7.1.2 Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
Untuk melihat faktor penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat setidaknya perlu meninjau kembali indikator-indikator responden miskin, baik
yang bersumber dari institusi resmi BPS maupun yang langsung dari masyarakat. Peninjauan ini akan bergerak pada aras makro Kabupaten
Kepulauan Seribu dan mikro P. Panggang dan P. Pramuka. Pada aras makro, beberapa indikator dapat dijadikan sebagai parameter seperti perkembangan IPM,
jumlah masyarakat pra sejahtera dan sejahtera I, tingkat kesenjangan wilayah dan parameter kemiskinan regional lainnya. Sedangkan pada aras mikro dapat ditinjau
kembali hasil survey dan analisis data primer yang didasarkan pada kriteria BPS dan kriteria versi masyarakat sendiri.
Tabel 82 Evaluasi Tingkat Kemiskinan Regional Tahun 2006
Uraian DKI Jakarta
Kepulauan Seribu
Jumlah penduduk miskin 675,718
3,882 Jumlah rumah tangga miskin
160,480 1,043
Poverty Gap Index P1 0.78
2.69 Poverty Severity IndexP2
0.2 0,80
IPM 76.3
69.3 Pengeluaran perkapita Rp
669.643 411.303
Garis kemiskinan Rpkapitabln 237,735
270,071
Catatan : pengambilan data dilakukan dengan metode berbeda dg PSE 2006 data tahun 2007
Sumber : 1 Potret sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta, BPS Jakarta 2006 diolah 2 Data dan informasi kemiskinan 2005-2006, BPS jakarta 2006 diolah
Evaluasi tingkat kemiskinan regional sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 82, memperlihatkan bahwa Kepulauan Seribu merupakan kantong
kemiskinan yang terdapat di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal itu tergambar dari jumlah persentase penduduk miskin yang jauh di atas rata-rata kemiskinan di DKI
Jakarta, demikian juga dengan jumlah penduduk miskin. Jika jumlah penduduk Kepulauan Seribu tahun 2006 sebanyak 11.920 jiwa Kecamatan dlm angka,
2007 maka jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mencapai sekitar 33 dari total jumlah penduduk di Kep. Seribu atau sebesar 0.6 dari seluruh total
penduduk miskin di DKI Jakarta. Tingkat kedalaman P1 dan keparahan P2
kemiskinan juga termasuk dalam kategori paling parah dengan tingkat kedalaman paling tinggi di antara KabupatenKota lain di DKI Jakarta.
Data di atas secara singkat memberi gambaran bahwa terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara Kepulauan Seribu dengan KabupatenKota lain di DKI
Jakarta. Lokasi Kepulauan Seribu yang cukup jauh untuk dijangkau, akses terbatas dan terdiri dari pulau-pulau, dianggap sebagai salah satu kendala
terbatasnya program-program pembangunan masuk ke Kepulauan Seribu. Di samping itu status Kepulauan Seribu yang baru menjadi Kabupaten baru sejak
tahun 2002, merupakan kendala ketertinggalan pembangunan antara Kepulauan Seribu dengan KabupatenKota lain di DKI Jakarta. Namun sebagai wilayah yang
sangat dekat dengan kekuasaan dan pusat ibu kota, setidaknya pembangunannya tidak jauh tertinggal jika pemerintah Propinsi dan Pusat betul-betul
memperhatikan Kepulauan Seribu. Karena faktanya, pulau seribu dijadikan sebagai salah satu andalan wisata bahari oleh Propinsi DKI Jakarta dan
mempunyai sumber minyak yang memberikan kontribusi cukup besar bagi DKI Jakarta. Namun, potensi dan investasi tersebut faktanya tidak berkontribusi apa-
apa terhadap kemajuan pembangunan di Kepulauan Seribu. Penyedotan dan kapitalisasi sumber daya alam dengan nilai investasi yang tinggi diperkirakan
hanya masuk kepada DKI Jakarta tanpa menetes ke masyarakat Kepulauan Seribu. Banyak pulau-pulau kecil yang dimiliki perorangan, swasta dan kelompok
tertentu, pariwisata bahari yang menawarkan investasi mahal untuk sebuah panorama pantai, padatnya aktivitas ekonomi, jasa di pesisir Jakarta serta kegiatan
perkapalan, pelayaran di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak berdampak penting bagi Kepulauan Seribu. Terjadi surplus produksi yang
tidak ketahuan alirannya dan seharusnya dinikmati oleh masyarakat Kepulauan Seribu. Pesatnya pembangunan di DKI Jakarta ternyata tidak diikuti oleh
pembangunan di Kepulauan Seribu. Kemiskinan di tingkat regional tersebut semakin mendapatkan justifikasi
dengan memperhatikan data kemiskinan responden yang terdapat di salah satu Kelurahan Kepualaun Seribu yaitu di Kelurahan P. Panggang yang diwakili oleh
P. Panggang dan P. Pramuka. Tabel 82 menunjukkan betapa kemiskinan pada tingkat regional memberikan imbas kepada responden-responden yang ada di P.
Panggang dan P. Pramuka. Data di bawah memperlihatkan bahwa beberapa indikator pokok kualitas hidup manusia seperti kepemilikan rumah, pendidikan,
kesehatan dan pendapatan responden masih terlihat tinggi. Artinya untuk beberapa indikator kualitas hidup yang pokok, responden di P. Panggang dan P.
Pramuka belum bisa memenuhi. Meskipun beberapa indikator sudah menunjukkan angka yang lebih baik seperti keikutsertaan program KB,
kepemilikan luas lantai 8 m
2
, kepemilikan aset seperti televisi, tabungan dan sarana perikanan juga cukup tinggi. Pada beberapa indikator menunjukkan
perbaikan, tetapi masih lebih banyak indikator yang menunjukkan ketidakmampuan responden miskin dalam memenuhinya. Indikator-indikator
yang menjadi evaluasi bagi perkembangan responden miskin di P. Panggang dan P. Pramuka dapat dilihat pada Tabel 83.
Tabel 83 Evaluasi Perkembangan Responden Miskin di P. Panggang dan P. Pramuka, Kelurahan P. Panggang
Uraian P. Panggang P. Pramuka
Total
Status rumah menumpang pada rumah saudaraorang tua
6.67 14.81
10.53 rumah kontrakan
3.70 1.75
semi permanen 23.33
45.45 34.00
bahan rumah berupa papanbilik 10.00
13.64 12.00
Kondisi rumah rumah tanpa atap
10.00 0.00
5.36 lantai berupa tanah
6.67 11.11
8.77 luas lantai 8 m2
10.00 14.81
12.28 kepemilikan WC sendiriumum
51.72 38.46
45.45 Sumber penerangan non-listrik
100.00 jenis bahan bakar untuk memasak
minyak tanah
Pendidikan kepala rumah tangga yang tidak sekolah
17.24 3.70
10.71 SD
55.17 51.85
53.57 tidak punya kemampuan menyekolahkan anak
10.00 22.22
15.79
Kesehatan tidak ikut serta dalam program KB
26.67 25.93
26.32 tidak mendapatkan akses air bersih
17.24 51.85
33.93 Keperluan Air untuk minum
air hujanledeng
Pendapatan pendapatan 500000
17.24 11.11
14.29 pendapatan tidak tetap, musiman
62.07 37.04
50.00 pendapatan harian
31.03 62.96
46.43
Kepemilikan aset kepemilikan perahu
67.86 81.82
74.00 kepemilikan TVDVD
96.55 85.19
91.07 Kepemilikan sepeda motor
3.45 11.11
7.14 Kepemilikan tabungan tidak memiliki
43.33 51.85
47.37
pola pakaian setahun membeli satu kali pakaian baru
82.14 48.15
65.45 tidak punya pakaian untuk acara-acara khusus
32.14 11.11
21.82
Kelurahan P. Panggang
Berangkat dari fakta di atas dapat dilihat persoalan mendasar apa saja yang melatar belakangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat tergolong rendah
meskipun tingkat kesenjangannya juga rendah. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun
FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan isu yang berkembang terkait tingkat kesejahteraan di P.
Panggang dan P. Pramuka antara lain : 1 rendahnya lingkungan alam; 2 rendahnya lingkungan ekonomi; 3 rendahnya lingkungan sosial ; 4 Rendahnya
lingkungan politik; 5 rendahnya sarana dan pelayanan;
1 Rendahnya lingkungan
alam
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut Kerusakan lingkungan pesisir dan laut disebabkan oleh beberapa hal yang
masih terjadi sampai saat ini seperti masih adanya penggunaan potasium dalam penangkapan ikan hias, penangkapan ikan berlebih dan memburuknya kualitas
perairan. Tabel 85 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam penggunaan potasium sebanyak 17,86 responden di P. Panggang menyatakan pernah terjadi
kerusakan dengan potasium, 42,86 menyatakan tidak pernahjarang terjadi dan 39,29 menyatakan pernah terjadi tapi sudah lama sekali dan sekarang sudah
tidak terjadi lagi. Sedangkan menurut penuturan responden di P. Pramuka kerusakan lingkungan pesisir dan laut karena penggunaan potasium sudah tidak
pernahjarang terjadi dan sebanyak 46,15 responden menyatakan pernah terjadi tetapi sudah lama sekali. Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan
ikan khususnya ikan hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian ekosistem dan lingkungan laut. Namun
menurunnya penggunaan potasium tersebut bisa juga disebabkan karena ekosistem terumbu karang khususnya yang rusak sudah sangat tinggi sehingga
ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan menipis. Akibatnya nelayan tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap.
Penyebab kerusakan lain dapat disebabkan karena penangkapan ikan berlebih sampai mencapai kondisi kritis bagi ketersedia sumber daya ikan.
Namun hampir semua responden di P. Panggang maupun P. Pramuka menyatakan bahwa aktivitas berlebih sudah tidak pernah terjadi apalagi sampai sumberdaya
ikan habis. Hanya sekitar 3,45 responden di P. Panggang yang menyatakan bahwa hal itu pernah terjadi. Namun pada sisi lain, masyarakat menyatakan
bahwa hasil tangkapan mereka semakin hari semakin berkurang. Hal itu menurut mereka karena banyak beroperasinya kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat
tangkap mini trawl yang berasal dari luar Kepulauan Seribu. Mungkin nelayan- nelayan di Kepulauan Seribu tidak menggunakan alat tangkap terlarang tetapi
penyebabnya berasal dari nelayan luar pulau seribu. Sedangkan ketika ditanyakan tentang kualitas perairan, mayoritas
responden di kedua pulau menyatakan bahwa pencemaran yang menyebabkan
kualitas perairan menurun berada dalam batas sedang. Sebanyak 41,38 responden di P. Panggang menyatakan bahwa kualitas perairan masih aman dan
belum tercemar. Hanya 24,14 responden di P. Panggang yang menyatakan kualitas perairan di P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya
dalam kondisi buruk dan 34,48 bahkan masih meyatakan kualitas perairannya dalam kondisi baik. Hal yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh responden di P.
Pramuka bahwa sebanyak 46,43 responden menyatakan kualitas perairan dalam kondisi sedang, 25,93 menyatakan baik dan 22,22 menyatakan buruk. Secara
umum responden di kedua pulau di Kelurahan P. Panggang tersebut menyetakan bahwa kualitas perairan dalam kondisi sedang-baik.
Perubahan kualitas perairan di perairan Kelurahan P. Panggang disebabkan karena masih adanya pembuangan limbah ke laut seperti limbah industri dan
responden. Sedangkan untuk kawasan perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang dekat dengan Jakarta, kualitas perairannya dalam kondisi buruk. Hal
ini jelas karenan tinggi masukan limbah industri dan responden ke perairan Teluk Jakarta. Limbah industri berbahaya antara lain seperti logam berat, bahan-bahan
kimia beracun dan air buangan dari kawasan pertambangan di Kepulauan Seribu dapat menjadi faktor yang mengancam kualitas perairan di Kepulauan Seribu.
Isu dan permasalahan yang muncul Beberapa isu dan permasalahan masih sering terjadi menyebabkan
lingkungan pesisir dan laut menurun antara lain : •
Degradasi sumber daya pesisir dan laut Degradasi ekosistem pesisir, khususnya terumbu karang
Mayoritas penduduk P. Panggang menggantungkan hidup ke laut. Sehingga jika ekosistem pesisir dan laut mengalami kerusakan, maka hal itu akan
berakibat kepada penurunan produktifitas perikanan. Penurunan produksi berakibat kepada menurunnya jumlah pendapatan masyarakat. Ekosistem laut
yang paling berperan bagi kehidupan masyarakat P. Panggang adalah ekosistem terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di perairan P. Panggang sudah
mencapai hampir 50 dari total ekosistem yang ada. Padahal kebanyakan dari nelayan P. Panggang merupakan nelayan ikan hias yang habitat utamanya adalah
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang tidak hanya terjadi di perairan P. Panggang, tetapi di hampir seluruh Kepulauan Seribu keberadaannya makin
sedikit dan rentan. Menurut Terangi 2007 tingkat penutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu 5. Kerusakan ekosistem TK ditengarai karena masih
adanya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan sejenisnya. Disamping itu aktivitas pariwisata
yang makin intensif dan tidak mengindahkan kondisi TK menyebabkan rusaknya TK. Selain itu aktivitas perdagangan ikan hias yang makin massif yang diikuti
oleh pengambilan ikan dengan cara dan alat yang merusak TK, pengambilan batu karang untuk bangunan, diduga masih sering terjadi di wilayah perairan P.
Panggang dan Kepulauan Seribu umumnya. Degradasi ekosistem pesisir lainnya
Ekosistem pesisir dan laut lain yang tidak kalah rusaknya adalah mangrove dan lamun. Kondisi mangrove di P. Panggang dan P. Pramuka sudah sangat kritis
bahkan keberadaannya sudah tidak ada lagi kecuali sedikit terdapat di P. Pramuka. Secara umum kondisi mangrove yang tersedia baru berupa bibit dan anakan.
Habitat mangrove telah rusak sehingga saat ini baru memulai kembali untuk menanam mangrove. Bibit mangrove dapat terlihat di P. Panggang dan P.
Pramuka. Demikian halnya dengan lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang dan mangrove. Lamun biasa menjadi habitat udang dan kerang-kerangan.
Masyarakat P. Panggang biasa melakukan penangkapan udang di ekosistem lamun. Namun seiring dengan tingginya kerusakan terumbu karang dan
mangrove, maka kondisi lamun juga sangat terbatas. Lamun biasa banyak terlihat agak lebat pada lokasi yang berdekatan dengan terumbu karang. Habitat lamun di
P. Pramuka terlihat lebih lebat dibandingkan dengan P. Panggang. •
Kualitas ekosistem pesisir dan laut menurun Kerusakan terumbu karang, akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap
terlarang potasium, pengambilan ikan hias yang tidak diikuti dengan rehabilitasi terumbu karang, kerusakan lamun akibat kerusakan terumbu karang dan
ekosistem pantai lainnya menyebabkan berkuragnya kualitas ekosistem pesisir dan laut. Selain itu perdagangan karang yang sejatinya lebih diprioritaskan untuk
rehabilitasi terumbu karang justru lebih dominan pada aktivitas perdagangan karang. Hal itu menjadikan kualitas ekosistem pesisir dan terumbu karang
khususnya di P. Panggang dan Pramuka penutupannya mayoritas buruk-sedang. •
Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan Aktivitas penangkapan diluar batas potensi lestari, penggunaan alat
tangkap yang menggerus seperti trawl, pembatasan hasil tangkapan dan tidak adanya selektifitas dalam menangkap ikan, intensitas yang tinggi alam
menangkap, penggunaan alat tangkap terlarang seperti trawl dan modifikasinya arad, jaring hela, dogol dan alat tangkap destruktif lain seperti muoroami
menjadikan kualitas sumberdaya pesisir menurun dan penurunan produksi hasil perikanan.
Penurunan produksi disebabkan karena semakin tinggi kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.
Kerusakan ekosistem tersebut mempengaruhi ketersediaan sumber daya ikan sehingga juga mempengaruhi produktifitas perikanan.
• Kerentanan usaha nelayan
Faktor lain yang menyebabkan turunnya produksi perikanan adalah beroperasi armada tangkap yang menggunakan alat tangkap terlarang di perairan
Kepulauan Seribu yang berasal dari luar P. Seribu. Alat tangkap tersebut disebut arad
yang merupakan salah bentuk modifikasi dari trawl yang jelas-jelas dilarang pemerintah. Masyarakat melihat kurangnya ketegasan hukum untuk menindak
pelaku. Bahkan masyarakat melihat seperti terjadi upaya pembiaran terhadap beroperasinya alat tangkap tersebut dan penuh aroma perselingkuhan antara
pelaku dan aparat keamanan. Disamping faktor-faktor tersebut, usaha nelayan dan perikanan merupakan usaha yang penuh dengan resiko dan tergantung kepada
musim. Usaha nelayan yang beresiko ditambah naiknya BBM yang berkontribusi besar pada biaya operasional nelayan, itambah tidak adanya upaya penegakan
hukum terhadap pelaku armada arad, menyebabkan nelayan terjepit dan rentan terhadap kemiskinan kronis
• Akses terhadap sumberdaya pesisir dan laut semakin terjangkau
Aksesibilitas meningkat baik secara fisik teknologi, jalur transportasi, pasar dan permodalan maupun kelembagaan birokrasi perijinan, pengakuan atas
hak milik oleh UU. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut.
Pada aras yang lebih tinggi rendahnya lingkungan alam disebabkan karena adanya faktor eskternal seperti strategi pengelolaan SDPL yang kurang tepat,
ketergantungan yang tinggi terhadap pasar, aktivitas kompradorisasi dan rent seeking
serta adanya perundang-undangan yang bias kepentingan pemodal dan tidak berpihak kepada kesejahteraan nelayan tradisional.
Strategi pengelolaan SDPL selama ini lebih banyak menekan pada pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan pariwisata bahari. Mobilisasi
investasi melalui pariwisata bahari hanya akan melahirkan ekslusifitas bagi pengelola dan menutup akses masyarakat terhadap SDPL yang dulunya
merupakan barang publik menjadi terbatas dan privat. Pola investasi ini sejalan dengan anjuran nurske 1952 yang menganggap bahwa kemiskinan dan stagnasi
disebabkan karena rendahnya pendapatan per kapita dan tabungan. Untuk menghindari dua hal tersebut, dua langkah bisa dilakukan secara serentak yaitu
tindakan untuk merangsang investasi dan memobilisasi dana investasi. Namun, Robinson 1959 menganggap bahwa kaum Neoklasik dan Keynesian tidak
mempersoalkan kandungan suatu investasi ditinjau dari perspektif sosial. Akhirnya terjadilah sistem produksi yang banyak memproduksi barang-barang
mewah. Investasi untuk membiayai barang-barang mewah ini akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tingkat persediaan barang modal untuk tujuan
reproduksi dan akumulasi modal. Sejalan dengan pola investasi yang bersifat kapitalistik, instrumen lain
yang menyebabkan degradasi sumber daya alam. Bagi Singer maupun Robinson, perdagangan bebas hanya akan mengakibatkan negara-negara
berkembangpinggiran memproduksi dan mengekspor bahan mentah dan konsumen, sedangkan negara-negara maju atau negara-negara pusat,
memproduksi produk-produk manufaktur. Dalam ekonomi pasar, pemanfaatan SDA adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Permintaan
terhadap SDA dipaksakan sesuai dengan kebutuhan pasar. Orientasi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah yang tinggi hanya menghitung aktivitas-aktivitas
yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah aktivitas tersebut produktif, non-produktif atau justri destruktif. Kerusakan SDA akibat penetrasi
pasar yang tinggi mengakibatkan kelangkaan bagi SDA yang sebetulnya bermanfaat bagi stabilitas ekologi dan menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan
baru. Fenomena perdagangan ikan hias dan karang yang cukup tinggi di Kepulauan Seribu dapat menerangkan betapa kemiskinan senantiasa melekat pada
nelayan ikan hias namun justru akumulasi kesejahteraan didapatkan oleh pengusaha ikan hias atau pendagang pengumpul. Demikian halnya yang terjadi
dalam perdagangan terumbu karang. Pengambilan karang dan upaya budidaya karang yang sejatinya ditujukan untuk menjamin kelestarian lingkungan laut,
justru dialihkan pada pemenuhan kebutuhan pasar internasional. Upaya budidaya karang tidak berkorelasi positif dengan tingkat pemulihan ekosistem terumbu
karang. Rendahnya lingkungan alam juga disebabkan karena pola tingkah laku
elite penguasa yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam melakukan ekploitasi terhadap SDA. Santos 1976 menyebutkan bahwa elit penguasa yang
mengambil keuntungan dari pola kolaborasi dengan pemilik modal harus bertanggungjawab terhadap timbulnya proses ekploitasi yang luas dan dalam
terhadap masyarakat miskin. Bagi Santos 1976, kemiskinan dan keterbelakangan negara miskin tidaklah selalu ditentukan karena ”faktor luar”
tetapi juga harus melihat ”faktor dalam” di negara-negara miskin. Cardoso menyebut kalangan elite yang dominan ini sebagai kelompok komprador.
Komprador birokrat inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis, kekuatan modal dalam mengekploitasi SDA.
Perilaku komprador
ataupun maraknya
rent seeking activity dalam
pemanfaatan SDA tidak hanya dilakukan dalam pengelolaan SDA secara teknis baik melalui investasi maupun akses teknologi, tetapi juga masuk melalui
kebijakan dan perundang-undangan. Kekuatan modal yang berkolaborasi dengan birokrasi komprador berperan dalam mengatur pasal-pasal dan point-point yang
terkait dengan penguasaan SDA. Beberapa perundangan di bidang perikanan
setidaknya menggambarkan fenomena hal itu seperti UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan dan UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan. Sebagai contoh pasal tentang Hak pengelolaan perairan pesisir HP3 dalam UU No.272007 merupakan bentuk privatisasi sumber daya pesisir dan laut
yang hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal. HP3 secara teknis memang menjelaskan status kepemilikan SDPL sekaligus melahirkan ekslusifitas terhadap
lahan yang tadinya bernilai publik menjadi komoditas. HP3 hanya akan dipenuhi oleh kekuatan modal dan sebagai konsekwensinya masyarakat tidak bisa secara
leluasa mengakses sumber daya di dalam dan sekitarnya karena statusnya sudah menjadi privat property. Keterbatasan akses terhadap SDPL dapat mengakibatkan
aksi pengrusakan terhadap SDA sekaligus mengurangi nilai produksi hasil perikanan. Akibat penurunan produksi, pendapatan dan kesejahteraan nelayan
tradisional khususnya juga menurun.
2 Rendahnya lingkungan
ekonomi
Alasan rendahnya lingkungan ekonomi Masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka sangat menggantungkan
hidupnya pada laut dan sumber daya perikanan yang berada di dalamnya. Kondisi geografis berupa pulau kecil dan dikelilingi laut menjadikan tidak adanya banyak
pilihan dalam berprofesi. Kalaupun ada diversifikasi usaha, semuanya masih berkaitan dengan perikanan. Ketergantungan terhadap satu sumber penghasilan
ini dapat menciptakan kerentanan. Hal itulah yang menjadikan masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya masih terbelit dengan
kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan mereka. Selain itu, jika terjadi kerusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut atau adanya degradasi sumber daya
ikan seperti yang belakangan banyak dikeluhkan oleh nelayan karena beroperasinya kapal-kapal trawl, menyebabkan kerentanan bagi kehidupan
mereka. Rendahnya lingkungan ekonomi juga dapat disebabkan oleh faktor
eksternal seperti terkonsentrasinya modal keungan, ilmu dan teknologi di Jakarta. Pola investasi dalam bentuk pariwisata bahari, perdagangan dan jasa yang
berkembang di Kepulauan Seribu hanya menghasilkan hubungan yang tidak
seimbang. Surplus produksi yang harusnya dirasakan oleh masyarakat Kepulauan Seribu, faktanya justru hampir semuanya masuk ke Jakarta. Permintaan barang
dan pasar yang luas di Jakarta juga mendorong masyarakat untuk memenuhi dan berperilaku konsumtif. Fakta rendahnya lingkungan ekonomi tersebut tergambar
dari tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu, parahnya tingkat kemiskinan, nilai IPM yang masih jauh tertinggal dari Jakarta dan pendapatan
rata-rata masyarakat yang masih rendah. Degradasi sumber daya pesisir dan laut pada satu sisi, keterbatasan lahan
pada sisi lain serta padatanya penduduk, mendorong tingkat kebutuhan akan pangan dan sandang yang tinggi. Kebutuhan akan pangan didapat dengan
mendatangkan dari Jakarta dan Kepulauan Seribu menjadi masyarakat yang net- importir terhadap barang pokok. Bahkan ironisnya untuk kebutuhan akan ikan-
ikan ekonomi penting, masyarakat Kepulauan Seribu juga harus datang ke Jakarta. Pasokan ikan dari perairan Kepulauan Seribu mayoritas dimanfaatkan setidaknya
oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu sendiri hanya untuk kebutuhan pangan yang tidak lebih dari separuhnya.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Jumlah sumber penghasilan meningkat Mayoritas responden yang diwawancarai dalam survey mengatakan bahwa
mereka memiliki lebih banyak peluang penghasilan baru dibandingkan 5 tahun yang lalu. Beberapa pekerjaan baru tercipta seiring dengan pembentukan
Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru di wilayah DKI Jakarta. Meskipun sebagian masyarakat juga mengeluhkan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih
buruk ketika Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten dan tidak jarang penduduk yang menginginkan kembali kepada kondisi semula yaitu hanya setingkat
kelurahan. •
Lingkungan bisnis meningkat Seiring dengan terbentuknya Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru,
pemerintah daerah bergiat untuk mempromosikan Pulau Seribu termasuk menjadikan Pulau Seribu sebagai kawasan pariwisata bahari. Hal ini mendorong
kemunculan investor di bidang pariwisata. Masuknya jumlah wisatawan yang
memanfaatkan keindahan laut, meningkatnya sarana prasarana umum, perkantoran dan semakin tingginya kebutuhan akan sektor jasa menjadikan
peluang baru bagi masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya.
• Pengenalan terhadap pasar meningkat
Dengan semakin banyak alternatif usaha dan bisnis, masuknya investasi dan tingginya lalu lintas perdagangan, menyebabkan masyarakat lebih intensif
mengenal pasar. Keterlibatan yang besar di pasar telah meningkatkan ketergantungan mereka terhadap pasar dan mengurangi tingkat swasembada
terhadap hasil perikanan •
Terbatasnya akses pembiayaan Kedekatan wilayah dengan DKI Jakarta yang dipenuhi oleh berbagai
sarana perbankan dan lembaga keuangan memberikan berbagai skim permodalan bagi ekonomi mikro. Sektor perikanan yang selama ini jarang mendapatkan akses
perbankan, mulai dilirik oleh perbankan. Ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui program PEMP, dapat memenuhi kebutuhan permodalan
usaha masyarakat. Namun demikian, program PEMP ini belum terasa sampai di Kelurahan P. Panggang.
Bagi nelayan faktor modal dan pembiayaan usaha merupakan salah satu kendala pokok bagi keberlanjutan usaha. Keterbatasan terhadap akses
pembiayaan mendorong berlakunya pola hubungan yang tidak seimbang dan ekplitatif yang sudah tertanam lama di lingkungan masyarakat pesisir yaitu
dengan para tengkulak. Tengkulak memberikan permodalan usaha dan biaya operasional lain. Tengkulak ini dapat berupa para bakul ikan maupun nelayan
skala besar. Pola hubungan yang biasa terjadi adalah antara buruh nelayan dan juragan nelayan pemilikbesar atau antara nelayan kecil dan bakul ikan.
• Ketergantungan terhadap pasar dan perdagangan bebas
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar terlihat pada kegiatan perdagangan ikan karang, ikan hias dan perdagangan karang hidup. Ketiga
perdagangan ikan dan karang ini bukan hanya untuk mensuplai daerah Jakarta saja tetapi juga memenuhi kebutuhan pasar nasional dan bahkan ekspor
internasional. Perdagangan ikan karang ekonomi berkualitas ekspor seperti kerapu, kakap, baronang dan ikan karang lainnya. Tujuan ekspor antara lain
negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Sedangkan untuk ikan hias banyak diekspor ke Amerika, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Perdagangan lain yang paling membahayakan bagi kelestarian ekosistem sumber daya pesisir adalah karang hidup. Degradasi ekosistem terumbu karang
mendorong munculnya aktivitas budidaya terumbu karang melalui transplantasi karang. Namun faktanya kegiatan ini justru sebagian kegiatan disponsori oleh
para pengusaha yang memanfaatkan nelayan sebagai klien nya. Karang yang mulai hidup sebagian di tebar kembali ke lingkungan laut, namun tidak sedikit
yang diambil untuk dijual kembali, khususnya yang sudah berukuran F2. Namun nelayan hanya sebagai pemelihara dan pembudidaya, sehingga keuntungan yang
diterimapun tidak terlalu besar. Keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pengusaha yang memberikan modal usaha dan menguasai pasar perdagangan
karang hidup. Transaksi ini bukan hanya mendorong ketergantungan terhadap pasar, tetapi juga memperlambat kelestarian ekosistem terumbu karang.
Dalam aras makro, penyebab rendahnya lingkungan ekonomi adalah karena keterbatasan akses terhadap SDPL, kekurangan gizi sebagai akibat
rendahnya pendapatan, privatisasi lahan akibat previlage pemerintah pada kekuatan modal dan pola investasi kapitalistik.
Privatisasi lahan dan investasi kapitalistik muncul dalam kegiatan pariwisata bahari maupun pengelolaan kawasan PPK untuk kegiatan industri dan
lainnya. Privatisasi lahan membatasi ruang akses masyarakat pesisir dan nelayan tradisional khususnya dalam memanfaatkan SDPL. Keterbatasan akses bukan
hanya menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang dapat dilakukan melalui aktivitas destruktif karena keterdesakannya, namun sekaligus mengurangi tingkat
produktifitas perikanan. Penurunan produktifitas akan berujung pada berkurangnya pendapatan nelayan tradisional dan pada gilirannya dapat
mengakibatkan menurunnya gizi karena upaya untuk membeli tidak bisa terjangkau dengan baik.
3 Rendahnya lingkungan
sosial
Alasan rendahnya lingkungan sosial Rendahnya lingkungan sosial ditandai oleh adanya potensi konflik sosial
yang dipicu oleh nelayan dari luar Kepulauan Seribu yang menangkap di wilayah perairan Kepulauan Seribu dengan menggunakan alat tangkap terlarang berupa
arat yang merupakan modifikasi dari trawl. Beroperasi alat tangkap tersebut mengakibatkan hasil tangkapan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka serta
Kepulauan Seribu umumnya mengalami penurunan khususnya bagi nelayan tradisional. Akses terhadap teknologi merupakan salah satu alasan yang dapat
membenarkan fakta tersebut. Kerusakan sumber daya pesisir adalah indikasi yang lain dari penurunan
produktifitas nelayan yang salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem. Rendahnya SDM diduga karena keterbatasan
akses pendidikan yang ditandai oleh minimnya sarana pendidikan di Kelurahan P. Panggang. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk Kelurahan P.
Panggang rata-rata hanya sampai SD dan bahkan masih banyak yang tidak sekolah. Meskipun belakangan kesadaran untuk menyekolahkan anak cukup
tinggi. Rendahnya SDM manusia mempengaruhi juga perilaku masyarakat yang cenderung apatis, malas, boros dan kurang kreatif. Inisiatif masyarakat juga
rendah dalam pelaksanaan pembangunan. Keterbatasan SDM tersebut mengakibatkan rendahnya akses terhadap pengambilan keputusan di Desa.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Rendahnya sumber daya manusia Pembangunan yang tidak sesuai dianggap oleh masyarakat sebagai
penyebab terjadinya ketidaksesuaian kapasitas manusia terutama dalam pembangunan sarana pendidikan. Pemerintah juga kurang menyediakan fasilitas
pendidikan yang memadai dan sarana transportasi untuk memperlancar arus belajar mengajar di Kepulauan Seribu. Terjadinya kerusakan sumber daya pesisir
juga disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat terhadap fungsi ekosistem serta menimbulkan perilaku negatif karena karakter berpikirnya belum terbangun
dengan baik.
Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem telah menimbulkan dampak negatif berupa aktivitas pengrusakan dalam operasi penangkapan
khususnya dalam penangkapan ikan karang. Parahnya pemerintah juga tidak memberikan penyadaran yang intensif, penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat
sehingga kesadarannya terbangun dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut SDPL.
• Pola hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan
Hubungan dengan tengkulak merupakan pola lama yang sudah membudaya di kalangan masyarakat pesisir. Hubungan yang saling
membutuhkan tersebut biasanya banyak terjadi dalam hal pembiayaan usaha, pemasaran hasil dan pengadaan sarana. Keterbatasan akses yang dimiliki oleh
buruh atau nelayan kecil menjadikan mereka harus berhubungan dengan para juragan dan baku dalam pola hubungan kerja yang tidak berimbang. Mekanisme
pembagian hasi dalam hubungan antara juragan dan buruh nelayan senantiasa menempatkan buruh pada bagian terendah dan hasil yang minim. Kelemahan
dalam permodalan, sarana operasional dan pasar menjadi alat bagi juragan untuk terus mengekploitasi buruh. Demikian juga antara nelayan kecil dengan bakul.
Bakul mempunyai akses pasar dan modal, sedangkan nelayan kecil biasanya direpotkan oleh kedua hal tersebut. Nelayan yang mendapatkan bantuan modal
dari bakul harus menjual hasil tangkapan ke bakul tersebut yang kadang tidak sesuai dengan harga pasaran. Lemahnya bargaining position buruh dan nelayan
kecil seperti itu yang terus menjadikan buruh nelayan dan nelayan kecil senantiasa terjebak dalam jerat kemiskinan.
Pola hubungan tersebut di Kelurahan P. Panggang dapat selain pada kedua kelompok di atas, juga dapat diperhatikan pada hubungan antara nelayan ikan hias
dengan pedagang ikan hias, antara pembudidaya kerapu dengan pengusaha pemodalbakul. Pada kegiatan pengolahan hasil perikanan, interaksi tersebut
cenderung sedikit karena memang pelaku usahanya juga tidak terlalu banyak. •
Perilaku individu masyarakat Di P. Panggang perilaku masyarakat masih belum menunjukkan sikap
yang konstruktif. Beberapa perilaku negatif yang kerap kali muncul adalah malas, egois, tidak saling percaya, kurang percaya diri, apatis, konsumtif, kurang
inisiatif, kurang kompak, kurang kesadaran, pragmatis, perbedaan pandangan, tidak mau tahu dan tidak mandiri. Hal ini menurut Baihaqie 2004 disebabkan
karena pendekatan pemerintan yang sentralistik dan top-down dalam pelaksanaan pembangunan selama ini. Pola pembangunan yang ada tidak banyak melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak memilik tanggung jawab yang besar
dalam memelihara sarana pembangunan yang telah dibangun. Hal ini berakibat kepada banyaknya sarana pembangunan yang tidak fungsional. Aktivitas
pengrusakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari perilaku negatif ini juga diawali dari apatisme masyarakat terhadap pelaksana pemerintah
dan aparat hukum yang kurang tegas dan keteladanan dalam pengelolaan SDPL. •
Konflik sosial masyarakat Konflik sosial biasanya terjadi baik dengan sesama warga maupun dengan
warga lain. Namun menurut hasil survey, tingkat konflik dengan sesama warga sangat kecil terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka. Potensi konflik sesama warga
ini kadang-kadang bisa terjadi dengan dipicu oleh pendekatan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan yang kurang tepat. Pemerintah seringkali
hanya melibatkan tokoh masyarakat dan kelompok warga tertentu dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Hal itu kadang mendorong munculnya sikap
iri hati pada kelompok lainnya. Potensi gesekan konfliknya untungnya tidak sampai menjadi manifest konflik, namun jika dibiarkan terus pola pembangunan
berjalan seperti itu, bukan tidak mungkin akan menjadi konflik sosial sesama warga.
Konflik yang potensial muncul justru terjadi dengan warga daerah lain yang melakukan aktivitas penangkapan di Kepulauan Seribu dengan
menggunakan alat tangkap terlarang. Meskipun juga belum pernah menjalar menjadi konflik fisik, jika aparat tidak mengambil tindakan tegas dan pemerintah
tidak melakukan pengawasan dengan baik, bukan tidak mungkin akan menjalar menjadi manifest konflik. Konflik yang disebabkan karena modernisasi perikanan
ini terkait dengan terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya oleh nelayan tradisional dan nelayan kecil lain karena akses teknologi yang lebih
rendah dibandingkan dengan nelayan besarnelayan pengguna alat tangkap terlarang tersebut arad.
• Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun
Meskipun dalam hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong menolong dan saling percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi
masyarakat merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal materiupah. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan
masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu kota Jakarta.
Dalam aras makro, rendahnya lingkungan sosial disebabkan oleh beberapa faktor antara lain menguatnya budaya negatif dan gaya hidup konsumtif-
individualis, policy bias dan perdagangan bebas. Perilaku negatif masyarakat dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan
longgarnya tatanan sosial dalam masyarakat. Rendahnya SDM dalam doktrin teori liberal merupakan penyebab kemiskinan. Namun dalam kasus P. Panggang
dan P. Pramuka, mereka menganggap bahwa perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan SDPL disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah,
keterdesakan akibat beroperasinya kapal-kapal modern, lemahnya penegakan hukum dan tiadanya keteladanan pemerintah dalam pemeliharaan SDPL.
4 Rendahnya Lingkungan Politik
Alasan rendahnya lingkungan politik Rendahnya lingkungan politik bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal
konflik sosial dengan pendatang dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan keterlibatan para pemimpin mereka dalam proyek-proyek pemerintah. Konflik
dengan pendatang berasal dari beroperasinya nelayan luar Kepulauan Seribu yang melakukan aktivitas penangkapan dengan alat tangkap terlarang trawl yang
jelas-jelas dilarang dan merusak lingkungan. Sifat alat tangkap yang menggerus seluruh ikan di dasar dan permukaan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan
nelayan-nelayan keciltradisional. Disamping itu keterlibatan para pemimpinaparat desa dalam tender-tender pemerintah yang menyebabkan adanya
kecurigaan masyarakat karena ketidak beresan dalam pelaksanaan
pembangunanprogram. Kurangnya transparansi di kalangan masyarakat dan semakin terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka dan kritis
dalam menghadapai para pemimpinaparat desa yang melanggar. Isu dan permasalahan yang muncul
• Konflik pemanfaatan sumber daya alam
Konflik biasanya terjadi terkait dengan sumber daya yang sebelumnya bebas diakses sebagai milik bersama tetapi sekarang menjadi komoditas seperti
ekosistem terumbu karang. Lingkungan sosial dan lingkungan alam berkorelasi positif. Semakin terdegradasi lingkungan alam, tingkat kohesi sosial semakin
rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat banyak konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan lingkungan alam
yang kritis. Konflik perebutan sumber daya PL di Kepulauan Seribu dipicu juga
karena keterbatasan akses pemanfaatan yang disebabkan karena penggunaan teknologi penangkapan yang tidak berimbang. Itulah yang terjadi umpamanya
antara nelayan tradisional dengan nelayan yang memiliki teknologi tangkap yang lebih modern seperti kapal arad, mouroami dan jaring payang. Meskipun faktanya
gesekan yang berpotensi konflik itu lebih banyak disebabkan oleh beroperasinya armada tangakap arad dengan nelayan tradisional. Masyarakat mengaku setalah
armada tangkap tersebut banyak beroperasi, jumlah hasil tangkapan ikan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka makin berkurang. Anehnya meskipun dimasukkan
dalam kategori alat tangkap terlarang, aparat hukum yang mengetahui hal tersebut tetap tidak bisa berbuat apa-apa dan bahkan ada kesan pembiaran. Tidak jelasnya
definisi trawl dan tegasnya aparat hukum menjadi alasan bagi nelayan-nelayan arat untuk tetap beroperasi di wilayah Kepulauan Seribu.
• Hubungan dengan pemerintah daerah meningkat
Sejalan dengan perubahan status Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten, mendekatkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah. Secara umum menurut
masyarakat, komitmen, kebijakan dan pelayanan informasi dari pemerintah daerah cukup baik. Akses terhadap pemerintah juga lebih baik mengingat P. Pramuka
merupakan pusat ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga semua aktivitas
pemerintahan Kepulauan Seribu lebih banyak berada di P. Pramuka. Hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat P. Pramuka dan P. Panggang
yang mempunyai jarak terdekat dari P. Pramuka, disamping makin meningkatnya akses terhadap layanan pemerintah.
• Tingkat pengetahuan dan kekritisan masyarakat meningkat
Perubahan status menjadi Kabupaten dengan pusat ibu kota di P. Pramuka, menjadikan wilayah ini sebagai pusat informasi Kepulauan Seribu. Hal ini
mendorong masyarakat di P. Pramuka khususnya dan Kelurahan P. Panggang umumnya lebih terbuka terhadap masuknya perubahan dan lebih mudah dalam
mengakses berbagai informasi lebih dari satu sumber. Meskipun masih dirasa masih minim sumber informasi seperti ketersediaan koran lokal, akses internet
dan telpon rumah, namun masyarakat kelurahan P. Panggang terlihat lebih kritis dan lebih tinggi kualitas SDM nya di bandingkan dengan masyartakat pulau-pulau
lain di Kepulauan Seribu. •
Akses terhadap sumber daya terbatas Terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya PL bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti teknologi, modal, pasar dan informasi. Realitas ini terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka dalam bentuk menurunnya produktifitas
nelayan keciltradisional karena beroperasinya kapal-kapal dengan teknologi penangkapan yang lebih maju. Nelayan pengguna jaring payang, muoroami dan
purse seine dengan kecanggihan teknologinya bisa mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Selain itu perahu yang digunakan antara kapal motor dengan
perahu motor tempel, juga berpengaruh terhadap akses pemanfaatan sumber daya PL.
Keterbatasan akses terhadap SDPL juga bisa dipicu karena ketiadaan modal dan pasar. Minimnya modal bagi nelayan kecil, tidak mempunyai akses
terhadap pembeli, dan informasi harga ikan yang dimainkan oleh kelompok bakul, menjadikan ketergantungan yang terus menerus dalam hubungan yang ekploitatif
antara nelayan kecil dengan baku atau antara buruh nelayan dengan juragan.
• Kebijakan pemerintah yang bias policy bias
Pemerintah tidakkurang melayani Masyarakat P. Panggang merasakan bahwa meskipun telah terjadi
perubahan status Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administratif, perilaku pemerintah sebagai abdi masyarakat belum terlihat. Masyarakat melihat
pemerintah kurang memberikan penyuluhan, pemerintah sepertinya tidak mau tahu kebutuhan masyarakat, pemerintah kurang membantu pembiayaan usaha,
terlihat kurang koordinasi, kurang komunikasi, tidak transparan dalam pelaksanaan pembangunan dan kurang perhatian. Baihaqie 2004 menyatakan
bahwa hal itu terjadi karena ketertutupan pemerintah terhadap masyarakat dan tidak adanya keteladanan pemerintah di mata masyarakat. Disamping itu
ekslusifitas pemerintah dan profesinya sebagai PNS menjadikan mereka berjarak dengan masyarakat dan merasa profesi lebih baik dari masyarakat umumnya.
Pembangunan tidak sesuai Masyarakat P. Panggang melihat pembangunan sarana dan prasarana yang
selama ini ada tidak bisa dioperasionalkan dengan baik. Sarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan tidak berfungsi untuk pelayanan sebagaimana mestinya.
Pendekatan pembangunan yang selama ini berjalan menurut masyarakat masih berisfat fisik dan inisiatif dari pemerintah, masyarakat jarangtidak pernah
dilibatkan. Sehingga seringkali terjadi pembangunan sarana yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan sarana yang dibutuhkan justru tidak
terbangun. Masyarakat menilai banyak terjadi pemborosan biaya pembangunan karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak
memperhatikan kondisi ekosistem. Baihaqie 2004 menemukan pembangunan sarana yang menggunakan terumbu karang sebagai pondasi dan konversi lahan
terbuka menjadi lahan bangunan, banyak sarana rusak dan tidak terawat karena tidak memperhatikan perilaku masyarakat setempat.
Kepadatan jumlah penduduk Kepadatan penduduk menyebabkan tingkat kenyamanan dan kualitas
hidup berkurang. Luas P. Panggang yang hanya ± 9 Ha dengan jumlah penduduk saat ini mencapai 5481 jiwa, menjadikan kondisi bangunan rumah berdesak-
desakan, sempit dan rapat. Keterbatasan lahan pada satu sisi dan jumlah
penduduk yang tinggi pada sisi lain, menjadikan daya tampung P. Panggang sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Harusnya
pemerintah peka terhadap masalah ini dengan mengoptimalkan padatnya penduduk dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pelibatan
masyarakat dalam pembangunan sarana padat karya, fasilitasi pengembangan usaha, pelatihan bagi generasi mudanya dan mengupayakan relokasi penduduk ke
pulau lain yang sejenis. Namun pemerintah terlihat kurang berupaya maksimal dalam menyikapi permasalahan kepadatan penduduk di P. Panggang.
Penegakan hukum yang lemah Lemahnya penegakan hukum menurut masyarakat karena ketidaktegasan
aparat dalam menindak setiap pelanggaran. Bahkan menurut Baihaqie 2004 ada upaya menutupi karena banyak terjadi pelanggaran hukum oleh berbagai pihak
terutama dalam pemanfaatan ekosistem pesisir seperti pemanfaatan terumbu karang sebagai bahan bangunan, penggunaan alat tangkap terlarang dalam
menangkap dan penuh dengan aroma korupsi pada setiap pelanggar yang ditindak. Akhirnya tidak muncul rasa takut apalagi bertanggungjawab terhadap kelestarian
ekosistem bagi masyarakat karena mereka menganggap setiap pelanggaran pasti akan selesai dengan cara ”damai” asal dengan persediaan materi uang yang
cukup. Bahkan masyarakat melihat bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dilindungi oleh aparat keamanan. Kondisi seperti inilah
menyebabkan terjadinya apatisme di lingkungan masyarakat dan akhirnya masyarakatpun ikut serta dalam melakukan kerusakan terhadap sumber daya
pesisir dan laut. Modernisasi perikanan
Modernisasi perikanan tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi alat tangkap dan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Merebaknya operasi
armada arat adalah salah satu contoh nyata modernisasi perikanan yang berdampak kepada semakin turunnya hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan kecil.
Begitupun antara nelayan-nelayan armada besar seperti muoroami, payang, purse seine
, lampara dasar dengan nelayan pancing, bubu dan pengguna armada motor tempel, telah mengakibatkan kesenjangan dalam produktifitas perikanan.
Modernisasi perikanan yang tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan perikanan
yang tegas seperti zonasi penangkapan, pemberlakuan kuota hasil tangkap dan perlindungan akses bagi nelayan kecil, berpotensi menimbulkan konflik sosial
dalam pemanfaatan sumber daya. Kebijakan bias perkotaan
Kebijakan yang bias perkotaan tercermin dari pengadaan sarana prasarana yang sangat terbatas di P. Panggang dan P. Pramuka. Keterbatasan tersebut masih
terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, pembiayaan usaha, sarana transportasi antar pulau dan mobilitas barang dan jasa. Fakta tersebut terlihat dari
ketimpangan dari sisi SDM antara Kota-kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu, angka melek huruf, angka harapan hidup dan pendapatan rata-rata.
Terbukti dari parahnya tingkat kemiskinan di kepulauan Seribu dan tingginya proporsi responden miskin di Kepulauan Seribu. Kondisi geografis yang terpencil
dan berupa pulau-pulau diduga sebagai penyebab terhambatnya akses pembangunan ke Kepulauan Seribu.
Pola investasi wisata bahari yang ekslusif Pemerintah DKI Jakarta telah menjadikan Kabupaten Kepulauan Seribu
sebagai Kabupaten wisata yang mengandalkan keindahan laut sebagai modal investasi. Banyaknya pulau-pulau kecil sebagai tempat wisata dan pulau-pulau
yang dimiliki oleh perorangan maupun swasta, mendorong pola kepemilikan terhadap pulau berubah dari state property menjadi private property. Apalagi
setelah UU No. 27 tahun 2008 diundangkan maka kepemilikan terhadap pulau beserta sumber daya yang berada di dalamnya akan semakin dijamin. Masyarakat
Kelurahan P. Panggang tidak banyak bisa mendapatkan manfaat dari adanya pariwisata tersebut karena upaya melibatkan warga dalam pengelolaan tempat
wisata tersebut sangat minim. Hasil investasi kegiatan wisata maupun penyewaan bagi pulau-pulau tersebut tidak ada sama sekali yang mengalir untuk masyarakat
Kepulauan Seribu. Sebaliknya mobilitas jasa dan keuntungan investasi tersebut banyak lari ke Jakarta dan elit birokrasi yang berkolaborasi dengan para
pengusaha. Dalam aras makro, rendahnya lingkungan politik karena disebabkan pola
pembangunan masih bersifat top-down, bias perkotaan dan konsentrasi modal di perkotaan. Pola pembangunan top-down belum mengakomodasi sepenuhnya
kebutuhan masyarakat dan pemerintah senantiasa bertindak sebagai inisiatif. Banyak sarana umum yang dibangun namun pada akhirnya tidak terawat dan
mudah rusak karena sarana yang ada tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban dari masyarakat dan apatisme muncul
berbarengan dengan kerusakan sarana tersebut. Bias perkotaan terlihat jelas dalam tingkat pendidikan dan ketersediaan
fasilitas pendidikan maupun kesehatan antara Jakarta dan Kepulauan Seribu atau antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Akumulasi kemakmuran terlihat di kota
dan akumulasi kemiskinan dengan jelas nampak di pedesaan. Demikian yang terlihat antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Kebijakan bias perkotaan tersebut
berdampak posisif bagi pertumbuhan ekonomi wilayah karena padatnya aktivitas produksi di perkotaan. Hal itu menyebabkan terjadinya konsentrasi modal di
Jakarta dan menarik daerah-daerah di sekelilingnya termasuk Kepulauan Seribu untuk memenuhi kebutuhan pasar dan masyarakat Jakarta. Indutrialisasi dan gaya
hidup masyarakat Jakarta mendorong munculnya pemanfaatan SDA yang ekploitatif dan destruktif. Sistem produksi ekploitatif melahirkan konflik sosial
antar masyarakat pesisir dalam memanfaatkan SDA.
5 Rendahnya prasarana dan sarana
Alasan rendahnya prasarana, sarana dan pelayanan Keterbatasan sarana terlihat dari minimnya gedung sekolah khususnya
pada tingkat SLTP dan SMU. Disamping itu adanya sarana kesehatan juga tidak dibarengi dengan kelengkapan fasilitas dan peralatan kesehatan. Kondisi
Kepulauan Seribu berupa pulau menuntut adanya sarana transportasi antar pulau. Minimnya sarana transportasi mengakibatkan jarak tempuh yang cukup jauh
sekitar 60 km antar pulau dan dari P. PanggangP. Pramuka ke pusat ibu Kota menjadi semakin sulit dijangkau.
Isu dan permasalahan yang berkembang •
Keterbatasan sarana transportasi laut antar pulau Kondisi geografis Pulau Seribu yang berupa pulau-pulau kecil
membutuhkan sarana transportasi bagi setiap warganya untuk saling berhubungan
dengan penduduk lain di pulau yang lain. Namun, keterbatasan sarana transportasi antar pulau menjadikan hal itu tidak dapat dinikmati masyarakat.
Akibatnya kepentingan masyarakat sering terhambat, usaha tidak lancar, pendidikan tidak berjalan efektif karena lokasi sarana pendidikan yang jauh dan
akses terbatas, dan seringkali menyebabkan kematian bagi penduduk yang sakit parah dan tidak bisa berobat karena keterbatasan sarana transportasi.
Keterbatasan sarana transportasi ini harusnya bisa diatasi oleh pemerintah dengan penyediaan sarana, namun yang ada lagi-lagi justru sarana yang terbangun tidak
banyak dibutuhkan masyarakat. Sarana- sarana transportasi yang ada banyak dimiliki oleh swasta dan perorangan dengan biaya sewaongkos yang bervariasi
tergantung tujuan. •
Pemeliharaan fasilitas umum menurun Banyak sarana-sarana umum setalah dibangun tidak terawat dengan baik.
Contohnya WC umum yang terdapat di P. Panggang, TPI yang hanya melayani transaksi ikan-ikan skala kecil dan sarana umum lainnya. Meskipun harus diakui
bahwa pemerintah telah membangun banyak sarana umum yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Perubahan status menjadi Kabupaten telah
mendorong munculnya berbagai pembangunan sarana umum di P. Panggang dan P. Pramuka.
• Jumlah guru dan murid meningkat, tapi tidak dibarengi dengan sarana
memadai Kenaikan jumlah guru dan murid makin meningkat, tercatat jumlah murid
SD mencapai sekitar 741 orang, SMP sebanyak 336 orang, SMU sebanyak 437 orang. Jumlah guru juga lumayan banyak, SDMI sebanyak 61 orang, SMP
sebanyak 27 orang, SMU sebanyak 22 orang. Namun, gedung SD hanya ada 3 unit dan 1 unit MI, SMP 1 unit dan SMU juga 1 unit. Kenaikan jumlah anak yang
sekolah makin tinggi setiap tahunnya. •
Pelayanan kesehatan meningkat Pelayanan terhadap kesehatan meningkat jika dilihat dari sarana yang
tersedia. RS 1 unit yang terdapat di P. Pramuka, puskesmas hanya 1 unit, posyandiBKIA sebanyak 5 unit di seluruh Kelurahan P. Panggang, merupakan
bentuk peningkatan program pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Meskipun sayangnya fasilitas peralatan dan jaminan kesehatan masih sangat terbatas.
Pelayanan kesehatan ini juga tercermin pada angka pengikut program KB makin besar.
• Akses listrik terbatas
Menurut hasil Podes 2006 dan survei 2008, hampir semua keluarga di P. Panggang dan P. Pramuka menggunakan listrik tapi tidak bersumber dari PLN
Non-PLN. Pemakaian listrik dilakukan dengan sistem pergiliran dan tidak bisa menyala sepanjang waktu. Jarak yang jauh dan dipisahkan dengan laut menjadi
penyebab belum terpasangnya jaringan listrik dari PLN. Akses listrik yang terbatas mengakibatkan aktivitas masyarakat yang menggunakan listrik hanya
dapat dilaksanakan di malam hari. •
Pelaksanaan proyek sering terganggu karena korupsi Masyarakat
melihat adanya
indikasi korupsi dan pemborosan anggaran negara dalam proyek-proyek pemerintah. Seperti pembangunan rumah sakit yang
terdapat di P. Pramuka, meskipun bangunan fisik sudah terbangun tetap kurang berfungsi optimal bagi pelayanan kesehatan karena tidak tersedianya peralatan
yang memadai. Masyarakat melihat terdapat kesalahan dalam pembangunan sarana umum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau dilaksanakan
tapi tidak optimal. Pemborosan biaya juga terlihat pada sarana-sarana umum lain seperti WC umum yang terbangun tapi kurang terawat dan tidak terpakai lagi.
Masyarakat menduga biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan tidak terealisasi secara maksimal sehingga kualitas bangunan rendah dan mudah rusak.
• Akses terhadap informasi meningkat
Salah satu kemajuan yang dicapai pemerintah adalah fasilitasi akses informasi. Menurut hasil survei hampir 97 masyarakat di P. Panggang dan P.
Pramuka, mempunya televisi dan bisa mengakses informasi. Bahkan terdapat sekiatr 16 responden yang dapat mengakses lebih dari satu sumber informasi.
Disamping penggunaan HP yang masif di kalangan masyarakat menjadi jalan keluar bagi terbukanya akses informasi dari pulau seribu ke luar. Namun
demikian, hal itu mendorong pola konsumtif dan perubahan kebudayaan. Perilaku
individualis, konsumtif, materialis mulai menyerang masyarakat Kelurahan P. Panggang karena dorongan untuk tampil trendy sesuai mode menjadi ukuran
pergaulan. Kurangnya pelayanan dan keterbatasan sarana tersebut disebabkan karena
tata kelola pemerintahan yang jelak, perilaku korup birokrasi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan serta faktor geografis dan lingkungan PPK yang
terpencil dan berjauhan satu sama lain. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kelurahan P.
Panggang tidak semata disebabkan karena kerusakan sumber daya pesisir dan laut meskipun hal itu mendempati proporsi masalah terbesar. Namun, kebijakan
pemerintah yang kurang tepat dan faktor eksternal seperti perdagangan bebas, pola investasi kapitalistik, pemberian hak istiewa yang melahirkan privatisasi
lahan PPK, merupakan penyebab-penyebab lain rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah utamanya menurut pengakuan masyarakat pesisir
adalah karena kurangnya pelayanan pemerintah atau bisa disebut karena banyaknya kebijakan dalam pengelolaan SDPL dan penanggulangan kemiskinan,
kurang tepat dijalankan. Hal itu mendorong masyarakat berperilaku negatif dengan merusak ekosistem pesisir dan laut yang berujung pada penurunan daya
dukung ekologis dan lingkungan PPK. Penurunan daya dukung lingkungan dan ekologis PPK menyebabkan turunnya produktifitas nelayan yang pada gilirannya
menurunkan kesejahteraan. Gambar 14 di bawah ini menjelaskan kausalitas penurunan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang. Potret
permasalahan dilihat dari aras mikro permasalahan pokok, permasalahan pendukung dan aras makro yang merupakan permasalahan yang lebih berisifat
eksternal.
Gambar 14 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
TINGKAT KESEJAHTERAAN
RENDAH Rendahnya
lingkungan
alam
Rendahnya lingkungan
ekonomi Rendahnya
lingkungan sosial
Rendahnya lingkungan
politik Kurangnya
sarana dan pelayanan
Degradasi SDPL
TK, dll Kualitas pesisir
laut SDPL menurun
Akses terhadap sumber daya
terbatas Konflik
pemanfaatan SDPL akibat
modernisasi perikanan
Fragmentasi politik
Policy bias Ketergantunga
n thd pasar Konsentrasi
modal di perkotaan
Ketergantungan thd pasar tinggi
Kurangnya diversifikasi
usaha Hilangnya
sebagian pendapatan krn
korupsi
SDM rendah krn fasilitas
pendidikan tdk memadai
Pola hubungan patron-klien
yg eksploitatif Interaksi sosial
antar warga menurun
Konflik pemanfaatan
SDPL
Sarana transportasi
antar pulau terbatas
Fasilitas tng pengjar
pendidikan terbatas
Tata kelola pemerintahan
yg jelek
Minimnya perawatan
sarana umum Fasilitas
kesehatan tng medis terbatas
Kompradorisa si
Keterbatasan akses
Pembangunan bias perkotaan
Kekurangan gizi
Pola pembangunan
top-down Perdagangan
bebas
Prilaku negatif individu
Pola investasi kapitalistik
Strategi pengelolaan
SDPL tidak tepat Privatisasi
lahan Mode produksi
kapitalistik
Terbatasnya akses
pembiayaan
KAPITALISME NEGARA
BERKEMBANG
Eksploitasi SPL
berlebihan Kerentanan
usaha nelayan Akses thd
pemanfaatan SDPL terbatas
Rendahnya produktifitas
masyarakat Keterpencilan
faktor geografis lain
Menguatnya budaya negative
pola hidup individualis
Policy bias Perundang-
undangan yg bias
Gagalnya program
kemiskinan Prilaku korup
birokrasi pemborosan
biaya
Gambar 14 menjelaskan hirarki permasalahan dari tingkatan terendah sampai yang tertinggi. Permasalahan terendah merupakan permasalahan pokok
yang lebih bersifat teknis dan internal. Permasalahan pokok ini dijelaskan dengan melihat rendahnya lingkungan kontekstual yang dapat menjadi jalan keluar dari
kemiskinan. Perbaikan lingkungan kontekstual setidaknya menjadi pintu masuk bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional
khususnya. Perbaikan lingkungan alam menjadi prioritas mengingat ketergantungan penduduk Kelurahan P. Panggang yang sangat tinggi terhadap
kelestarian SDPL. Perbaikan lingkungan alam dapat dilakukan dengan memperbaiki kebijakan pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dipotong apabila ketidakadilan akibat kekuasaan dan hak- hak istimewa juga dihapuskan atau setidaknya akses terhadap SDPL dapat
terdistribusi secara adil. Upaya monopolisasi harus dikurangi, elit birokrasi bekerja sesuai tugas dan peranannya, perundang-undangan dievaluasi kembali dan
masyarakat diberi ruang dan hak dalam kepemilikan lahan PPK. Dengan perluasan akses bagi masyarakat dalam memanfaatkan SDPL, maka kemiskinan
yang menjerat nelayan tradisional mempunyai harapan untuk dientaskan.
7.2 Katerkaitan Daya Dukung dan Kesejahteraan