Rangkuman DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP

pendapatan per kapita rumahtangga di KTI sebesar Rp. 8 . 562.46 per rumahtangga. Renstra pembangunan jalan sepanjang 3 . 481.93 km di KTI akan memberi dampak intraregional terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga KTI sendiri sebesar Rp. 240 . 035.59 per rumahtangga, dan dampak interregional terhadap pendapatan per kapita rumahtangga KBI sebesar Rp. 52 . 772.85 per rumahtangga. Berdasarkan perhitungan pendapatan per kapita di atas, maka dapat dikalkulasi besarnya pertambahan pendapatan rumahtangga secara menyeluruh sebagai akibat dari realisasi konsep rencana jaringan jalan nasional 2009 yakni sebesar Rp. 10.92 triliun, dengan alokasi untuk total pendapatan rumahtangga di KBI sebesar Rp. 7.64 triliun, dan di KTI sebesar Rp. 3.25 triliun. Tabel 35. Dampak Penambahan Panjang Jalan Sesuai Rencana Jaringan Jalan Nasional 2009 Terhadap Pendapatan Per Kapita Rumahtangga rupiah Indikator Pendapatan Penambahan Jalan 2 321.28 km di KBI 3 481.93 km di KTI Pendapatan Per Kapita Rumahtangga - KBI 35 423.57 52 772.85 - KTI 8 562.46 240 035.59 Total Rumahtangga - KBI 6 181 282 459 602.43 585 507 556 596.72 - KTI 1 493 674 906 276.80 2 662 591 751 436.52 - Nasional 7 674 957 365 879.23 3 248 099 308 033.23

8.3 Rangkuman

1. Kebijakan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan diyakini mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga. Efek multiplier dari kebijakan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam SPA sebelumnya akan dipancarkan paling kuat melalui faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal sebelum sampai ke rumahtangga. 2. Meskipun rumahtangga kota atau desa yang berpendapatan tinggi mendapat efek multiplier pendapatan dengan nilai paling tinggi, akan tetapi perubahan kenaikan pendapatannya dari nilai dasar base line ternyata relatif di bawah perubahan pertambahan pendapatan untuk golongan pendapatan rendah. Dengan kata lain golongan pendapatan rendah sebenarnya lebih cepat merespon dampak stimulus fiskal pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan. 3. Persentase kenaikan pendapatan rumahtangga untuk yang tergolong rendah di KBI dan KTI selalu lebih besar pada setiap simulasi kebijakan yang diterapkan. Misalkan untuk simulasi kebijakan pertama Simulasi 1, kebijakan memberi stimulus fiskal sebesar Rp. 4 . 570 , 164.28 juta untuk sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI dan sebesar Rp. 7 , 049 , 315.86 juta di KTI dalam kurun waktu 5 tahun sampai dengan tahun 2014, sebagaimana yang direncanakan dalam dokumen draft Rencana Jaringan Jalan Nasional 2009, diperkirakan akan memberi dampak terhadap pendapatan rumahtangga desa yang tergolong rendah di KBI meningkat sebesar 0.5018. Sedangkan untuk rumahtangga kota pendapatan tinggi, akan meningkat sebesar 0.4817. Fenomena yang sama juga terlihat di KTI, pendapatan rumahtangga yang tergolong rendah meningkatnya relatif lebih besar dibandingkan pendapatan pada rumahtangga yang tergolong tinggi, masing-masing sebesar 1.6179 dan 1.6151. 4. Fakta lainnya juga menunjukkan, jika dilihat dari besarnya perubahan pendapatan, efek interregional dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KBI lebih menguntungkan rumahtangga di KTI, dibandingkan sebaliknya. Hal ini divisualisasikan melalui Simulasi 2 dan Simulasi 3, serta yang lebih mencolok pada Simulasi 4 dan Simulasi 5. Misalkan untuk Simulasi 5, pada saat seluruh dana stimulus sebesar Rp. 11 , 619 , 480.14 juta diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI, pendapatan rumahtangga di KTI rata-rata akan meningkat sebesar 2.25, sedangkan di KBI sebesar 0.21. Sebaliknya, jika semua dana stimulus tersebut dialirkankan ke KBI Simulasi 4, pendapatan rumahtangga KBI rata-rata akan meningkat sebesar 0.91, sedangkan rumahtangga di KTI sebesar 0.52. Hal ini berarti, bila dilihat dari besarnya pertambahan pendapatan, spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan akan lebih menguntungkan rumahtangga di KTI dibandingkan KBI. 5. Dapat dipastikan, hampir pada semua simulasi kebijakan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang diterapkan menunjukkan bahwa rumahtangga yang mempunyai pendapatan rendah lebih cepat responnya dibandingkan rumahtangga pendapatan tinggi. Dengan kata lain, kebijakan publik yang menyangkut infrastruktur jalan dan jembatan lebih kuat pengaruhnya terhadap rumahtangga miskin dibandingkan rumahtangga tidak miskin yang mempunyai pendapatan menengah ke atas. Akan tetapi, karena pertambahan pendapatan dari rumahtangga miskin berbeda sedikit dengan pertambahan pendapatan rumahtangga tidak miskin, akhirnya ketimpangan pendapatan antargolongan rumahtangga dalam wilayah sendiri, masing-masing di KBI dan KTI, tidak signifikan untuk dikurangi. Sebagaimana yang tercermin pada Tabel 33 dan Tabel 34 di atas, penurunan indeks ketimpangan pendapatan antargolongan rumahtangga dari angka base sangat kecil, bahkan dapat dikatakan tidak berubah sedikitpun baik pengukuran MMR maupun CV. Indeks ketimpangan pendapatan di KBI pada posisi base adalah 9.16 MMR dan 0.7828 CV, setelah disimulasikan kebijakan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, indeks ketimpangan terlihat tidak bergerak turun masih berkisar di angka 9.16 dan 0.7828. Kondisi yang sama juga terjadi di KTI, kebijakan infrastruktur tampak tidak mampu mereduksi ketimpangan pendapatan antargolongan rumahtangga. Indeks ketimpangan tetap sebesar 21.03 MMR dan 0.9461 CV untuk semua simulasi kebijakan yang diaplikasikan, tidak berbeda dengan indeks ketimpangan base. 6. Berbeda dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga antarwilayah, kebijakan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan saat ini sepertinya mampu mereduksi ketimpangan yang terjadi. Terutama sekali bila pembangunan infrastruktur tersebut dikonsentrasikan ke wilayah KTI. Melalui Simulasi 5 sebagai misal, ketimpangan antarwilayah untuk pendapatan rumahtangga dapat direduksi dari nilai base sebesar berkurang -3.61 MMR atau dengan CV berkurang -0.0037, dan untuk ketimpangan nilai tambah PDRB dari nilai base sebesar 3.55 menjadi 3.47. Upaya untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarkawasan yakni KBI dan KTI dapat dilaksanakan dengan baik apabila pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut lebih difokuskan pada wilayah- wilayah pembangunan di KTI.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

1. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dapat memberi dampak yang besar terhadap kenaikan nilai tambah baik di KBI Kawasan Barat Indonesia dan maupun di KTI Kawasan Timur Indonesia. Komponen nilai tambah yang paling besar menerima manfaat dari pembangunan infrastruktur jalan adalah nilai tambah yang bersumber dari penerimaan modal, kemudian tenaga kerja dan terakhir lahan. Namun, dari analisis multiplier sektor pembangunan infrastruktur jalan terlihat bahwa untuk setiap tambahan dana stimulus sebesar satu-satuan moneter di sektor infrastruktur jalan memberikan dampak kenaikan nilai tambah yang lebih tinggi di KBI di bandingkan KTI. 2. Selama ini pembangunan ekonomi cenderung terpusat di KBI, sehingga menghasilkan suatu fenomena core-periphery yang direfleksikan oleh ketergantungan KTI kepada perekonomian KBI. Multiplier efek pembangunan infrastruktur jalan terhadap perekonomian KBI menunjukkan lebih besar dari perekonomian KTI dengan kata lain perekonomian KBI merespon lebih baik efek pembangunan jalan daripada KTI. Hal tersebut semakin diperjelas dengan melihat spillover effect antara dua kawasan, yang mana spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI lebih besar ke KBI dari pada KBI ke KTI. Dengan kondisi seperti ini, maka pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang selalu terfokus di KBI tidak akan menperkecil kesenjangan nilai tambah diantara kedua kawasan tersebut. Namun demikian, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih