kesehatan, dan sebagainya. Tong juga mene gaskan bahwa seorang perempuan warga negara Dunia Kesatu, atau Dunia Keiga, negara
industri maju atau negara berkembang, negara yang menjajah atau dijajah akan mengalami penindasan secara berbeda.
Menurut Gandhi 1998: 83 feminisme dunia keiga atau feminisme poskolonial yang merupakan aliansi antara teori
poskolonial dan feminisme yang berusaha memukul balik hierarki gender buda yaras yang telah ada dan menolak oposisi biner
terhadap konstruk wewenang patriarkatkoloni al isme sendiri. Para penganut teori feminisme posko lonial telah memberikan alasan
yang kuat bahwa persoalan pusat poliik rasial telah meneng- gelamkan kolonisasi ganda kaum perempuan di bawah keku asaan
imperialisme. Dalam hal ini, teori feminis poskolonial merumuskan bahwa perempu an dunia keiga merupakan korban par exellence
atau korban yang terlupakan dari dua ideologi impe rialisme dan patriarkat asing Gandhi, 1998: 83. Dengan perspekif feminisme
poskolonial, melalui arikelnya “CantheSubalternSpeak?” Spivak dalam Gandhi, 1998: 87–89 memahami posisi perempuan
sebagai anggota ke lompok subsaltern. Dia menge mukakan bahwa dalam wacana feminisme poskolonial, sebagai kelompok subaltern
perempuan dunia keiga meng hilang karena kita idak pernah mendengar mereka berbicara tentang dirinya Gandhi, 1998: 87–
89. Se bagai negara yang terdi ri dari mulietnik dan bekas negara jajahan, maka karya sastra novel yang ditulis oleh sejumlah
sastrawan di Indonesia pun idak terlepas dari nuansa etnisitas dan poskolonial. Novel seperi Sii Nurbaya karya Marah Rusli,
Salah Asuhan karya Abdul Muis, Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisyahbana, BumiManusia karya Pramoedya Ananta Toer,
serta Burung-burungManyar karya Y.B. Ma ngunwijaya merupakan contoh beberapa novel yang mengandung nuansa etnisitas dan
poskolonial, termasuk dalam hubungannya dengan isu gender. Oleh karena itu, pemahaman terhadap isu gender yang tereleksi dalam
novel-novel tersebut lebih tepat de ngan menggunakan perspekif feminisme dunia kei gafeminisme mui kulturalfeminisme posko-
loni al.
4. Isu Gender dalam Novel Geni Jora dalam Perspekif
Feminisme Islam
Novel Geni Jora dipilih menjadi salah satu sam pel dari beberapa novel yang mengangkat isu gender dari perspekif
Islam. Novel ini merupakan salah satu karya Abidah El-Khalieqy dan pernah menjadi pemenang kedua dalam Sayembara Menulis
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Di samping menulis Geni
Jora , Khalieqy telah menulis sejumlah puisi, cerita pendek, dan
novel, antara lain PerempuanBerkalungSurban,AtasSinggasana, dan Menari di Atas Guning. Dalam karya-karyanya, Khalieqy
meru pakan salah seorang sastrawan perempuan yang konsisten menganggap persoalan perempuan dalam hubungan nya dengan
kultur patriarkat dan dunia pesantren.
Geni Jora bercerita tentang seorang gadis berna ma Kejora
sejak masa kecil sampai remaja. Jora dibesarkan dalam lingkungan keluarga Islam tradi sional dan kultur patriarkat yang begitu
membedakan peran gender antara perempuan dengan laki-laki. Namun, Jora bukanlah perempuan yang dapat hid up nyaman
dalam lingkungan patriarkat, sejak kecil jiwanya senaniasa gelisah dan berontak iap kali menyaksikan dan mengalami keidakadilan
gender yang dilakukan ayahnya, ibunya, adik lelakinya, juga paman-pamannya. Melalui petu alangan isik, intelek tual, dan jiwa
Jora novel ini mencoba menyadarkan pembaca akan peningnya kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dari novel Geni Jora ditemukan gambaran relasi gender yang didonimasi ideologi patriarkat yang diku kuhkan melalui penafsiran
ajaran Islam yang bias gender. Dalam novel tersebut di gambarkan tokoh Jora dengan jiwa feminisnya yang lahir akibat keidakadilan
gender yang dialaminya sejak kecil menggugat pan dangan yang
memar ginalkan perempuan.
Siapakah perempuan? Barisan kedua yang menyimpan aroma melai kelas satu? Semesta alam terpesona ingin
meraihnya, memiliki dan mencium wanginya. Tetapi kelas dua? Siapakah yang menentukan kelas-kelas? Sehingga laki-laki
adalah kelas perta ma? Se men tara Rabi’ah al Adawiyya laksana roket melesat mengatasi ranking dan ke las...Nilaiku ranking
pertama tetapi sekali lagi tetapi, jenis kelaminku adalah perem puan. Bagaimana bisa perempuan ranking pertama?...,
Dari atas kursinya, nenekku mulai cera mah. Bahwa perempuan harus selalu mengalah. Jika perempuan idak
mau me ngalah, dunia ini akan jungkir balik be rantakan seperi pecahan kaca. Sebab idak ada laki-laki yang mau me ngalah. Laki-
laki selalu ingin menang dan menguasai keme nangan. Sebab itu perempuan harus siap me-nga-lah pakai awalan ‘me’.
“Jadi selama ini Nenek selalu menga lah?” “Itulah yang harus Nenek lakukan, Cucu.”
“Pantas Nenek idak pernah diperhi tungkan.” “Diperhitungkan?” Nenek melonjak.
El-Khalieqy, 2003: 61.