Keika Perempuan Berjuang Melalui Organisasi Sosial

yang tak mengenal mata surat diberi kesem patan untuk belajar. Mereka itu tentu saja berasal dari luar Bangka, yang telah iba di ingkat yang jauh lebih inggi dari saudara-saudaraku penduduk Bangka asli… Mereka menyuruh aku berusaha sedapat-da pat nya dan di dalam segala pekerjaan mereka sang gup meno long ku. Pada sangkaku apabila akan mem perbaiki sesuatu bangsa mesilah di mulai dengan putri-putri bakal ibu. Jikalau mereka telah mengeri kepeningan perguru an, tentulah mereka tak segan- segan dan tak sayang merugi mengeluarkan ongkos untuk menyerah kan anaknya ke sekolah. Hal inilah yang mendorongku akan men dirikan perkumpulan bagi kaum ibu. Pendapatku ini ku kemu kakan. Kawan-kawanku setuju se mua nya. De ngan demi kian sesudah bersusah payah sedikit da pat lah kami dirikan sebuah per- kumpulan yang mem punyai anggota yang kurang lebih tak kurang dari sepuluh orang. Maklumlah Mentok yang di dalam segala hal jauh keinggalan dari tempat lain. Berkat giatnya kami bekerja maka perkumpulan itu pun semakin hari ma kin maju juga. Kursus segera diadakan dan yang diutamakan sekali yaitu membaca dan menulis. Kerja tangan dan memasak pun tak keinggalan. Hamidah, 1959: 24 Dari kuipan tersebut tampak bagaimana Hamidah dan para perempuan di lingkungannya belajar bersama mem baca, menulis, pekerjaan tangan, dan memasak untuk me ningkatkan kualitas diri mereka. Gambaran mengenai peran perempuan dalam orga ni sasi perempuan dan sosial selanjutnya tampak pada novel Layar Terkembang,­Manusia­Bebas, Burung-Burung­Rantau,­dan Namaku Teweraut.­ Dalam Layar­ Terkembang di gam bar kan akivitas Tui sebagai ketua dan anggota organisasi perempuan Putri Sedar, sementara Mari, kakak perempuan Sulastri Manusia­ Bebas adalah ketua organi sasi Perempuan Insyaf. Di samping itu, dalam kedua novel tersebut juga digam barkan perisiwa berlang sungnya Kongres Perempuan Indo nesia. Apa yang digambarkan dalam kedua novel tersebut meng gambarkan keberadaan sejumlah orga- nisasi perempuan pada masa prakemerdekaan. Dalam realitas idak ada organisasi Putri Sedar maupun Perempuan Insaf, tetapi yang ada adalah Putri Merdeka dan Istri Sedar. Putri Merdeka merupa kan orga nisasi perempuan pertama yang didirikan di Ja kar ta pada 1912. Organisasi ini memberikan bantuan dana kepada kaum perem puan agar dapat bersekolah atau melanjut- kan sekolah nya, memberikan saran dan informasi yang dibutuh- kan, me num buhkan semangat, dan rasa percaya diri kepada kaum perem puan Blackburn, 2007: xxvi. Istri Sedar didirikan 1930 di Bandung dan diketuai oleh Nyonya Soewarni Djojoseputro Stuers, 2007: 135. Stuers 2007: 135 menduga organisasi Istri Sedar inilah yang menjadi model dari orga ni sasi Putri Sedar dalam novel Layar­Terkembang pada 1931. Istri Sedar me nyelenggarakan kongres pada bulan Juli di Jakarta. Kalau orga nisasi Istri Sedar disamakan dengan Putri Sedar, maka pada kongres inilah tokoh Tui Layar­ Terkembang menyampaikan pidatonya mengenai keadaan perem puan pada zamannya dan zaman sebelumnya. Pidato Tui dalam Kongres Putri Sedar di Jakarta me nge nai kedudukan perempuan dalam masyarakat tampak mereali sasi kan tujuan Putri Merdeka maupun Putri Sedar. “Saudara-saudaraku kaum perempuan, ra pat yang terhormat Berbicara tentang sikap pe rempuan baru sebagian besar ialah berbicara ten tang cita-cita bagaimanakah harusnya ke du duk an perempuan da lam masyarakat yang akan da tang. Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita- cita yang demikian se ma ta-mata berari berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang iada mempunyai guna yang prakis sedikit jua pun. Saudara-saudara, dalam iap-iap usaha ha nya lah kita mungkin mendapat hasil yang ba ik, apabila terang kepada kita, apa yang hendak kita kerjakan, apa yang hendak kita kejar dan ki ta capai. Atau de ngan perkataan lain: dalam se ga la hal hendaklah kita mempunyai gambaran yang senyata-nyatanya tentang apa yang kita ci ta-citakan. Demi kianlah menetapkan bagai ma na harus sikap pe rempuan baru dalam ma sya rakat yang akan datang berari juga menetap kan pedo man yang harus diturut waktu mendidik kanak-kanak perem pu an waktu sekarang. Untuk se je las-je lasnya melu kis kan bagai mana kedudukan nya da lam segala cabang masya rakat haruslah kita lebih dahulu meng gam barkan seterang-te rangnya sikap dan kedu duk an perempuan bang sa kita di masa yang silam”. “….Hitam, hitam sekali penghidupan pe rem puan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperi laki-laki yang mem punyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya ham ba sahaya, perempuan hanya budak yang ha rus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan iada mempunyai hak. Se inggi- ingginya ia menjadi per hiasan, menjadi main an yang di mu- lia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar, apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya. Alisyahbana, 1986: 34. Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan di kembali- kan derajatnya sebagai manusia, baru lah ke adaan bangsa kita dapat berubah. Jadi perubahan kedudukan perempuan dalam masya rakat itu bu kan lah semata-mata kepeningan pe rem- puan. Kaum laki-laki yang insaf akan ke pen ingan yang lebih mulia dari kepeningan hainya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu. Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah pe rem puan sendiri insaf akan dirinya dan ber juang un tuk mendapatkan penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia idak boleh me nyerahkan nasib nya kepada golongan yang lain, apalagi golongan laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia harus me lepaskan ke kuasa annya yang telah ber abad-abad dipertahan kan nya. Kita harus memban ing tulang sen diri untuk mendapatkan hak kita sebagai manu sia. Kita ha rus merinis jalan untuk lahirnya perem puan yang baru, yang bebas berdiri menghadapi du nia, yang berani melihat kepada siapa jua pun. Yang per caya akan tenaga sendiri dan berpikir sendiri. Yang berani menanggung jawab atas segala per buatan dan buah pikirannya. Malah an yang ha nya akan me lang sungkan sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan kata hainya. Yang berterus- terang mengatakan apa yang terasa dan terpikir kepada nya dengan suara yang tegas dan keyakinan yang pasi. Pendeknya manusia yang sesungguhnya ma nu sia. Yang hidup semangat dan hainya dan ke segala penjuru mengembangkan kecakapan dan ke sanggup an nya untuk keselamatan dirinya dan un tuk kesela matan pergaulan…. Alisjahbana, 1986: 34–38 Melalui pidatonya di Kongres Perempuan tersebut Tui meng- gambarkan kondisi perempuan masa lampau sampai pa da zamannya yang berada dalam belenggu penindasan pa tri arkat. Dalam pidatonya Tui melakukan kriik terhadap kondisi tersebut dan mengemukakan gagasan mengenai apa yang se harusnya di- lakukan para perempuan zamannya un tuk melawan penindasan tersebut dan menunjukkan ek sis tensinya. Gambaran mengenai kegiatan para perempuan seperi Tui dan kawan-kawannya dalam organisasi perempuan me re leksikan apa yang terjadi dalam masyarakat pada saat itu. Layar Ter­ kembang­tampaknya ditulis sebagai dukungan ter ha dap gagasan mengenai kondisi dan cita-cita ideal pe rem puan Indonesia yang dikemukakan dalam Kongres Perem puan II tersebut. Peran perempuan dalam organisasi perempuan dalam Ma­ nu­sia­ Bebas­ tampak pada akivitas Mari, adik Sulastri, yang inggal di Jakarta menjadi ketua organisasi perempuan yang bernama Perempuan Insyaf dan tengah mempersiapkan penye- leng garaan Kongres Perempuan Indonesia Djojopuspito, 1975: 16, 185, 191, 192. Dalam novel Manusia­Bebas yang di tulis oleh Soe war sih Djojo puspito ini, dengan latar waktu sekitar 1930-an dan latar tempat sebagian besar di Bandung dan Yogyakarta di- ceritakan tentang perjuangan yang dilakukan oleh se jumlah kaum intelektual pribumi di lapangan pendidikan swasta dan organisasi perempuan. Dari biograi pengarang ditemukan informasi bahwa Soewarsih Djojopuspito lahir pada 21 April 1912 di Bogor dengan nama kecil Tjitjih. Dia mendapatkan pendidikan HIS Sekolah Dasar 7 tahun di Cicurug pada 1919–1926, kemudian meneruskan ke MULO SMP jaman Belanda pada 1927–1929 di Bogor, dan terakhir pada Europeesche­Kweekschool Sekolah Guru Atas Belanda, hanya dua orang pribumi dari 28 murid di Surabaya pada 1930-1932. Setelah lulus 1933 pindah ke Bandung menjadi guru di SR Pasundan, padahal memiliki ijazah sebagai guru sekolah Belanda yang seharusnya mengajar di sekolah Belanda namun lebih memilih perguruan pribumi dan akif dalam Perkoempoelan Perempoean Soenda sebagai anggota. Tahun 1934 menikah dengan Sugondo Djojopuspito Rimbun Nata marga, Komunitas Ruang Baca Tempo .­ Ber sama suaminya, Sudar mo, Sulastri dan kawan-kawannya ada lah sosok kaum muda yang mendirikan sekolah-sekolah swasta Perguruan Kebang saan untuk membe rikan pelajar an kepada masyarakat agar idak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah pemerintah. Karena berseberangan de ngan pemerintah kolonial, keberadaan sekolah-sekolah swas ta tersebut mendapatkan pengawasan yang ketat dari peme rintah. Beberapa guru dilarang mengajar sampai akhirnya seko lah ter paksa harus ditutup. Gambaran mengenai peran perempuan yang berjuang da lam organisasi perempuan dalam novel Layar­ Terkembang­ maupun Manusia­Bebas menunjukkan adanya hubungan dengan maraknya sejumlah organisasi perempuan pada tahun 1920–1930-an dan perisiwa Kongres Perempuan I dan sete rusnya. Ga gas- an mengenai peningnya pendidikan bagi perem puan dan nasib perempuan pada masa itu dan cita-cita perempuan Indo nesia yang disampaikan dalam Layar­Terkem­bang­dan Manusia­Bebas gagasan yang dibicarakan dalam Kongres Perempuan ter sebut. Kongres Perempuan I diseleng garakan atas prakarsa Nyo- nya Soekonto, guru perempuan di sekolah Belanda Pribumi dan anggota Komite Wanito Utomo, seperi Nyi Hadjar Dewantoro dan Soejain Nyonya Kartowijono, guru Perguruan Taman Siswa dan anggota Komite Putri Indonesia Stuers, 2007: 133. Dalam kong- res tersebut berkumpul perwakilan dari 23 organisasi perempuan dengan 15 orang pembicara dengan dihadiri oleh sekitar 1000 orang Oetoyo-Habsjah dalam Blackburn, 2007: xi. Dibahasnya berbagai isu gender dalam kongres tersebut menunjukkan adanya kepedulian dari sebagian perempuan Indo- nesia terpelajar terhadap nasib dan keberadaan perem puan pada masa itu. Masalah yang dibahas dalam kongres tersebut adalah: 1 Pergerakan Perempuan, Perkawinan, dan Perceraian R.A. Soe dir man, Poetri Boedi Sedjai; 2 Derajat Perempuan Sii Moen djijah, Aisyiyah Yogyakarta; 3 Per kawin an Anak- anak Moega roemah, Poetri Indonesia; 4 Kewajib an dan Cita- cita Putri Indo nesia R.A. Sii Soendari Darmobroto, Poetri Indonesia; 5 Bagai manakah Jalan Kaum Perempuan Sekarang dan Nani? Tien Sastrowirjo; 6 Ke wajiban Perempuan di Dalam Rumah Tangga R.A. Soekonto, Wanito Oetomo; 7 Ibu Djami, Darmo Laksmi; 8 Salah Satu Kewajiban Perempuan Sii Zahra Goenawan, Roekoen Wanodijo; 9 Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Djojoadigoeno, Wanito Oetomo; 10 Keadaan perem- puan Europa Tii Sastroamidjojo; 11 Kebutuhan akan tenaga perempuan dalam pekerjaan sosial Sii Marjam, Jong­Java; 12 Gambaran Perempuan dalam Rumah Tangga Soetojo-Nimpoeno, Wanito Se djai, Bandung; 13 Pidato tanpa judul tanpa nama dari Wanito Moelyo, Yogyakarta; 14 Persatuan Manusia Sii Hajimah, Aisjijah; 15 Adab Perempuan Nyi Hadjar Dewantoro, Wanita Ta- man Siswa Blackburn, 2007: xxxv–xxxvi. Sejumlah makalah yang ditampilkan dalam Kongres Perem puan I telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam Kongres­ Perem­puan­ Pertama­ Tinjauan­ Ulang Susan Blackburn, editor 2007. Kongres Perempuan I berhasil mendirikan Perse rikatan Perempuan Indonesia PPI yang berniat untuk mengembangkan posisi pe rem puan dan kehidupan secara keseluruhan Stuers, 2007: 134. Untuk menuju tujuan ter sebut PPI mengirimkan iga buah permintaan kepada peme rintah, yaitu: 1 sekolah untuk pe- rempuan harus diing katkan, 2 pen jelasan resmi mengenai ari taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah, 3 per aturan yang menolong para janda dan anak yaim piatu dari pegawai sipil harus dibuat Stuers, 2007: 134. Selan jut nya Kongres Perem puan kedua diselenggarakan oleh PPI di Jakarta 26–31 Desember 1929; nama organisasi pun diubah menjadi Perikatan Perhim punan Is teri Indonesia PPII. Pada kongres tersebut diumumkan peneri ma an pemerintah menge nai iga buah usulan pada Kong res Perem puan I Stuers, 2007: 135.

3. Simpulan

Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada masa prakemerdekaan kaum perempuan telah memiliki kesadaran yang cukup inggi untuk memperjuangkan nasib kaumnya agar mencapai derajat yang tejajar dengan kaum laki- laki. Mereka adalah kaum perempuan yang telah lebih dulu mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan akhirnya berjuang melalui organisasi perempuan yang mereleksikan keberadaan organisasi perempuan pada awal 1920–1930-an. Gambaran tersebut tampak jelas dalam novel Layar­Terkembang­ maupun Manusia­Bebas.­

C. Rangkuman

Pada pembahasan di atas tampak adanya hubungan anta ra akivitas para perempuan yang digambarkan dalam novel Indo- nesia dengan realitas sosial historis yang terjadi dalam masya- rakat, khususnya yang berhubungan dengan sejarah perjuangan perempuan melalui berbagai organisasi perempuan pada awal 1920–1930-an. Hal ini me nun juk kan bahwa gerakan femi nisme di Indonesia idak hanya terjadi dalam realitas sosial his toris, tetapi juga digambarkan dalam realitas simbolis, pada novel-novel yang ditulis pada masa tersebut. Dalam hal ini novel yang terbit pada saat itu ikut merepresentasikan gerakan feminisme, terutama masa masa sebelum kemerdekaan.

D. Latihan dan Tugas

1. Bacalah beberapa novel yang telah dibahas dalam materi di bab ini untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai cerita yang dikaji 2. Cobalah untuk membuat beberapa simpulan dari novel yang Anda baca dalam perspekif kriik sastra feminis