Perjuangan Perempuan di Bidang Pendidikan di Daerah Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut

menunjukkan ada kepedulian akivis perempuan untuk mem bawa Asmat ke luar dari dunianya dan mengenal dunia lain di luar Papua. Kondisi Asmat yang terbelakang juga tampak dari deskripsi berikut, yang merupakan dialog antara mama Rin dengan Ibu Alek Cia. “Di Jakarta saya kan bertemu bapak-bapak dari Asmat. Rombongan pengukir. Mereka sudah banyak cerita. Timbul minat saya. Seperi apa sih Asmat itu? Katanya daerahnya seluas propinsi Lampung, tapi pen duduknya sedikit. Datang ke tem pat ini juga su sah. Angka kemaian penduduk masih inggi, namum dokter Puskesmas lebih sering berada di kabupaten atau dipanggil ke propoinsi. Ada mantri kesehatan yang berde di ka si puluhan tahun, namun tetap saja menjadi tenaga honorer dan pengangkatannya diabai kan. Begitu juga kebe- radaan sekolah-sekolah. Ada bangunan, tapi idak ada gurunya. Kalaupun ada jum lahnya kurang memadai, dan gurunya sering mang kir karena harus memangkur sendiri dan ber tanam atau usaha lain untuk makan, karena gajinya terlambat berbulan- bulan. Benarkah hidup di sini amat sulit”. Sekarningsih, 2006: 17 Kondisi Asmat tersebutlah yang mendorong Mama Rin datang ke Asmat hingga akhirnya bertemu dengan Teweraut dan mendampingi kelompok kesenian Asmat melakukan la wat an budaya sampai ke Amerika. Dalam novel Namaku Teweraut digambarkan sosok Mama Rin sebagai moivator pendidikan perempuan di Asmat. Dalam diskusinya dengan Teweraut, Mama Rin mengemukakan pening- nya pendidikan bagi perempuan. “Dalam tanganmu,tergenggam kekuatan ke mau an itu. Kemampuan untuk menegakkan ke disi plin an dalam bersikap, berpikir, menum buhkan etos kerja. Kamu harus menggembala anak-anakmu men dapat pendidikan agar mampu menjawab tantangan zaman. Kuncinya cuma ada padamu. Kamu harus belajar dan berusaha mengembangkan diri… “Kalau wanita selalu siap mencerdaskan di ri, ia juga mampu memberikan kecerdasan pada anak-anak nya. Ininya cuma kesabaran dan ke tekunan me nimba pengetahuan-pengetahuan pen dukung untuk mendidik. Wanita sudah di tak dir kan untuk sepanjang hidupnya belajar pada seiap perubahan…” Sekarninsih, 2006: 271 Dari kuipan tersebut tampak sosok Mama Rin sebagai pe- rempuan dari Jawa yang datang ke Papua, khususnya Asmat un tuk memberikan pendidikan nonformal kepada pe rem puan Asmat yang masih terabaikan. Pandangan tokoh Mama Rin yang disampaikan kepada Teweraut bahwa pe rem puan memiliki otonomi untuk mengembangkan potensi diri nya yang berupa kemampuan untuk menegakkan ke disi plin an dalam bersikap, berpikir, menum buhkan etos kerja, yang akan berguna bagi pengembangan tugasnya sebagai orang yang harus mencerdaskan anak-anaknya, menunjukkan pen ingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam novel tersebut keberadaan Mama Rin dan pandang annya tentang peningnya pendidikan bagi perempuan Asmat tampak mewakili kepedu li- an penulis novel terhadap suku Asmat yang selama ini cen derung diabaikan dari proyek-proyek pembangunan peme rintah. Dari pembahasan terhadap sosok perempuan sebagai aki- vis lembaga swadaya masyarakat dalam novel Namaku Teweraut tampak bahwa kaum perempuan juga memiliki perhaian yang luar biasa terhadap nasib masya rakat, terutama dari kalangan kelas bawah dan mereka yang inggal di daerah terpencil. Dengan memberikan pendampingan dan pendidikan kapada masyarakat kelas ba wah dan terpencil tersebut para perempuan ikut berperan dalam membantu men didik masyarakat yang membutuhkan.

3. Perjuangan Perempuan di Bidang Kesehatan di Daerah Terpencil

Pada novel Namaku Teweraut Sekarningsih, 2006, di sam ping digambarkan perempuan dari Jawa yang berperan men dampingi pendidikan perempuan di Papua Mama Rin, juga digambarkan tokoh perempuan yang mengabdikan diri nya seba gai dokter di Puskesmas Sita, bidan, dan suster di poliklinik kesehatan biara Elisabeth dan Ruth Sekarningsih, 2006: 17, 233, 264. Gambaran perempuan sebagai dokter dan bidan yang mengabdikan dirinya di pedalaman Asmat tam pak dari peng alaman Teweraut berikut. Aku memeriksakan diri ke Puskesmas. Ter nyata dokternya sudah baru lagi. Seorang wanita. Namanya Dokter Sita. Untuk pertama kalinya, Pus kesmas di pimpin dokter wanita, membuatku merasa tentram dan lebih berani menjelaskan ke luhan sakitku. Dok ter Sita kemudian mengirimku ke bagian kebidanan. Aku beruntung menikmai pelayanan ibu hamil oleh seorang bidan; suatu kemewahan yang tak pernah dialami ibuku. Bi dan membenarkan perkiraan Pumu tempo hari. Ia menegaskan aku memang sudah hamil dua bulan. Lalu menyerahkan bungkusan- bungkusan vitamin, serta menasihaiku agar banyak makan ikan. “Agar anakmu lahir cerdas,” kata bidan itu, ter se nyum manis sambil menyerahkan bungkus an vita min. Aku mengangguk kepala mem balas nya ter senyum. Sekarningsih, 2006: 166 Pada kuipan tersebut tampak adanya ungkapan untuk pertama kalinya, Puskesmas dipimpin dokter wanita , yang me- nun juk kan bahwa selama ini di Asmat Papua kepala Puskesmas dipimpin oleh dokter laki-laki. Perempuan sebagai pimpinan Puskesmas di Asmat merupakan fenomena baru. Di samping itu, pada kuipan tersebut juga terungkap bahwa kesadaran perem pu- an Asmat untuk memanfaatkan pe layan an kesehatan di lembaga kesehatan seperi Puskesmas, masih langka. Ibu hamil pada umumnya ditangani oleh para dukun, seperi Pumu. Di samping itu, peran para perempuan yang bekerja di bi dang kesehatan tersebut juga tampak dari akivitas Tewe raut, yang setelah suaminya meninggal, bekerja sebagai pem bantu di poliklinik biara di dekat landasan pacu lapangan terbang. Tewe raut memiliki tugas menyapu, menggodok per alatan kesehatan, menyiapkan wadah obat-obatan di poli klinik dan melayani keperluan Suster Elishabeth selama me ne rima pasien Sekarningsih, 2006: 264. Akivitas para perempuan di bidang kesehatan juga tampak dari kegiatan Suster Elisabeth dan Suster Ruth yang didampingi oleh Ibu Camat istri camat, seorang pengemudi dan asisten berkeliling kampung misalnya ke kampung Ba riten untuk mem- beri pelayanan kesehatan dan penyu luh an membuat ikan asin pada ibu-ibu rumah tangga Sekar ningsih, 2006: 264. Pelayanan kesehatan terhadap masya rakat daerah terpencil di Asmat dengan sistem safari seperi yang dilakukan oleh para suster tersebut merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi jumlah angka kemaian penduduk Papua yang masih inggi, termasuk kemaian ibu yang melahirkan.