3.11. Studi Empirik dengan Model IRSAM
Studi empirik yang berkaitan dengan ekonomi regional baik di mancanegara maupun di Indonesia telah dilakukan oleh banyak pihak dengan
berbagai model dan pendekatan. Namun, dalam pembahasan ini lebih di fokuskan pada studi-studi yang menggunakan model Social Accounting Matrix SAM.
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan kesamaan model yang akan digunakan dalam studi ini, serta kemiripan issue yang akan dikaji. Studi yang berkaitan
dengan disparitas pendapatan telah dilakukan oleh antara lain Alim 2006, Hadi 2001, Achjar, Hewings dan Sonis 2003, serta Rahman dan Utama 2003
Alim 2006 dalam disertasinya menganalisis penyebab makin melebarnya kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Sumatera selama masa
pembangunan ekonomi. Model Interregional Social Accounting Matrix Jawa dan Sumatera yang diberi nama Samijasum 2002, dibangun berdasarkan data sekunder
dalam bentuk matrik 59x59 dan menggunakan teknik cross entrophy untuk balancing.
Struktur ekonomi Jawa pada awal pembangunan ekonomi Pelita I adalah sektor jasa, pertanian, industri pengolahan dan pertambangan. Selama masa
pembangunan ekonomi jangka panjang tahap pertama PJPT-I, sektor jasa dan sektor industri pengolahan secara bertahap mengalami penguatan dan kemudian
menjadi dominan dalam perekonomian Jawa. Sebaliknya, pada periode yang sama struktur ekonomi Sumatera berubah secara acak. Dimana peranan sektor
pertambangan dan sektor industri melemah, sedangkan sektor jasa dan sektor pertanian menguat. Hasil analisis yang didasarkan pada Samijasum 2002
menunjukkan bahwa 1 neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera lebih
menguntungkan Jawa, dimana perekonomian Sumatera mengalami defisit neraca perdagangan, 2 keterkaitan sektor-sektor produksi di Sumatera terhadap
berbagai sektor produksi di Jawa sangat kuat, sedangkan sebaliknya memiliki keterkaitan yang lemah, dan 3 spillover effect dari Sumatera ke Jawa lebih besar
daripada spillover effect dari Jawa ke Sumatera, sehingga setiap guncangan shock ekonomi pada sektor manapun pada ke dua wilayah akan mengakibatkan
ekonomi Jawa meningkat jauh lebih cepat daripada ekonomi Sumatera. Dalam kondisi ini, apabila pembangunan ekonomi dikonsentrasikan ke Sumatera, maka
pertumbuhan ekonomi kedua wilayah akan lebih tinggi dan terdistribusikan secara lebih berimbang, sehingga kesenjangan ekonomi antara kedua wilayah secara
bertahap akan menyempit. Hadi 2001 melakukan studi tentang disparitas pendapatan antara KBI
dan KTI, dalam studinya mengelompokan semua provinsi yang berada di pulau Jawa dan Sumatera ke dalam KBI dan semua provinsi-provinsi di luar Jawa dan
Sumatera dimasukkan ke dalam kelompok KTI. Dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi–Antarregional SNSE-AR dan basis data tahun
1993, Hadi menelaah hal-hal berikut: 1 ketimpangan pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, 2 keterkaitan antara sektor-sektor ekonomi intra maupun
antara KBI dengan KTI, 3 dampak perubahan kebijakan pembangunan terhadap disparitas KBI dengan KTI, dan 4 merumuskan strategi percepatan
pembangunan KTI dalam mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah KBI dengan KTI.
Analisis keterkaitan ditunjukkan oleh koefisien input neraca sektor ekonomi dalam SNSE-AR, KBI-KTI tahun 1993. Hasil pendugaan menunjukkan
bahwa sektor-sektor ekonomi di KTI mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI dari pada sebaliknya. Sektor-sektor
ekonomi KTI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KBI rata-rata 29.0 dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KTI yang terdiri dari
sektor primer 32.1, industri 28.6 dan jasa-jasa sebesar 26.4. Sedangkan sebaliknya, sektor-sektor ekonomi KBI memerlukan input dari sektor-sektor
ekonomi KTI rata-rata 4.80 dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KBI yang terdiri dari sektor primer 6.40, industri 5.30 dan jasa-jasa
sebesar 2.80. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat suatu kendala investasi di KTI yaitu ketergantungan KTI terhadap bahan baku hasil industri di KBI.
Hasil pendugaan keterkaitan langsung sektor-sektor ekonomi KBI dan KTI tahun 1993 menunjukkan bahwa 39.1 total output sektor industri KBI dijual ke
KTI, namun sebaliknya tidak ada hasil industri KTI yang mengalir ke KBI. Hasil sektor primer KTI yang mengalir ke KBI sebanyak 12.2 dan sebaliknya hanya
sebesar 3.4. Sektor jasa-jasa yang mengalir dari KBI ke KTI sebanyak 9.3 dan sebaliknya hanya 3.0. Selanjutnya diungkapkan pula bahwa input yang
diperlukan KBI yang berasal dari KTI sebagian besar berbentuk bahan baku primer, yakni sebanyak 92.9 untuk input sektor primer, 89.3 untuk input
sektor industri dan 48.0 untuk input sektor jasa-jasa di KBI. Sebaliknya, aliran input dari KBI ke KTI sebagian besar berbentuk bahan baku hasil industri, yaitu
89.7 untuk input sektor primer, 89.9 untuk input sektor industri dan 86.6 untuk input sektor jasa-jasa di KTI.
Dari sisi keterkaitan output forward linkage menunjukkan bahwa aliran output barang dan jasa dari sektor-sektor ekonomi KBI ke sektor-sektor
ekonomi KTI sebagian besar untuk input sektor-sektor industri di KTI, yang terdiri dari 85.4 output sektor primer untuk input sektor industri, 51.8 output
sektor industri untuk input sektor industri. Sedangkan bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa KBI yang mengalir ke KTI digunakan sebagai input sektor jasa-
jasa, yaitu sebesar 42.7. Sebaliknya, bagian terbesar dari output sektor primer KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor industri yakni sebesar
58.5. Bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor jasa-jasa yakni sebesar 51.1, sedangkan output
sektor industri KTI tidak ada yang mengalir ke KBI. Analisis keterkaitan output forward linkage dan keterkaitan input
backward linkage menunjukkan bahwa dari tiga sektor ekonomi secara agregat terdapat keterkaitan yang lebih tingggi di sektor industri antara kedua wilayah.
Artinya sektor industri di kedua wilayah membutuhkan input bahan baku baik primer, industri sendiri, maupun dari sektor jasa-jasa yang dihasilkan masing-
masing kecuali sektor industri dari KTI. Selain itu, terdapat ketimpangan aliran barang dan jasa pada perdagangan domestik antara kedua wilayah.
Temuan lain dari Hadi adalah bahwa struktur pemilikan faktor produksi antarwilayah yang tidak seimbang menyebabkan struktur penerimaan institusi
antarwilayah menjadi tidak seimbang. Penerimaan antarwilayah rumahtangga pedesaan KBI jauh lebih besar dibanding penerimaan antarwilayah rumahtangga
perdesaan KTI. Hal yang sama juga berlaku bagi golongan rumahtangga perkotaan di kedua wilayah, dari sisi struktur pengeluaran rumahtangga
antarwilayah, tampak bahwa pengeluaran rumahtangga perdesaan KBI hanya membelanjakan 5.0 dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KTI
dan sebaliknya pengeluaran rumahtangga pedesaan KTI membelanjakan 32.4 dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KBI.
Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai pengganda dari ke tiga neraca endogen faktor produksi, institusi dan sektor produksi di KBI hampir dua
kali lebih besar di banding KTI. Sedangkan analisis keterkaitan menunjukkan nilai tambah dari dampak penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KTI akan
kembali ke KBI rata-rata 31.4 dari total nilai tambah setiap sektor. Sebaliknya penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KBI, maka nilai tambah yang mengalir
ke KTI rata-rata hanya 4.9 dari total nilai tambah setiap sektor. Akhirnya Hadi merekomendasikan bahwa upaya percepatan pembangunan
KTI hanya mungkin terjadi apabila pemerintah pusat melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan
pembangunan sesuai dengan aspirasi dan potensi daerah serta perkembangan pasar internasional.
Model Interregional Social Accounting Matrix IRSAM juga digunakan oleh Achjar et al. 2003 untuk menyelidiki sifat ketergantungan interregional
dengan menggunakan metoda Interregional Block Structural Path Analysis. Mereka menggunakan IRSAM lima pulau tahun 1995 yang telah dibangun untuk
pertama kali bagi Indonesia. Wilayah yang diliput adalah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya Other Island yang merupakan wilayah makro.
Sedangkan klasifikasi IRSAM lima pulau 1995 meliputi 5 jenis faktor produksi 4 jenis tenaga kerja dan 1 jenis modal, 5 jenis institusi 3 jenis rumahtangga,
perusahaan dan pemerintah masing-masing 1 jenis dan 9 jenis aktivitas produksi.
Achjar et al. 2003 mengilustrasikan bahwa selama tiga dekade pembangunan ekonomi cenderung terpusat di Jawa, sehingga menghasilkan suatu
fenomena core-periphery yang direfleksikan oleh ketergantungan kebanyakan wilayah kepada perekonomian Jawa. Pembahasan hasil dilakukan dalam tiga
fragmen, yaitu 1 output dan pendapatan secara global Global Output and Income, 2 injeksi terhadap institusi oleh wilayah makro Injection of
Institutions by Macro Region, dan 3 injeksi terhadap aktivitas oleh wilayah makro Injection of Activities by Macro Region.
Pada fragmen Global Output and Income ditemukan bahwa injeksi institusi menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 17.7 dari total
pendapatan institusi dalam suatu sistem. Sebagai perbandingan, injeksi pada aktivitas dalam sistem mengasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 81.2 dari
total pendapatan institusi dalam keseluruhan sistem ekonomi. Keseluruhan injeksi institusi hanya mengahasilkan permintaan output sebesar 8.2 dari total output,
injeksi terhadap aktivitas menghasilkan 91.3 dari total output. Rata-rata injeksi terhadap institusi dan aktivitas secara bersama-sama menghasilkan hampir 99
dari total output dan pendapatan di Indonesia, tinggal 1 yang dikontribusikan oleh pendapatan faktorial.
Injeksi di atas berasal dari blok matrik institusi dan aktivitas produksi secara simultan dalam keseluruhan sistem, hanya memberi suatu gambaran global
mengenai share instiutsi dan aktivitas produksi terhadap hasil output global dalam suatu sistem ekonomi. Dengan demikian diperlukan suatu dekomposisi yang baru
untuk memisahkan pengaruh institusi dan produksi dari masing-masing wilayah makro sehingga besar pengaruh dari satu wilayah ke wilayah lain dapat ditelusuri.
Dalam fragmen kedua injection of institutions by macro region
ditemukan bahwa injeksi terhadap institusi di Sumatera menghasilkan 79.7 dari
total pendapatan yang dihasilkan di Sumatera. Walaupun tidak ada keterkaitan langsung antara institusi di Sumatera dengan Jawa, akan tetapi injeksi institusi di
Sumatera menghasilkan nilai pendapatan institusi di Jawa sebesar 18 dari total pendapatan di Sumatera sebagai hasil dari keterkaitan langsung antara aktivitas
produksi kedua wilayah. Dibandingkan dengan empat wilayah lainnya, dampak dari injeksi terhadap wilayahnya sendiri, pulau Jawa memperoleh bagian tertinggi,
yaitu 94.2 dari total pendapatan, Sumatera 79.7, Kalimantan 74.9, Sulawesi 75.5 dan Other Island 72.2. Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa
injeksi dari setiap empat wilayah tersebut lebih terkait dengan Jawa daripada tiga wilayah lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan pendapatan institusi
akan merubah pola konsumsi yang kemudian meningkatkan permintaan terhadap output yang dihasilkan oleh sektor produksi di Jawa. Hal ini dapat ditunjukkan
dari transformasi aktivitas sebagai hasil dari perubahan pendapatan institusi. Sebagai contoh, injeksi terhadap pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan
88.8 dari aktivitas produksi di Sumatera dan sisinya diambil dari Jawa. Pola yang sama juga berlaku di Kalimantan dimana 17 dari total permintaan output
datang dari Jawa. Keterkaitan pulau lain dengan Jawa sangat kuat dibandingkan keterkaitan
antara pulau-pulau yang berdekatan seperti antara pulau lain dengan Sulawesi atau pulau lain dengan Kalimantan. Injeksi terhadap pendapatan institusi di pulau lain
menghasilkan 21 pendapatan institusi di Jawa sedangkan dengan Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi hanya kurang dari 3. Observasi terakhir dari rantai
reaksi atas dampak injeksi institusi oleh wilayah individu, secara keseluruhan menunjukan kuatnya keterkaitan antara Jawa dan Sumatera. Injeksi pendapatan
institusi di Sumatera menghasilkan 17.9 dari output manufaktur berasal dari Jawa. Disamping itu, juga menghasilkan sekitar 17 dari jasa keuangan dan 17
dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga berasal dari Jawa.
Dalam fragmen ketiga injection of activities by macro region mengungkapkan tentang output agregat sebagai hasil injeksi pada sektor aktivitas
produksi setiap wilayah makro dan pengaruhnya terhadap wilayah lainnya. Pada tingkat agregat, injeksi aktivitas produksi di Sumatera menghasilkan 60.3 dari
total output yang dihasilkan dalam wilayah sendiri self-generating output 35.8 berasal dari Jawa, sisanya yang jumlahnya sangat kecil berasal dari wilayah lain.
Berlawanan dengan Kalimantan, 39 aktivitas berasal dari Jawa sedangkan yang dihasilkan sendiri self-generating output hanya memberikan kontribusi sebesar
49 dari total output. Analisis yang lebih rinci dalam fragmen ini menunjukkan perekonomian Sumatera dan Jawa memiliki keterkaitan relatif lebih kuat
dibandingkan tiga wilayah makro lainnya, karena secara geografis kedua wilayah tersebut dekat dan infrastruktur transportasinya cukup untuk menghubungkan
kedua wilayah. Sebagai contoh, injeksi aktivitas di Jawa menghasilkan 16.3 output
pertanian berasal dari Sumatera, diikuti oleh Kalimantan 7, Sulawesi 7 dan pulau lain 3.64. Selanjutnya diungkapkan bahwa transformasi aktivitas
manufaktur di Sumatera menghasilkan sekitar 55 dari total output internal, selebihnya lebih dari 40 dihasilkan di Jawa dan proporsi yang sangat kecil
berasal dari wilayah lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa ketergantungan
Sumatera terhadap Jawa sedemikian kuat berpusat pada hampir pada semua aktivitas ekonomi.
Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa injeksi institusi dan aktivitas produksi di Jawa tidak membutuhkan dorongan dari perubahan
perekonomian wilayah lain dengan persentasi yang tinggi. Sebaliknya injeksi institusi atau aktivitas produksi pada wilayah selain pulau Jawa dapat
menghasilkan hubungan asosiasi institusi, aktivitas dan pendapatan faktorial di Jawa melalui keterkaitan perdagangan. Proses asimetris ini merupakan problem
utama dalam strategi pembangunan regional, yaitu usaha untuk mengurangi disparitas kesejahteraan antarwilayah. Suatu temuan penting dari analisis ini
adalah bahwa struktur ekonomi regional Jawa mengandung self-generation dengan derajat yang tinggi, terutama dalam manufaktur dan beberapa jasa.
Dengan self-influence yang tinggi dalam industri manufaktur dan sebagian besar aktivitas produksi di Jawa, permintaan yang berasal dari Jawa tidak sensitif
terhadap perubahan output wilayah lain, kecuali sektor pertambangan. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa self-influence dari sektor barang lebih tinggi
dari sektor jasa. Rahman dan Utama 2003 menganalisis dampak desentralisasi fiskal di
Indonesia dengan mengunakan model IRSAM. Dalam model ini. Indonesia dikelompokkan ke dalam dua wilayah makro macroregion, yaitu wilayah Jawa
dan luar Jawa serta tujuh wilayah mikro microregion yakni Jawa Barat termasuk Jakarta dan Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan pulau lainnya di Timur Indonesia. Dalam konstruksi model, Rahman
dan Utama melakukan update data IRSAM 1990 102x102 yang dibangun oleh Wuryanto 1996 menjadi IRSAM 1999 30x30.
Analisis multiplier effect dari injeksi neraca pemerintah menunjukkan bahwa apabila arus pengeluaran pemerintah terjadi di Jawa, dampak pertumbuhan
lebih di wilayah Jawa 77.93 berasal dari daerah dan 77.807 dari pusat. Dampak Spillover adalah sisanya 22.069 dari regional dan 22.192 dari
pusat. Jika suntikan berasal dari luar Jawa, dampak distribusinya lebih berimbang antara Jawa dan luar Jawa. Perilaku dari multiplier effect di Jawa mencapai
45.066 dan sisanya di wilayah asal origin region, pulau lain 54.933. Data- data mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia demikian tergantung pada
wilayah Jawa. Fenomena ini juga ditunjukkan oleh penggunaan tenaga kerja dan modal oleh luar Jawa yang kebanyakan datangnya dari Jawa.
Bila diamati lebih jauh strategi terbaik the best strategy dalam injeksi neraca pemerintah melalui transfer antarpemerintah dari luar jawa, pengeluaran
pemerintah lokal current and investment memiliki efek yang lebih besar daripada pengeluaran langsung pemerintah pusat. Keunggulan lain dari injeksi
neraca pemerintah melalui lokal, umumnya pendapatan intraregional lebih baik. Dalam konteks output multiplier ditemukan bahwa efek multiplier dari
belanja rutin current account pemerintah pusat dan daerah pada semua wilayah selalu lebih baik dari pengeluaran investasi investment account pemerintah.
Dengan demikian, mirip kasus income multiplier, output multiplier dalam pengeluaran investasi pemerintah tidak dapat menangkap penambahan output
yang dihasilkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan datang
dari proyek-proyek investasi yang menyeluruh, yang memungkinkan perbaikan kapasitas produksi pada umumnya.
Pengujian atas pengaruh injeksi pemerintah terhadap aktivitas produksi, disimpulkan bahwa pengaruh yang paling kuat dari pengeluaran rutin pemerintah
Jawa dan luar Jawa selalu ditemukan pada sektor jasa. Bila pengeluaran berasal dari Jawa, multiplier effect mencapai 85.67 di Jawa dan sisanya di luar jawa
sebesar 14.321. Di pihak lain bila injeksi itu berasal dari luar Jawa, wilayah Jawa memperoleh 38.856 dari output multiplier.
Analisis output multiplier juga menunjukkan bahwa output multiplier tidak tumbuh di wilayah asal, yang kebanyakan memberikan dampak tertinggi pada
sektor manufaktur. Alasan utama mengapa sektor jasa memperoleh dampak multiplier tertinggi adalah karena kebanyakan dari komponen current expenditure
adalah belanja rutin atau pembelian secara regular. Dalam term pengeluaran investasi pemerintah di kedua wilayah, nilai tertinggi dari output multiplier selalu
ditemukan pada sektor manufaktur. Kondisi ini sama bagi pemerintah pusat maupun daerah. Ini terjadi karena kebanyakan dari pengeluaran investasi adalah
untuk membeli barang modal yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Lebih jauh ditemukan fenomena yang sama, pengeluaran investasi yang berasal dari Jawa mempunyai spillover effect yang lebih kecil daripada
pengeluaran yang berasal dari luar Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada neraca investasi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran barang
modal dan jasa capital goods and services di luar Jawa demikian tergantung pada industri-industri di Jawa. Dalam kaitan ini, Rahman dan Utama memandang
bahwa strategi yang baik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan dana investasi ke luar Jawa. Injeksi alokasi dana investasi ini akan mengurangi
disparitas antarwilayah dan mempromosikan aktivitas manufaktur di luar Jawa. Observasi selanjutnya adalah menjelajahi dampak anggaran pemerintah
daerah untuk tahun fiskal 2002 yang dibandingkan dengan matriks awal the initial matrix dari IRSAM 99. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
alokasi anggaran pemerintah daerah tahun 2002 dapat menyeimbangkan pendapatan, mengurangi disparitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional. Keperluan ini digunakan sejumlah asumsi dalam simulasi sebagai berikut: 1 peubah shock menggunakan Dana Alokasi Umum DAU, Dana
Alokasi Khusus DAK dan Dana Perimbangan DP atau balancing finance dari fiskal tahun 2002, 2 semua pembayaran transfer didistribusikan pada belanja
rutin dan investasi pemerintah daerah, 3 DAK harus dialokasikan pada sektor- sektor infrastruktur jalan dan irigasi, infrastruktur pemerintah, kesehatan dan
pendidikan. Konsekuensinya, DAK hanya dapat digunakan melalui neraca pengeluaran investasi regional, 4 DAU adalah dana dimana pemerintah daerah
memiliki otoritas untuk mengalokasinya. Berdasarkan definisi ini diasumsikan bahwa kebanyakan dana pengeluaran rutin bersumber dari DAU. Dengan asumsi
ini, dalam studinya menetapkan 90 dari DAU akan dialokasikan ke dalam belanja rutin pemerintah daerah dan sisanya dialokasikan sebagai investasi, 5
dana perimbangan yang terdiri atas income sharing on tax dan natural resources yang tidak memiliki jadwal penerimaan yang tetap, juga pembayaran dana
perimbangan tidak semuanya pada setiap tahun fiskal. Di bawah kondisi ini diasumsikan bahwa semua dana dialokasikan pada pengeluaran investasi daerah,
dan 6 neraca pemerintah pusat menggunakan data dari APBN. Proses distribusi terhadap daerah mengikuti proporsi distribusi DAK, DAU dan DP.
Didasarkan pada data income multiplier dan output multiplier di atas, income multiplier selalu dibawah satu pada semua level yang berarti bahwa
pendapatan rumahtangga aktual yang diterima selalu lebih rendah dari jumlah pengeluaran pemerintah atas itu. Dalam konteks output multiplier nilainya
bervariasi dari di bawah satu dan di atas dua. Akumulasi dari multiplier belanja rutin dan investasi pemerintah selalu nilainya lebih besar dari satu. Hal ini
menggambarkan bahwa penerimaan pendapatan aktual pada sektor-sektor produksi lebih besar daripada pengeluaran aktual yang dibelanjakan oleh
pemerintah pada semua tingkat. Analisis dengan menggunakan peubah shock senantiasa memperhatikan income dan output multiplier di atas, kemudian analisis
dibatasi pada skenario berikut ini: 1.
Skenario satu, simulasi menggunakan peubah shock DAU, DAK dan DP lalu didistribusikan sebagai proporsi dari IRSAM 99. Di balik tujuan simulasi ini
adalah untuk memperkirakan pendapatan aktual dari keseluruan perkonomian. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas
mengubah perilaku alokasi terhadap preferensi sektor dan rumahtangga. 2.
Skenario kedua, dalam pandangan ini pemerintah lokal mempunyai otoritas untuk mengubah alokasi anggaran. Skenario ini menyediakan anggaran
terhadap sektor-sektor yang tergantung pada nilai pengaruh global global influence. Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mengoptimalkan
pendapatan dari keseluruhan perekonomian dan untuk mengukur disparitas antarwilayah.
3. Dalam anggaran nasional APBN tidak menambah perubahan yang
dipertimbangkan, karena tujuan dari simulasi difokuskan pada menangkap dampak peubah shock dari pemerintah lokal di bawah asumsi peubah-peubah
lain dalan kondisi ceteris paribus. Dari simulasi di atas dapat disimpulkan bahwa disparitas diantara berbagai
sektor sedemikian melebar. Dari data dapat dicatat bahwa semua distribusi pendapatan hanya berdampak pada wilayah itu sendiri. Pada simulasi kedua,
ditemukan bahwa injeksi neraca Jawa kurang berpengaruh terhadap wilayah lain dibandingkan injeksi pada neraca luar Jawa.
Bila injeksi belanja rutin berasal dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap pendapatan luar Jawa sebesar 1.52, tetapi bila berasal dari luar Jawa
akan memberikan pengaruh terhadap distribusi pendapatan di Jawa sebesar 27.32. Fenomena yang sama juga terjadi pada neraca investasi regional, bila
injeksi dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap penambahan output di luar Jawa sebesar 1.47 sedangkan sebaliknya sebesar 18.59.
Selanjutnya sektor manufaktur, jasa dan pertanian di Jawa merupakan sektor dominan dalam alokasi anggaran dan juga memperoleh porsi tertinggi dari
output multiplier dari luar Jawa. Sektor jasa, manufaktur, pertambangan dan pertanian di luar Jawa merupakan sektor utama prominent yang banyak
memberikan pengaruh terhadap keseluruhan perekonomian. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur, jasa, pertanian dan pertambangan
mempunyai keterkaitan inter dan intra yang luas pada berbagai sektor dan berbagai wilayah. Kesimpulan akhir dari studi Rahman dan Utama adalah bahwa
perilaku perekonomian Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan
demikian perencanaan pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan potensi ekonomi luar Jawa. Analisis pendapatan rumahtangga dapat dicatat bahwa
kekurangan kapasitas SDM di luar Jawa perlu ditingkatkan. Terakhir, desentralisasi fiskal memberikan peluang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan mengurangi disparitas diantara berbagai wilayah melalui transfer antarpemerintah lewat DAU, DAK dan DP.
3.12. Rekomendasi Kebijakan