Kandungan Kandungan Kandungan Kandungan

ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 209 209 209 209 Perlakuan asam absisat sebagai inhibitor perkecambahan dapat menghambat laju respirasi umbi. Hal ini disebabkan karena laju respirasi berbanding lurus dengan pertunasan. Menurut Kiswanto 2005, umbi setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme dan proses kehidupan lainnya. Proses metabolisme yang penting adalah respirasi dan transpirasi. 4. 4. 4.

4. Kadar Kadar

Kadar Kadar Air Air Air Air Berdasarkan hasil penelitian diketahui kadar air umbi kimpul mengalami penurunan setelah penyimpanan Tabel 4. Namun demikian, pemberian asam absisat dengan konsentrasi 10 dan 20 ppm tidak menghambat penurunan kadar air. Hal ini ditunjukkan penurunan kadar air yang tidak berbeda nyata antara umbi tanpa perendaman dengan perlakuan. Menurut Sukmawati 1987, penurunan kadar air selama penyimpanan dapat disebabkan karena proses transpirasi, dan air tersebut dalam umbi cenderung bergerak ke daerah yang kelembaban udaranya lebih kecil Asgar dkk. 2010 Tabel Tabel Tabel Tabel 4. 4. 4.

4. Perubahan Kadar Air Umbi Kimpul setelah Penyimpanan 45 Hari

Perlakuan Kadar Air Pasca Panen 71,67 b ± 24,82 Tanpa Perendaman 55,00 a ± 21,00 Perendaman Aquades 57,50 a ± 9,38 Perendaman Asam absisat 10 ppm 58,33 a ± 24,54 Perendaman Asam absisat 20 ppm 58,41 a ± 22,37 Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada uji DMRT 5 Perlakuan asam absisat 10 ppm yang diberikan belum menghambat penurunan kadar air umbi kimpul selama penyimpanan disebabkan karena kurang efektifnya konsentrasi asam absisat dalam menghambat pertunasan umbi. Menurut Marpaung 1994, perlakuan zat yang menekan pertunasan lebih dini dan menekan aktivitas sel, mengakibatkan penurunan kadar air lebih kecil. Menurut Suttle et al. 2012, tidak efektifnya asam absisat dalam menghambat pertunasan ini mungkin mencerminkan metabolisme asam absisat yang cepat pada jaringan umbi, sedangkan menurut Rossouw 2008, penghambatan asam absisat sangat tergantung pada konsentrasi serta rasio asam absisat dan giberelin endogen. 5. 5. 5.

5. Kandungan Kandungan

Kandungan Kandungan Total Total Total Total Fenol Fenol Fenol Fenol Berdasarkan hasil penelitian, kandungan total fenol setelah penyimpanan mengalami kenaikan secara signifikan dibanding sebelum penyimpanan Tabel 5. ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 210 210 210 210 Tabel Tabel Tabel Tabel 5555. Kandungan Total Fenol Umbi Kimpul setelah Penyimpanan 45 Hari Perlakuan Kadar Total Fenol mg 100 gram tepung kimpul Pasca Panen 0,89 a ± 0,13 Tanpa Perendaman 1,90 bc ± 0,14 Perendaman Aquades 2,67 d ± 0,41 Perendaman Asam absisat 10 ppm 2,33 cd ± 0,30 Perendaman Asam absisat 20 ppm 1,67 b ± 0,41 Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada uji DMRT 5 Peningkatan kandungan fenol ini disebabkan oleh konsentrasi antosianin dan flavonol yang meningkat selama penyimpanan, sehingga dengan meningkatnya jumlah senyawa-senyawa fenol tersebut dapat menyebabkan kenaikan kadar total fenol Marliyana dkk., 2006. Perlakuan asam absisat 10 ppm menyebabkan kenaikan kandungan fenol total dapat disebabkan karena konsentrasi asam absisat tersebut belum dapat menghambat pertunasan umbi. Menurut Ningsih 2007, pada saat germinasi selama 12 jam pertama, aktivitas lebih ke arah pertumbuhan, sedangkan pada germinasi antara 12 jam sampai 48 jam, aktivitas akan lebih ke arah produksi fenolik. Hal ini dapat terjadi karena biosintesis senyawa fenolik berada pada jalur yang sama dengan biosintesis hormon pengatur tumbuhan yaitu auksin. 6. 6. 6.

6. Kandungan Kandungan

Kandungan Kandungan Gula Gula Gula Gula Reduksi Reduksi Reduksi Reduksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gula reduksi pada umbi tanpa perendaman meningkat secara signifikan setelah penyimpanan sedang pada perlakuan asam absisat tidak mengalami peningkatan secara signifikan Tabel 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian asam absisat dengan konsentrasi 10 dan 20 ppm dapat menghambat peningkatan kadar gula reduksi. Penelitian yang dilakukan Zhang et al. 2002, menyimpulkan total gula umumnya akan meningkat pada awal penyimpanan, setelah itu akan stabil. Tabel Tabel Tabel Tabel 6666. Kandungan Kadar Gula Reduksi Umbi Kimpul setelah Penyimpanan 45 Hari Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Kadar Kadar Kadar Kadar Gula Gula Gula Gula Reduksi Reduksi Reduksi Reduksi mg mg mg mg 100 100 100 100 gram gram gram gram tepung tepung tepung tepung kimpul kimpul kimpul kimpul Pasca Panen 1531,68 a ± 94,96 Tanpa Perendaman 3611,31 b ± 837,51 Perendaman Aquades 3835,62 b ± 955,19 Perendaman Asam Absisat 10 ppm 2432,11 a ± 615, 60 Perendaman Asam Absisat 20 ppm 1811,26 a ± 27,64 Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada uji DMRT 5 ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 211 211 211 211 Penyimpanan pada suhu ruang akan meningkatkan proses respirasi dan juga akan mempengaruhi pembentukan gula sederhana. Perubahan kandungan gula reduksi tersebut disebabkan oleh pemecahan karbohidrat menjadi gula. Gula tersebut dapat digunakan untuk proses respirasi dan sebagian yang tidak digunakan akan terakumulasi dalam umbi dan menyebabkan kenaikan gula reduksi umbi, sehingga proses respirasi menyebabkan penurunan kandungan air dan peningkatan kandungan gula reduksi Sukmawati, 1987. KESIMPULAN KESIMPULAN KESIMPULAN KESIMPULAN Perlakuan ABA dapat menghambat peningkatan laju respirasi dan peningkatan kandungan gula reduksi, tetapi tidak mempengaruhi penyusutan berat umbi dan penurunan kadar air umbi selama penyimpanan. Perlakuan ABA 20 ppm secara signifikan menghambat peningkatan kandungan fenol total dan dapat menurunkan prosentase pertunasan sebesar 53. UCAPAN UCAPAN UCAPAN UCAPAN TERIMAKASIH TERIMAKASIH TERIMAKASIH TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada Tim Peneliti Biomateri Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNS yang telah membantu pendanaan penelitian ini. Daftar Daftar Daftar Daftar Pustaka Pustaka Pustaka Pustaka Asgar, A., A. Kartasih, A. Supriadi, dan H. Trisdyani. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan, Suhu dan Lama Pengeringan Kentang terhadap Kualitas Keripik Kentang Putih. Berita Biologi. 10 2: 217-226. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2012. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010. http:www.bps.go.id {23 Januari 2013}. Bantacut, T. 2010. Ketahanan Pangan Berbasis Cassava. Artikel Pangan. 19 1: 3-13. Goldsworthy, P. R. dan N. M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hu, B., X. Wan, X. Liu, D. Guo, dan L. Li. 2010. Abscisic Acid ABA - Mediated Inhibition of Seed Germination Involves a Positive Feedback Regulation of ABA Biosynthesis in Arachis hypogaea L. African Journal of Biotechnology. 9 11: 1578-1586. Kiswanto. 2005. Perubahan Kadar Senyawa Bioaktif Rimpang Temulawak dalam Penyimpanan Curcuma xanthorrhiza Roxb.. Buletin Agro Industri. 21: 1-10. ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 212 212 212 212 Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas yang Berbeda. Tugas Akhir. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Marliyana, S. D., T. Kusumaningsih, dan H. Kristinawati. 2006. Penentuan Kadar Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kulit Biji Ketapang Terminalia cattapa L.. Jurnal Alchemy. 5 1: 39-44. Marpaung, L. 1994. Pengaruh Zat Penghambat Pertumbuhan “Maleic Hydracid MH” terhadap Produksi dan Mutu Daya Simpan Umbi Bawang Merah. Jurnal Hortikultura. 4 1: 81-87. Moore, G. M. 1998. Tree Growth Regulators: Issues of Control, Matters of Management. Journal of Arboriculture. 24 1: 10-18. Ningsih, W. 2007. Evaluasi Senyawa Fenolik Asam Ferulat dan Asam p-Kumarat pada Biji, Kecambah dan Tempe Kacang Tunggak Vigna unguiculata. Skripsi. IPB, Bogor. Osunde, Z . . D. dan B. A. Orhevba. 2011. Effects of Storage Conditions and Pre-Storage Treatment on Sprouting and Weight Loss of Stored Yam Tubers. Journal of Stored Products and Postharvest Research. 2 2: 9-36. Pratiwi, H. H. 2008. Pengaruh Bahan Pelapis dan Sitokinin terhadap Kesegaran Cupat dan Umur Simpan Buah Manggis Garcinia mangostana L.. Skripsi. IPB, Bogor. Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg Ubi Kelapa dan Gembili. Jurnal Pascapanen.11:29-37. Rossouw, J. A. 2008. Effect of Cytokinin and Gibberellin on Potato Tuber Dormancy. Thesis. University of Pretoria, Pretoria. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 1 Edisi Ke-4. ITB, Bandung. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1976. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sukmawati, N. D. 1987. Perubahan Karbohidrat Umbi Uwi Dioscorea alata L selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Suttle, J. C., S. R. Abrams, L. D. S. Beltrán, dan L. L. Huckle. 2012. Chemical Inhibition of Potato ABA-8-hydroxylase Activity Alters in vitro and in vivo ABA Metabolism and Endogenous ABA Levels but Does Not Affect Potato Microtuber Dormancy Duration. Journal of Experimental Botany. 63 2: 1-9. Zhang, Z., C. C. Wheatley, dan H. Corke. 2002. Biochemical Changes during Storage of Sweet Potato Roots Differing in Dry Matter Content. Postharvest Biology and Technology. 24: 317-325. ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 213 213 213 213 KUALITAS KUALITAS KUALITAS KUALITAS SUSU SUSU SUSU SUSU DAN DAN DAN DAN PREVALENSI PREVALENSI PREVALENSI PREVALENSI MASTITIS MASTITIS MASTITIS MASTITIS DI DI DI DI PETERNAKAN PETERNAKAN PETERNAKAN PETERNAKAN CANGKRINGAN CANGKRINGAN CANGKRINGAN CANGKRINGAN YOGYAKARTA YOGYAKARTA YOGYAKARTA YOGYAKARTA Heru Heru Heru Heru Susetya, Susetya, Susetya, Susetya, Widagdo Widagdo Widagdo Widagdo Sri Sri Sri Sri Nugroho.Yatri Nugroho.Yatri Nugroho.Yatri Nugroho.Yatri Drastini, Drastini, Drastini, Drastini, Doddi Doddi Doddi Doddi Yudhabuntara Yudhabuntara Yudhabuntara Yudhabuntara Dyah Dyah Dyah Dyah Ayu Ayu Ayu Ayu Widiasih Widiasih Widiasih Widiasih Setyawan Setyawan Setyawan Setyawan Budiharta, Budiharta, Budiharta, Budiharta, Bambang Bambang Bambang Bambang Sumiarto Sumiarto Sumiarto Sumiarto Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, UGM herususetyaugm.ac.id ABSTRAK ABSTRAK ABSTRAK ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kualitas susu sapi dan prevalensi mastitis di peternakan Cangkringan Yogyakarta. Sebanyak 40 sampel susu diambil dari peternak untuk diperiksa kualitas susu dengan menguji keadaan dan susunan susu, isolasi bakteri, total plate count dan uji mastitis dengan IPB mastitis test. Hasil menunjukkan bahwa 9 sampel dikatagorikan lebih dari cukup, 22 sampel masuk katagori cukup dan 9 sampel lainnya termasuk pada katagori kurang dari cukup. Dari sampel terisolasi E.coli 3 sampel sedangkan bakteri Staphylococcus sp dapat diisolasi dari semua sampel susu. Uji mastitis memberi gambaran prevalensi mastitis subklinis cukup tinggi yaitu 57,5 yang didukung juga dengan pengujian total plate count yang menyatakan jumlah bakteri per ml, yaitu hanya 23 sampel yang jumlah koloni bakterinya kurang dari 1 juta per milliliter. Kualitas dan tingkat higienitas masih perlu diperbaiki dan prevalensi mastitis sub klinis juga cukup tinggi. Hasil ini akan sangat berguna untuk mendorong pemerintah lebih memberi perhatian pada peternak sapi perah di Cangkringan. Kata Kata Kata Kata kunci kunci kunci kunci : mastitis subklinis, kualitas susu, E.coli, Staphylococcus PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Susu adalah cairan yang berasal dari ambing ternak perah sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan. Penyakit radang jaringan ambing atau mastitis umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia Schroeder, 2012. Mastitis sangat menimbul merugikan secara ekonomis karena mengakibatkan penurunan produksi susu yang mencapai 70 dari seluruh kerugian akibat radang ambing tersebut. Adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta penurunan kualitas susu adalah akibat lain yang ditimbulkan oleh penyakit mastitis Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000. Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya Schroeder, 2012. Berbagai macam mikroorganisme dapat menyebabkan mastitis. Salah satu bakteri KODE KODE KODE KODE :::: D-4 D-4 D-4 D-4 ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 214 214 214 214 penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Dengan terapi antibiotika, S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam dan ini menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika Hoblet dan Eastridge 1992. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas susu dan prevalensi mastitis pasca erupsi Merapi di wilayah Cangkringan. Menurut laporan Tim Tanggap Darurat FKH UGM saat erupsi Merapi sapi perah adalah termasuk korban yang terkena imbas paling parah. Salah satu dampak yang cukup signifikan adalah gangguan pada ambing yang tentunya akan mengganggu produksi dan kualitas susu. METODE METODE METODE METODE PENELITIAN PENELITIAN PENELITIAN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan sampel berupa sapi perah milik anggota koperasi Sarono Makmur Wilayah Cangkringan Yogyakarta. Dengan menggunkana rumus untuk mendeteksi aras penyakit dengan asumsi prevalensi 20 yaitu 4 PQ L 2 dimana P adalah prevalensi P= 0,2 ; Q = 1- p 0,2 dan galat 10 maka didapatkan besaran sampel adalah : 64 ekor Martin et at, 1987. Setiap ekor diambil sampel susunya sebanyak 500 ml untuk uji kualitas susu dan terhadap sapinya diuji mastitis dengan metode IPB I. Faktor faktor yang diduga berasosiasi dengan mastitis diamati dan dijaring dalam kuesioner pendukung. Pemeriksaan terhadap kualitas susu meliputi pemeriksaan susunan dan keadaan susu. Pemeriksaan susunan susu dilakukan dengan mengukur berat jenis susu dengan menggunakan laktodensimeter, pemeriksaan kadar lemak dengan menggunkan butirometer dan menghitung bahan kering tanpa lemak total solid not fat susu dengan menggunakan rumus Fliesman dengan memasukkan nilai berat jenis susu dan kadar lemak susu. Untuk pengujian keadaan susu dinilai kebersihan susu, uji alkohol, uji derajat asam, uji reduktase biru metilen dan uji katalase. Hasil penggabungan nilai keadaan dan susunan dipakai untuk mengkatagorikan kulaitas susu menjadi kelompok kualitas baik, cukup dan kurang. Selain itu sampel dari sampel susu diuji mikrobiologi dengan mencoba mengisolasi dari sampel susu yaitu bakteri E coli dan Staphylococcus serta menghitung jumlah koloni bakteri susu. Secara singkat isolasi bakteri E coli dilakukan dengan menggunakan media BGLB Brilliant Green Lactose Broth, satu usa steril dimasukkan dalam sampel susu selanjutnya ditanam pada media BGLB dan diinkubasikan 37 C selama 12-24 jam. Selanjutnya sampel yang tumbuh ditanam pada media EMB Eosin Metilene Blue agar dengan usa di streakkan ke permukaan agar. Setalah diinkubasikan 37 C maka koloni yang tumbuh ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 215 215 215 215 dengan warna metalic pada EMB agar adalah isolat bakteri E. Coli. Selanjutnya dari EMB agar dilanjutkan ke SMAC agar Sorbitol Mc Conkey Agar. E rColi yang tumbuh dan tidak berwarna dicatat tersendiri sebagai E coli SMAC. Untuk mengisolasi bakteri Staphylococcus, media yang digunakan adalah MSA Manitol Salt Agar dan VJA Vogel Jhonson Agar. Dari sampel susu usa yang telah dicelupkan selanjutnya diulasakan ke agar MSA atau VJA, setelah inkubasi 24 jam koloni yang tumbuh diamati dan selanjutnya diuji katalase dan koagulase. Uji katalase dilakukan dengan mengambil satu usa koloni yang tumbuh di MSA maupun VJA. Setelah ditempatkan pada obyek glas dan ditetesi H2O2 maka akan diamati timbulnya gelembung yang menunjukkan isolat yang Staphylococcus katalase positif. Uji kolagulase juga dilakukan terhadap isolat yang tumbuh di MSA maupun VGA. Dengan menambahkan plasma kelinci dan mengamati terjadinya koagulasi. Selain pengujian kualitas susu, uji mastitis dengan reagen IPB1 dan juga isolasi bakteri dengan menggunakan metode Plate count agar. HASIL HASIL HASIL HASIL DAN DAN DAN DAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengamatan dan evaluasi dilapangan didapatkan 40 sapi yang terpilih sebagai sampel semuanya adalah milik anggota koperasi Sarono Makmur di Cangkringan. Dari 40 sampel sapi yang diambil sebagai sampel, masing masing kwartir puting di uji dengan menggunkan IPB mastitis test dengan menggunakan bantuan alat Paddel. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dengan uji mastitis terhadap 40 sapi didapatkan data yaitu 17 sampel 42,5 menunjukkan raksi negatif terhadap IPB mastitis test sedangkan 21 sampel memberikan reaksi positif satu, 2 sampel positif 2. Hal ini berarti tingkat positif mastitis berdasarkan IPB test cukup tinggi 57,5 . Hal ini menunjukkan informasi bahwa problem mastitis sub klinis cukup banyak pasca bencana merapi. Mastitis sub klinis adalah menjadi hal yang problem utama dalam peternakan sapi perah. Meskipun secara klinis penyakit ini masih belum nampak namun jika tidak ditangani secara benar akan berkembang menjadi mastitis klinis yang tentunya akan sangat merugikan petenak. Mastitis sub klinis bisa dicegah dengan penanganan yang lebih baik dan dengan meningkatkan pengetahuan peternak. Namun pada kondisi pasca merapi ini tentunya perhatian peternak masih lebih memetingkan kesejahteraan diri dulu terutama untuk bisa hidup layak sehingga kepentingan terhadap ternyaknya menjadi berkurang. Disamping itu kendala sarana dan prasarana juga sangat mengganggu. fasilitas air bersih yang sangat kurang, ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 216 216 216 216 Tabel Tabel Tabel Tabel 1111. Hasil Kualitas Susu komponen yang diuji kriteria hasil pengujian susu sapi dari peternak standar mutu susu keadaan susu warna, rasa, bau tidak berubah 12,5 540 tidak ada perubahan berubah 87,5 3540 kebersihan bersih sekali 0 00 tidak ada kotoran atau benda asing bersih 17,5 740 sedang 37,5 1540 kotor 32,51340 kotor sekali 0,5 240 uji alkohol negatif 2,5 140 negatif positif 97,5 3940 2-5 jam uji reduktase 2jam 10 440 2-5 jam 42,5 1740 5 jam 47,5 1940 derajat asam SH rata- rata ± SD 7,325± 2,9211 6- 7,5 susunan susu berat jenis suhu 27,5C rata- rata ± SD 1,027 ± 0,0026 1,027 kadar lemak rata- rata ± SD 3,495 ± 1,7227 3 BKTL Bahan Kering Tanpa Lemak rata- rata ± SD 8,433 ± 0,9909 7,8 Dari data 40 sampel susu yang diperiksa susunan dan keadaan susunya dengan menguji keadaan yaitu warna bau rasa, kebersihan uji alkohol serta uji reduktase methylenblue serta derajat asam serta pemeriksaan susunan susu dengan menguji berat jenis susu dengan lactodensimeter, uji kadar lemak dengan menggunakan butirometer gerber serta menghitung berat kering tanpa lemak susu dengan metode fliesmena maka kemudian susu akan dikatagorikan menjadi susu katagori baik, lebih dari cukup, cukup, kurang dari cukup dan jelek berdasarkan standar. Hasilnya memperlihatkan bahwa kualitas susu terlihat tidak ada yang masuk katagori baik, masing masing 9 sampel berada pada katagori lebih dari cukup dan kurang cukup, sementara 22 sampel masuk pada katagori cukup. Hal ini juga dapat dipahami bahwa kondisi pasca gempa menyebabkan peternak tidak dapat berbuat banyak dalam memelihara ternaknya sehingga kualitas susu yang dihasilkan masih harus diperbaiki. Hasil pemeriksaan terhadap bakteri yang terisolasi yaitu E coli dan Staphylococcus menunjukkan bahwa 3 dari 40 sampel dapat terisolasi bakteri E.coli sementara dari 40 sampel tersebut semua dapat terisolasi bakteri Staphylococcus. Hal ini juga semakin menunjukkan bahwa ada masalah yang cukup serius terhadap kualitas susu di Wilayah Cangkringan Pasca erupsi merapi. Data penelitian jumlah koloni bakteri yang dihitung juga semakin menguatkan ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 217 217 217 217 kondisi ini yaitu hanya 23 sampel saja yang memiliki jumlah koloni bakteri kurang dari satu juta coloni. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah mencemari kapan dan dimana saja sepanjang penanganan susu tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada susu sudah terjadi sejak proses pemerahan dan dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, ember, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Secara alami ambing mempunyai alat pertahanan terhadap penetrasi kuman penyakit. Alat ini yaitu otot spinkter yang berfungsi menutup saluran dan terdapat pada ujung lubang puting. Tetapi, otot spinkter tidak dapat menahan 100 masuknya kuman karena otot telah lemah, terdapat susu di ujung puting, ada luka, dan sebagainya. Ambing sehat, spinkter dan saluran puting tidak rusak, udara nyaman, dan jumlah bakteri yang masuk sedikit tidak menyebabkan penyakit mastitis. Bila salah satu komponen tersebut berubah maka terjadi penyakit mastitis. Makin banyak perubahan makin tinggi tingkat penyakit mastitis yang terjadi atau makin parah. Beberapa orang menyatakan bahwa bakteri mastitis masuk ke dalam ambing di antara waktu pemerahan. Lalu, di dalam ambing bakteri tumbuh cepat karena lingkungan yang sesuai. Salah satu penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococci serta Streptococci. Kerugian akibat mastitis subklinis lebih besar daripada mastitis klinis. Uji fermentasi mannitol dengan penanaman pada MSA merupakan prosedur utama yang biasa digunakan setelah uji koagulasi dalam identifikasi S. aureus, apabila bakteri stafilokokus dapat menghasilkan enzim koagulase atau bersifat koagulase positif dan dapat memfermentasi mannitol pada MSA maka bakteri Stafilokokus tersebut adalah S. aureus Handayani dan Purwanti, 2010, Menurut Nickerson 2002, apabila jumlah kuman susu lebih dari 200.000 colony forming unit CFU per ml menunjukkan kondisi ambing abnormal dan apabila melebihi standar tersebut dapat dinyatakan sapi menderita mastitis. Standar yang berlaku di Indonesia SNI yaitu harus kurang dari 1x10 6 CFUml. KESIMPULAN KESIMPULAN KESIMPULAN KESIMPULAN Kualitas susu pasca vaksinasi dari 40 sampel milik warga koperasi Sarono Makmur adalah 22,5 bernilai lebih dari cukup, 55 cukup dan 22,5 kurang dari cukup. Prevalensi mastitis sub klinis berdasarkan uji IPB test adalah 57,5 serta dapat terisolasi bakteri E.coli dari 3 sampel dan Staphylococcus dari seluruh sampel. Perlu segera dilakukan penyuluhan dan perbaikan seperlunya untuk meningkatkan kualitas susu warga Cangkringan. Pemerintah yang mengurusi bidang peternakan khususnya dan ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 218 218 218 218 pemerintah daerah umumnya perlu segera memperbaiki fasilitas pendukung seperti penyediaan air bersih dan mudahnya akses pakan agar perbaikan segera bisnajemen penanganan sapi perah segera bisa dilaksanakan. Daftar Daftar Daftar Daftar Referensi Referensi Referensi Referensi Bramley AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology. Flem.Vet.J. 62: Suppl. 1, 3-11. Handayani, K.S., dan Purwanti,M.,2010. Kesehatan Ambing dan Higiene Pemerahan di Peternakan Sapi Perah Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol.5 No.1. hal 47 – 54. Health Management, OMAFRA 519:846-965. agodkinomafra.gov.on.ca. [22-10-1998]. Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308. aces.uiuc.eduAnsci 308. Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progress in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158. Martin S.W., Meek A.H., Willeberg P. 1987. Veterinary epidemiology, principles and methods . Ames: Iowa State University Press; p. 343. Nickerson, S. C. 2002. Mastitis therapy and control: Management control options. Pages 11740- 1746 in Encyclopedia of Dairy Sciences. Volume 3. Roginski, H., J. W. Fuquay, and P. F. Fox eds. Academic Press, London. Schroeder, J.W. 2012. Bovine Mastitis and Control Management. North Dakota State University, Fargo, North Dakota. Extension Service. Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835. ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 219 219 219 219 PEDULI PEDULI PEDULI PEDULI ADANYA ADANYA ADANYA ADANYA BAHAN BAHAN BAHAN BAHAN BERBAHAYA BERBAHAYA BERBAHAYA BERBAHAYA DALAM DALAM DALAM DALAM PANGAN PANGAN PANGAN PANGAN DALAM DALAM DALAM DALAM UPAYA UPAYA UPAYA UPAYA KEAMANAN KEAMANAN KEAMANAN KEAMANAN PANGAN PANGAN PANGAN PANGAN Putranti Putranti Putranti Putranti Adirestuti, Adirestuti, Adirestuti, Adirestuti, Ririn Ririn Ririn Ririn Puspadewi, Puspadewi, Puspadewi, Puspadewi, Rina Rina Rina Rina Anugrah Anugrah Anugrah Anugrah Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi Email : putratiagmail.com ; ririnpusyahoo.com ; anoegrah1010gmail.com AAAABSTRAK BSTRAK BSTRAK BSTRAK Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengatur penggunaan Bahan Tambahan Pangan BTP. Untuk tujuan keamanan pangan diatur pada Pasal 74 , larangan penggunaan bahan berbahaya sebagai BTP diatur pada Pasal 75 dan sanksi pelanggarannya diatur pada Pasal 76. Ketentuan pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012. Ketentuan dalam peraturannya menyangkut jenis, besaran, denda, tata cara dan mekanisme pengenaan sanksi administratif untuk pelanggarannya. Telusur pustaka menunjukkan masih banyak ditemukan pangan termasuk jajanan anak-anak yang mengandung bahan berbahaya tersebut. Jenis senyawa yang banyak ditemukan adalah boraks, formalin dan rhodamin B. Dalam upaya meningkatkan keamanan pangan dan melindungi konsumen terutama anak- anak, sudah saatnya semua orang peduli terhadap masalah ini. Investigasi dan penelitian adanya bahan berbahaya dalam pangan harus ditingkatkan. Hasilnya disosialisasikan pada siswa sekolah, pedagang, pelaku usaha dan masyarakat luas, melalui media cetak dan elektronik. Penarikan produk berbahaya dari pasaran dan sanksi terhadap pelanggaran harus diterapkan dengan lebih intensif. Penemuan BTP baru pengganti formalin dan boraks yang setara dengan chitosan juga harus dilakukan secara intensif. Jika program ini dapat dilakukan dengan baik, mungkin semua orang akan tergerak untuk lebih bertanggungjawab terhadap pangan demi keamanan pangan. Kata Kata Kata Kata kunci kunci kunci kunci :::: Bahan Bahan Bahan Bahan tambahan tambahan tambahan tambahan pangan, pangan, pangan, pangan, Bahan Bahan Bahan Bahan berbahaya, berbahaya, berbahaya, berbahaya, Keamanan Keamanan Keamanan Keamanan panga panga panga pangan. n. n. n. PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Menurut Undang-undang nomor 18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, danatau pembuatan makanan atau minuman [1] . Kandungan gizi pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi utama dengan jumlah kalori adalah KODE KODE KODE KODE :::: D-6 D-6 D-6 D-6 ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 220 220 220 220 4 Kkalgram. Protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh, dengan jumlah kalori 4 Kkalgram. Lemak mengandung jumlah kalori terbesar, yaitu 9 Kkalgram, fungsinya adalah untuk perlindungan tubuh. Vitamin, mineral dan air tidak memberikan fungsinya secara langsung, tetapi keberadaannya dalam pangan menjadi penting karena mampu memelihara kesehatan dan kebugaran tubuh [2] . Selama penyimpanan pangan, komponen kimianya dapat mengalami perubahan atau mengalami reaksi dengan senyawa kimia lain dalam pangan atau dengan lingkungannya. Reaksi perubahan pada pangan yang dianggap tidak menguntungkan antara lain : reaksi oksidasi pada lemak sehingga mengakibatkan ketengikan, reaksi kecoklatan pada beberapa buah-buahan menyebabkan penampilan yang tidak menarik, reaksi penggumpalan pada protein yang membuat rusaknya susu secara fisik, dan masih banyak yang lain [2] . Semua perubahan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas atau mutu pangan. Untuk mengatasi keadaan tersebut dan dalam upaya mendapatkan kondisi yang baik bagi pangan, ke dalam pangan sering ditambahkan bahan lain yang disebut Bahan Tambahan Pangan BTP. Penggunaan bahan tambahan ini bertujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas pangan selama penyimpanan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012, keberadaan bahan tambahan dalam pangan memang diijinkan untuk jenis dan batas tertentu, tetapi sayangnya masih saja ditemukan pangan yang mengandung bahan-bahan berbahaya yang dilarang oleh Pemerintah. Dalam upaya peduli terhadap keamanan pangan dan keselamatan konsumen, sudah saatnya semua orang proaktif menghambat aktivitas para oknum pelaku usaha agar penggunaan bahan berbahaya dalam pangan dapat ditinggalkan. Penelitian dan publikasi yang terkait dengan adanya bahan berbahaya dalam pangan harus dilakukan lebih sering lagi. Penyuluhan di sekolah, lingkungan rumah, kantor dan dimanapun masyarakat berkumpul harus digalakkan. Tentu saja peran Pemerintah melalui Dinas Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan serta institusi lain yang terkait harus lebih berperan dalam melakukan investigasi di lapangan dan sosialisasi pada beberapa produsen pangan. Sanksi terhadap pelanggaran juga harus ditegakkan. Penelitian yang menghasilkan temuan BTP baru harus dilakukan lebih banyak. Media cetak dan elektronik harus dilibatkan untuk sosialisasinya. Jika semua ini dilakukan secara gotong royong, bukan ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 221 221 221 221 tidak mungkin suatu saat semua orang menjadi lebih peduli terhadap kesehatan dan keselamatan dirinya sendiri dan orang lain melalui program keamanan pangan. Undang-Undang Undang-Undang Undang-Undang Undang-Undang RI RI RI RI Nomor Nomor Nomor Nomor 18 18 18 18 Tahun Tahun Tahun Tahun 2012 2012 2012 2012 tentang tentang tentang tentang Pangan Pangan Pangan Pangan Salah satu bagian penting dari UU Pangan adalah Keamanan Pangan. Materi yang termasuk dalam Bab VII ini memuat semua aktivitas yang bertujuan untuk perlindungan terhadap pangan. Bagian Ketiga UU tersebut mengatur tentang Bahan Tambahan Pangan BTP. Pasal-pasal yang terkait dengan penggunaan BTP diatur sangat ketat agar pangan dapat dijaga kualitas dan keamanannya. Materi yang dimuat dalam bagian ini adalah : tujuan penggunaan BTP Pasal 73 ; pengawasan dan izin peredaran dan penggunaannya yang diatur oleh Pemerintah Pasal 74 ; larangan terhadap jenis dan jumlah BTP yang akan digunakan dan diatur oleh Pemerintah Pasal 75 dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran penggunaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah Pasal 76. Peraturan Peraturan Peraturan Peraturan Menteri Menteri Menteri Menteri Kesehatan Kesehatan Kesehatan Kesehatan PerMenKes PerMenKes PerMenKes PerMenKes Nomor Nomor Nomor Nomor 033 033 033 033 Tahun Tahun Tahun Tahun 2012 2012 2012 2012 tentang tentang tentang tentang Bahan Bahan Bahan Bahan Tambahan Tambahan Tambahan Tambahan Pangan Pangan Pangan Pangan Bahan Tambahan Pangan BTP menurut PerMenKes No.033 Tahun 2012 adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan [3] . PerMenKes ini mengatur sangat ketat untuk semua aktivitas pelaku pangan yang menggunakan BTP, seperti yang tercantum pada Bab III yaitu : persyaratan untuk penggunaan BTP yaitu harus sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh disalahgunakan Pasal 2 ; BTP yang diizinkan Pemerintah untuk digunakan adalah 27 golongan senyawa Pasal 3 dengan batas maksimal tertentu Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Bab IV PerMenKes 033 Tahun 2012 mengatur tentang larangan penggunaan 19 jenis senyawa sebagai BTP. Pembinaan dan pengawasan terhadap penggunaan BTP diatur pada Bab VI Pasal 15 dan Pasal 16, sedangkan sanksi pelanggarannya diatur pada Pasal 17. Senyawa yang dilarang digunakan untuk BTP adalah : Asam Borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, formalin, kalium bromat, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yg dibromasi, nitrofuran, dulkamara, kokain, nitrobenzena, sinamilantranilat, dihidrosafrol, biji tonka, minyak kalamus, minyak tansi, minyak sasafras. PerMenKes No.033 Tahun 2012 tentang BTP sudah dibuat sedemikian rupa agar pelaku pangan terutama produsen memperhatikan keamanan pangan dan keselamatan konsumen. Sayangnya PermenKes ini belum dapat menjangkau produsen di seluruh ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 222 222 222 222 wilayah Indonesia, sehingga sampai saat ini masih banyak ditemukan pangan yang mengandung bahan berbahaya, yang sudah dilarang digunakan seperti yang di atur dalam PermenKes No.033 Tahun 2012. Peraturan Peraturan Peraturan Peraturan Bersama Bersama Bersama Bersama Menteri Menteri Menteri Menteri Dalam Dalam Dalam Dalam Negeri Negeri Negeri Negeri dengan dengan dengan dengan Kepala Kepala Kepala Kepala Badan Badan Badan Badan Pengawas Pengawas Pengawas Pengawas Obat Obat Obat Obat dan dan dan dan Makanan Makanan Makanan Makanan Nomor Nomor Nomor Nomor 43 43 43 43 Tahun Tahun Tahun Tahun 2013 2013 2013 2013 dan dan dan dan Nomor Nomor Nomor Nomor 2222 Tahun Tahun Tahun Tahun 2013 2013 2013 2013 tentang tentang tentang tentang Pengawasan Pengawasan Pengawasan Pengawasan Bahan Bahan Bahan Bahan Berbahaya Berbahaya Berbahaya Berbahaya yang yang yang yang Disalahgunakan Disalahgunakan Disalahgunakan Disalahgunakan dalam dalam dalam dalam Pangan Pangan Pangan Pangan Pangan berbahaya adalah pangan yang mengandung bahan berbahaya. Menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 43 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun 2013 ; Bahan Berbahaya adalah zat, bahan kimia, dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi [5] . Bagian kesatu dan Pasal 3 mengatur pengawasan terhadap pangan yang mengandung asam borat, boraks, formalin larutan formaldehid, paraformaldehid serbuk dan tablet paraformaldehid, pewarna merah rhodamin B, pewarna merah amaranth, pewarna kuning metanil methanil yellow dan pewarna kuning auramin [5] . Bagian kedua mengatur pembentukan Tim Kerja yang melibatkan Menteri, Kepala Badan POM, Gubernur dan Bupati Pasal 4 dan Pasal 6, sedangkan Pasal 7 mengatur keanggotaan Tim Pengawas Terpadu Pusat dengan Ketua Tim adalah Kepala Badan POM, Tim Pengawas Terpadu Provinsi dengan Ketua Tim adalah Gubernur dan Tim Pengawas Terpadu Kabupaten dengan Ketua Tim adalah Bupati. Tim ini bekerja sebagai pengawas penggunaan sampai peredaran bahan berbahaya seperti tersebut di atas di dalam pangan. Pangan Pangan Pangan Pangan Berbahaya Berbahaya Berbahaya Berbahaya yang yang yang yang Beredar Beredar Beredar Beredar di di di di Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Hasil investigasi dari beberapa institusi Pemerintah terhadap pangan yang beredar di masyarakat, menunjukkan fakta bahwa masih banyak ditemukan pangan yang mengandung bahan berbahaya sampai tahun 2013. Bahan berbahaya yang seharusnya dilarang digunakan menurut PerMenKes No.033 Tahun 2012, ternyata masih ditemukan dalam pangan di banyak daerah di Indonesia, seperti Sukoharjo Jawa Tengah, Karawang Jawa Barat, Malang, Semarang, Jakarta, Bandung dan lain-lain. Hasil temuannya adalah boratboraks, formalin, zat warna rhodamin B dan zat warna kuning metanil [4,6] . Boraks positif ditemukan dalam pangan kerupuk karak, baso dan mie basah di daerah Sukoharjo [4] ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 223 223 223 223 dan di Karawang ketiga bahan berbahaya tersebut ditemukan dalam jajanan anak [6] . Pangan lain yang mengandung bahan berbahaya adalah tahu, ikan basah, ikan asin, yang mengandung formalin [4,6] . Zat warna berbahaya banyak ditemukan pada makanan yang berwarna merah berpendar, seperti kerupuk, jajan pasar, gulali [4,6] . Zat warna merah ini kemudian dapat di identifikasi sebagai rhodamin B. Zat warna kuning ditemukan dalam kerupuk dan permen [7,8] . Baso yang mengandung boraks terasa lebih kenyal pada saat dikonsumsi dengan tekstur kulitnya kering dan berwarna keputihan. Kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus, renyah dan disertai rasa getir. Tahu yang mengandung formalin berbentuk bagus, kenyal dan tidak mudah hancur, awet hingga lebih dari 3 hari dan bahkan lebih dari 15 hari saat disimpan dalam lemari es. Baunya khas menyengat seperti formalin. Ikan segar dan ikan asin yang diberi formalin tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar, insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang, tidak dihinggapi lalat dan memiliki bau menyengat khas formalin [4,6] . Zat pewarna rhodamin B dan kuning metanil sebenarnya digunakan untuk tekstil, tetapi sering disalahgunakan sebagai pewarna pangan. Penggunaan rhodamin B akan memberikan warna merang terang dan berpendar, biasanya ditemukan dalam pangan kerupuk dan gulali [4,7] . PEMBAHASAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN PEMBAHASAN Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa sampai tahun 2013 masih banyak ditemukan pangan yang mengandung bahan berbahaya, seperti boraks, formalin, pewarna merah rhodamin B dan pewarna kuning metanil. Bahan ini umumnya ditemukan pada pangan yang dijual di tempat terbuka, seperti di pasar, halaman sekolah, terminal atau tempat lain. Pangan dijual dengan harga murah sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Penelusuran dan investigasi dari pihak Kementerian Kesehatan, penyuluhan pada para pelaku usaha dan masyarakat serta sanksi administratif terhadap produsen juga sering dilakukan, tetapi belum ada efek jera yang berarti. Jika keadaan ini tidak segera dilarang, maka akan semakin banyak konsumen yang akan menjadi korban. Oleh karena itu kerjasama yang baik antara Kementerian Dalam Negeri melalui Pimpinan Daerah Pemerintahan dan Kementerian Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan dianggap strategi yang tepat untuk menghentikan distribusi pangan ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 224 224 224 224 berbahaya ini. Walaupun hasilnya belum terlihat maksimal, paling tidak perhatian Pemerintah terhadap masalah ini merupakan wujud kepeduliannya terhadap keamanan pangan dan keselamatan masyarakat sebagai konsumen. Strategi lain yang berupa penemuan BTP alami untuk pangan sebagai pengganti boraks, formalin dan rhodamin B harus banyak dilakukan. Sepertinya ini menjadi tugas Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian untuk segera mempublikasikan hasil penelitian terkait BTP baru. Pada tahun 2006 IPB sudah mempublikasikan BTP alami, yaitu chitosan sebagai pengganti formalin dan karagena sebagai pengganti boraks [9,10] . Sayangnya kedua bahan baru ini belum digunakan secara luas. Jika pada waktu yang akan datang banyak ditemukan BTP alami baru, maka pangan yang mengandung BTP yang berbahaya kemungkinan dapat dihambat bahkan dihentikan peredarannya di Indonesia. PENUTUP PENUTUP PENUTUP PENUTUP BTP merupakan bahan kimia yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dengan tujuan mempertahankan dan memperbaiki kualitas pangan selama penyimpanan. Saat ini kebutuhan terhadap BTP alami yang lebih aman untuk pangan dan kosumennya sudah sangat mendesak diperlukan. Publikasi yang intensif terkait BTP baru sebagai pengganti boraks, formalin dan rhodamin B diharapkan dapat menghambat distribusi pangan yang mengandung bahan berbahaya di Indonesia pada masa datang. UCAPAN UCAPAN UCAPAN UCAPAN TERIMA TERIMA TERIMA TERIMA KASIH KASIH KASIH KASIH Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan beberapa wilayah yaitu : Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karawang, Semarang, Jakarta dan Bandung. Daftar Daftar Daftar Daftar Pustaka Pustaka Pustaka Pustaka [1] Undang-undang RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, 2012, Sinar Grafika, Jakarta . [2] Feri Kusnandar, 2010, Kimia Pangan, Komponen Makro, Dian Rakyat, Jakarta. [3] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 225 225 225 225 [4] d kk.sukoharjokab.go.idreadbahan-tambahan-pangan-btp-yang-diperbolehkan-dan- - yang-berbahaya, diakses April 2014. [5] Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 43 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan terhadap Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, 2014. [6] Agie Permadi, 2013, Penggunaan Bahan Berbahaya pada Jajanan Masih Marak, dalam www.sindonews.com, diakses April 2014. [7] K. Tatik Wardayati, 2012, Bahan Kimia Berbahaya pada Pangan, dalam www.intisari-on.line.com, diakses April 2013. [8] Lusia Kus Anna, 2011, Inilah Ciri Makanan Mengandung Zat Berbahaya, dalam http:health.kompas.comread2011030215154324Inilah.Ciri.Makanan. Mengandung. Zat.Berbahaya, diakses April 2013. [9] IPB Luncurkan Bahan Pengawet yang Aman,2006, dalam www.ui.ac.id. Diakses April 2013. [10] MenKes Siapkan Bahan Pengganti Formalin, 2006, dalam http:www.balipost.co.idbalipostcetak2006115n1hl.html ISBN: ISBN: ISBN: ISBN: 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 978-602-18580-2-8 226 226 226 226 APLIKASI APLIKASI APLIKASI APLIKASI ANTOSIANIN ANTOSIANIN ANTOSIANIN ANTOSIANIN BUAH BUAH BUAH BUAH DUWET DUWET DUWET DUWET Syzygium Syzygium Syzygium Syzygium cumini cumini cumini cumini YANG YANG YANG YANG DIKOPIGMENTASI DIKOPIGMENTASI DIKOPIGMENTASI DIKOPIGMENTASI DENGAN DENGAN DENGAN DENGAN EKSTRAK EKSTRAK EKSTRAK EKSTRAK POLIFENOL POLIFENOL POLIFENOL POLIFENOL ROSEMARY ROSEMARY ROSEMARY ROSEMARY PADA PADA PADA PADA JELY JELY JELY JELY DAN DAN DAN DAN MINUMAN MINUMAN MINUMAN MINUMAN KARBONASI KARBONASI KARBONASI KARBONASI Puspita Puspita Puspita Puspita Sari Sari Sari Sari 1,2 1,2 1,2 1,2 ,,,, Devy Devy Devy Devy D. D. D.

D. Anggriyana Anggriyana