2.3.3 Bagaimana Mengukur Kemiskinan
Arief 1993 mengatakan bahwa pendekatan dalam mengidentifikasi
kemiskinan yakni Pertama, menekankan pada pengertian subsistensi subsistence
povert y yakni menganggap bahwa kemiskinan merupakan persoalan
ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang dan beberapa kebutuhan pokok
lainnya. Kedua, kemiskinan dipahami dalam pengertian relatif relative deprivation
. Indikator yang dapat ditunjukan dalam perspektif ini adalah : 1 Deprivasi material yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan
akan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan konsumsi dasar lainnya.
2 Isolasi seperti dicerminkan oleh lokasi geografisnya maupun oleh marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. Mereka sering
tinggal di daerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan komunikasi
3 Alienasi, yaitu perasaan tidak punya identitas dan tidak punya kontrol atas diri sendiri. Ini timbul akibat isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif.
Walaupun proses pembangunan berjalan seru dan menghasilkan teknologi yang baru, mereka tidak bisa ikut serta memanfaatkannya. Mereka
kekurangan kecakapan yang bisa dijual. 4 Ketergantungan, inilah yang selama ini memerosotkan kemampuan orang
miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik dan penggarap, antara majikan dan buruh atau
antara pandega dan ponggawa. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, petani dan nelayan tidak bisa menetapkan harga hasil
produksi yang dihasilkannya. 5 Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tiadanya kebebasan
memilih dalam produksi, konsumsi dan kesempatan kerja, serta kurangnya perwakilan sosial politik mereka, tercermin dari tidak adanya fleksibilitas
dan berkurangnya kesempatan bagi si miskin di desa. 6 Kelangkaan aset membuat penduduk miskin di desa bekerja dengan
tingkat produktivitas yang sangat rendah
7 Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan terhadap konflik-konflik sosial internal. Kerentanan itu bisa timbul karena faktor ilmiah, perubahan
pasar, kondisi kesehatan dan lainnya. 8 Tidak adanya jaminan keamanan dari tindak kekerasan akibat status sosial
rendah, karena lemah, faktor-faktor agama, ras, etnik dan sebagainya. Kemiskinan paling mudah dipahami jika dilihat dari dimensi ekonomi.
Terdapat beberapa pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu Cahyat, 2004:
1 Metode yang dikembangkan Prof. Sayogyo. Sayogyo mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang
disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi pada wilayah pedesaan dan perkotaan. Menurut Metode ini
orang miskin adalah yang tidak mampu memperoleh penghasilan per kapita setara 320 kg beras untuk penduduk desa dan 480 kg beras, untuk
penghuni kota. 2 Dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik BPS yaitu menghitung
pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional SUSENAS. Garis batas kemiskinan menurut BPS
ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2.100 kalori per orang per hari plus
beberapa kebutuhan non makanan lain seperti sandang, pangan, jasa, pendidikan dan kesehatan.
3 Bank Dunia : Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US1 per hari setara Rp8.500,00 per
hari 4 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN : mengukur
kemiskinan dilihat dari tingkat kesejahteraan. Data kemiskinan dilakukan lewat pendatahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap,
yaitu : Keluarga pra sejahtera sangat miskin, Keluarga sejahtera I miskin, Keluarga sejahtera II, Keluarga sejahtera III dan keluarga
sejahtera III plus.
5 Kriteria kesejahteraan yang disebut indeks kebutuhan fisik minimum KFM. KFM adalah nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh
suatu keluarga per bulan. Pengukuran kemiskinan secara nasional masih sangat sulit dilakukan
sehingga seringkali menghasilkan data yang berbeda-beda. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang komplek
baik dari segi ekonomi, budaya, sosial dan geografik yang sangat bervariasi di Indonesia. Pendekatan pengukuran kemiskinan yang ada saat ini diyakini masih
berporos pada paradigma modernisasi modernisation paradigm yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi
neo klasik dan model yang berpusat pada produksi. Sedangkan pengukuran kemiskinan dengan garis kemiskinan yang
didasarkan pada nilai pengeluaran konsumsi per kapita secara ilmiah tidak dapat diterima sebab angka pengeluaran ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran
kesejahteraan seseorang karena tidak memperhitungkan faktor hutang. Selain itu ukuran kemiskinan dari pengukuran konsumsi per kapita suatu sampel rumah
tangga tidak dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengeneralisasi situasi kemiskinan secara agregat Cahyat, 2004.
Pengukuran kemiskinan juga dapat didekati melalui pemahaman tentang proses yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Proses pemiskinan terjadi
melalui berbagai mekanisme Mas’oed, 1994; Nasikun, 2001, yaitu: • Policy bias. Kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan kota,
mengistimewakan komoditi ekspor tertentu, kebijakan harga seringkali merupakan penyebab utama kemiskinan.
• Proses-proses kelembagaan. Kelangkaan akses ke tanah dan pengairan, pengaturan bagi hasil dan sewa-menyewa tanah yang timpang, pasar yang
kurang berkembang, kelangkaan kredit, input produksi, kurangnya fasilitas pelatihan dan sebagainya, juga penyebab penting kemiskinan.
• Dualisme ekonomi. Dalam proses ini sumberdaya yang paling baik diambil untuk mengembangkan pertanian komersial besar dan berorientasi
ekspor, sementara petani kecil dan pinggiran tidak punya kesempatan berkembang.
• Tekanan kependudukan. Masalah ini terkait dengan kelangkaan tanah. • Manajemen sumberdaya dan lingkungan. Kemiskinan di pedesaan dan
malnutirisi sangat erat terkait dengan persoalan kelangkaan sumberdaya alam.
• Siklus dan proses alamiah. Kelangkaan pangan yang bersifat musiman seringkali memperburuk kemiskinan karena si miskin di pedesaan terpaksa
segera menjual hasil buminya walaupun dengan harga murah hanya demi memenuhi kebutuhan jangka pendek.
• Marjinalisasi wanita. Wanita sering mengalami diskriminasi. Di beberapa daerah jumlah wanita yang menangggung beban keluarga semakin
banyak. Mereka biasanya tergantung pada bidang kerja yang berpenghasilan rendah. Mereka umumnya juga sulit memperoleh akses ke
input produksi, pelatihan dan kredit. • Tengkulak yang eksploitatif. Orang miskin di pedesaan menghadapi
berbagai jenis tengkulak yang eksploitatif. Eksploitatif dari pemilik terhadap penggarap adan pelepas uang terhadap peminjamannya.
• Faktor budaya dan etnik. Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan
• Fragmentasi politik daerah. Suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat dapat menyebabkan kemiskinan
• Proses internasional. Bekerjanya sistem-sistem internasional kolonialisme dan kapitalisme membuat banyak negara menjadi makin miskin
2.3.4 Menuju Kesejahteraan