembagaan muro-ami terbukti sangat merusak ekosistem terumbu karang. Saat survey dilakukan, terlihat bagaimana perikanan muoroami beroperasi di perairan yang sangat dangkal dan didaerah yang ekosistem terumbu karangnya sudah rusak. Faktor pengrusak yang paling utama adalah saat proses penggiringan oleh penyelam menuju kantong utama. Belum termasuk proses pemasangan dan pengangkatan jaring. Dalam tatanan kelembagaan, perikanan muoroami tentu sangat mengancam kehidupan nelayan-nelayan ikan karang yang jumlahnya mendominasi Kelurahan P. Panggang dan P. Pramuka dan keberhasilan usahanya sangat bergantung dari kelestarian habitat terumbu karang. Target utama hasil tangkapan nelayan ikan karang adalah ikan ekor kuning yang merupakan target sasaran utama alat tangkap ini. Nelayan ikan kecil yang rata-rata hanya mengandalkan pancing dan jaring kecil terbatas dalam mengakses sumber daya ikan di ekosistem terumbu karang. Beroperasinya perikanan muoroami tidak banyak mendapatkan perhatian dari aparat keamanan karena diduga terjadi kolaborasi yang saling menguntungkan antara pemilik kapal muoroami dengan aparat keamanan. Pola hubungan patron klien yang juga terjadi pada perikanan muro-ami senantiasa menempatkan nelayan pemilik juragan yang juga berperan sebagai fishing master , mendapatkan bagian terbesar dari hasil usaha. Dalam tatanan kelembagaan, nelayan pemilik selalu berada di atas buruh nelayan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi. Daya jangkau. Operasi perikanan muoroami di P. Panggang dan P.Pramuka biasanya berlangsung harian yaitu berangkat pagi pulang sore. Lokasi sasaran yang banyak didatangi adalah wilayah perairan P. Sebira ujung utara dengan jarak rata-rata 50-60 mil ± 6 jam perjalanan dari P. Pramuka. Dalam satu tahun sekali biasanya andon ke daerah lain seperti Lampung dan Indramayu. Sesekali perikanan muoroami terlihat di perairan P. Panggang dan P. Kotok, wilayah dimana kebanyakan nelayan ikan karang dari P. Panggang dan P. Pramuka melakukan aktivitas. Kelembagaan pancing Tipe kelembagaan . Kelembagaan perikanan pancing termasuk dalam aktivitas produksi dan proses produksi. Perikanan dengan menggunakan pancing merupakan perikana yang paling banyak dan dominan di P. Panggang dan P. Pramuka. Jumlah pemilik alat tangkap pancing yang tersebar di dua pulau tersebut adalah 444 orang dengan alat tangkap sebanyak 532 unit. Operasi perikanan pancing cenderung sederhana karena alat tangkap yang digunakan tergolong tidak canggih dan untuk membelinya tidak membutuhkan biaya mahal. Perikanan pancing sangat mengandalkan kelestarian ekosistem terumbu karang karena target sasaran ikannya adalah ikan-ikan karang seperti ikan ekor kuning, ikan kakatua dan ikan karang lainnya. Perikanan pancing di Kel. Panggang ini cenderung mandiri dan berisfat privat karena rata-rata nelayan pancing mengoperasikan armadanya sendiri dimiliki. Dalam perikanan pancing ini pemilik armada juga berperan sebagai pengemudi atau pandeganya. Kelembagaan pancing ini biasa dioperasikan oleh 2-3 orang yang biasanya masih terdapat pola kekerabatan yang dekat seperti anak, saudara dan bahkan di P. Pramuka, terdapat anggota responden nelayan pancing yang dioperasikan sepasang suami isteri. Mereka melaut bersama sejak 15 tahun yang lalu atau mulai tahun 1993. Modal yang dihabiskan untuk sekali melaut dalam perikanan pancing rata- rata antara Rp 100.000 – Rp 200.000 meliputi biaya BBM rata-rata 5 lt perhari dan biaya pokok lain seperti makan, minum dan rokok. Pada saat musim panen, nelayan pancing biasa mendapatkan hasil berkisar antara 30-70 kg atau bahkan bisa mencapai 1 kuintal, namun saat musim paceklik yang biasanya ditandai dengan kerugian, nelayan hanya mendapatkan hasil sekitar 3-5 kg. Pola bagi hasil dalam perikanan pancing adalah 30 : 70, dimana 30 dikeluarkan untuk keperluan BBM dan 70 nya dibagi menjadi 3 bagian lagi. Tiga bagian yang dimaksud meliputi 1 bagian untuk kerusakan mesin, 1 bagian untuk anakisteri yang bertugas sebagai buruh dan 1 bagian lagi untuk isteri untuk kebutuhan belanja. Karena kebanyakan anggota nelayan yang ikut serta adalah kerabat keluarga maka pola bagi hasil cenderung berlaku ekslusif tergantung dari tingkat kebutuhan masing-masing keluarga. Namun jika ada buruh nelayan dari luar anggota keluarga, maka bagiannya tetap berasal dari 70 yang dipotong menjadi 3 bagian. Perhitungan ekonomi sederhanan dalam perikanan pancing dapat dihitung sebagai berikut: • Jika diasumsikan modal rata-rata per hari Rp 150.000,- sudah termasuk biaya BBM sekitar 5 lthr = Rp 7000 x 5 = Rp 35.000,- • Jika asumsi hasil tangkapan musim panen rata-rata 50 kg dimana harga ikan = Rp 6000,-kg. Maka hasil yang didapatkan sebesar Rp 300.000,- • Keuntungan kotor yang didapat saat musim panen adalah Rp 150.000,- hari. Nilai ini dibagi lagi menjadi 30 BBM dan 70 untuk dibagi. 30 dari keuntungan kotor = Rp 45.000,- dialokasikan untuk BBM. Sedangkan 70 = Rp 105.000,-. Nilai ini dibagi lagi menjadi 3 bagian, masing-masing mendapatkan Rp 35.000,- • Jika anggota perikanan pancing bukan dari keluarga buruh nelayan, maka penghasilan buruh nelayan saat musim panen = Rp 35.000,-hr atau Rp 1.050.000,-bln. Sedangkan bagi pemilik kapal bisa mendapatkan hasil sebanyak Rp 70.000,- hr atau setara Rp 2.100.000,-bulan asumsi 1 bulan 30 trip. • Namun jika saat musim paceklik, maka nelayan pancing biasanya menderita kerugian yang besar, rata-rata Rp 120.000,-sekali trip. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pancing dalam satu bulan mereka bisa menyimpan hasil tangkapan sebanyak Rp 1.500.000,-, itupun saat musim panen. Jika musim paceklik maka alih-alih mendapatkan untung, yang didapat seringkali kerugian. Hari melaut nelayan pancing rata-rata 26 hari, biasnya setiap hari Jum’at tidak melaut. Satu kali trip biasanya berangkat soremalam, pulang pagi. Sedangkan jika saat musim paceklik, dalam 1 minggu hanya 2 hari melaut dan 5 hari menganggur. Tatanan kelembagaan . Nelayan pancing termasuk dalam kategori nelayan tradisional karena armada yang digunakan biasanya perahu tempel dan alat yang digunakannya juga sederhana yaitu berupa pancing. Perikanan pancing dalam tatanan kelembagaan perikanan berdasarkan alat tangkap di P. Panggang dan P. Pramuka mendominasi dan terbanyak jumlahnya yaitu sebanyak 444 nelayan dari 507 orang nelayan pemilik atau sekitar 88 dari total pemilik armada perikanan, sedangkan sisanya sebanyak 12 merupakan pemilik kapal jaring payang, jaring dasar, jaring gebur, jaring muoroami dan bubu. Selebihnya adalah buruh nelayan yaitu sekitar 1029 orang dari total keseluruhan nelayan perikanan tangkap sebanyak 1.536 orang. Meskipun jumlahnya dominan, namun dari tingkat kesejahteraannya perikanan pancing masih tergolong miskin sampai cukup. Jika dihitung berdasarkan kategori bank dunia miskin = 1 hari maka penghasilan rata-rata nelayan pancing masih di atas rata-rata warga miskin. Begitupun jika dibandingkan dengan UMR rata-rata DKI Jakarta yaitu ± 800.000bulan, maka nelayan pancing masih di atas rata-rata UMR. Pola penangkapan yang bersifat musiman, mengharuskan nelayan pancing dan nelayan lainnya untuk istirahan dan tidak melaut. Musim paceklik biasanya berlangsung selama 3-5 bulan, tergantung dari kondisi perairan. Namun menurut pengakuan masyarakat, musim paceklik tahun 2008 ini berlangsung lebih lama dan hasil tangkapan pada musim yang seharunya musim panen juga tidak meningkat sebagaimana mestinya. Penurunan hasil tangkapan ini diyakini karena degradasi ekosistem terumbu karang semakin tinggi di wilayah perairan Kepulauan Seribu, beroperasinya alat tangkap arad yang terlarang dan menghabiskan sumber daya ikan serta beroperasinya alat tangkap purse seine oleh nelayan Muara Angke dan Selat Sunda. Daya jangkau . Wilayah operasi perikanan pancing antara lain masih di wilayah perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Tidung, P. Pari, P. Ayer, P. Kotok, P. Panjang, dan P.Paniki. Wilayah operasi lebih banyak di P. Paniki. Beberapa jenis ikan yang menjadi sasaran nelayan pancing antara lain seperti Ikan Tengkek, Tongkol, Tenggiri, Kakap merah dan Ekor kuning. Penyebaran distribusi perikanan pancing adalah wilayah-wilayah yang mempunyai ekosistem terumbu karang yang masih bagus. Kelembagaan bakul Tipe kelembagaan . Kelembagaan bakul merupakan kelembagaan dalam proses produksi, distribusi barang dan jasa yang terdapat di tingkat komunitas dan secara sektoral merupakan lembaga privat swasta Karim, 2005. Kelembagaan ini terbentuk setelah proses penangkapan ikan dari laut yang dilakukan oleh nelayan. Dalam lingkungan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu khususnya di P. Panggang dan P. Pramuka, bakul ikan mempunyai banyak peranan yaitu pemasaran hasil ikan maupun rumput laut serta permodalan. Kelembagaan bakul di Kelurahan P. Panggang berjumlah 15 orang masing-masing terdapat di P. Panggang sebanyak 7 orang dan 8 orang terdapat di P. Pramuka. Kelembagaan bakul di P. Panggang maupun di P. Pramuka mempunyai peran ganda yaitu sebagai pembeli ikan nelayan dan menjualnya kembali ke Jakarta, eksportir dan pengusaha dari daerah lain, pemberi modal usaha sekaligus juga pemilik kapal dan sarana alat tangkap. Tipe kelembagaan bakul seperti ini biasanya disebut sebagai bakul ikan besar. Sedangkan bakul pada kelas menengah biasanya membeli dan menjual ikan serta memberikan modal dan bakul kelas kecil biasanya hanya membeli dan menjual ikan tidak memberikan modal. Kelembagaan bakul khususnya yang berperan sebagai pemberi modal dan pemilik sarana perikanan inilah yang biasanya melahirkan pola hubungan ekploitatif. Nelayan buruh yang tidak mempunyai sarana dan modal sangat tergantung dari bakul dan pola bagi hasil terjadi ketidakseimbangan. Nelayan yang sudah mendapatkan modal harus menjual ikannya pada bakul yang juga menjadi pemilik sarana. Hasilnya laut biasanya dibagi 40 : 60 40 untuk buruhpandega dan 60 untuk juraganpemilik kapal atau 30 : 70 tergantung dari kesepakatan. Pola seperti ini biasanya terjadi pada kelembagaan perikanan pancing atau jaring dasar. Bakul mendapatkan nilai lebih dari pola bagi hasil ditambah dengan kepastian hasil perikanan untuk dijual kembali. Parahnya harga ikan sepenuhnya berada di tangan bakul. Sehingga besar kecilnya pendapatan yang diterima oleh buruh nelayan sangat tergantung dari nilai kebaikan dan perilaku bakul ikan. Bakul ikan karena mempunyai aset, akses pasar dan modal, dapat bertindak sesuai kemauannya dengan berprinsip pada perolehan keuntungan sebesar-besarnya. Pola hubungan seperti ini biasanya terjadi pada bakul yang sekaligus berprofesi sebagai tengkulak. Pola hubungan seperti ini akan membangun ketergantungan akut dari nelayan kepada pemilik kapal atau bakul ikan. Ketiadaan aset dan akses baik pasar dan modal seperti inilah yang menyebabkan lahirnya bakul-bakul ikan sekaligus berprofesi sebagai tengkulak. Akibat pola jual beli yang berbasiskan ketergantungan ini, TPI menjadi tidak berkembang. Hal itu yang dapat diperhatikan dengan TPI yang terdapat di P. Pramuka. Keberadaannya tidak ramai karena tidak ada nelayan yang menjual ikan di TPI, ditambah sarana dan prasaranya yang kurang mendukung. Bakul ikan di Kelurahan P. Panggang lebih didominasi oleh bakul kelas menengah yang berhubungan dengan nelayan dalam hal jual beli pemasaran hasil perikanan. Sedangkan bakul yang berperan dalam memberikan modal tergolong sedikit. Ketergantungan nelayan pada bakul berkaitan erat dengan faktor internal dan eksternal yang menyebabkan kemiskinan itu sendiri. Faktor internal terkait dengan pertambahan penduduk yang cepat, kurang peduli terhadap kelestarian alam di sekitarnya, cenderung berperilaku negatif seperti apatis, boros, suka berhutang dan kurang kreatif. Sementara faktor eksternal disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah, tidak berfungsinya TPI sebagai kendali harga ikan, sifat dan proses produksi serta pemasaran yang hanya dikuasai kelompok lapisan atas dalam bentuk pasar monopsoni dan oligopolistik, kecendrungan mode produksi kapitalistik oleh pengusaha lokal dan Jakarta serta tidak adanya kelembagaan permodalan lokal yang bergerak pada aras mikro dan menengah yang memadai. Tatanan kelembagaan . Hubungan kelembagaan antara bakul dan nelayan di P. Paggang dan P. Pramuka lebih banyak didasarkan pada aspek kepercayaan dan kekerabatan. Rata-rata nelayan dan bakul langganannya mempunyai hubungan kekerabatan sebagai saudara. Hubungan kekerabatan tersebut dilandasi pada prinsip saling membantu dan saling menguntungkan. Nelayan dan bakul bekerjasama dalam proses produksi, dimana nelayan bisa mendapatkan kejelasan pasar ikan sekaligus pinjaman untuk membeli sarana tangkap dan memperbaiki mesin. Hasil tangkapan kemudian dijual kepada bakul yang telah meminjamkan modal atau pemilik sarana perikanan. Pola lainnya, hasil tangkapan dijual pada bakul tetapi setelah melalui proses penimbangan dan pelelangan di TPI seperti yang terjadi di P. Pramuka. Pelunasan pinjaman tersebut dipotong setiap kali melakukan penjualan dengan mekanisme pola bagi hasil yang telah disepakati. Pola ini hampir banyak terjadi di beberapa daerah pesisir di Pantai Utara Jawa seperti yang terjadi di Karawang dan Pelabuhan ratu Sukabumi. Pada dasarnya tatanan kelembagaan bakul yang terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka merupakan kelembagaan pemasaran, pemilik modal maupun pemilik armada dan alat tangkap. Daya jangkau . Kehadiran bakul di P. Pramuka dan P. Panggang telah menggantikan peran dan fungsi yang semestinya dilakukan oleh TPI dan koperasi. Bakul sangat berperan khususnya dalam pemasaran hasil perikanan baik berupa ikan segar maupun kering. Bakul yang bergerak pada skala besar biasanya menjual ikan langsung ke Jakarta Muara Angke, Muara Baru ataupun ke wilayah Banten, Tangerang dan sekitarnya. Bahkan bakul besar ini biasanya juga menjual ke pengusaha besar yang ada di Jakarta untuk diekspor. Bagi bakul menengah dan kecil biasanya banyak menjual ikan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan sebagian dijual ke Jakarta. Kelembagaan koperasi Perekonomian idealnya dijalankan atas dasar demokrasi ekonomi. Pasal 33 UUD secara jelas menyatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat haruslah diutamakan dan bukan kemakmuran perorangan atau kelompok. Perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan kelembagaan yang paling sesuai untuk itu adalah koperasi. Koperasi seharusnya bisa mendorong partisipasi masyarakat bukan hanya melakukan proses produksi dan menikmati hasilnya, tetapi harus meliputi juga kemampuan untuk mengawasi berlangsungnya proses produksi dan distribusinya. Koperasi dibangun atas asas usaha kekeluargaan idealnya dapat difungsikan sebagai instrumen pengatur harga, pemasaran, permodalan usaha dan pengembangan nilai lebih produk perikanan. Fungsi tersebut menjadikan koperasi sebagai pengontrol persaingan usaha yang berjalan tidak sehat. Sehingga perilaku ekonomi yang saling mematikan ala ekonomi kapitalistik, bisa dicegah. Kesenjangan dapat teratasi dan pemerataan dalam kesejahteraan ekonomi bisa terwujud. Jumlah koperasi di Kelurahan P. Panggang terdapat 2 buah yaitu koperasi simpan pinjam SPPMKL yang beranggotakan sebanyak 450 orang dan kondisinya masih aktif. Sedangkan 1 unit lagi adalah koperasi serba usaha Citra Bahari beranggotakan sebanyak 30 orang, namun kondisi kurang aktif dan tidak jelas anggotanya. Fungsi koperasi di P. Panggang ini hanya memberikan pinjaman modal usaha dan tempat menabung. Koperasi tidak banyak berperan dalam pengelolaan TPI dan pengaturan harga ikan, pemasaran dan atau fungsi lainnya. Bahkan permodalan yang ada juga dalam skala kecil yang statusnya masih kalah dengan para bakul. Masyarakat lebih memilih meminjam kepada bakul ikan dengan mekanisme yang tidak rigid meskipun kadang dengan potongan bungan yang besar dan membebani. Bakul dapat memberikan modal kapan saja, dimana saja tanpa prosedur yang rumit. Sedangkan koperasi, selain dibatasi stok modal, juga terkesan rumit dalam prosedur. Hal itu menjadikan masyarakat enggan untuk berhubungan dengan koperasi. Koperasi juga tidak banyak berperan pada saat ada kebijakan BBM atau ketika terjadi kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Tatanan kelembagaan . Keberadaan KUD di P. Panggang hanya berperan dalam simpan pinjam, itupun dalam batas kebutuhan kecil. Permasalahan masyarakat yang lain seperti pemasaran dan penentuan harga ikan belum bisa dikelola oleh koperasi. Koperasi belum mampu mengambil alih penyediaan modal karena pemerintah juga kurang memberikan perhatian serius terhadap kelembagaan keungan mikro tersebut. Sedangkan lembaga keuangan mikro lainnya tidak tersedia di P. Panggang maupun P. Pramuka. Program PEMP dengan Swamitra Mina sebagai ujung tombak permodalan usaha, tidak juga tersedia di Kelurahan P. Panggang. Padahal status P. Pramuka sendiri adalah sebagai pusat ibu kota. Satu-satunya lembaga perbankan yang ada di P. Pramuka adalah Bank DKI, itupun tidak banyak memberikan pelayanan bagi nelayan dan masyarakat pesisir, namun hanya melayani kebutuhan pegawai dinas PNS Kabupaten Kepulauan Seribu khususnya dalam transaksi keproyekan. Dalam pengelolaan TPI, koperasi juga tidak mempunyai kewenangan penuh apalagi mengelolanya. Sub Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu sebagai pemegang otoritas juga tidak kunjung mengelolanya dengan baik, sehingga praktis TPI yang ada tidak banyak berkembang. Sementara koperasi juga tidak banyak berperan dalam hal penentuan harga ikan, karena secara tradisi sudah dikuasai oleh bakul TPI hanya dijadikan tempat untuk menimbang dan mencatat hasil produksi, selebihnya urusan harga dikuasai sepenuhnya oleh bakul. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari pola hubungan patron-klien yang terbangun lama di kalangan masyarakat pesisir. Daya jangkau . Apabila dilihat dari nama dan fungsinya, koperasi SPPMKL yang terdapat di P. Panggang hanya berperan dalam simpan pinjam. Sedangkan fungsi lainnya seperti pemasaran, penentuan harga ikan, pengelolaan TPI dan pemenuhan kebutuhan pokok nelayan tidak bisa dipenuhi oleh koperasi. Koperasi serba usaha Citra Bahari yang diharapkan dapat menjadi alternatif ternyata tidak aktif tanpa keterangan yang jelas. Pemerintah pun tidak melakukan intervensi dalam memperkuat kelembagaan koperasi sebagai satu-satu unit usaha yang dibangun atas asas kekeluargaan dan berjalan dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Terbatasnya daya jangkau koperasi dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti kurang inovatifnya pengurus koperasi dalam mencari sumber-sumber pendanaan, kurangnya upaya dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan TPI atau peran lainnya, kurangnya dukungan dari tokoh masyarakat, hubungan ekploitatif antara tengkulak dan nelayan kecil, antara juragan dan nelayan buruh yang masih terbangun sangat kuat dan potensi munculnya gejala koruptif bisa mengurangi kepercayaan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal antara lain seperti tidak adanya program pemerintah dalam memperkuat kelembagaan koperasi, terbatasnya akses koperasi dalam mengelola aset pemerintah yang berhubungan dengan masyarakat dan tidak adanya lembaga perbankan yang memberikan suntikan modal. Kelembagaan keuanganperbankan Tipe kelembagaan . Kelembagaan perbankan merupakan tipe kelembagaan yang mendistribusikan modal Karim, 2005. Kelembagaan perbankan berfungsi untuk menabung sekaligus meminjam. Satu-satunya lembaga yang terdapat di Kepulauan Seribu adalah Bank DKI yang berlokasi di Ibu Kota Kepulauan Seribu yaitu P. Pramuka. Lembaga perbankan ini tidak banyak memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi lebih berorientasi untuk mempermudah pelayanan di lingkungan Pemerintah Kabupaten khususnya dalam pendistribusian dana proyek. Namun, animo masyarakat untuk menabung dan meminjam kepada kelembagaan perbankan mulai ada. Terbukti dari hasil survey sekitar 10 responden di P. Panggang menyatakan memiliki tabungan di Bank dan sebanyak 23 responden di P. Pramuka pernah menabung. Memang responden tidak secara jelas menyebutkan nama Bank, tapi diperkirakan lembaga perbankan yang dimaksud adalah Bank DKI yang berlokasi di P. Pramuka. Terbukti tingkat menabung responden P. Pramuka lebih tinggi dibandingkan di P. Panggang. Setidaknya untuk budaya menabung mulai menguat di kalangan penduduk P. Panggang dan P. Pramuka. Hasil survey menyatakan bahwa 53 responden memiliki tabungan dan 47 tidak memiliki. Data ini menunjukkan bahwa kebiasaan menabung yang dianggap salah satu penyebab kemiskinan nelayan, sedikit banyak mulai terjawab. Meskipun hubungan dengan perbankan baru pada tahap menabung. Hal itu sudah menjadi nilai perbaikan bagi pola hidup dan kultur nelayan yang identik dengan minimnya budaya menabung. Masyarakat pesisir artinya sudah mulai memikirkan masa depan khususnya ketika masa paceklik datang, dimana hasil ikan menurun dan pendapatan berkurang. Hubungan dengan kelambagaan perbankan bagi masyarakat pesisir P. Panggang dan Pramuka lebih banyak dalam proses menabung menyimpan. Sedangkan untuk peminjaman belum banyak dilakukan. Lembaga perbankan biasanya mensyaratkan aset sebagai jaminan seperti tanah dan BPKB. Kepemilikan aset biasa dimiliki oleh nelayan besar juragan atau bakul ikan besar atau masyarakat pesisir lain yang mempunyai aset tanah. Sedangkan nelayan buruh, nelayan kecil dan bakul kecil, jelas tidak memiliki aset untuk meminjam. Kapal dan peralatannya belum bisa dijadikan sebagai agunan. Sartono et al 2000 dalam Karim 2005 menyatakan bahwa faktor-faktor yang menjadi kendala bagi masyarakat desa termasuk nelayan untuk berhubungan dengan lembaga perbankan adalah : • Budaya ; perasaan sebagai orang desa yang berpendidikan formal rendah yang menimbulkan sikap takut dan tidak mau berhubungan dengan bank maupun institusi formal lainnya • Pola pendapatan ; pola penerimaan musiman dan tidak teratur tidak sesuai engan pola pinjaman perbankan yang mensyaratkan angsuran teratur secara bulanan • Kepemilikan jaminan ; status kepemilikan tanah dan rumah di kalangan masyarakat desapesisir masih berupa ”akta jual beli”. Status ini belum dapat dianggap sah dan tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah jaminan untuk mengajuan pinjaman • Administrasi ; pemberlakukan asas prudential banking lebih ditafsirkan kelangan perbankan sebagai keharusan berbagai administrasi formal, tetapi menurut masyarakat desa prosedur yang komplek dan berbelit-belit. Kondisi ini mengakibatkan banyak masyarakat desa terpaksa meminjam kepada bakul, tengkulak dan lembaga-lembaga non formal seperti pelepas uang yang tidak memberlakukan berbagai persyaratan sekalipun biaya pinjamannya sangat mahal • Takut menghadapi tunggakan ; pengalaman tunggakan pengembalian program kredit nelayan di masa lalu telah ”menghantui” kalangan perbankan termasuk BRI untuk memberi pinjaman baru kepada komunitas nelayan • Rentabilitas dan kebijakan pengembalian pinjaman yang tinggi ; pelaksanaan profesional banking system sering diukur antara lain oleh tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi dan menjamin rentabilitas yang tinggi pula. Kebijakan collection rate selalu di atas 95 telah menimbulkan kecenderungan di kalangan perbankan untuk lebih memberikan pinjaman kepada kalangan perdagangan dan kelompok berpenghasilan tetap fixed income group. Faktor-faktor di atas juga dihadapi oleh masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka. Kebanyakan yang mendapatkan pinjaman adalah para pedagang besar dan pengusaha lokal yang mempunyai aset tanah, kendaraan bermotor dan penghasilannya cenderung stabil. Sedangkan para nelayan ikan karang, bakul kecil, pengolah dan pembudidaya ikan tidak bisa mengakses pinjaman di lembaga perbankan Bank DKI. Tatanan kelembagaan . Prosedur perbankan yang ketat dan mengharuskan adanya agunan dalam proses peminjaman, menjadi kendala utama bagi masyarakat pesisir dalam mengakses modal ke perbankan. Dalam tatanan kelembagaan, perbankan hanya bisa diakses oleh masyarakat pesisir yang mempunyai aset seperti tanah dan kendaraan perbankan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh nelayan besar juragan, pemilik kapal, bakul besar, karyawan swasta dan PNS. Sedangkan nelayan kecil yang sebetulnya paling membutuhkan tidak bisa mengaksesnya. Mereka memilih tetap meminjam kepada bakul –yang mungkin mendapatkan pinjaman modal dari Bank- meskipun dengan pola hubungan yang ekploitatif dan cenderung mentargetkan bunga tinggi. Koperasi simpan pinjam yang seharusnya juga mendapatkan penguatan dari perbankan atau bisa mengakses modal kepada perbankan, juga tidak bisa diharapkan. Bagi nelayan, meminjam ke Bank dengan sistem pengembalian per bulan, cukup memberatkan. Sedangkan dengan meminjam kepada bakul atau tengkulak, pengembalian pinjaman dapat dilakukan sesuai dengan kecenderungan musim. Faktor pengembalian, prosedur yang ketat, kepastian agunan dan pola pendapatan yang musiman, menjadikan nelayan tidak bisa mengakses perbankan dan membangun ketergantungan yang tinggi kepada juragan atau bakul ikan. Daya jangkau . Berdasarkan hasil survey dan wawancara, yang bisa mengakses lembaga perbankan hanyalah juraganbakul ikan besar dengan agunan tanah atau kendaraan bermotor. Karena biasanya mereka termasuk golongan kaya yang sedikit jumlahnya di lingkungan masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang. Perbankan lebih mempercayai juragan atau bakul ikan dibandingkan nelayan karena adanya kepastian pembayaran, aset yang mencukupi dan pola pendapatan yang cenderung tetap meskipun fluktuatif. Karena selama nelayan melakukan penangkapan, juragan dan bakul ikan dipastikan mendapatkan bagian yang lebih besar, apalagi yang juga menjadi pemilik kapal dan pemberi modal.

8.2.2 Potret Kemiskinan Struktural