Pengerian Poligami Materi Pembelajaran
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun ke-8 Hijriah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal
empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mem pu nyai istri banyak tanpa ada ba tasan.
Dengan ditu run kannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal em pat orang saja, idak boleh lebih dari
itu. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, hal ini dapat dipahami dari ayat di atas jika kita baca secara berulang-ulang, yaitu: Nikahilah
oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, iga-iga, atau em pat-empat, dengan syarat dapat berlaku adil Saiidah, 2006.
Di samping itu, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat 1 juga disebutkan bahwa seorang laki-laki dapat beristri lebih dari
satu orang pada waktu ber samaan, terbatas hanya pada empat orang istri. Di samping pasal dan ayat tersebut di atas, ada bebe rapa
faktor yang menyebabkan prakik pologa mi sangat mudah dilak- sanakan, seperi diurakan oleh Yusilawai mantan Koordinator pada
Kelompok Studi Perem puan Seroja Ciputat, Jakarta di antaranya:
pertama per undang-undangan yang be lum sempur na. Walau pun
perun dangan kita telah mengatur prosedur permo honan poligami yang rumit karena harus melalui proses sidang Penga dilan Agama,
namun sebenarnya banyak sekali celah-celah keku rangan peraturan tersebut yang meng akibatkan angka poligami tetap besar. Contoh,
idak ada sanksi tegas untuk pelaku poligami yang tetap me- laksanakan poligami tanpa izin dari istri pertama dan tanpa proses
Pengadilan Agama. Pelak sanaan poligami ’ilegalinformal’ hanyalah berkon se kuensi pada kekuatan hukum pada perkawinan tersebut.
Menurut Yusilawai, Kompas, 30 Agustus, 2003 perkawinan
poligami tanpa izin dari istri idak diakui di hadapan hukum posiif. Hal ini tentu saja idak akan berpengaruh sama sekali bagi pihak
suami. Namun bagi istri kedua, keiga atau keempat, jelas mereka dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan mereka
yang meng akibatkan mereka idak dapat menuntut suami jika suami melanggar hak-haknya, seperi idak dapat menggu gat cerai suami,
dan idak dapat melaporkan suami jika terjadi kekerasan dalam
rumah tangga. Kedua , banyaknya naib-naib penghulu idak resmi
yang dengan senang hai melakukan pernikahan “bawah tangan.” Alasan utama naib idak resmi kebanyakan adalah sebenarnya
dalam hukum Islam ikih, perkawinan dianggap sah walau pun tanpa penca tatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam ikih
mazhab Syai’i dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan yaitu adanya penganin laki-laki, adanya wali dari penganin pe-
rempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab-qabul serah-terima. Ke- banyakan, prakik poligami dilakukan melalui perni kahan bawah
tangan melalui naib tak resmi atau dilakukan secara idak resmi idak dicatat di KUA walau melalui naib resmi. Keiga, adanya
penyelewengan di Kantor Urusan Agama oleh oknum tertentu dengan cara menerima suap. Penyelewe ng an yang dilakukan oknum
KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon penganin pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status
bujangan atau dengan tetap me laksanakan perni kahan walaupun tanpa surat keputusan dari Penga dilan Agama atau pernyataan izin
dari istri pertama. Keempat, sosialisasi mengenai pe raturan tentang poligami yang kurang. Banyak wanita yang menen tang poligami
namun idak mengetahui apa yang dapat dilakukan jika musibah itu terjadi pada diri mereka.
Sebenarnya, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 buir: a dinyatakan bahwa suatu perka winan dari seorang suami yang
poligami tanpa seizin Pengadilan Agama dapat dibatalkan. Kei- daktahuan para istri tentang peraturan ini membuat kebanyakan
istri yang dipoligami hanya pasrah dan berpikir bahwa idak ada yang dapat mereka lakukan kecuali pasrah, atau memohon cerai
Yusi lawai, Kompas, 30 Agustus, 2003.