Upaya Pencarian Idenitas Materi Pembelajaran
Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Naning Pranoto, Abidah El- Khalieqy, dan Ani Sekarning sih. Menulis sebagai pekerjaan kedua
terjadi pada Nova Riyani Yusuf, yang profesi uta manya se bagai dokter jiwa dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009–
2014 untuk Daerah Pemilihan Jakarta II dari Partai Demokrat. Beberapa dari mereka bahkan masih berstatus mahasiswa keika
menerbitkan karyanya Dewi Lestari, Raih Kumala, Herlinaiens, Eliza Fitri Handayani. Kalau pun mereka juga ber kecimpung pada
kegiatan lain, selain menulis, yang dipilih adalah kegiatan yang masih berhubungan de ngan tulis menulis, seperi kewartawa nan
Ayu Utami, penulis skenario Raih Kumala dan pengelolaah Jur- nal Ayu Utami, mau pun Surat Kabar Oka Rusmini,
Dengan menyebutkan penulis sebagai profesi utama, menunjukkan bahwa mereka secara sadar telah memilih profesi
tersebut sebagai idenitasnya. Menulis telah dijadikan sebagai pilihan bagi para perempuan tersebut dalam menjalankan peran
pu bliknya. Namun, walaupun mereka telah berusaha me milih
idenitasnya, belum semua orang mengakui kebe radaannya. Hal ini tampak dengan adanya se jum lah tanggapan negaif terhadap
mereka. Bebe rapa tang gapan yang cenderung bernada negaif terhadap krea ivitas para penulis perempuan peri ode 2000,
antara lain disampaikan oleh Sitok Sre ngenge, Faruk, David Krisna Alka, Sunar yono Ba suki K.S.
Sitok Srengenge yang menganggap kemun cul an perempuan sastrawan, tak lebih sebagai sebu ah trend belaka. Menurutnya,
heboh yang terjadi keba nyakan bukan oleh kualitas yang mereka tun jukkan. Melainkan oleh faktor-faktor lain yang be rada di luar
kesusas traan. Sitok mencontohkan Ayu Utami dengan karya nya Saman Suara Merdeka
, 2 Ma ret 2006. Faruk seper i dikuip Kompas
, 7 Maret 2004 menganggap mun culnya para penulis perem puan berhubungan dengan perkembangan masya karat
industri. Setelah industri berkembang semakin maju, kebanyakan kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas idak berminat
menekuni sastra. Industrialisasi membuat kaum lelaki menjadi sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang dibanding
sektor sastra. Bersamaan dengan itu, pen di dikan yang telah tersedia luas baik bagi laki-laki maupun perempuan sejak 1950,
mulai memi liki efek. Di akhir 1960-an, kaum perem puan, sebagai kelompok nonprodukif alias konsum if, merupakan pangsa pasar
potensial yang besar bagi du nia percetakan. Karena bagi mayoritas pe rem puan membaca adalah kegiatan pengisi luang: mereka
membaca untuk hiburan. Banyaknya waktu luang yang dimiliki perempuan membuat mereka tergerak untuk menulis. Namun
karya-karya yang diha silkan berasal dari catatan harian mereka. Maka dari itu, mereka banyak berbicara mengenai anak-anak dan
kaum perempuan. David Krisna Alka SinarHarapan, 7 Maret 2004 “Sastra Indonesia, Bukan Gaya Seks,” yang me ngatakan karya-
karya Ayu Utami, Djenar, dan teman-temannya sebagai karya yang aniintelektualisme, kare na karya-karya tersebut menjadi kan imaji
seks begitu liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan daripada menga-
rang seputar daerah selangkangan. Nada yang sama juga dilon- tarkan oleh seorang sastra wan dan kriikus senior, Sunarayono
Basuki K.S. Kompas, 4 April 2004, “Seks, Sastra, Kita”, yang me nang gapi karya-karya sastra wan perempuan seperi Ayu
Utami, Djenar, Oka Rusmini, dan teman-temanya yang memilih mengeksploitasi seks dan tubuh mereka agar cepat popu ler dan
dikenal secara luas. Dalam hal ini Basuki juga menyarankan agar para sastrawan perempuan muda tersebut juga meng eksploitasi
masa lah-masalah sosi al yang tak kunjung tun tas. Di sam ping itu, ada juga yang menyebut kar ya-karya para perempuan terse but
sebagai “sastra wangi” atau “sas tra lendir”, de ngan konotasi yang cenderung mere meh kan Budi man, 2005.
Munculnya berbagai tanggapan negaif terha dap kreaivitas dan karya para penulis perempuan tersebut, menunjukkan
masih dominannya kultur patriarkat, se hing ga mereka belum rela memberikan peng akuan terhadap kreaivitas perempuan di
sektor pu blik. Keidakadilan gender tampak jelas pada tang gapan- tang gapan tersebut.