Latihan dan Tugas SUARA PEREMPUAN URBAN

133

BAB VI KETIKA PARA PENGARANG

PEREMPUAN BICARA TENTANG SEKS DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA MUTAKHIR

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah membaca dan memahami materi yang disajikan dalam bab ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan gambaran mengenai aplikasi kriik sastra feminis terhadap sejumlah novel Indonesia, khususnya yang ditulis oleh para pengarang perempuan dan mengangkat masalah seksualitas.

B. Materi Pembelajaran

1. Pendahuluan

S alah satu fenomena menarik dalam khasanah sastra Indonesia akhir-akhir ini adalah munculnya sejumlah pengarang perempuan, yang pada umum nya merupakan generasi muda. Karya- karya mereka men dapat sambutan yang menggembirakan dari pu- blik pembaca. Beberapa dari pengarang tersebut an tara lain Ayu Utami menulis Saman [2001] dan ­ Larung­ [2003], Dee Dewi Lestari Supernova­I,­II­[2001], Nova Riyan i Yusuf menulis Maha Dewa­Maha­Dewi­[2003], Jenar Mahesa Ayu Mereka­Bilang­Saya­ Monyet [2002], dan­Jangan­ Main-Main­Dengan­Kelamin­mu­[2004], Eliza V. Handayani menulis Area­X:­Him­ne­Angkasa­Raya­[2000], juga Helinaiens Garis­Tepi­Seorang­Lesbian­[2003], dan sebagainya. Lahirnya sejumlah sastrawan perempuan ter se but tampaknya bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosio-kultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis dan emansipatoris wanita. Para feminis dan pejuang eman sipasi wanita ingin mendudukan eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender. Di samping itu, ada fenomena me narik pada beberapa karya para pengarang perempuan tersebut, antara lain dalam hal mengangkat dan menggambarkan tema yang berhubungan dengan seks dan cinta. Pada kar ya-karya sastra sebelumnya, baik yang ditulis oleh sastrawan pria maupun perempuan, keika meng- gam barkan pengalaman seks cenderung meta foris dan tersamar, seperi tampak pada karya-karya Ahmat Tohari Ronggeng­ Dukuh­ Paruk [1982], atau ­ Bekisar­ Merah­ [2000], Umar Kayam Para Priya yi [1992], Pramudya Ananta Toer Gadis­Pantai,­Bumi­ Manusia [2000] maupun N.H. Dhini Jalan­ Ban­dungan,­ Tirai­ Menurun [1989], maupun Marga T. Karmila [2000], dan Mira W misalnya Jangan­Renggut­Matahariku­[2000]. Beberapa sastrawan perempuan generasi Ayu Utami, ternyata lebih bebas dan berani dalam meng ungkapkan pengalaman seks. Seperi disampaikan oleh R. Sugiari seorang relawan pada UNICEF Indonesia dan pengamat perempuan di Sinar­Harap­an,­ 2002, munculnya karya-karya Ayu Utami dkk., tersebut dapat