Isu Gender dalam Novel Salah Asuhan dalam Pers pek if
nya, Hanai dengan teman-teman Corrie yang ber kebangsaan Belan da, serta Ayah Corrie dengan ibunya yang orang pribumi.
Dalam hubungannya dengan Corrie dan te man-temannya yang berkebangsaan Belanda, seba gai laki-laki pribumi Hanai
dianggap lebih rendah kedu dukannya. Oleh karena itu, agar dapat menikah dengan Corrie, maka Hanai diharuskan terlebih
dulu mendapatkan pengakuan kewarga negaraan yang seta- ra dengan orang-orang Eropa kebijakan gelijkstelling. Setelah
Hanai me ni kah dengan Corrie, seba gai pa sangan perkawinan campuran, keduanya pun disi sih kan dari ling kungan orang-orang
Eropa Belanda. Arinya, dalam relasinya dengan ras Ero pa, pasangan Hanai-Corrie dianggap idak setara dengan pasangan
Eropa. Persoalan ini sebe lumnya sudah juga sudah dialami oleh pasangan ayah Corrie ras Prancis yang menikah dengan perem-
puan pribumi ibu Corrie. Dengan demikian, relasi gender dalam ma syarakat kolonial, idak semata-mata dilihat dalam hubungan
perbedaan jenis kelamin, tetapi juga dalam hubungan penjajah- terjajah Eropa-pribumi.
Dalam dialog antara Corrie dengan ayahnya juga terungkap pandangan orang-orang Eropa yang meren dahkan orang pribumi
maupun orang Eropa yang menikah campuran dengan orang pribumi, seperi yang dialami oleh ayah Corrie De Bussee.
“Pendeknya, dari kelahiran adalah pa pa kelahiran darah “kesombongan bangsa” tetapi secara yang papa
kandung sebagai perasaan, pada sendiri tak adalah sifat-sifat kesombongan itu. Kaum keluarga kita sangat memandang hina
kepada sekalian orang yang berwarna kulitnya, memandang hina pada sesama Barat nya yang bukan “turunan” yang
dipan dangnya masuk bagian manusia “lapis di bawah”. Asal bangsa Barat, dan berke turunan inggi, meskipun berperangai
sebagai binatang, dan idak berutang satu sen jua, -apalagi kalau hartawan- bagi kaum keluarga papa memang sangat
dimuliakan benar…
El-Khalieqy, 2003: 16. Di dalam pergaulan hidup, sungguh tampaklah orang Barat
dan Timur memper lihatkan bencinya kepada kami berdua, tapi yang terlebih benci ialah orang Barat kepada ibumu….
Dari sebab mamamu idak diakui itulah, maka kami berdua menyisih dari segala pergaulan… Sebab hai papa sungguh
sakit pada sesame kita manusia, atas penghi naan mereka yang diderita oleh mamamu dahulu.
Muis, 1999: 18.
Dalam dialog antara Corrie dengan ayahnya terungkap bagaimana pandangan bangsa Barat dalam konteks kolonial
adalah para kolonialis, imperialis yang mengganggap bangsanya, sebagai negara Dunia Pertama lebih inggi kedudukannya
daripada negara Dunia Keiga yang dijajah. Pan dang an yang meng- akibatkan relasi yang idak setara antara orang-orang yang berasal
dari Dunia Pertama dengan Dunia Keiga, termasuk mereka yang menjalani perkawinan campuran. Apa yang dialami oleh kedua
orang tua Corrie tersebut akhirnya juga dialami oleh Corrie. Ayah sahabat Corrie, yang semula bersedia merayakan pertunangan
Corrie membatalkan niatnya setelah mengetahui bahwa Corrie akan bertunangan dengan seorang pribumi Muis, 1999: 142.
Demikian juga setelah Corrie menikah dengan Hanai, keduanya disi sihkan dari pergaulan teman-teman Belandanya Muis, 1999:
154–155. Salah satu penyebab perceraian antara Hanai dengan Corrie pun antara lain juga disebabkan oleh sejumlah masalah
yang diimbulkan oleh perka winan antar bangsa tersebut.
Dalam teks Salah Asuhan versi pertama, yang idak diterbitkan oleh Balai Pustaka digambarkan sisi negaif Corrie sebagai seorang
istri yang boros dan suka bersolek, sampai akhirnya terjerumus menjadi seorang pelacur. Corrie meninggal karena ditembak oleh
orang yang cemburu kepadanya. Kisah ini idak terdapat dalam novel Salah Asuhan yang diterbitkan Balai Pustaka terbit pertama
kali 1927, seperi yang kita kenal sampai sekarang. Beberapa puluh tahun kemudian, kita baru me ngetahui bahwa novel Salah Asuhan
yang diterbitkan Balai Pustaka itu merupakan versi revisi dari naskah pertama yang dikirimkan Muis ke Balai Pustaka. Sebelum
terbit novel itu telah “idur” di kamar Balai Pustaka selama lebih dari setahun Hunter, dalam Foulcher dan Day, 2006: 162. Seperi
dikemukakan Hunter dalam Foulcher dan Day, 2006: 162, dalam surat yang ditulis oleh Abdul Muis didapatkan informasi bahwa
setelah lebih dari setahun penga rang mengirimkan novel Salah
Asuhan ke pener bit Balai Pustaka, dia menulis surat kepada
penerbit, yang isinya antara lain sebagai berikut:
Karya itu Salah Asuhan sudah berada di kantor anda selama lebih dari dua tahun, dan saya masih menunggu keputusan.
Ba rangkali bagian-bagian yang menggeliik di sana sini harus dihilangkan, atau isi mereka diutarakan dengan cara lain. Saya siap
penuh untuk me lakukan perbaikan-perbaikan itu karena, ijinkan saya mengulangi, novel ini sama sekali idak dimak sudkan untuk
mem perlebar kesenjangan antara Timur dan Barat…
Setelah mengirimkan surat tersebut, Muis ke mu dian mengubah sebagian cerita dari novelnya. Per ubahan tersebut,
seperi dikemukakan Hunter dalam Foulcher dan Day, 2006: 161 adalah pada bagian cerita yang berhubungan dengan penyebab
perceraian Hanai dan Corrie, serta penyebab kemaian Corrie.
Dalam Salah Asuhan yang diterbit kan Balai Pustaka, seperi yang
dapat kita baca sekarang, perceraian tersebut terjadi karena Hanai menuduh istrinya telah berbuat serong dengan laki-laki
lain dengan peran taraan Tante Lien, tanpa ada bukinya. Setelah bercerai dengan Hanai, Corrie ke Semarang dan bekerja di rumah
yaim piatu, sampai dia meninggal dunia karena menderita sakit kolera. Cerita ini merupakan versi revisi dari cerita sebelumnya.
Corrie digambarkan sebagai seorang perempuan yang suka bersolek dan menyukai pergaulan bebas. Corrie memiliki
hubungan dengan seorang pemain keroncong bernama Jantje. Gaya hidupnya yang mewah sangat membebani suami nya.
Kemewahannya mendorongnya menjadi pe lacur umum dan ia mai ditembak oleh salah seorang anak buah hainya karena iri
hai Hunter dalam Foulcher dan Day, 2006: 161.
Dalam situasi dan kondisi kolonial Belanda, maka cerita Salah Asuhan
versi pertama, tampak terlalu meren dahkan citra ras Eropa, sehingga idak dapat diterima oleh penerbit Balai Pustaka.
Pada versi kedua, citra Corrie sebagai representasi ras Eropa di hadapan pribumi Hindia Belanda Hanai tampak lebih ter hormat.
Perubahan pada detail cerita Salah Asuhan menunjukkan adanya kompromi yang dilakukan oleh Muis dengan penerbit Balai Pustaka.
Walaupun posisi Hanai sebagai pribumi lebih rendah dalam hubungannya dengan orang-orang Ero pa, namun dalam
hubungannya denga Rapiah yang disebut sebagai istri pemberian ibu nya, Hanai tampil sebagai seorang suami yang dominan.
Istrinya harus menurut dan tunduk kepadanya. Dia bukan hanya sosok suami yang patriarkats, tetapi merasa bahwa posisinya
lebih inggi dari istrinya karena telah men da patkan pen di dik an Belanda. Keadaan tersebut membuat Rapiah tertekan dan inferior
di hadapan suaminya.
Apa yang disukai oleh Hanai, Rapiah harus membenarkannya. Dengan cemooh dite rangkan segala
kewajiban perempuan Islam ter hadap suaminya, lalu ia berkata bahwa mar tabatnya terlalu inggi, akan mem-buat
misbruik atas kelemahan perempuan itu. Rapiah, yang tahu ari misbruikitu me nun dukkan kepala alamat bersyukur atas
kemu rah an hai junjung an itu…
Muis, 1999: 72–73 Kalau suaminya ke kantor atau keluar rumah, lapanglah
dadanya, nyaring suaranya, tetapi kalau Hanai ada di rumah mulutnya sebagai diketam. Ia tak benci pada suaminya,
melainkah takut. Kalau Hanai bergaul dan bermain tenis dengan kawan-kawannya bang sa Eropa, Rapiah berkubur
sajalah di dapur dengan mertuanya.
Hanai sendiri menyangka, bahwa tak adalah istrinya, bila ia sudah bergaul dengan kawan-kawan. Tak seorang jua yang
diper kenalkan betul dengan Rapiah, melainkan sekali dahulu saja, waktuu Rapiah mula-mula masuk rumahnya. Sesudah itu
dihabisinya segala siasat orang tentang istrinya dengan berkata, “Oh, dia anak kampong totok, sangat takut melihat Belan da”
Muis, 1999: 73–74
Sikap Hanai yang merendahkan istrinya Rapi ah juga terjadi karena dibandingkan dengan Corrie yang dikenalnya keika Hanai
bersekolah di sekolah Belanda di Solok. Pendidikan model Belanda yang diperolehnya menyebabkan Hanai menjadi sosok yang
ingkar terha dap tanah air dan keluarga yang melahirkannya. Dalam perbandingannya de ngan Corrie dan teman-teman perempuan
Belan da Hanai, maka Rapiah sebagai perem puan pribumi istri Hanai telah mengalami keterin dasan ganda. Sebagai pe-
rempuan yang hidup dalam kultur patriarkat, dia harus menjadi istri yang patuh, tunduk, dan takut kepada suaminya. Bahkan juga
keika pada akhirnya dia diinggalkan begitu saja dan dikirimi surat cerai oleh suaminya. Diban dingkan dengan Corrie, yang kemu dian
dinikahi oleh Hanai, Rapiah hanyalah orang kampung totok, tak berpendidikan, bahkan dicitrakan serupa koki saja.
Posisi Rapiah sebagai the other dalam hubung annya dengan Corrie dan teman-teman Hanai yang berkebangsaan Belanda
tampak jelas dalam cerita keika Hanai belum menikah dengan Corrie. Keika itu Hanai masih inggal serumah dengan ibu dan
istrinya Rapiah, Hanai sering dikunjungi teman-temannya berkebang saan Belanda. Di hadapan teman-teman Belandanya,
Hanai sangat merendah kan ibu dan istrinya. Kedua perempuan tersebut menyediakan hidangan untuk tamu-tamu Hanai tanpa
mendapat penghargaan. Akibatnya, ibu Hanai marah dan menyindirnya dengan mengucap kan kata-kata berikut.
“Kedua budakmu sedang menyedia kan makan an buat junjungannya, Hanai” sahut ibu nya dengan tajam. “Coba-
cobalah barang sekali mengganikan pekerjaan perem puan
atau bujang, supaya tahu menghargai peluh orang yang keluar dalam berhambakan diri itu… “
Muis, 1999: 80–81.
Sindiran tersebut menunjukkan perlawanan dari ibu Hanai terhadap sikap anaknya yang se mena-mena terhadap istrinya.
Sikap semena-mena Hanai terhadap istrinya tersebut juga diprotes oleh Nyonya Asisten Residen, salah seorang tamu Hanai
dengan mengatakan sebagai berikut.
“Tahukah engkau Hanai, apa arinya kewajiban, bila seorang laki-laki sudah meni kahi seorang gadis; sudah
mengambil dari gadis itu barang taruhannya yang semulia- mulianya, sudah membawa ia kepada siksaan dunia wak tu
me ngan dung anaknya, sudah mende katkan dia ke pintu kubur tatkala ber salin?
Tahukah engkau Hanai kewajiban yang sebesar-besarnya terhadap kepada seo rang pe rem puan yang di muka makhluk,
di muka Tuhan sudah kaunamai “istrimu”? Muis, 1999: 74.
Dari uraian tersebut tampak adanya hu bungan antara posisi dan relasi gender dengan etnisitas, ras, dan kewarganegaraan dalam
konteks kolonial. Yang menarik dari isu gender yang terepresentasikan dalam novel ini adalah adanya kriik dan perlawanan terhadap relasi
gender yang dibangun oleh ideologi patriarkat dalam konteks etnik Minangkabau dan pergaulan antarras dalam masa kolonial.
Dalam perspekif feminisme poskolonial, posisi ibu Hanai dan Rapiah merupakan anggota kelompok subsaltern, perempuan
dunia keiga idak pernah didengar suaranya Spivak, 1988: 306; Gan dhi, 1998: 87–89. Dengan judul Salah Asuhan dan ini cerita
tragedi tokoh Hanai yang mengubah nama nya menjadi Crisian Hans dan mendapatkan persa maan hak kewarganegaraan Eropa,
serta mening galkan istri dan ibunya yang orang pribumi untuk menikah dengan seorang gadis Indo Corrie, dalam perspekif
femi nisme poskolonial novel ini mencoba mengkriisi dominasi patriarkat dan koloni alisme Barat yang men jadikan perempuan
pribumi Dunia Keiga sebagai korban. Penderitaan dan kehan curan yang diterima oleh Hanai, yang di peroleh akibat
perceraiannya dengan Corrie, disusul dengan kema ian Corrie baik karena penyaikit Kolera pada versi Balai Pustakasekarang
maupun karena ditembak orang, pada versi pertama yang idak diterbitkan me nun jukkan adanya pandangan feminisme yang
berpihak pada perempuan pribumi Dunia Keiga dan menolak keke rasan kesemena-menaan yang dilaku kan oleh laki-laki
maupun bangsa Barat terha dap perempuan Dunia Keiga.