Sumber Data Penerapan Kriik Sastra Feminis ter hadap No vel-novel Indonesia

yang diangkat dalam sejumlah novel “In” keidak adilan gender dalam bidang pendi dikan dan peran perempuan di sektor publik. Inferensi hasil peneliian didasarkan pada kerangka teori kriik sastra feminis membaca sebagai perempuan woman as reader. Data berupa kata, frase, kalimat yang mengan dung informasi yang berkaitan deng an masalah peneliian yang diambil dari novel yang menjadi objek peneliian. Di samping itu, juga dikumpulkan data yang berhubungan dengan informasi yang ber hungan isu-isu pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dan gerakan feminisme yang ber kembang di Indonesia yang dianggap mela- tarbe lakangi diangkatnya isu-isu gender dalam novel Indonesia. Data tersebut dicatat dalam kartu data dan diklasiikasikan sesuai dengan informasi yang ber ubungan dengan masalah yang ditelii.

h. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan teknik des krip if kualitaif melalui kegiatan katego risasi, tabu lasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data ber dasarkan kategori yang telah ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum kese luruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyim pulkan hasil peneliian sesuai dengan permasalahan peneliian. Dalam peneliian ini inferensi didasarkan pada kerangka teori kriik sastra feminis membaca sebagai perempuan woman as reader. Kriik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca woman as reader memfokuskan kajian pada adalah citra dan stereoipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kriik sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki Showalter, 1985: 130.

i. Hasil Analisis

1 Perlawanan Simbolis terhadap Tradisi Pingit an dengan Pendidikan bagi Perempuan Sebagian besar novel Indonesia yang meng angkat pening nya isu pendidikan, ter utama yang mengambil latar waktu sebelum masa kemerdekaan menunjukkan bahwa untuk dapat menempuh pen didikan seorang perempuan harus berhadapan de ngan dua hal, yaitu tradisi masyarakat yang masih menjalankan pingitan dan terbatasnya seko lah yang dapat menerima perempuan untuk belajar. Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarat di Indonesia yang mengharuskan seorang anak pe rem puan ber umur 12 tahun harus inggal di ru mah, sampai mendapatkan jodohnya. Seperi dike mu kakan oleh Siisoemandari Soeroto dalam buku Kar­ini­ Sebuah­ Biograi 2001: 4 bahwa pada masa penjajahan Belanda berlaku adat isiadat feodal di kalangan kaum bangsawan menengah dan atas yang disebut pingitan. Mengenai makna pingitan ini pernah dikemukakan oleh de Stuers, yang menelii gerakan perempuan di Indonesia, yang ke mudian diterbitkan dalam dalam buku Sejarah­Perempuan­Indonesia:­Gerakan­dan­Pencapaian 2008. Menurutnya kata dipingit diambil dari kata “kuda pingit” yang arinya kuda yang dikurung di dalam kandang dan idak dibiarkan bebas berkeliaran seperi kuda lain. Metafora tersebut dapat diterima karena adanya asosiasi makna antara kuda yang idak diperbo lehkan keluar kandang, dengan seorang perempuan yang idak dipetrbolehkan keluar dari lingkungan ru mah nya. Gambaran mengenai tradisi pingitan terha dap anak-anak