oleh laki-laki Showalter, 1985: 130.
i. Hasil Analisis
1 Perlawanan Simbolis terhadap Tradisi Pingit an dengan Pendidikan bagi Perempuan
Sebagian besar novel Indonesia yang meng angkat pening nya isu pendidikan, ter utama yang mengambil latar waktu sebelum
masa kemerdekaan menunjukkan bahwa untuk dapat menempuh pen didikan seorang perempuan harus berhadapan de ngan dua
hal, yaitu tradisi masyarakat yang masih menjalankan pingitan dan terbatasnya seko lah yang dapat menerima perempuan untuk belajar.
Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarat di Indonesia yang mengharuskan seorang anak pe rem puan ber umur
12 tahun harus inggal di ru mah, sampai mendapatkan jodohnya. Seperi dike mu kakan oleh Siisoemandari Soeroto dalam buku
Karini Sebuah Biograi 2001: 4 bahwa pada masa penjajahan Belanda berlaku adat isiadat feodal di kalangan kaum bangsawan
menengah dan atas yang disebut pingitan. Mengenai makna pingitan ini pernah dikemukakan oleh de Stuers, yang menelii
gerakan perempuan di Indonesia, yang ke mudian diterbitkan dalam dalam buku SejarahPerempuanIndonesia:GerakandanPencapaian
2008. Menurutnya kata dipingit diambil dari kata “kuda pingit” yang arinya kuda yang dikurung di dalam kandang dan idak
dibiarkan bebas berkeliaran seperi kuda lain. Metafora tersebut dapat diterima karena adanya asosiasi makna antara kuda yang
idak diperbo lehkan keluar kandang, dengan seorang perempuan yang idak dipetrbolehkan keluar dari lingkungan ru mah nya.
Gambaran mengenai tradisi pingitan terha dap anak-anak
perempuan, misalnya di Jawa juga tampak pada surat-surat Karini Door Duisternis tot Licht Habis Gelap Terbitlah Terang,
J.H. Aben danon, 1979, yang mereleksikan kondisi masya rakat pada zaman nya. Dalam salah satu surat Kar ini berikut misal nya,
tampak adanya prakik pingitan yang dialami gadis-gadis Jawa.
Keika umur gadis itu menginjak 12 ½ tahun, ibalah waktunya ia meninggalkan hidup kanak-kanaknya yang lela.
Ia harus minta diri dari bangku sekolah, tempat duduk yang disukainya. Ia harus pamit pada teman-teman nya bangsa
Eropah, pada hal ia senang sekali berada di tengah-tengah me reka. Ia dipandan cukup de wasa untuk pulang dan tunduk
kepada kebiasaan nege rinya, yang meme rin tahkan kepada anak-anak perem puan nuda inggal di rumah, hidup benar-
benar terasing dari dunia luar sampai iba saatnya datang laki- laki, yang diciptakan Tuhan bagi mereka masing-masing untuk
menuntutnya dan memba wanya pulang ke rumah nya….
Surat Karini kepada Ny R.M. Aben danon-Madri, Sulasin- Sutrisno, 1979: 50–51.
Di samping harus berhadapan dengan tradisi pingitan yang berlaku idak hanya di Jawa, tetapi juga daerah lain di luar Jawa,
seperi yang tergambar dalam sejumlah novel AzabdanSengsara, Sii Nurbaya, Kehilangan Mesika, para perempuan yang akan
belajar di sekolah juga terkendala oleh jum lah seko lah yang masih terbatas, yang idak semuanya dapat dimasuki oleh perempuan.
Sesuai dengan konteks sosial historis saat itu, jumlah sekolah dan orang Indonesia yang menempuh pendi dikan masih sangat sedikit,
terlebih kaum perempuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemu-