Metafora Seksualitas dalam Novel Indonesia
Kukurung mereka berdua di bunga lowku di Pekanbaru selama dua malam. Dan ternyata, kejadian. Mereka bercinta.
Hahaha. Lebih gam pang daripada mengawinkan an jing ras. Malah, Yasmin meninggalkan cu pang-cu pang di heler lekaki
itu. Hohoho. Sekarang kedudukan kita seri, Yasmin. Elu nggak kebih suci daripada gue.
Utami, 2003: 87
Penggunaan metafora dalam Larung, yang menya makan Yasmin dan Saman sebagai hewan pada ung kap an kukurung
mereka menunjukkan bahwa keduanya berada dalam kekuasaan orang lain, dalam hal ini Cok, penyamaan dengan hewan juga
tepat karena keduanya ternyata idak mampu menghindari dorongan nafsu seks nya, sehingga ter ja dilah hubungan seks, yang
bagi Yasmin berari perselingkuhan, semen tara bagi Saman berari pe langgaran atas janjinya untuk hidup selibat. Semen tara itu,
penggunaan metafora dalam GarisTepiSeorangLesbian,“Ranjang tempatkitabersenyawamenjadidingin,tangan-tanganhalusmu
lama sudah tak menyentuhnya.” Dan aku beku di dalamnya, menunjukkan kosong hampanya perasa an tokoh Paria setelah
di ing galkan pasangan lesbi yang dicintainya.
Penggambaran fenomena seks secara idak lang sung tersebut berfungsi memperhalus ungkap an, sehing ga idak terkesan vulgar.
Pemahaman pem baca bahwa yang diungkapkan adalah feno mena seks didukung oleh imajinasi yang diimbul kan dari ung kapan
tersebut.
Di samping pengungkapan melalui cara ko no taif, dalam karya yang dikaji juga ditemukan peng gungkapan secara langsung
denotaif. Peng gambaran fenomena seks secara denotaif ditemukan dalam tujuh buah novel yaitu MahadewaMahadewi,
Saman, JJ,
Dadaisme,Ip, Sm
,
dan Larung. Cara seperi itulah yang
kemudian me nimbulkan penilaian negaif dan kemarahan pemba- ca terhadap karya-karya tersebut. Contoh data tersebut antara
lain adalah:
Reno menatap kedua mata Kako dan melumatnya dalam pandangan yang berbi nar-binar, seperi anak laki-laki puber
yang kagum keika melihat gambar-gambar wanita telanjang untuk pertama kalinya.
“Seiap mukosa di tubuh saya sudah pernah disentuh… oleh jari-jari…bi bir… li dah … dan gigitan kecil…”
“Semua itu sesuai kemauan kamu…?” “Tidak semua sesuai kemauan saya.”
Yusuf, 2003: 33
Walaupun cara penggambaran fenomena seks secara denotaif lebih sedikit dari pada cara ko notaif, tetapi tampak
menyolok karena kekasar annya. Akibat nya, tanggapan, bahkan hujatan dari masyarakat pem baca terhadap karya-karya tersebut
cukup banyak, seperi sudah dipaparkan pada latar belakang masalah dan peneliian yang relevan.
Fenomena seks pada novel-novel yang dikaji sebagian besar hadir secara melekat pada unsur tokoh yaitu dalam bentuk perilaku
tokoh, pikiran tokoh, monolog tokoh, hasrat seks tokoh yang disampaikan melalui e-mail, serta kenangan tokoh. Di samping
itu, sebagian kecil disampaikan oleh narator. Dari temuan tersebut
tampak bahwa, feno mena seks merupakan hal yang dialami dan dira sakan oleh para tokoh dalam novel yang dikaji.
Lima buah novel yang menggambarkan feno mena seks dalam hubungannya dengan perilaku tokoh adalah Mahadewa
Mahadewi, JJ
, WSV
, Tabularasa, Sm
. Dalam Mahadewa Mahadewi
tokoh yang terlibat hubungan seks antara lain Yukako dengan Reno, Leo, dan Dayat dalam hu bungan heteroseksual,
serta Gangga dan Prasetyo dalam hubungan homo seksual. Dari beberapa buah data yang terungkap, digambarkan bagaimana
Yu kako adalah seorang perempuan lajang yang selalu dapat menikmai hu bung an seksnya dengan laki-laki.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa feno me na seks dalam novel-novel yang dikaji meru pakan bagian yang tak terpisahkan
dari unsur iksi. Arinya masalah tersebut merupakan unsur yang membangun struktur novel, bukan sekedar tempel an. Dalam hal
ini fenomena seks merupakan masalah yang dihadapi, di alami, dan dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut. Dari
perspekif kriik sastra feminis, khususnya femi nisme psi koanaliik gambaran tersebut menunjuk kan tokoh-tokoh perempuan dalam
novel yang mengalami berbagai pengalaman dan masalah seksualitas dapat dianggap sebagai cermin pandangan penciptanya sas tra-
wan perempuan dalam meman dang masalah seksu alitas. Dalam memangdang masa lah seksual itas, sebagai perempuan diharapkan
juga dapat me nik mai sebagai subjek, sejajar dengan posisi laki-laki.